• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN RERATA STANDART BASE EXCESS PADA

PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM YANG DIRESUSITASI

DENGAN NORMAL SALINE DIBANDINGKAN DENGAN

BALANCED ELECTROLYTE SOLUTION DI INSTALASI GAWAT

DARURAT RUMAH SAKIT CIPTOMANGUNKUSUMO

PERIODE APRIL-OKTOBER 2013

TESIS

ANNE SUWAN DJAJA 1006767140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI

JAKARTA DESEMBER 2013

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN RERATA STANDART BASE EXCESS PADA

PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM YANG DIRESUSITASI

DENGAN NORMAL SALINE DIBANDINGKAN DENGAN

BALANCED ELECTROLYTE SOLUTION DI INSTALASI GAWAT

DARURAT RUMAH SAKIT CIPTOMANGUNKUSUMO

PERIODE APRIL-OKTOBER 2013

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif

ANNE SUWAN DJAJA 1006767140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI

JAKARTA DESEMBER 2013

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINAI-ITAS

Tesis irri adalah lrasil karra sa\a sencliri. clatr serrrLra srrrntrcr huili r lns dil'trtip nrilr.rpr.ur clirtrlrrli

telah sa1 a nratakan dengan l"renar

Nama : Anne Suvran Dja.la

NPM:

1006761140

;Tanda

tangan :

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Anne Suwan Djaja 1006767140

Anestesiologi dan Terapi Intensif

Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Bolanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yagn diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif X'akultas Kedokteran Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I

:

dr. Dita Aditianingsih SpAn KIC

Pembimbing II : dr. Yohanes WH George SpAn KIC

Pembimbing III: dr. Dante Saksono SpPD KEMD, Nama NPM Program studi Judul Penguji I Penguji II Penguji III Penguji lV

dr. Indro Mulyono SpAn KIC

dr. Susilo Chandra SpAn

dr. Arif HM Marsaban SpAn

dr. Riyadh Firdaus SpAn

-

\-/

,'---'---\

\

t

)<-=

)

,/

--'-'/

(-

-r\,

,[/\_--,

Ditetapkan di

:

Jakarta

Tanggal

:

31 Desember2013.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dokter Spesialis Anestesiologi pada Fakultas Kedokterann Universitas Indonesia.

Saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dita Aditianingsih SpAn KIC, selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan proposal ini.

2. dr. Yohanes WH George SpAn KIC selaku pembimbing II yang telah membantu dan mengarahkan saya.

3. dr. Dante SpPD KEMD, selaku pembimbing III, dan segenap staf Divisi Endokrin dan Metabolik FKUI- RSCM, yang telah mendukung proposal penelitian saya.

4. Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK, selaku ketua komite etik FKUI-RSCM

5. dr. Andri Lubis SpOT, selaku kepala bagian penelitian FKUI-RSCM. 6. dr. Ariel Pradipta dan dr. Christy A Billy, yang telah membantu pengolahan

data.

7. Rekan-rekan parestesi ”Julz 2010” atas kebersamaannya melewati suka duka sebagai residen anestesi; dr. Arinando Pratama, dr. Wida Herbinta, dr. Yudhi Prasetyo, dr. M. Taufik Azhari, dr. M. Zulfadli S, dr. Betardi Aktara, dr. M. Amarulah, dr. Thomas A, dr. Meliana Siswanto, dr. Peni Yulia, dr. Indah Pudjiningsih, dr. Apriliana, dr. Mutia Farina, dr. Regina Prima.

8. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan material dan moral

Semoga Tuhan yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan tesis ini dapat dilaksanakan dengan lancar dan bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, November 2013 Penulis

(6)

HAI,AMAN PERN YA'I'AAN PT]RST]'I'T IJ T I AN PI]

T} I,I KASI TUGAS AKIIIR UNTUK KEPTiNI-INCAN,\KADIi]\IIS

Sebagai sivitas bawah ini : Nama NPM Prograrn studi Fakultas Jenis karya

akadernika Urriversitas Indonesia. sala )ang bertarrda tangan di Anne Suwan D.ia.ia

t006167 t40 Anestesiologi

Kedokteran Universitas I ndonesia

Tesis

Demi perrgetlbangan ilrrLr pengetahLran. rrenr utuirri trntrrk rlcrlberikan kepada Universitas Indorresia Hali Bebas Rovalti NoneksklLrsil'(Norr-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilnriah sava vang ber-ludLrl:

Perbandingan rerata Stundurt Buse Excess (SBE) patla pasien Ketoasidosis

Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normul saline dibanrringkan dengan Balqnc'ed Electrol:tte Solution (BI.lS) cli Instalasi Gawat Darurat RS.

Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 20lJ

Beserta perangkat yang ada

(ika

diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif

ini

Universitas Indonesia

berhak

menyimpan, mengalihmedia/fonnatkan. nrengelola dalam bentirk parrekalarr clata (rJatabase). merawat dan mempublikasikan tulisan sava selama tetap trencantulxkan nalra saya sebagai perrulis darr sebagai pernilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Di bLrat di .lakarta llada tanggal 3l l)eserlber 201]

---"--Anne Survan Dja.ia

(7)
(8)

Komite Etik

Penelitian

Kesehatan

Fakultas

Kedokteran

Universitas

lndonesia

Rumah

Sakit Cipto

Mangunkusumo

Health Research Ethics Committee Faculty of Medicine Universitas lndonesia

Ci pto Man g u n ku s u m o H ospito I

Jalan Salemba Raya No.6,Jakarta Pusat 10430.Te|p.021-3157008. E-mail:[email protected]

Nomor

,

'117

lHz. Ft/fitK/xl/20t3

Hal

: Penggantian judul proposal penelitian.

16 Desember 2O!3

Yth. Peneliti Utama/PPDS dr. Anne Suwan Djaja

Departemen Anestesiologi dan Terapi lntensif FKUI-RSUPNCM

Jakarta

Sehubungan dengan proposal penelitian yang berjudul :

"Perbandingan rerata Stondort Bose Excess (SBE/ sebagai penanda keberhasilan resusitasi mikrosirkulasi pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normol

soline dibandingkan dengan Bolonced Electrolyte Solution (BES) di lnstalasi Gawat Darurat RS

Cipto Mangukusumo periode April - Oktober 2073."

Komite Etik Perielitian Kesehatan FKUI RSCM telah menerima dan meninjau surat Tanggal Nomor surat Perihal Dokumen 12 Desember 2013 Permohonan penggantian judul proposal. 1. Proposal penelitian, 2 Jitid.

2. Kopi Surat Keterangan

Lolos Kaji Etik, No. 315 I H2.F L I ET tK I 201.3, tanggal 20 Mei 2OL3, L lembar.

1. Judul proposal menjadi Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) pada

pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normol soline dibandingkan dengan Bolonced Electrolyte Solution (BES) di lnstalasi Gawat Darurat RS.CiptoMangukusumoperiodeApril-oktober2o-1^

Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI RSCM m Atas laporan dan kerjasamanya, kami ucapkan

proposal tersebu

ituf&

r

Ketua

Semua prosedur persetujuan dilahrkan sesuai dengan standar ICH-GCP.

All proiedures of Ethical Apprwal are performed in accordancewith ICH-GCP standard procedure.

(9)

KEMENTERIAN

KESEHATAN

R.I. I:J:,

i

DIREKTORAT

JENDERAL

BINA UPAYA

KESEHATAN

ii

ffi$trffi

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL DR. CIPTO MANGUNKUSUMO "1" -Jalan Diponegoro No.71 Jakarta 10430, Kotak Pos 1086

Te1p.3918301, 3 1930808 (Hunting), Fax 3148991

Jakarta,l0 Juni 2013

No

, lAe

fiU-K/Li7Yyzor3

Lampiran

: Keterangan Lolos Kaji Etik

Hal

: Persetuiuan

Iiin

Penelitian Kepada Yth,

Ka. Instalasi Gawat Darurat

RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo

J

akarta.

Bersama ini kami hadapkan peneliti : Nama

NPM Fakultas Universitas Strata

dr. Anne Suwan Djaja 1006767t40

Kedokteran Indonesia

SPI Anestesiologi dan Intenisve Care

Yang bersangkutan akan mengadakan penelitian dengan judul: "Perbandingan Rerata Standart Base Base Exce,ss Sebagai Penenda Keberhasilan Resusitasi Mikrosirkulasi pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum yung Dir"rusitasi dengan Normal Saline Dibandingkan dengan Balanced Electrolyte

Solution di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode Aoril

-

Oktober

2}L3'rpenelitian ini akan dilakukan di lnstalasi Gawat Darurat. Sesuai dengan permohonan peneliti dengan disposisi oleh Direktur Pengembangan dan Pemasaran No. 223351TU.M/69Nl20l3,tanggal

27

Mei

2013. Pada prinsipnya kami mengijinkan, selanjutnya mohon kiranya Saudara dapat membantu kegiatan penelitian tersebut.

Sebagai data di Bagian Penelitian, agar peneliti wajib mengirimkan hasil penelitian dalam bentuk

hard cover disertai dengan melampirkan Abstrak penelitian dalam bentuk email dilengkapi nama

lengkap,

asal

institusi dan

judul

penelitian

yang

dikrimkan kepada bagian penelitian (penelitian.rscm@ gmail. com).

Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Ka. Bagian Penelitian

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,

Dr.dr. Andri Maruli Tua Lubis. Sp.OT NIP: 19681 105199903 1001

Tembusan Yth :

1.

Direktur Pengembangan dan Pemasaran

2.

Ketua Departemen Anestesiologi FKUI-RSCM

(10)

ABSTRAK

Nama : Anne Suwan Djaja Program studi : Anestesiologi

Judul : Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) pada pasien

Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013

Latar Belakang: Normal saline adalah cairan yang selama ini digunakan dan

terbukti memiliki efek samping yang merugikan yaitu asidosis metabolik hiperkloremik. Balanced Electrolyte Solution (BES) merupakan cairan kristaloid isotonus yang memiliki kandungan lebih menyerupai plasma darah dan memiliki kandungan klorida lebih rendah.

Tujuan: Membandingkan rerata SBE pasien ketoasidosis diabetikum (KAD)

yang diresusitasi dengan menggunakan normal saline dan balanced electrolyte

solution (BES).

Metode: Tiga puluh subyek KAD, usia 18-65 tahun, yang sesuai dengan kriteria

inklusi dan tidak dieksklusi, secara berturut-turut dimasukan menjadi sampel penelitian. Pembagian kelompok ditentukan secara acak berdasarkan undian. Sampel dikelompokan menjadi dua, yaitu kelompok kontrol (normal saline) dan kelompok perlakuan (BES). Kedua kelompok kecuali dalam hal jenis cairan resusitasi. Pemeriksaan kesadaran, gula darah sewaktu, dan tanda-tanda vital dilakukan setiap jam selama enam jam pertama, dan setiap 12 jam hingga jam ke 48. Pemeriksaan analisa gas darah, laktat dan elektrolit dilakukan setiap dua jam selama enam jam pertama, dan setiap 12 jam hingga jam ke 48. Pemeriksaan keton dilakukan setiap enam jam hingga jam ke 48. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental terbuka consecutive sampling.

Hasil: rerata SBE kelompok BES selalu lebih tinggi daripada kelopok NS. Rerata

SBE kelompok BES lebih tinggi bermakna daripada rerata SBE kelompok NS pada jam ke 24 dan 48. SID kelompok BES selalu lebih tinggi secara bermakna di setiap jam yang diukur daripada kelompok NS.

Kesimpulan: SBE kelompok BES lebih mendekati normal daripada kelompok NS

di setiap jam yang diukur.

Kata kunci:

(11)

ABSTRACT

Name : Anne Suwan Djaja Study Program : Anesthesiology

Title : Comparison of standard base excess (SBE) in diabetic ketoacidosis subjects receiving normal saline and balanced electrolyte solution in Emergency Department Ciptomangunkusumo Hospital in April-October 2013.

Background: Normal saline is the resuscitation solution which is regularly used

in diabetic ketoacidosis management. This solution has negative side effect causes hyperchloremic acidosis. Balanced Electrolyte Solution (BES) is isotonic-crystaloid solution, more resembling plasma than normal saline, and it has less chloride than normal saline.

Objectives: This study compares the SBE mean in diabetic ketoacidosis, using

normal saline and BES.

Methods: Thirty diabetic ketoacidosis patients, 18-65 years age, who full filled

the inclusion criteria and were not excluded, were consecutively enrolled to this study. Group was determined by tossed. Both groups received the same treatment except the kind of resuscitation fluid. The consciousness, blood sugar, and vital sign were recorded every hour until first six hour and every 12 hour until 48 hour. the blood gas analysis, lactate, and electrolyte were recorded every two hour until six hour, and every 12 hour until 48 hour. Blood ketones ware recorded every six hour until 48 hour. This is an open experimental consecutive study.

Result: Mean SBE value in BES group was higher in every record. Mean SBE

value in 24th and 48th hour were significantly higher in BES group than in NS group.

Conclusion: SBE in BES group were closer to normal limit than in NS group.

Keywords:

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... iv

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GRAFIK...x 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar belakang... 1 1.2. Rumusan masalah... 2 1.3. Pertanyaan penelitian... 3 1.4. Hipotesis... 3 1.5. Tujuan penelitian... 4 1.6. Manfaat penelitian... 4 1.7. Definisi operasional... 5 2. TINJAUAN PUSTAKA... 10 2.1. Ketoasidosis diabetikum... 10

2.2. Tatalaksana ketoasidosis diabetikum... 12

2.3. Resusitasi mikrosirkulasi... 16

2.4. Balanced Electrolyte Solution (BES)……… 19

2.5. Standard Base Excess (SBE) sebagai prediktor outcome………. 22

KERANGKA TEORI………...25

KERANGKA KONSEP………...26

3. METODOLOGI PENELITIAN……….. 27

3.1. Desain penelitian... 27

3.2. Waktu dan tempat penelitain... 27

3.3. Populasi penelitian... 27

3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi... 27

3.5. Besar sample... 28

3.6. Cara pengambilan sample... 28

3.7. Alokasi sample... 28

3.8. Cara kerja penelitian………. 28

3.9. Rencana analisis... 31

3.10. Etika... 31

4. HASIL...32

5. PEMBAHASAN...42

6. KESIMPULAN DAN SARAN...52

DAFTAR PUSTAKA...54

LAMPIRAN...56

Informed consent Penelitian...56

Persetujuan tindakan...57

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Definisi operasional...5

Tabel 2.1. Panduan sliding scale insulin...15

Tabel 2.2. Komposisi elektrolit cairan kristaloid... ..20

Tabel 3.1. Protokol pemberian cairan, insulin, kalium dan bikarbonat...30

Tabel 4.1. Karakteristik subyek berdasarkan kelompok perlakuan...32

Tabel 4.2. Rerata MAP berdasarkan kelompok perlakuan...33

Tabel 4.3. Rerata CVP berdasarkan kelompok perlakuan...34

Tabel 4.4. Rerata GDS berdasarkan kelompok perlakuan...34

Tabel 4.5. Rerata keton berdasarkan kelompok perlakuan...35

Tabel 4.6. Rerata SBE berdasarkan kelompok perlakuan...36

Tabel 4.7. Jumlah kematian berdasarkan kelompok perlakuan...37

Tabel 4.8. Rerata SID berdasarkan kelompok perlakuan...37

Tabel 4.9. Rerata pH berdasarkan kelompok perlakuan...38

Tabel 4.10Rerata laktat berdasarkan kelompok perlakuan...38

Tabel 4.11. Rerata ureum berdasarkan kelompok perlakuan...40

Tabel 4.12. Rerata kreatinin berdasarkan kelompok perlakuan...40

Tabel 4.13. Rerata albumin pada jam ke 0...41

Tabel 4.14. Rerata enzim hati pada jam ke 0...41

(15)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1. Rerata SID pada kedua kelompok perlakuan...45 Grafik 5.2. Rerata SBE pada kedua kelompok perlakuan...46

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes mellitus (DM), memiliki dampak metabolik yang paling besar dan berhubungan dengan mortalitas yang tinggi.1 Ketoasidosis diabetikum didefinisikan sebagai akumulasi badan keton dalam darah, yang berhubungan dengan suatu kondisi asidosis metabolik yang ditimbulkan akibat diabetes mellitus tidak terkontrol, deplesi cairan berat, dan gangguan elektrolit. Pencetus munculnya KAD yang paling sering adalah infeksi, penghentian terapi insulin, dan onset baru diabetes.2

Di Kanada, insidens terjadinya KAD adalah 4,6-8 per 1000 diabetisi setiap tahunnya.1 Laju mortalitas KAD adalah 4-10% di Kanada.1

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA), prioritas utama dalam tatalaksana KAD adalah penggantian defisit cairan dengan cairan kristaloid, yaitu normal saline.3

Di samping penggunaannya yang luas, normal saline memiliki efek samping yang tidak baik, yaitu pH yang tidak sesuai dengan pH tubuh, dan kandungan klor yang tinggi. Asidosis metabolik hiperkloremik merupakan salah satu efek samping dari resusitasi dengan menggunakan normal saline (NS).3

Selain pada kondisi resusitasi, pemberian cairan dalam jumlah besar juga dilakukan pada kondisi perioperatif. Scheingraber et al (1999) melakukan penelitian terhadap dua kelompok subjek, masing-masing terdiri dari 12 orang yang menjalankan operasi ginekologik. Kelompok kontrol mendapatkan cairan perioperatif normal saline, kelompok perlakuan mendapatkan cairan perioperatif dengan ringer laktat, yang jumlahnya sama yaitu 30 mL/kg berat badan per jam. Hasil dari penelitian tersebut adalah kejadian asidosis hiperkloremik terjadi pada

(17)

kelompok yang mendapatkan normal saline, dan bukan pada kelompok yang mendapatkan ringer laktat.4

Jenis cairan kristaloid lain yang memiliki kandungan elektrolit lebih menyerupai cairan tubuh, yang dikenal dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) pernah digunakan dalam tatalaksana KAD dan memiliki hasil yang lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahler, et al (2011), terbukti bahwa subjek KAD yang diresusitasi dengan menggunakan normal saline memiliki kadar klorida yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang diresusitasi dengan menggunakan Balanced

Electrolyte Solution (BES) (p<0,001).3

Derajat keparahan asidosis metabolik diukur dengan Standard Base Excess(SBE). SBE merupakan penanda hasil resusitasi dan perbaikan dari SBE berhubungan dengan hasil akhir yang lebih baik.5

Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan rerata SBE pada kelompok yang ditatalaksana dengan tatalaksana konvensional, yaitu dengan NS dibandingkan dengan BES. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pandunanprotokol tatalaksana KAD sesuai dengan panduan pelayanan medik departemen endokrin, ilmu penyakit dalam FKUI-RSCM, dan tidak bermaksud untuk mengubah protokol yang sudah ada.

1.2.Perumusan Masalah

Seiring dengan meningkatnya prevalensi DM, prevalensi KAD sebagai mortalitas yang berhubungan dengannya juga semakin meningkat. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi tatalaksana KAD.

Sampai saat ini terapi cairan yang digunakan dalam tatalaksana KAD memiliki kekurangan-kekurangan yang justru memperburuk KAD. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah membandingkan rerata SBE, mengetahui proporsi pencetus KAD, kesadaran, mean arterial pressure, central venous pressure (CVP)gula darah, dan mortality rate 48 jam dan 28 hari pada pasien KAD yang diberikan NS dengan pasien yang diberikan BES.

(18)

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama: bagaimana perbandingan rerata nilai SBE antara resusitasi dengan NS dibandingkan BES tiap dua jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48?

Pertanyaan tambahan:

 Bagaimanakah karakteristik subjek KAD, yaitu usia, jenis kelamin, tipe DM, pencetus KAD?

 Bagaimanakah tingkat kesadaran subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36dan jam ke 48 ?

 Bagaimanakah rerata Mean Arterial Pressure (MAP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48?

 Bagaimanakah rerata Central Venous Pressure (CVP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48?

 Bagaimanakah rerata kadar gula darah subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48?  Bagaimanakah rerata keton darah subjek di kedua kelompok setiap enam jam

selama 48 jam pertama?

 Bagaimanakah rerata SBE subjek di kedua kelompok tiap dua jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48?

 Bagaimanakah mortality rate dalam 48 jam pertama, dan 28 hari?

1.4. Hipotesis

Rerata SBE pada kelompok BES lebih mendekati nilai normal dibandingkan dengan NS.

(19)

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan umum:

Diketahuinya efek resusitasi KAD dengan menggunakan BES dan normal saline pada pasien KAD, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan KAD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April-Oktober 2013.

Tujuan khusus:

 Diketahuinya karakteristik subjek KAD, yaitu usia, jenis kelamin, tipe DM, pencetus KAD.

 Diketahuinya tingkat kesadaran subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36dan jam ke 48.

 Diketahuinya rerata Mean Arterial Pressure (MAP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48.

 Diketahuinya rerata Central Venous Pressure (CVP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48.

 Diketahuinya rerata kadar gula darah subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48. .  Diketahuinya rerata keton darah subjek di kedua kelompok setiap enam jam

selama 48 jam pertama.

 Diketahuinya rerata SBE subjek di kedua kelompok tiap dua jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48.

 Diketahuinya mortality rate dalam 48 jam pertama, dan 28 hari.

1.6. Manfaat Penelitian

Untuk tatalaksana KAD secara tepat sasaran dan tidak menimbulkan asidosis metabolik hiperkloremik seperti yang sering terjadi pada tatalaksana sebelumnya. Penelitian ini bermanfaat bagi penentu kebijakan tatalaksana KAD, tenaga kesehatan dan pasien.

(20)

1.7. Definisi Operasional

Tabel 1.1. Definisi operasional N

o

Variabel Pengukur Alat ukur Cara Pengukuran Skala Pengukura n 1 Faktor pencetus KAD Peneliti sendiri Pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi Sesuai dengan standar pemeriksaan fisik FKUI-RSCM Kategorik 2 Usia Peneliti sendiri Data rekam medis pasien Mencocokan dengan rekam medis pasien Numerik

3 Jenis kelamin Peneliti sendiri Data rekam medis Mencocokan dengan rekam medis Kategorik 4 Tipe Diabetes Mellitus Peneliti sendiri Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksan penunjang Sesuai dengan standar pelayanan medik RSCM Kategorik 5 Tingkat kesadaran Dokter residen anestesi semester 3 ke atas Tidak menggunaka n alat ukur Glassglow Comma Scale (GCS) Numerik 6 Mean Arterial Pressure (MAP) Dokter residen anestesi semester 3 ke atas Tensi meter digital merk Phillips Manset tensi ukuran dewasa dipasang diregio lengan atas, diilakukan pengukuran Numerik

(21)

berkala setiap lima belas menit. 7 Central Venous Pressure (CVP) Perawat IGD Penggaris dan tabung pengukur

Tutup three way ke arah pasien, alirkan cairan ke arah tabung pengukur, kemudian arahkan three way ke arah pasien dan tabung pengukur Numerik 8 Gula darah sewaktu (GDS) Perawat IGD RSCM Alat pengukur gula darah bedsite merk GlucoDR® Sampel diambil dari ujung jari tangan,

diteteskan

secukupnya pada stik gula darah.

Numerik

9 Keton darah Perawat IGD Mesin keton darah laboratorium IGD RSCM merk optium® Sampel diambil dari lumen CVC Numerik 10 Standard Base Excess (SBE) Perawat IGD Mesin di laboratorium IGD merk Nova Phox® SBE memiliki nilai normal -2 sampai +2. semakin negatif nilainya, berarti semakin asidosis, semakin positif nilainya berarti Numerik

(22)

semakin

alkalosis. Nilai yang dianggap lebih baik adalah yang semakin mendekati nilai normal

11 Mortality Rate Peneliti sendiri Tidak menggunaka n mesin pengukur Pasien diikuti perkembanganny a selama 48 jam pertama dan 28 hari perawatan. Numerik 12 AGD (arteri dan mixed vein) Perawat IGD Mesin di laboratorium IGD merk Nova Phox® Sampel AGD arteri diambil dari arteri, AGD mixed vein diambil dari lumen CVC Numerik 13 Laktat Perawat IGD Mesin di laboratorium IGD RSCM merk Sampel diambil dari lumen CVC Numerik 14 Darah perifer lengkap Perawat IGD Mesin di laboratorium IGD RSCM merk Cell Dyn Sampel diambil dari vena perifer

Numerik 15 Elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium, Perawat IGD Mesin Laboratoriu m IGD RSCM Sampel diambil dari lumen CVC Numerik

(23)

magnesium) 16 Ureum Perawat IGD Mesin Laboratoriu m IGD RSCM Sampel diambil dari lumen CVC Numerik 17 Kreatinin Perawat IGD Mesin Laboratoriu m IGD RSCM Sampel diambil dari lumen CVC Numerik

18 Gagal napas Dokter residen anestesi semester 3 ke atas Kriteria klinis Frekuensi napas >30x/menit, menggunakan otot bantu napas, pola napas gasping Kategorik 19 Dekompensas io kordis Dokter residen anestesi semester 3 ke atas Kriteria klinis (NYHA kelas IV) Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas. Kategorik 20 Infark miokard akur Dokter residen anestesi semester 3 ke atas Klinis dan penunjang

Nyeri dada khas di dada kiri yang menjalar ke lengan kiri, perubahan EKG, enzim jantung positif Kategorik

(24)

21 Cedera kepala berat Dokter residen anestesi semester 3 ke atas

Klinis Terdapat riwayat cedera kepala berat dalam 24 jam terakhir, terdapat jejas di kepala, gambaran perdarahan intrakranial pada CT scan kepala. Kategorik

22 Gagal hati Dokter residen anestesi semester 3 ke atas Klinis dan laboratorium Subjek ikterik, riwayat gangguan hepar kronik, koagulopati, peningkatan enzim hati, asites. Kategorik

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabetik merupakan suatu kondisi katabolisme yang tidak terkontrol yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. Trias ketoasidosis diabetik ialah asidosis metabolik (pH < 7.35), hiperglikemia (gula darah > 250 mg/dl) dan ketosis (terdapatnya badan keton baik di urine ataupun di darah). Defisiensi insulin absolut atau relatif ini juga diikuti oleh peningkatan hormon-hormon counter-regulasi (seperti glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol), yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati (glukoneogenesis) dan katabolisme lemak (lipolisis). Lipolisis menghasilkan substrat untuk produksi badan keton oleh hati. Produksi badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis dan peningkatan anion gap, yang hampir selalu terjadi pada ketoasidosis diabetik.6

Defisiensi insulin akut yang mempengaruhi metabolisme glukosa menyebabkan terjadinya kondisi hiperglikemia. Akumulasi glukosa ekstraseluler ini menyebabkan terjadinya kondisi hiperosmolaritas.7 Ketika kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa akan dieksresikan di urine (glukosuria). Adanya glukosa di urine ini akan menimbulkan efek osmotik yang menarik air bersamanya, sehingga menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria dan ekskresi Na+ serta K+ melalui ginjal. Poliuria ini menyebabkan cairan keluar berlebihan dari tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer. Natrium yang diekskresikan akan menyebabkan natrium yang ada di dalam tubuh menjadi terdilusi, oleh karena itu kadar natrium pasien hiperglikemia harus dikonversi dalam darahnya sesuai dengan kadar gula darahnya, yaitu dengan cara menambahkan natrium sebanyak 1,6 mg/dL untuk setiap 100 mg/dl gula darah diatas 100 mg/dL. Selain itu juga timbul rasa haus berlebihan (polidipsia) yang sebenarnya merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi. Kegagalan sirkulasi apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian, atau menimbulkan gagal ginjal sekunder

(26)

akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat. Penurunan aliran darah ke ginjal juga menyebabkan ekskresi glukosa melalui ginjal berkurang, sehingga semakin memperberat kondisi hiperglikemia tersebut. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka terhadap keadaan ini, sehingga dapat timbul gangguan fungsi sistem saraf.7,8

Selain itu akibat terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan). Akan tetapi walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein. Dalam metabolisme protein, defisiensi insulin menyebabkan terjadinya pergeseran ke arah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot, bersamaan dengan abnormalitas kadar elektrolit, menyebabkan otot rangka melemah dan mengecil sehingga terjadi penurunan berat badan, dan pada anak, terjadi hambatan pertumbuhan secara keseluruhan. Peningkatan penguraian protein ini menyebabkan peningkatan kadar asam amino dalam sirkulasi darah, yang selanjutnya dapat digunakan untuk glukoneogenesis dan memperparah kondisi hiperglikemia yang telah terjadi.7-9

Dalam metabolisme lemak, defisiensi insulin menyebabkan peningkatan lipolisis, sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak dalam darah yang sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif. Peningkatan penggunaan lemak oleh hati ini menyebabkan pengeluaran berlebihan badan keton (asam asetoasetat, Beta hidroksibutirat, dan aseton) ke dalam darah. Di samping itu, terjadinya peningkatan kadar hormon-hormon counter-regulasi seperti glukagon, epinefrin dan kortisol juga menyebabkan peningkatan produksi badan keton. Akumulasi badan-badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis metabolik progresif. Sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik, terjadi peningkatan ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam. (pernapasan Kussmaul). Ekshalasi salah satu badan keton, yaitu aseton, menyebabkan napas penderita yang mengalami ketoasidosis diabetikum berbau seperti “buah”. Kondisi asidosis, kelainan kadar elektrolit dan dehidrasi yang terjadi selanjutnya dapat mengganggu fungsi sel saraf, menekan fungsi otak dan dapat menimbulkan terjadinya koma diabetikum dan

(27)

2.2. Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum

Pasien-pasien ketoasidosis diabetikum sebaiknya dirawat di area dimana mereka dapat diobservasi secara reguler, dengan tenaga medis yang berpengalaman, atau dirawat di unit intensif jika kondisi pasien sangat buruk.10 Prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetikum ialah:11,12

 Penggantian cairan dan garam yang hilang

 Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin

 Mengatasi stres sebagai pencetus ketoasidosis diabetikum

 Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan dan penyesuaian pengobatan

Dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum, terdapat 5 hal yang harus diberikan, yaitu cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa. Selain itu pengobatan umum juga perlu diberikan pada pasien ketoasidosis diabetikum, yaitu pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengatasi infeksi yang terjadi, pemberian oksigen bila pO2<80mmHg, dan heparin bila ada DIC atau bila ada hiperosmolar (>380mOsm/l).12 Apabila terdapat penurunan kesadaran pada pasien, sebaiknya dilakukan pemasangan selang nasogastrik untuk mencegah aspirasi pada pasien akibat atonia gaster yang merupakan salah satu komplikasi pada ketoasidosis diabetikum. Pemasangan kateter urine juga dianjurkan pada pasien dengan penurunan kesadaran, akan tetapi jika memungkinkan dihindari pada pasien yang sadar penuh dan kooperatif untuk mengurangi sumber infeksi. Pada pasien dengan kelainan jantung atau ginjal atau pada pasien dengan kondisi syok, sebaiknya dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk mengevaluasi derajat hipovolemia dan untuk monitor pemberian cairan.8

Dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum, pemantauan juga merupakan bagian terpenting untuk penyesuaian selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah tiap jam, elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, analisis gas darah secara berkala, tanda-tanda vital pasien setiap jam sampai kondisi pasien stabil, balans cairan dan kondisi hidrasi pasien serta kewaspadaan terhadap kemungkinan DIC.11

(28)

penting dilakukan untuk membantu mengembalikan volume plasma dan stabilisasi tekanan darah sambil mengurangi kondisi hiperosmolar yang terjadi. Selain itu, pemberian cairan akan membantu memperbaiki aliran darah ke ginjal, sehingga dapat membantu mengembalikan kapasitas ginjal untuk mengekskresi ion hidrogen, dan memperbaiki kondisi asidosis yang terjadi.12 Pemberian cairan ini dapat dimodifikasi disesuaikan dengan usia, berat badan, dan adanya kelainan jantung pada pasien.10

Pada sebagian besar pasien dewasa, defisit cairan yang terjadi ialah sebanyak 4-5 liter atau 100 ml/kgBB.11,12. Seperti telah disebutkan di atas, pemberian cairan dilakukan secara cepat untuk mencapai 1-2 liter/jam dalam 1-2 jam pertama. Setelah 2 jam pertama, cairan diberikan dengan kecepatan 300-400 cc/jam. Kegagalan penggantian secara cukup (minimal 3-4 liter dalam 8 jam pertama) untuk mengenbalikan kondisi perfusi normal merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi ketoasidosis diabetikum. Akan tetapi, pemberian cairan berlebihan (>5 liter dalam 8 jam) dapat menyebabkan timbulnya acute respiratory distress syndrome atau edema serebri. Apabila kadar glukosa darah turun (<200mg/dL), pemberian cairan diganti menjadi dextrose 5% untuk mencegah hipoglikemia dan mengurangi resiko edema serebri yang dapat diakibatkan penurunan kadar glukosa daran yang terlalu cepat.8 Pedoman terapi cairan pada tatalaksana ketoasidosis diabetikum yang digunakan di RSCM yaitu: 12

 NaCl 0,9% diberikan ±1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1L pada jam kedua, lalu ±0,5L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan

 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5L  Jika Na+ >155 mEq/L → ganti cairan dengan NaCl 0,45%

 Jika gula darah <200 mg/dL → ganti cairan dengan Dextrose 5%

Segera setelah pemberian cairan inisial, pemberian insulin secara bolus cepat intravena harus diberikan. Pemberian insulin ini akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.8,12

(29)

Insulin yang digunakan pada tatalaksana ketoasidosis diabetikum hanya regular insulin. Insulin dapat diberikan secara intravena, intramuskular ataupun subkutan. Akan tetapi pemberian secara drip intravena lebih dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin lebih cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit terjadi.12 Pemberian insulin inisial menggunakan loading dose 0.3 unit/kgBB secara intravena untuk mengaktivasi reseptor insulin jaringan. Setelah bolus inisial, dosis insulin diberikan 0.1 unit/kg/jam secara drip intravena perlahan. Apabila kadar glukosa darah gagal turun minimal 10% dalam 1 jam pertama, dosis loading dose dapat diulang. Terapi insulin sebaiknya tetap dilanjutkan sampai pH gas darah menjadi normal.8

Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptor, kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi. Dalam keadaan hormon kontraregulator masih tinggi di dalam darah dan untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai bersamaan dengan pemberian larutan glukosa untuk mencegah hipoglikemia.12

Protokol pemberian insulin yang digunakan pada tatalaksana ketoasidosis diabetikum di RSCM yaitu :12

 Regular Insulin (RI) diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan

 RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%

 Jika GD < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi →RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%

 Jika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam →RI drip 1–2 U/jam IV, disertai

(30)

Tabel 2.1. Panduan sliding scale insulin13 Gula darah mg/dl RI (Unit, subkutan) <200 0 200–250 5 250–300 10 300–350 15 >350 20

 Jika kadar GD ada yang <100 mg/dL: drip RI dihentikan

 Setelah dosis koreksi tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari  dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)

Kehilangan kalium dari poliuria dan muntah pada pasien ketoasidosis diabetikum dapat mencapai 200 meq (3-5 meq/kgBB). Akan tetapi akibat pergeseran kalium dari intrasel ke esktrasel sebagai akibat kondisi asidosis, serum kalium pada umumnya normal atau sedkit meningkat. Seiring dengan dikoreksinya asidosis, kalium akan kembali masuk ke intrasel dan dapat terjadi hipokalemia jika tidak dilakukan penggantian kalium. Jika pasien tidak dalam kondisi uremikum dan produksi urinenya adekuat, pemberian kalium secara intravena sebaiknya diberikan 10-30 meq/jam dalam jam ke-2 dan ke-3 bersamaan dengan terkoreksinya kondisi asidosis. Penggantian kalium sebaiknya dimulai secara cepat jika serum kalium mulai turun atau sebaliknya, ditunda jika serum kalium tidak berespon terhadap terapi dan tetap di atas 5 meq/l, seperti pada kasus insufisiensi renal. Penggantian kalium dapat diberikan secara oral jika pasien kooperatif dan dalam kondisi ketoasidosis ringan. Selama penggantian kalium, sebaiknya dilakukan monitoring EKG secara berkala untuk mengevaluasi status kalium pasien.8

Protokol pemberian kalium yang digunakan dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum di RSCM ialah:13

 Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat:

(31)

 tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat

 Bila kadar K+

pada pemeriksaan elektrolit kedua:  <3,5 → drip KCl 75 mEq/6jam

 3,0–4,5 drip KCl 50 mEq/6jam  4,5–6,0 drip KCl 25 mEq/6jam  >6,0 drip dihentikan

 Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu

Penggunaaan natrium bikarbonat dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum menjadi kontroversi karena terdapat beberapa konsekuensi yang dapat membahayakan untuk pasien:

 Terjadinya hipokalemia akibat pergeseran kalium secara cepat ke intrasel jika asidosis dikoreksi secara berlebihan

 Anoxia jaringan akibat berkurangnya disosiasi oksigen dari hemoglobin apabila asidosis dikoreksi secara cepat

 Asidosis serebri akibat berkurangnya pH cairan serebrospinal

Oleh karena itu, pemberian bikarbonat hanya dianjurkan jika pH gas darah arteri ≤ 7.0 dengan monitoring ketat untuk mencegah overkoreksi.8 Walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam jiwa tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat. 12

2. 3. Resusitasi mikrosirkulasi

Hiperglikemia dan ketonemia yang terjadi pada pasien KAD akan menyebabkan osmotik diuresis, yang menyebabkan hilangnya cairan intravaskuler. Dehidrasi seluler akan menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskuler ke intrasel. Kedua hal tersebut akan menyebabkan semakin berkurangnya preload jantung.14

Berkurangnya preload jantung akan menurunkan curah jantung. Berkurangnya curah jantung akan berakibat berkurangnya perfusi oksigen organ-organ tubuh. Perfusi organ yang tidak adekuat yang tidak segera dilakukan penggantian cairan dapat berakibat pada ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen dan dapat berakibat pada gangguan multiorgan.14

(32)

Syok adalah suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jaringan, yang memiliki tanda dan gejala tertentu dna berakibat pada hipoksia jaringan.15

Hipoksia jaringan dapat dapat disebabkan oleh rendahnya kadar oksigen dalam arteri, yang disebut juga hipoksia hipoksik, rendahnya kadar hemoglobin darah, yang disebut juga hipoksia anemik, rendahnya curah jantung, yang disebut juga hipoksia stagnan, dan gangguan pelepasan oksigen ke jaringan, yang disebut juga hipoksia histotoksik.15

Secara klinis syok dibagi menjadi syok kardiogenik, syok obstruktif, hipovolemik, atau syok septik. Syok kardiogenik disebabkan oleh penyakit mikoradium seperti infark, miokarditis, kelainan katup. Syok obstruktif disebabkan oleh kegagalan pompa jantung yang disebabkan oleh kegagalan pompa yang disebabkan oleh selain kelainan miokardium primer, contohnya emboli paru, dan tamponade jantung. Syok hipovolemik disebabkan oleh hilangnya banyak cairan dari dalam tubuh seperti perdarahan masif, diare, diuresis berlebihan, dan pada pasien luka bakar.15

Oxygen delivery (DO2) turun pada kondisi syok. Beberapa hal berkontribusi dala hal ini, termasuk rendahnya curah jantung, anemia, dan hipoksia. Pada syok hipovolemik, rendahnya curah jantung disebabkan oleh menurunkan preload. Pada syok obstruktif,

venous return di ventrikel kiri berkurang. Pada syok kardiogenik gangguan kontraksi

menjadi penyebab utama turunnya DO2.14

Pada tahap awal terjadi hipoksia, tubuh berusaha mengkompensasinya dengan cara melepas lebih banyak oksigen dari hemoglobin ke jaringan. Lama-kelamaan ketika sudah melampaui batas kritisnya, oksigen yang dilepas ke jaringan juga berkurang sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan jaringan. Pada keadaan ini akan muncul kekurangan oksigen untuk metabolisme yang disebut juga dengan oxygen

dept. Kekurangan oksigen untuk metabolisme aerob akan menyebabkan terjadinya

metabolisme anaerob, yang menghasilkan laktat, sehingga kadar laktat dalam darah akan meningkat.14

(33)

sel gram negatifm TNF-α, interleukin-1, sitokin dan zat-zat pro inflamatori lainnya. Adanya zat-zat inflamasi akan memicu aktivasi komplemen, kaskade koagulasi dan agregasi trombosit, oksigen reaktif, dan nitrik oksida. Kombinasi semuanya itu menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan penurunan relatif volume intravaskular, dan peningkatan curah jantung akibat kondisi hiperdinamik.14

DO2 pada syok septik melebihi batas normal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan curah jantung. Kebutuhan oksigen (VO2 ) juga meningkat akibat peningkatan metabolisme jaringan. Pada kondisi ini, walaupun DO2 meningkat, tetap terjadi ketidak seimbangan hantaran oksigen, dan terjadi asidosis laktat. Metabolisme anaerobik yang terjadi terus menerus akan menyebabkan cadangan ATP dalam sel terus berkurang, dan kegagalan pompa natrium kalium (Na-K ATPase). Kegagalan Na-K ATPase akan menyebabkan masuknya natrium dan air ke dalam sel, sehingga akan terjadi pembengkakan sel. Mitokondria tidak dapat melakukan oksidasi dan fosforilasi dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi organ, seperti penurunan kontraktilitas jantung, acute kidney injury, dan sebagainya.14

Pasien syok memiliki tampilan klinis yang bervariasi yang pada umumnya berkaitan dengan peningkatan tonus simpatis. Pasien biasanya mengalami takipnea, dan dyspnea sebagai tanda awal gangguan kardiovaskular. Tanda lain yang mungkin muncul adalah pucat, diaforesis, kulit dingin, atau mungkin kulit hangat kemerahan dan kering. Tekanan darah dapat normal, meningkat atau turun, dan nadi dapat takikardia, bradikardia, atau normal. Urine output biasanya berkurang. Dari pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai peningkatan laktat, peningkatan klorida. Pada analisa gas darah dapat ditemukan asidosis metabolik, alkalosis respiratorik atau gabungan dari keduanya.15

Resusitasi pada kondisi hipovolemik dibagi menjadi dua, yaitu periode primer dan periode sekunder. Periode primer memiliki tujuan resusitasi jantung paru dann otak. Tujuan nya adalah memberikan perfusi oksigen yang cukup ke koroner dan otak. Pada tahap ini ditekankan pada pemeliharaan jalan napas yang adekuat, pemberian ventilasi mekanik, mempertahankan mean arterial pressure >60 mmHg. Pada periode

(34)

organ, menjamin ketersediaan oksigen bagi semua sel yang aktif. Memberikan aliran darah dan perfusi ke semua organ dapat dicapai dengan menggunakan teknik ekspansi volume dan penggunaan obat-obatan vasoaktif. Semua hal-hal yang ingin dicapai diatas harus tercapai dalam enam jam. Dalam enam jam pertama sejak masuk ruumah sakit ada beberapa hal yang harus dicapai yaitu mempertahankan MAP>60 mmHg, mempertahankan CVP 8-12 mmHg, urine output >0,5cc/kg/jam, dan mempertahankan saturasi oksigen vena kava >70%.15

Pasien syok, selain pasien dengan gagal pompa ventrikel jantung kiri dengan edema paru kardiogenik, memiliki respon yang baik terhadap penggantian cairan intravaskuler. Jenis cairan yang digunakan untuk penggantian cairan dapat kristaloid ataupun koloid. Ringer laktat dan normal saline adalah jenis cairan yang paling sering digunakan untuk resusitasi cairan. Normal saline lebih hipertonus dari pada plasma dan meningkatkan kadar klorida dalam darah. Asidosis metabolik hiperkloremik sering terjadi dan biasanya berhubungan dengan pemberian normal saline. Asidosis iatrogenik 15

Koloid adalah cairan yang memiliki berat molekul yang besar sehingga tidak mudah keluar dari pembuluh darah. Contohnya adalah albumin, dekstran, dan hetastarch. Koloid dapat memiliki cairan dasar normal saline ataupun cairan lain dengan komposisi lebih menyerupai plasma darah seperti ringer laktat. Koloid memiliki beberapa keuntungan, seperti bertahan lebih lama di intravaskular, lebih jarang menyebabkan edema.15

2.4. Balanced Electrolyte Solution (BES)

Normal salin adalah larutan garam natrium klorida 0,9%, yang memiliki tonisitas sama dengan cairan tubuh sehingga sering disebut juga dengan isotonus normal salin.16

Balanced solution adalah cairan yang memiliki komposisi elektrolit yang mirip

dengan komposisi plasma darah sehingga disebut juga dengan balanced electrolyte

solution (BES). Normal salin telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk cairan

(35)

Saat ini telah dikembangkan cairan-cairan yang memiliki komposisi lebih menyerupai cairan tubuh, seperti ringer laktat, ringer asetat, dan lain-lain. Penggunaan normal salin dalam jumlah besar dapat menimbulkan asidosis hiperkloremik. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang morbiditas yang berkaitan dengan asidosis hiperkloremik.16

Kejadian asidosis hiperkloremik pernah diulas oleh British Consensus Guidelines in

Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical Patient. Dalam konsensus ini secara

jelas untuk menggunakan balanced solution daripada normal salin.

Tabel 2.2. Komposisi elektrolit cairan kristaloid Elektrolit Plasma Normal

Salin Ringer laktat Asering Ringerfundin Natrium 140 154 131 130 140 Kalium 5 0 5 4 4 Klorida 100 154 111 108,7 127 Kalsium 2,2 0 2 2,7 2,5 Magnesium 1 0 1 0 1 Bikarbonat 24 0 0 0 0 Laktat 1 0 29 0 0 Asetat 0 0 0 28 24 Glukonat 0 0 0 0 0 Maleat 0 0 0 0 5

Dari tabel 2.2. di atas, jelas bahwa narmal salin memiliki kandungan klorida yang paling banyak diantara cairan lainnya.

Asidosis hiperkloremik dapat berdampak terhadap beberapa organ tubuh, antara lain ginjal, saluran cerna, dan sistem pembekuan darah. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan coba, klorida terbukti memiliki efek meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan aktivitas rennin. Pada penelitian in vitro, BES terbukti memiliki efek samping yang lebih kecil terhadap

(36)

sistem pembekuan darah. Hal ini disebabkan karena hemodilusi kalsium yang lebih kecil pada kelompok BES. 16

Asidosis metabolik sering dihubungkan dengan hasil yang buruk. Pendekatan steward untuk analisa asam basa sudah luas digunakan. Berdasarkan pendekatan steward, ada tiga hal yang mempengaruhi asam basa, yaitu strong ion difference (SID), non volatile

weak acid (Atot) dan pCO2. 17

SID merupakan selisih dari kation dan anion kuat, yang diformulasikan sebagai: SID = Na+ + K+ + Mg2+ + Ca2+ - Cl- - laktat. SID memiliki nilai normal 38-40. Atot terdiri dari albumin, fosfat dan anion-anion lain yang tidak dapat diukur.

Berdasarkan Steward, asidosis metabolik disebabkan oleh penurunan SID atau peningkatan Atot, sedangkan asidosis respiratorik disebabkan oleh peningkatan pCO2.17

Ketika cairan yang memiliki SID = 0, dalam hal ini adalah normal saline, diberikan kepada pasien, maka akan terjadi perubahan biokimia dan perubahan fisiologi. Perubahan biokimia yang terjadi antara lain peningkatan serum klorida hingga 10mmol/L, peningkatan serum sodium hingga 1-2mmol/L, dan penurunan albumin hingga 20-25g/L. Base deficit akan meningkat sekitar 4-5mEq/L. Hal itu disebabkan oleh efek dilusi dari normal saline terhadap plasma darah.17

Efek perubahan fisiologi tubuh antaralain asidosis hiperkloremik berat (base deficit hingga 15mEq/L) dapat menyebabkan hipotensi. Selain itu, hiperkloremia juga menyebabkan peningkatan mediator pro inflamasi seperti pelepasan nitrik oksida (NO), interleukin 6. Pemilihan cairan intravena tidak hanya mempengaruhi status asam basa, tetapi juga mempengaruhi respons imun pasien.17,18

Pelepasan mediator-mediator pro inflamasi dapat memperberat reaksi imunologis dalam tubuh, sehingga memperparah perfusi oksigen ke dalam jaringan sehingga memperberat hipoksia.17-19

(37)

dengan menggunakan ringer laktat dan Balanced Electrolyte Solution (BES) yaitu Plasma-Lyte A®. Mahler, Et al membandingkan time to pH resolve, time to lower

blood sugar, dan time to resolve diabetic ketoacidosis antara normal saline dan ringer

laktat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kelompok ringer laktat tidak signifikan membutuhkan time to pH resolve yang lebih lama dibandingkan normal saline (p= 0,251), kelompok ringer laktat secara signifikan membutuhkan time to lower blood

sugar yang lebih lama dari pada normal saline (p=0,044), dan tidak ada perbedaan

signifikan dalam time to resolve diabetic ketoacidosis (p=0,758).20 Penelitian yang dilakukan Mahler, et al membuktikan bahwa resusitasi cairan pada ketoasidosis diabetikum dengan penggunaaan Balanced Electrolyte Solution (BES) yaitu Plasma-Lyte A® secara signifikan mengurangi kejadian hiperkloremia.3

2.5. Standard Base Excess (SBE) sebagai prediktor outcome resusitasi mikrosirkulasi

Mikrosirkulasi memegang peranan penting dalam transport oksigen ke jaringan. Dalam proses transport oksigen terdapat dua penanda utama, yaitu parameter

upstream dan parameter downstream. Parameter upstream adalah

parameter-parameter hemodinamik global dan faktor-faktor yang mempengaruhi transportasi oksigen agar mencapai tingkat seluler. Parameter upstream merupakan parameter yang mewakili makrosirkulasi, yang terdiri dari preload seperti nilai CVP, afterload, seperti MAP, kontraktilitas, denyut nadi, tekanan parsial oksigen (PaO2), kadar hemoglobin, dan curah jantung.

Parameter downstream adalah parameter-parameter yang berhubungan dengan mikrosirkulasi, yaitu perfusi oksigen jaringan seperti saturasi vena sentral, laktat, CO2 gap, base excess, dan pH.

Syarat untuk tercapainya perfusi mikrosirkulasi yang adekuat adalah makrosirkulasi yang baik. Diperlukan fungsi pompa jantung yang mencukupi dan pembawa oksigen yang baik, agar oksigen dapat mencapai ke jaringan dan digunakan oleh sel.

Oleh karena itu dalam goal directed therapy, parameter-parameter target yang umumnya digunakan adalah parameter-parameter makrosirkulasi seperti MAP, CVP, dan urine output.

(38)

Gambar 2.1. Peranan mikrosirkulasi dalam goal directed therapy21

Base excess (BE) adalah sejumlah asam atau basa yang harus ditambahkan ke dalam

sejumlah sample darah in vitro untuk meningkatkan pH darah menjadi 7,40 pada saat PCO2 40mmHg. BE menunjukan derajat keparahan asidosis atau alkalosis.5

Standard Base Excess (SBE) adalah nilai BE yang dikondisikan pada kondisi anemik,

dengan kadar hemoglobin 5 g/dL. SBE merupakan prediktor outcome resusitasi pada pasien asidosis metabolik. Semakin kadarnya mendekati normal, semakin baik

outcome pasien.5 Goal directed therapy: Oksigen demand Oksigen supply Parameter hemodinamik: - Preload (CVP) - Afterload (MAP, SVR) - Kontraktilitas - Nadi - Urine output Parameter hantaran oksigen: - PaO2 - Hemoglobin - Curah jantung Mikrosirkulasi

Parameter metabolisme seluler:

- SvO2 - Laktat - CO2 gap - Base excess - pH Parameter upstream : endpoint resusitasi Parameter downstream : penanda keefektifan resusitasi

(39)

Park, et al (2008) melakukan penelitian terhadap 31 pasien sakit kritis di ICU untuk mengetahui apakah SBE merupakan suatu alat diagnostik yang tepat untuk mengetahui adanya asidosis metabolik. Hasil dari penelitian tersebut adalah SBE merupakan suatu alat diagnostik yang paling baik dibandingkan strong ion difference, level albumin, anion gap, dan laktat.22

(40)

Kerangka Teori Ketoasidosis diabetikum Asidosis metabolik Hiperglikemia Ketosis Defisiensi insulin Hiperglikemia Diuretik osmotik

Gagal sirkulasi Gangguan elektrolit

Ketidakseimbangan suplai dan demand oksigen

Resusitasi cairan Koreksi gangguan elektrolit Kontrol gula darah Tatalaksana penyebab KAD Resusitasi cairan dengan normal saline Resusitasi cairan dengan Balanced electrolyte solution Pemberian Kalium Pemberian insulin

Pencetus KAD, jenis kelamin, usia, tipe DM, jumlah cairan resusitasi, kesadaran, MAP, CVP, GDS, keton, SBE, pH arteri, laktat, elektrolit, ureum, kreatinin, albumin, SGOT/ SGPT

(41)

Kerangka Konsep Ketoasidosis diabetikum: Resusitasi dengan NaCl 0,9% (kelompok NS) Resusitasi dengan BES (kelompok BES) - Jenis kelamin - Pencetus KAD - Tipe DM - Usia

- Jumlah cairan resusitasi - Kesadaran

- MAP - CVP - Gula darah - Keton

- Standart Base excess - pH arteri - Laktat - Elektrolit (Na, K, Cl,) - SID - Ureum - Kreatinin Albumin - SGOT - SGPT - Mortality rate Pemasangan CVC Koreksi :insulin, kalium, bikarbonat, kontrol infeksi Resusitasi cairan - Usia - Tipe DM - Pencetus KAD - Gagal ginjal on hemodialisa - Dekompensasio kordis - Trauma kepala dengan tanda edema serebri - Gagal napas yang

membutuhkan ventilator - Gangguan elektrolit berat - Gagal hati Keterangan : variabel independen : variabel perancu : variabel dependen : hubungan Defisiensi insulin Hiperglikemia Diuretik osmotik Gagal sirkulasi

(42)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah uji klinis terbuka randomisasi.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di IGD RSCM pada bulan April sampai Oktober 2013.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi target : penderita ketoasidosis diabetikum berusia 18-65 tahun.

Populasi terjangkau : penderita ketoasidosis diabetik berusia 18-65 tahun di RSCM pada bulan April sampai Oktober 2013.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi adalah

 Pasien ketoasidosis diabetikum usia 18-65 tahun.  Bersedia diikutsertakan dalam penelitian

 Gula darah sewaktu saat masuk rumah sakit >250mg/dL  Keton darah positif

 pH darah arteri kurang dari 7,35.

Kriteria eksklusi adalah

 Gagal napas yang membutuhkan ventilasi mekanik  Gagal ginjal stadium 5 on HD

 Dekompensasio kordis  Natrium >158

 Natrium < 120

 Infark miokard akut dengan tanda-tanda dekompensasio kordis  Cedera kepala dengan tanda-tanda edema serebri

(43)

3.5. Besar Sampel

Masalah pada penelitian ini diklasifikasikan pada analitik komparatif numerik tidak berpasangan. Kesalahan tipe I sebesar 5%, hipotesis satu arah, kesalahan tipe II sebesar 20%.

n1 = n2 = 2 (Zα+Zβ)2s2 (x1-x2)2

Zα = kesalahan tipe I, ditetapkan 5% hipotesis satu arah, maka nilainya 1,64 Zβ = kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, maka nilainya 0,84

S = simpangan baku berdasarkan Park5, maka nilainya 5,4

(x1-x2) = perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna adalah 5

Maka n1=n2 = 14,3 = 15

3.6. Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian merupakan semua pasien KAD di IGD RSCM periode April sampai Oktober 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak diekslusi. Jika selama penelitian subjek mengalami salah satu atau lebih dari satu kriteria eksklusi, maka subjek akan dieksklusi dari penelitian.

3.7. Alokasi Sampel

Masing-masing subyek penelitian dimasukan ke dalam kelompok perlakuan secara acak berdasarkan urutan pengambilan undian.

3.8. Cara Kerja Penelitian

Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi mendapat perlakuan terapi sesuai dengan urutan random, terapi diberikan secara terbuka dari farmasi. Subjek penelitian dilakukan pemasangan akses intravena perifer dan sentral, NGT, kateter urin, pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap, urinalisis, gula darah sewaktu, keton darah, laktat, AGD arteri dan mixed vein, pT/aPTT, fibrinogen, d-Dimer, albumin, ureum dan kreatinin.

(44)

Gula darah sewaktu (GDS) dilakukan setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke 12, ke 24, ke 36 dan jam ke 48.

AGD arteri, AGD mixed vein, laktat dan elektrolit dilakukan setiap dua jam selama 6 jam pertama, jam ke 12, ke 24, ke 36 dan jam ke 48.

Keton darah diperiksa setiap enam jam selama 48 jam. Ureum dan kreatinin diperiksa setiap 24 jam selama 48 jam.

Corrected natrium dihitung dengan cara : Natrium terukur + (GDS-100) x 0,0166

Subjek diberikan antibiotik yang adekuat bila terdapat infeksi, pemberian suplementasi oksigen bila pO2 <80 mmgHg, pemberian heparin bila terjadi DIC atau hiperosmoler berat (>380mOsm/l)

Pasien mendapat terapi cairan, koreksi insulin, kalium dan bikarbonat sesuai dengan tabel 3.1.

Pasien difollow up selama 28 hari kedepan untuk menilai fungsi ginjal.

Karakteristik subjek penelitian, tingkat kesadaran, mean arterial pressure(MAP), CVP, gula darah, kadar corrected natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, pH arteri, time to resolved pH hingga mencapai 7,35, time to resolved anion gap hingga mencapai 11, time to resolved SID hingga mencapai 40, saturasi mixed vein, anion gap, SID, laktat, keton, ureum, kreatinin dan mortality rate akan dilaporan secara deskriptif pada kedua kelompok sedangkan standart base excess akan dibandingkan antara kedua kelompok.

(45)

Tabel 3.1. Protokol pemberian cairan, insulin, kalium dan bikarbonat.

Jam ke Insulin Koreksi

Kalium Koreksi bikarbonat 0 1 2 3 4 5 6 dan seterusnya tergantung kebutuhan 1000cc dalam ½ jam, selanjutnya ½ kolf dalam 1 jam

1000 cc

500 cc 1000 cc

250 cc 250 cc

Pada jam ke-2: Bolus 180mU/kgBB dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/kgBB/jam dalam cairan resusitasi

Bila GDS<200, kecepatan dikurangi menjadi 45mU/kgBB/jam. Bila GDS stabil (200-300mg%) selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 U perjam, dan sliding scale tiap 6 jam.

Dosis insulin subkutan: <200 mg% 200-250 5U 250-300 10U 300-350 15U >350 20U 50 meq/6 jam Bila kadar K <3 : 75meq/6jam 3-4,5 : 50 meq/6jam 4,5-6 : 25 meq/6jam >6 : tidak diberikan Bila pH: <7 : 100 meq 7-7,1 : 50 meq >7,1 : tidak diberikan

Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose 5%

Setelah sliding tiap 6 jam dapat dihitung kebutuhan insulin per hari

Bila sudah sadar dapat dberikan Kalium oral selama semingu

kenaikan pH akan diikutin penurunan K, oleh karena itu pemberian bikarbonat disertai dengan pemberian kalium.

(46)

3.9. Rencana Analisis

Analisis data menggunakan program SPSS 16.0 dengan menggunakan uji t tidak berpasangan jika sebaran data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney bila sebaran data tidak normal. Uji normalitas data menggunakan uji kolmogorov-smirnov.

3.10. Etika

Data diperoleh dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi. Identitas subyek penelitian akan disamarkan, dan dirahasiakan. Data akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dengan tetap menjaga kerahasiaan subyek penelitian. Sebelum data diambil dari subyek penelitian, subyek akan terlebih dulu dijelaskan mengenai perlakuan yang akan diterima, prosedur penelitian, risiko yang mungkin dialami subyek selama penelitian, manfaat penelitian, prosedur penyelamatan bila terjadi kegawatdaruratan, dan menjamin kerahasiaan identitas subyek. Pengambilan data penelitian berdasarkan sukarela dan persetujuan secara tertulis dari subyek penelitian.

(47)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4. 1. Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSCM periode Mei-Oktober 2013. Selama periode observasi didapatkan total 30 pasien dengan alokasi subyek kelompok kontrol 15 subyek dan kelompok perlakuan 15 subyek. Dari 30 subyek penelitian terdapat 11 (36,7 %) subyek laki-laki , dan 19 (63,3%) subyek

perempuan. Terdapat tiga subyek dengan diabetes mellitus (DM) tipe 1 (10%), 25 (83,3%) subyek dengan DM tipe 2, dua (6,7%) subyek dengan DM tipe lain. Terdapat 20 (67%) subyek dengan pencetus infeksi, dua (6,7%) subyek dengan pencetus new onset DM, tiga (10%) subyek dengan pencetus penghentian terapi DM, dan lima (16,7%) subyek dengan pencetus lain-lain.

Tabel 4.1. Karakteristik subyek berdasarkan kelompok perlakuan

Normal Saline BES p

Laki-laki 5 (33.33%) 6 (40%) 0.705+ Perempuan 10 (66.67 %) 9 (60%) DM tipe 1 2 (13.33%) 1 (6.67%) 1.00++ DM tipe 2 12 (80%) 13 (86.66%) DM tipe lain 1 (6.67%) 1 (6.67%) Infeksi 11 (73.33%) 9 (60%) 0.99++ New onset DM 1 (6.67%) 1 (6.67%) Penghentian terapi 1 (6.67%) 2 (13.33%) Lain-lain 2 (13.33%) 3 (20%) Usia ** 56 (25, 65) 57 (23, 65) 0.967****

** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks)

+

uji chi square

++

uji Kolmogorov Smirnov **** uji Mann Whitney

(48)

4.2. Tingkat Kesadaran Subyek Selama 48 jam pertama

Terdapat 28 subyek penelitian compos mentis selama 48 jam pertama, satu subyek yang meninggal di 48 jam pertama, satu subyek mengalami henti napas henti jantung dan mengalami ROSC dalam 48 jam pertama.

4.3. Rerata Mean Arterial Pressure (MAP)

Rerata MAP memiliki sebaran normal pada setiap jam yang di catat, kecuali rereata MAP di jam pertama.

Tabel 4.2. Rerata MAP berdasarkan kelompok perlakuan dalam satuan mmHg.

Normal Saline BES p (2 tailed)

Jam 0 84.13 ± 9.576* 83.31 ± 17.369* 0.874*** Jam 1 86 (70,113)** 87 ( 62, 118 )** 0.884**** Jam 2 87.31 ± 9.804* 90.16 ± 11.057* 0.462*** Jam 3 86.6 ±9.917* 88.2 ± 13.048* 0.708*** Jam 4 87.36 ±12.808* 88.71 ± 12.253* 0.769*** Jam 5 86.18 ± 16.204* 86.04 ± 10.962* 0.979*** Jam 6 83.6 ± 12.617* 86.29 ± 14.361* 0.590*** Jam 12 85.22 ± 14.013* 87.04 ± 14.632* 0.730*** Jam 18 82.62 ± 15.412* 86.98 ± 11.548* 0.389*** Jam ke 24 78.87 ± 10.996* 87.51± 11.935* 0.048*** Jam ke 30 81.58 ±10.354* 84.76 ± 11.058* 0.423*** Jam ke 36 80.82 ± 11.06* 86.78 ± 12.104* 0.17*** Jam ke 48 92.29 ± 14.069* 82.91 ± 10.293* 0.891***

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance.

* sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD

** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan

(49)

4.4. Rerata Central Venous Pressure (CVP)

Rerata CVP memiliki sebaran data normal pada setiap jam yang dicatat, kecuali rerata CVP pada jam ke 24 dan jam ke 36.

Tabel 4.3. Rerata CVP berdasarkan kelompok perlakuan dalam satuan cmH2O. Normal Saline BES p ( 2 tailed) Jam ke 6 5.47 ± 2.574* 7.8 ± 3.479* 0.046*** Jam ke 12 6.6 ± 1.993* 7.67 ± 3.069* 0.270*** Jam ke 18 6.53 ± 2.438* 8.23 ± 3.615* 0.142*** Jam ke 24 6.2 ± 3.189* 8.3 ± 4.288* 0.139*** Jam ke 36 8.23 (4, 12)** 8.47 (4,13)** 0.917**** Jam ke 48 8.73 (3,12)** 9.17 (4, 12)** 0.818****

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford

significance.

* sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD

** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan

**** uji Mann Whitney

4.5. Rerata Gula Darah Sewaktu (GDS)

Rerata GDS memiliki sebaran data yang tidak normal pada setiap jam yang dicatat, kecuali rerata GDS di jam ke 18 dan jam ke 24.

Tabel 4.4. Rerata GDS berdasarkan kelompok perlakuan dalam satuan g/dL.

Nomal saline BES p ( 2 tailed)

Jam ke 0 508 (271, 842)** 467 (325, 1043)** 0.561**** Jam ke 1 390 (213, 592)** 394 (290, 900)** 0.693**** Jam ke 2 295 (135, 594)** 353 (212, 850)** 0.281**** Jam ke 3 252 (93, 424)** 290 (178, 850)** 0.221**** Jam ke 4 237 (83, 378)** 303 (89, 850)** 0.146**** Jam ke 5 205 (108, 376)** 203 (133, 450)** 0.206**** Jam ke 6 204 (59, 616)** 210 (59, 495)** 0.967****

(50)

Jam ke 12 176 (74, 293)** 200 ( 64, 408)** 0.407**** Jam ke 18 171.87 ± 48.131* 200.87 ± 83.905* 0.258*** Jam ke 24 190.67 ± 70.975* 214.2 ± 83.561* 0.413*** Jam ke 36 180 (94, 515)** 200 (110, 361)** 0.468**** Jam ke 48 180 (98, 636)** 187 (86, 564)** 0.709****

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford

significance.

* sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD

** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan

**** uji Mann Whitney

4.6. Rerata Keton

Semuar rerata keton memiliki sebaran yang tidak normal pada setiap jam yang dicatat kecuali rerata keton di jam ke 0.

Tabel 4.5. Rerata keton berdasarkan kelompok perlakuan.

Normal Saline BES p (2 tailed)

Jam ke 0 3.266 ± 1.748* 2.953 ± 1.692* 0.622 *** Jam ke 6 0.3 (0, 4.1)** 0.8 (0, 4.6)** 0.852**** Jam ke 12 0.2 (0, 3.9)** 0.4 (0, 2)** 0.413**** Jam ke 18 0.2 (0, 3.7)** 0.6 (0, 4.6)** 0.374**** Jam ke 24 0 (0, 2.9)** 0.2 (0, 2.6)** 0.379**** Jam ke 30 0 ( 0, 1.4)** 0.2 (0, 4.1)** 0.129**** Jam ke 36 0 (0, 0.5)** 0.1 (0, 4.3)** 0.113**** Jam ke 42 0 ( 0, 0.5)** 0 (0, 3.5)** 0.249**** Jam ke 48 0 (0, 3.3 )** 0 (0, 3)** 0.878****

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance.

* sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD

** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan

(51)

4.7. Rerata Standart Base Excess (SBE)

Semua data memiliki sebaran normal.

Tabel 4.6. Rerata SBE berdasarkan kelompok perlakuan.

Normal saline BES p(2-tailed) p(1-tailed) Jam ke 0 -15.40 ± 4.57* -15.71± 5.83* 0.708*** 0.354 Jam ke 2 -14.58±5.33* -11.54 ± 6.56* 0.257*** 0.128 Jam ke 4 -12.15 ± 5.80* -10.5 ± 5.97* 0.302*** 0,151 Jam ke 6 -10.28 ± 4.18* -9.61 ± 5.39* 0.764*** 0.382 Jam ke 12 -8.42 ± 5.06* -7.5 ± 6.28* 0.596*** 0.298 Jam ke 18 -9.68 ± 5.64* -4.88 ± 5.69* 0.192*** 0.096 Jam ke 24 -8.71 ± 5.35* -3.99 ± 4.27* 0.047*** 0.023 Jam ke 36 -7.55 ± 4.71* -5.70 ± 3.99* 0.133*** 0.066 Jam ke 48 -7.01 ± 5.46* -4.06 ± 4.11* 0.019*** 0.009

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford

significance.

* sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD

** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan

**** uji Mann Whitney

4.8. Mortality Rate

Dari 30 subyek penelitian, 25 subyek hidup sampai 28 hari setelah perlakuan, 4 subyek meninggal di atas 48 jam, dan 1 subyek meninggal dalam waktu 48 jam perlakuan.

Gambar

Gambar  2.1. Peranan mikrosirkulasi dalam goal directed therapy............................23
Grafik 5.1. Rerata SID pada kedua kelompok perlakuan.............................................45  Grafik 5.2
Tabel 1.1. Definisi operasional  N
Tabel 2.1. Panduan sliding scale insulin 13  Gula darah  mg/dl  RI  (Unit, subkutan)  &lt;200  0  200–250  5  250–300  10  300–350  15  &gt;350  20
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Ra zny U , et al, 2011, menunjukkan bahwa apa bila ter jadi over ekspresi DDAH-1 maka akan meningkatkan kadar ADMA ( suatu analog arginin yang berperan

Untuk penilaian petanda hemolisis, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar elektrolit (natrium, kalium dan klorida) antara kedua cara tersebut, tetapi kadar LDH di sampel

Distribusi subjek dan percontoh dari masing-masing bidang yang diambil dari 2005 sampai dengan 2011 adalah : bidang A subjek penelitian 2 buah skripsi dan yang diambil

Kadar HDL darah sapi perah laktasi dengan penambahan 30 g/ekor/hari kolin klorida 60% corn-cob cenderung rendah dalam batas normal yang menunjukkan bahwa prekursor

Penelitian ini menggunakan tiga kelompok sampel yang terdiri dari 12 orang pada tiap kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol dengan normal saline 0,9%,

Keberhasilan Resusitasi Cairan : Keberhasilan resusitasi cairan pada pasien KAD akan dinilai dengan rerata nilai skor MSOFA pada kelompok EGDT yang lebih rendah pada jam

minyak bumi serta perengkahan biomassa (Green et al., 2006). Model ini akan digunakan pada penelitian kali ini untuk diterapkan pada optimalisasi perengkahan

Ion-ion yang dapat mengganggu dalam penetapan kadar klorida metode argentometri atau pengendapan adalah: Bahan-bahan yang terdapat dalam air minum dalam jumlah yang normal