• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Kebutuhan akan air merupakan kebutuhan dasar manusia, untuk itu negara menjamin terpenuhinya kebutuhan air. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi kebijakan pengelolaan air berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945, undang sumber daya air yaitu UU RI Nomor 7 Tahun 2004 dan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu pengelolaan air haruslah memperhatikan air sebagai fungsi sosial dan ekonomi serta ekologi.

2.1.1 Perumusan Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Kebijakan sebagai obat seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnosa masalah atau penyakitnya keliru (Dunn, 2003). Kebijakan merupakan keputusan dari suatu pemerintah dalam mengatur masalah publik dengan harapan kebijakan tersebut menjadi suatu solusi dari permasalahan. Namun seringkali kebijakan yang ada masih dipandang belum memadai sehingga diperlukan kebijakan lain atau perbaikan kebijakan. Jadi yang termasuk kebijakan publik baik mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, keputusan menteri, peraturan menteri sampai dengan perda. Adapun yang dimaksud dengan perda menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 ayat 10 dinyatakan bahwa peraturan daerah selanjutnya disebut dengan perda adalah peraturan daerah provinsi dan atau peraturan daerah kabupaten/ kota.

(2)

Kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama. Dalam Teori Pareto, kebijakan publik adalah faktor 20% yang menyebabkan terjadinya yang 80%. Kesepakatan awal pada teori ini bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan dan kemunduran suatu bangsa (Nugroho, 2002). Negara yang maju dan kuat seperti Jepang dan Amerika dikarenakan bangunan negara tersebut ditata dengan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyatnya serta kebijakan publik yang sudah mengantisipasi ke masa depan. Kesalahan dalam kebijakan publik Indonesia dalam mengantisipasi krisis moneter tahun 1997 salah satu bukti nyata yang mengakibatkan keterpurukan Indonesia yang berkepanjangan setelah mengalami masa yang gilang gemilang sebelumnya. Indonesia pernah memiliki konsep pembangunan jangka panjang, namun kebijakan makro jangka panjang 25 tahunan tersebut tidak diisi dengan kebijakan mikro yang sesuai.

2.1.2 Analisis Kebijakan

Pengertian analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003) adalah salah satu disiplin ilmu sosial terapan, yang menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan, yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu, untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Menurut Nagel dalam Dunn (2003) analisis kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka hubungan antara berbagai alternatif kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan, manakala di antara berbagai alternatif kebijakan, keputusan, dan cara-cara lainnya yang terbaik untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.

Analisis kebijakan dapat berupa: (i) Analisis kebijakan prospektif, yang memproduksi dan mentransformasikan informasi sebelum aksi kebijakan dilakukan; dan (ii) Analisis kebijakan retrospektif, yang memproduksi dan mentransformasikan informasi sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan dengan pengertian yang paling umum adalah dari hanya berpikir keras dan cermat hingga melalui langkah rumit dengan data dan model yang kompleks untuk menghasilkan solusi sebagai informasi. Mengkomunikasikan informasi ini juga menjadi bagian dari analisis kebijakan.

(3)

Selanjutnya Weimer & Vining (1999) dalam Kartodiharjo (2009) menjelaskan mengenai lingkup kebijakan, yang terdiri dari riset kebijakan dan analisis kebijakan. Riset Kebijakan merupakan prediksi dampak perubahan beberapa variabel akibat perubahan kebijakan, untuk aktor dalam arena kebijakan yang relevan melalui metodologi yang formal.

2.1.3 Kebijakan di Era Otonomi Daerah

Pada era otonomi daerah terdapat beberapa urusan yang dilimpahkan ke daerah dan ada menjadi urusan pemerintah pusat. Kewenangan tersebut dibagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, kewenangan pemerintah provinsi dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Menurut UU No.32 Tahun 2004, Bab III pasal 10 ayat (3): urusan pemerintah yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut UU No 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat (5). Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provisi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bab IV pasal 13 ayat (1 dan 2) dinyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Ayat 2: Tatacara pengelolaan bersama urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Kebijakan tentang sumber daya air telah diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005, tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

(4)

294/PRT/M/2005, tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 pasal 26 (ayat 1) dinyatakan bahwa: pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Ayat 2: pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakakat secara adil.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Dari segi kebijakan pemerintah pusat dirasakan cukup namun dalam implementasinya masih diperlukan kebijakan teknis yang lebih rendah misalnya tentang perda air minum. DKI Jakarta telah memiliki Peraturan Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2008, tentang Persyaratan, Pemantauan, dan Pengawasan Tekanan Air Minum di Pelanggan.

Pemerintah daerah masih ada yang belum memiliki Perda tentang Air Minum, misalnya Kabupaten Bogor dan Tangerang belum memiliki Perda tentang Air Minum. Oleh karena itu diperlukan suatu model kebijakan daerah/perda tentang air minum. Selain itu masalah pengelolaan air bersih masih diperlukan suatu kebijakan lintas wilayah dikarenakan sumber air baku untuk air bersih bersumber dari beberapa sungai yang melintasi berbagai wilayah provinsi dan daerah kabupaten/ kota. Kebijakan lintas wilayah sangat diperlukan agar terdapat keterpaduan arah dan kebijakan serta mencegah terjadinya konflik air sebagaimana telah terjadi di Negara Timur Tengah.

(5)

2.1.4 Setting Agenda

Teori tentang agenda setting berkembang ketika Mc Combs dan Shaw melakukan investigasi atau penelitian tentang pemilihan presiden pada tahun 1968, 1972 dan 1976. Menurut Ismujiarso, teori agenda setting berkembang pada dekade 60-an, ketika belum ada internet, sehingga Ismujiarso mempertanyakan apakah kondisi tersebut masih relevan mengingat munculnya teknik-teknik dan media-media baru komunikasi dewasa ini, benarkah masih serelevan itu?

Menurut Spring (2002) agenda setting as defined in “mass media, mass culture” is the process whereby the mass media determine what we think and worry about. Menurut Ismujiarso tentang teori agenda setting, ide dasarnya adalah media (komunikasi) masa lebih dari sekedar pemberi informasi dan opini. Namun, teori ini percaya bahwa media sangat berhasil mendorong audiensnya untuk menentukan apa yang perlu mereka pikirkan. Agenda setting menggambarkan betapa powerfull-nya (pengaruh) media, terutama dalam kemampuannya menunjukkan kepada kita, ini lho isu-isu yang penting. Teori ini mengandung asumsi bahwa media tidak semata-mata mengabarkan informasi dan opini, melainkan lebih daripada itu, juga menyeleksi dan menentukan informasi maupun opini tersebut.

Pendekatan setting agenda, yaitu yang membahas bagaimana persoalan dan agenda dibentuk dalam setting institusional, bagaimana partai, kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan saling berinteraksi untuk menentukan apa-apa yang dianggap isu politik dan apa-apa yang bukan isu politik. Proses politik mungkin tak terlalu terbuka untuk memasukan semua problem kedalam perhatian politik. Pada pembahasan berikutnya, akan membahas konstribusi penting untuk analisis agenda oleh para teoritis yang berpendapat bahwa keputusan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan (non-decission), yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalang-halangi masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem kedalam agenda utama. Pendapat ini juga menyatakan bahwa jika kita ingin memahami problem didefinisikan dan agenda ditetapkan kita harus masuk lebih jauh kedalam relasi kekuasaan, kedalam cara nilai dan keyakinan orang-orang dibentuk oleh

(6)

kekuatan-kekuatan yang tidak bisa diamati secara empiric atau behavioral (Kartodiharjo, 2009).

Kekuasaan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan, yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalangi masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem itu ke dalam agenda utama. Jika kita ingin memahami bagaimana problem itu didefinisikan dan agenda itu ditetapkan, maka kita harus masuk ke dalam relasi kekuasaan dan ke dalam cara nilai atau diamati secara empiris atau behavioral. Selanjutnya yaitu pendekatan makro yang lebih sintesis dengan menfokuskan pada pendekatan-pendekatan mengajukan penjelasan yang makro.

Kita dapat sepakat pada isunya tapi tidak sepakat pada apa yang sesungguhnya menjadi persoalan dan karena itu kita juga bisa berbeda pendapat soal kebijakan yang harus diambil. Fakta adalah sesuatu yang tidak berbicara sendiri, namun perlu penafsiran. Sebuah problem harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Sebuah problem harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Problem berkaitan dengan persepsi, dan persepsi berkaitan dengan konstruksi. Karakteristik utama dari problem kebijakan, yang berbeda dengan jenis lain semisal matematika atau fisika adalah problem-problem itu sulit didefinisikan dengan baik. Sebuah definisi suatu problem adalah bagian dari problem itu sendiri. Kesulitan dengan problem kebijakan ini diperparah oleh kompleksitas dan definisinya yang kurang jelas (ill-defined) yang pada akhirnya mengakibatkan ill-structured.

Pada kebijakan publik yang bersifat otonomi daerah, umumnya sebelumnya dilakukan focus grup discussion dan kajian akademis terlebih dahulu. Mengingat pada kebijakan publik juga perlu memperhatikan cakupan daerah lain serta melibatkan beberapa daerah sekitarnya. Terlebih lagi apabila kebijakan publik yang berlaku setelah otonomi daerah tersebut merupakan kebijakan lintas wilayah dan terdiri dari beberapa daerah otonom dan juga melintasi antar propinsi, maka diperlukan suatu kajian yang mendalam baik tentang kebijakan yang ada di tingkat pusat maupun daerah masing-masing. Kajian tersebut dengan melakukan

(7)

analisis konten sehingga dapat dievaluasi kebijakan mana yang mendukung otda dan kebijakan mana yang tidak mendukung otda serta kebijakan mana yang tumpang-tindih. Agenda-setting atau penetapan atau pembentukan agenda pernah dilakukan oleh Mayer (1991), “Gone yesterday, here today,” melakukan studi kasus kebijakan konsumen dengan mengkaji peran isu dalam pembentukan agenda (agenda-setting) berdasarkan dua model: satu arah (unidirectional) (media mempengaruhi media agenda konsumen yang dibuat oleh Pemerintah Amerika dan model banyak arah (multidirectional) (agenda kebijakan pemerintah mempengaruhi liputan media dan opini publik). Adapun sebagian dari kesimpulannya seperti yang tertera di bawah ini.

“Jika dilihat bersama-sama, bukti-bukti yang tersedia pada periode 1960-1987 menunjukkan bahwa isu konsumen pertama-tama diangkat ke agenda kebijakan, mungkin karena perhatian personal dari presiden dan anggota konggres. Kemudian, setelah perhatian pemerintah federal terhadap problem konsumen dilegitimasi oleh tindakan eksekutif dan legislatif, muncullah pola satu arah (unideirectional) tersebut”.

Pendekatan opini publik untuk penentuan agenda (agenda setting) bisa dikatakan telah dimulai sejak terbitnya karya Malcolm McCombs dan Donald Shaw pada tahun 1972. Mereka mengemukakan hipotesis bahwa meskipun peran media dalam mempengaruhi arah atau intensitas sikap masih diragukan, tetapi ‘media masa menentukan agenda untuk setiap kampanye politik, dan mempengaruhi sikap terhadap isu-isu politik” (McCombs dan Shaw, 1972:1977). Rogers dan Dearing (1987) membedakan tiga jenis agenda: media, publik, dan kebijakan. Riset mereka menunjukkan bahwa, berbeda dengan model McCombs dan Shaw, penetapan agenda lebih merupakan proses. Media masa memang mempengaruhi agenda publik, seperti diyakini McCombs dan Shaw, namun agenda publik juga mempengaruhi agenda kebijakan, termasuk juga agenda media. Akan tetapi, pada beberapa isu, agenda kebijakan memberikan dampak besar pada agenda media. Adapun model penetapan agenda seting dapat dilihat pada Gambar 3.

(8)

Gambar 1. Model penetapan agenda menurut Rogres dan Dearing (diadaptasi dari McQuail dan Windhl, 1993)

2.2 Pengelolaan Sumber daya Air

Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, pemantauan, mengevaluasi penyelenggaraaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pola pengeloaaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makluk hidup yang akan datang (UU Nomor 7 Tahun 2004).

Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras (UU Nomor 7 2004, pasal 2 sampai pasal 5).

Pengalaman personal dan komunikasi antar personal 

Agenda media  Agenda publik Agenda kebijakan  

(9)

Pengertian sumber daya air menurut UU Nomor 7 Tahun 2004 adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah.

2.2.1 Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber daya Air

Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Hal ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air.

Permasalahan air adalah ketidakseimbangan antara permintaan atau kebutuhan dan ketersediaan, serta kualitas air yang ada semakin menurun akibat pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area), tingginya erosi dan ancaman banjir. Telah terjadi krisis air yang melanda beberapa negara di dunia termasuk Indonesia.

Sejak tahun 1970-an degradasi SDA yang berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degrasi SDA tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan SDA. Pendekatan menyeluruh pengelolaan SDA secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait.

(10)

Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya, perencanaan pengelolaan SDA lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun, sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu melalui rencana pengelolaan SDA terpadu, yang antara lain dimulai dari DAS prioritas. Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti: (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini, (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS, dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air.

Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi SDA yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan SDA secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan SDA sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang dmulai dari daerah hulu sampai hilir.

Pengelolaan SDA ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan SDA termasuk DAS, dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat di SDA untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah. Dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan

(11)

keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 2. Hubungan biofisik antara bagian hulu dan hilir DAS (Asdak, 2010)

Dalam menjabarkan model pengelolaan air maka setiap unit SDA termasuk DAS, secara substansi dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan SDA merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem pengelolaan air.

DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman.

(12)

Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, sistem pengelolaan DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.

Pengkajian permasalahan pengelolaan SDA dapat dilakukan dengan mengkaji komponen-komponen SDA dan menelusuri hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga kegiatan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan SDA dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Bahkan terdapat sungai yang hulunya berada di wilayah provinsi a dan melewati provinsi b, padahal hulunya sampai kepada provinsi c atau lintas wilayah provinsi. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.

Menurut Asdak (2010), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut: 1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan

lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.

2. Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa

(13)

negative ekternalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi: (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).

3. Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumber daya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumber daya air dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.

Agar proses terpeliharanya sumber daya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan.

Selama ini metodologi perencanaan pengelolaan DAS kurang memperhatikan aspek tata ruang dan kurang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bertujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan; (a). terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, (b).terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan SD alam & buatan dengan mempehatikan SDM, (c). terwujudnya perlindungan fungsi ruang & pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Untuk itu perencanaan pengelolaan SDA harus memperhatikan

(14)

kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri dan kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan eksploitasi huatan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS dan menyebabkan berkurangnya kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau.

Kurang tepatnya perencanaan tata ruang dapat menimbulkan adanya degradasi daerah aliran sungai yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi lahan dan air tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang terkait dengan sumber daya air pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait tata ruang termasuk tata ruang air untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan sumber daya air secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework).

Keberadaan daerah aliran sungai secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan dan Undang-undang Nomor 7 tahun 2004. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970, daerah aliran sungai dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan

(15)

dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai.

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundang-undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS.

Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat ± 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan ± 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999).

(16)

Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang melanda Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan ekologi yang melanda Indonesia di tahun 2002 diawali oleh banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada awal Februari 2002. Dalam peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasan hutan di daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian harta dan benda, melainkan juga nyawa.

Hubungan fungsional di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah) meningkatkan nilai nisbah sebesar 0,007802. Beberapa faktor penyebab korelasi positif ini diantaranya adalah belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan, belum tepatnya perencanaan program/proyek sehingga alokasi dana yang ada belum tepat sasaran dalam pembangunan kehutanan. Analisa trend menunjukkan bahwa pada kurun waktu 5 tahun (1994-1998) alokasi APBN menurun jika dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun sebelumnya (1989-1993). Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk rehabilitasi hutan dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperoleh dalam jangka pendek sebagaimana bidang lainnya.

Kenaikan dana reboisasi Provinsi DKI Jakarta sebesar 1 unit (juta rupiah) akan menurunkan nisbah sebesar 0,003075. Keberadaan dana reboisasi diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan khususnya untuk kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis sebagai akibat penebangan kayu hutan. Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan akan mengurangi limpasan langsung dipermukaan yang akhirnya akan mengurangi nilai nisbah (Pasaribu, 1999).

Kenaikan alokasi APBN sektor pertanian Propinsi DKI Jakarta setiap 1 unit (juta rupiah) akan menaikkan nilai nisbah sebesar 0,001013. Hal ini dapat dipahami karena investasi untuk kegiatan peningkatan produksi tanaman pangan akan meningkatkan kebutuhan akan debit air irigasi sebagai pendukung. Trend

(17)

menunjukkan alokasi APBN untuk sektor pertanian untuk peningkatan produksi mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989 hingga 1998, meskipun alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun nilainya masih dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air.

Padahal hutan mempunyai peranan yang penting sebagai penyangga sistem DAS karena keberadaannya sebagai pengatur tata guna air, sektor sumberdaya air berperan dalam pendistribusian air melalui pembuatan sistim irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan seharusnya diiringi dengan pemilihan tipe irigasi dan drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik aliran langsung di permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi dengan baik dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambat terbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan pendangkalan sungai.

Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi keadaan tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di permukaan. Budidaya di lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang untuk konservasi air. Selain daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan persepsi tentang perlunya reorientasi sistem produksi pertanian nasional dari paddy field oriented menjadi upland agriculture development oriented melalui penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikan dalam menopang produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan lahan kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer dapat dikembangkan.

Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumber daya yang mengalir (flowing resources), dan pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Oleh karena itu diperlukan perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.

(18)

Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya, output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir, proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa kedepan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’ atau melalui payment environmet service (PES).

Kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian dan perkebunan cenderung memperburuk kondisi DAS, disebabkan beberapa kegiatan-kegiatan pertanian dan perkebunan menambah pembukaan lahan. Kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor lain.

Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1995) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through asingle outlet”. Menurut IFPRI (2002) “A watershed is a geographic area that drains to a common point,

(19)

which makes it an attractive unit for technical efforts toconserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for cropproduction, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Definisi di atas, memperlihatkan bahwa DAS merupakan ekosistem, dengan unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminim mungkin agar distribusi air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Pemahaman akan konsep daur hidrologi (Gambar 5) sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada konsep daur hidrologi air menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.

(20)

Gambar 3. Daur hidrologi (Asdak, 2010)

Dalam mempelajari ekosistem air, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir (Asdak 2010). DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. 2.2.2 Definisi Air Baku dan Air Bersih.

Menurut Peraturan Menteri PU Nomor 18/PRT/M/2007 Pasal 1 ayat (1) air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutanya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Pasal

(21)

1 ayat (2) air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Jadi istilah air minum adalah air minum rumah tangga dan yang langsung dapat diminum.

Air bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/MENKES/IV/2010).

Sistem penyediaan air minum (SPAM) adalah suatu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non-fisik dari sarana dan prasarana air minum. Badan Pendukung Pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut BPP SPAM adalah badan non struktural yang dibentuk oleh, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri, serta bertugas mendukung dan memberikan bantuan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. (Peraturan Menteri PU Nomor 18/PRT/M/2007).

Dalam penyelenggaraan SPAM diperlukan suatu kebijakan yang bersifat strategis dan berskala nasional. Kebijakan dan Stategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM), merupakan pedoman untuk pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air minum, baik bagi pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM).

Penyelenggaraan pengembangan SPAM dilaksanakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi baik air limbah maupun persampahan sejak dari penyiapan rencana induk pengembangan SPAM sampai dengan operasi dan pemeliharaan sebagai salah satu upaya perlindungan dan

(22)

pelestarian air. Keterpaduan pengembangan dilaksanakan sekurang-kurangnya pada tahap perencanaan. Keterpaduan pada tahap perencanaan paling tidak mempertimbangkan: (a) untuk daerah dengan kualitas air tanah dangkal yang baik serta tidak terdapat pelayanan SPAM dengan jaringan perpipaan, maka pengelolaan sanitasi dilakukan dengan sistem sanitasi terpusat, (b) untuk permukiman dengan kepadatan 300 orang/Ha atau lebih, di daerah dengan daya dukung lingkungan yang rendah meskipun penyediaan air minum dilayani dengan sistem perpipaan, pengelolaan sanitasi menggunakan sistem sanitasi terpusat. 2.2.3 Paradigma Baru dalam Pengelolaan SDA

Berkaitan dengan tuntutan kebutuhan yang makin meningkat atas pemanfaatan air akibat peningkatan pembangunan dan kenaikan jumlah penduduk, sementara di sisi lain tuntutan terhadap kelestarian lingkungan, meningkatnya kelangkaan (scarcity) akan air, serta tuntutan keterlibatan masyarakat, telah mengubah secara radikal pola pikir (paradigm) tentang pengelolaan sumber daya air. Paradigma tersebut bergaung secara global sejak International Conference on Water and the Environment di Dublin, Irlandia, tahun 1992, dan United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro, Brazil, serta yang terakhir World Water Forum 2000 di The Hague, Netherland.

Dalam konferensi di Dublin, diserukan perlunya pendekatan-pendekatan baru dalam penilaian, pengembangan, dan pengelolaan sumber daya air (tawar), serta merekomendasikan untuk aksi pada tingkat lokal, nasional, dan internasional berdasarkan pada empat prinsip: (1) pengelolaan sumber daya air yang efektif menuntut satu pendekatan yang holistik mengaitkan pembangunan sosial dan ekonomi dengan perlindungan ekositem alam, termasuk keterkaitan tanah dan air di seluruh daerah tangkapan; (2) pengembangan dan pengelolaan air harus didasarkan pada satu pendekatan keikutsertaan yang melibatkan para pengguna, perencana dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan; (3) kaum wanita memainkan peran sentral dalam menyediakan, mengelola, dan mengamankan air; (4) air mempunyai nilai ekonomi dalam semua penggunaanya dan harus dikenal sebagai barang ekonomi.

(23)

Konferensi di Rio de Janeiro menegaskan konsensus bahwa pengelolaan sumber daya air perlu direformasi. Konferensi menyatakan bahwa “pengelolaan menyeluruh (holistic) atas sumber daya air sebagai sumber daya yang terbatas dan rentan, dan keterpaduan program dan perencanaan air secara sektoral di dalam kerangka kerja ekonomi nasional dan kebijakan sosial adalah yang paling penting untuk aksi dalam tahun 90an dan sesudahnya. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu didasarkan pada pemahaman bahwa air adalah bagian integral dari ekosistem, satu sumber daya alam, bernilai sosial dan barang ekonomi. Konferensi selanjutnya menekankan bahwa perwujudan dari keputusan pengalokasian air melalui pengelolaan kebutuhan (demand mangement), mekanisme harga, dan tindakan pengaturan.

World Water Forum (2000) menetapkan visi air dunia “making water everybody’s business”, serta tujuh tantangan (challenges) bahwa untuk mencapai keterjaminan air, yakni : i) memenuhi kebutuhan pokok penduduk; ii) menjamin penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem; iv) membagi sumber daya air antar wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi) memberi nilai air; visi menguasai air secara bijaksana. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut disepakati: 1) inovasi di bidang kelembagaan, teknologi, dan finansial, 2) pengelolaan sumber daya air dan sumber daya lahan secara terpadu, yang mencakup perencanaan dan pengelolaan sumber daya manusia, 3) kerjasama dan kemitraan di semua tingkat, 4) melaksanakan prinsip-prinsip yang telah disepakati berupa tindakan nyata berdasarkan kemitraan semua pihak untuk mewujudkan keterjaminan air dengan berbagai cara.

Di Indonesia, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya air, dan dengan diilhami rekomendasi dari konferensi di atas, maka perlu reformasi pengelolaan sumber daya air yang bertumpuh pada paradigma baru pengelolaan sumber daya air seperti yang direkomendasikan pada konferensi di atas.

Paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya air dapat dirangkum sebagi berikut :

(24)

• Pengelolaan yang terpadu (integrated), antar setiap jenis sumber daya air (air hujan, air permukaan, dan air tanah), bukan terfragmentasi.

• Desentralisasi pengelolaan bukan sentralisasi (sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004), daerah kabupaten/kota berwenang mengelola sumber daya nasional (sumber daya air termasuk dalam pengertian ini) yang tersedia di wilayahnya.

• Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik menjadi hanya sebagai regulator, pembuat kebijakan, perencanaan nasional, pembinaan, konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan pelaksanaan kebijakan dan pengambilan keputusan pengelolaaan kepada pemerintah daerah serta keterlibatan para stakeholders, akar rumput (grass roots) di daerah, dan sektor swasta.

• Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumber daya air, tetapi yang menjamin keberlanjutan (sustainability) ketersediaan sumber daya air dalam ruang dan waktu tertentu, baik jumlah maupun mutunya.

(25)

Tabel 1. Paradigma penyediaan air

No. Paradigma lama Paradigma baru

1 Air dianggap sebagai barang milik umum

Air merupakan barang bernilai ekonomi

2

3

4

Penyediaan air adalah suatu kegiatan sosial

Pengambilan keputusan dipusatkan di kantor-kantor pemerintah

Pergaturan penyediaan air yang bersifat administratif.

Penyediaan air adalah suatu kegiatan ekonomi

Alokasi air adalah satu kegiatan yang terdesentralisasi

Air merupakan satu instrumen ekonomi

5

6

7

8

Alokasi air yang birokratis kepada pengguna.

Pemekaran instansi untuk mengurus air

Izin pemakaian air diberikan dalam ketersekatan.

Struktur organisasi yang

membingungkan dan tidak efisien.

Para pihak terkait dan masyarakat (stakeholders) ikut serta dalam mengalokasikan air

Satu instansi yang transparan pada tingkat nasional untuk pandangan menyeluruh.

Pemanfaatan saling menunjang (conjunctive use) antara air permukaan dan air tanah.

Pengurusan air sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan ke masyarakat.

9

10

11

Pengembangan air untuk pengguna tunggal saja.

Pengurusan air didasarkan atas pembagian negara menurut politik.

Pembagian air sarat subsidi dan sarat kucuran dari anggaran nasional

Pengembangan terpadu untuk penggunaan jamak.

Pengurusan air didasarkan atas satuan wilayah sungai.

Pengguna harus membayar, dengan demikian memberikan dana kepada pemerintah untuk keperluan yang lain.

(26)

2.2.4 Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

Pengelolaan SDA terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu SDA dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan.

Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Berdasarkan hal itu, maka upaya pengelolaan DAS yang baik harus mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain. Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam menganalisa kinerja suatu DAS, tidak hanya melihat kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada didalam DAS, misalnya mengukur produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksihasil hutan kayu saja, harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yangbersifat positif (produksi) maupun dampak negatif. Dalam kajian pengelolaan DAS terpadu, selain dilakukan analisis yang bersifat kuantitatif, juga dilakukan analisis yang bersifat kualitatif.

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS yang diartikan sebagai fungsi, yaitu

(27)

• DAS bagian hulu; fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegrasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. • DAS bagian tengah; fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola

untuk dapatmemberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, sertaterkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

• DAS bagian hilir; fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, airbersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS memerlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.

Kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria : 1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun,

2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun,

3. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. 4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun..

Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas wilayah sehingga memerlukan koordinasi untuk menjaga fungsi dan manfaat air dan sumber air. Sistem penyediaan air minum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan SPAM. Selain dijadikan sebagai pedoman dan evaluasi dalam

(28)

pelaksanaan SPAM, sistem ini juga berfungsi sebagai perencana, pengatur, pengawas dan pengevaluasi agar pelaksanaan SPAM dapat berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan yaitu terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga terjangkau, tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan, dan meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) menyatakan bahwa penyediaan SPAM bukan lagi menjadi monopoli pemerintah atau BUMN/ BUMD saja, tetapi dapat diselenggarakan oleh koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat. Hal ini berarti membuka peluang bagi swasta untuk lebih efisien dalam menekan biaya sehingga harga jual menjad lebih rendah. Tetapi, perlu di waspasai bahwa kegiatan eksploitasi air yang berlebihan akan merusak ekosistem sehingga perlu dibuat suatu peraturan yang bertujuan untuk tetap menjaga keseimbangan alam. Sistem Penyediaan Air Bersih Keberadaan air di muka bumi, apakah itu yang berada di sungai, danau, laut atau yang tersimpan sebagai air tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan saling bergerak kontinu membentuk suatu siklus yang dikenal dengan istilah siklus hidrologi. Pengunaan air akan berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya, tergantung dari cuaca, ciri-ciri masalah lingkungan hidup, jumlah penduduk, kondisi sosial ekonomi, jenis industri yang ada di wilayah tersebut serta faktor-faktor lainnya.

Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh tersedianya sistem prasarana dan sarana yang menunjang untuk segala aktifitasnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Apabila sistem prasarana dan sarana yang ada tidak cukup memadai maka perkembangan wilayah tersebut akan terhambat. Sistem prasarana dan sarana air bersih merupakan salah satu hal yang paling penting diperlukan untuk menunjang perkembangan suatu wilayah.

a. Gambaran Umum Sistem Penyediaan Air Bersih

Berdasarkan aspek kuantitas, sistem penyediaan air bersih harus mampu melayani seluruh penduduk yang ada di wilayah tersebut terutama pada saat “jam puncak”, dan aliran air harus bisa melayani penduduk secara terus terus menerus

(29)

(kontinu). Berdasarkan kualitasnya, air yang di distribusikan kepada penduduk harus memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik dari aspek fisik, kimia maupun mikrobiologi. Unsur-unsur yang membentuk suatu sistem penyediaan air modern, akan meliputi:

1. Sumber-sumber penyediaan (sumber air baku). 2. Sarana penampungan.

3. Sarana penyaluran ke instalasi pengolahan. 4. Sarana pengolahan.

5. Sarana distribusi.

Dalam perencanaan sarana penyediaan air bagi masyarakat, jumlah dan mutu air merupakan hal yang paling penting. Gambar 6 mengilustrasikan tentang hubungan antara unsur-unsur fungsional dari suatu sistem penyediaan air bersih.

Gambar 4. Kaitan hubungan unsur-unsur fungsional dari sistem penyediaan air bersih

Gambar 6 menunjukkan bahwa tidak setiap unsur fungsional tersebut akan masuk dalam perencanaan sistem penyediaan air bersih. Sebagai contoh, apabila kita memanfaatkan air tanah (ground water) sebagai sumber air baku, maka pada perencanaan sistem penyediaan air bersih tidak memerlukan unsur penampungan

(30)

dan penyaluran. Apabila kita memanfaatkan air permukaan (surface water) sebagai sumber air baku, maka unsur penampungan dan penyaluran sangat diperlukan dalam perencanaan.

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok dan merupakan barang yang diklasifikasikan sebagai suatu kebutuhan, baik dimusim kemarau maupun dimusim hujan. Di beberapa tempat, baik diperkotaan maupun diperdesaan, pemenuhan kebutuhan air bersih merupakan masalah yang tidak mudah penyelesaiannya. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumber air baku yang terbatas dan kebutuhan yang tinngi, biaya serta teknologi pengolahan sebelum air yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan “relatif mahal”.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan air untuk masyarakat, khususnya di Ibukota DKI Jakarta, maka harus dilakukan kajian yang bersifat terus menerus dan menyeluruh agar permasalahan kekurangan air tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Salah satu kajian tersebut diantaranya adalah dengan mengkaji potensi-potensi sumber air baku yang dapat dijadikan sebagai air bersih atau air minum, baik air permukaan, air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air di sejumlah daerah yang terdapat di wilayah DKI Jakarta maupun Bodetabek.

Permasalahan lain yang sering timbul dalam penanganan air bersih adalah keterbatasan sumber daya, khususnya masalah pembiayaan/keuangan. Dalam rangka menghasilkan air dengan kualitas yang layak, dan menghantarkannya kepada konsumen maka tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk konstruksi intake, sistem transmisi, pengolahan dan distribusi, juga untuk operasional dan perawatan, apalagi jika air baku yang digunakan adalah air permukaan. Masalah pembiayaan ini harus mendapat perhatian demi menjaga kesinambungan sistem penyediaan air bersih.

Pengelolaan yang baik, berawal dari perencanaan yang baik, secara teknis, keuangan, kelembagaan, dan sosial budaya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perencanaan dasar dan pedoman yang selanjutnya disusun dalam bentuk rencana induk (masterplan) air bersih DKI Jakarta dengan harapkan dapat menghasilkan butir-butir penting dalam pengelolaan air bersih di Jakarta.

(31)

Perkembangan yang pesat dalam pembangunan perumahan, industri, pertanian, infrastruktur, dll, baik di daerah perkotaan (Jabodetabek) maupun perdesaan, serta peningkatan jumlah penduduk, memberikan konsekuensi kepada peningkatan pasokan air baku untuk kebutuhan air bersih. Pasokan air baku untuk kebutuhan air bersih yang selama ini belum sepenuhnya tercukupi oleh air perpipaan dari PAM, dengan meningkatnya kebutuhan tersebut, menambah beban di dalam penyediaan pasokan air bersih.

Ketersediaan pasokan air untuk memasok suatu kebutuhan, merupakan faktor paling penting yang menentukan berkembangnya suatu kawasan tertentu, karena air adalah sumber kehidupan bagi penghuni maupun penunjang semua aktivitas kawasan, sehingga ketersediaan pasokan air adalah mutlak. Namun di sisi lain seperti disinggung di atas, pasokan air tersebut tidak atau belum dapat mengandalkan sepenuhnya kepada jaringan PAM yang ada karena beberapa keterbatasan.

Kondisi yang seperti ini memaksa para perencana pembangunan dan para pengembang suatu kawasan untuk mencari sumber-sumber lain untuk penyediaan pasokan air, salah satunya karena beberapa kelebihan yang dipunyai daripada sumber air yang lain, adalah berasal dari air tanah. Namun apabila penggunaan atau pemanfaatan sumber daya air tanah dilakukan secara berlebihan tanpa mendasarkan pada potensi sumber daya air tanah itu sendiri akan menimbulkan dampak negatif berupa degradasi jumlah dan mutu air tanah maupun terhadap lingkungan sekitar. Oleh sebab itu diperlukan suatu perencanaan yang menyeluruh, mempertimbangkan seluruh faktor yang berpengaruh, sebelum pengembangan air tanah (groundwater development) dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan akan air bagi berbagai keperluan.

Ketersediaan air yang makin langka serta degradasi mutunya dewasa ini, sementara disisi lain kebutuhan akan air yang selalu meningkat, memberikan konsekuensi perlunya suatu perencanaan yang baik dan dapat dijalankan (applicable). Perencanaan ini untuk menjamin bahwa sumber air yang makin langka tersebut agar dapat dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin serta dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat banyak, terutama kaum miskin.

(32)

Perencanaan yang memihak bagi kemanfaatan kaum miskin dan lemah, saat ini sangat diperlukan untuk mengangkat harkat hidup kaum terpinggirkan. Kaum miskin ini justru membelanjakan lebih banyak uang untuk mendapatkan air dibanding mereka yang mampu yang dilayani oleh jaringan perpipaan. Laporan Bank Dunia menyebutkan para kaum miskin perkotaan membelanjakan hampir 9% dari pendapatan mereka untuk air, sementara di Jakarta, kaum miskin kotanya harus membayar $1,5 hingga $5,2 untuk 1 m3 air dari penjaja air, tergantung jarak mereka tinggal dengan hidran umum (Anonymous, 1993). Gambaran tersebut harus menjadi acuan dasar atau asas perencanaan kebutuhan air, yakni kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Perencanaan kebutuhan tersebut adalah bagian yang integral dari pengelolaan sumber daya air (water resource management), maka perencanaan tersebut juga harus sesuai dengan asas pengelolaan sumber daya air.

Krisis ekonomi dan era reformasi memberikan konsekuensi perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air di Indonesia, yang tentu saja juga memberikan pengaruh dalam perencanaan kebutuhan air. Intinya adalah, bahwa saat ini perencanaan kebutuhan akan air dari sumber air tanah menjadi semakin kompleks tidak hanya didasarkan atas hal-hal yang bersifat teknik, tetapi mungkin justru yang paling penting adalah hal-hal yang bersifat sosial.

2.2.5 Alokasi Air Baku untuk Air Bersih

Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, selain masalah ekstraksi optimal (khusunya untuk air bawah tanah), permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air adalah alokasi dan distribusi air. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pasal 46 ayat (1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). Selanjutnya pada pasal 46 ayat (2) dinyatakan bahwa alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

(33)

Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu Kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai air untuk konsumsi, dan kelompok non-konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi (diversion), baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran). Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya tidak terbarukan. Di sisi lain, pengguna non-konsumtif memanfaatkan air hanya sebagai media seperti:

• Medium pertumbuhan ikan pada kasus perikanan. • Sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga air. • Rekreasi (berenang, kayaking, dan sebagainya).

Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air tidak terlalu menimbulkan masalah ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya, namun jika tidak dikelola, pemanfaatan non-konsumtif ini pun akan menimbulkan eksternalitas air itu kemudian dijadikan sebagai barang public. Berdasarkan hal tersebu,t maka teknik non-market valuation lebih cocok digunakan untuk analisis ekonomi sumber daya air untuk pemanfaatan non-konsumtif. Khusus yang menyangkut penggunaan konsumtif, alokasi sumber daya air diarahkan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Berdasarkan hal tersebut maka alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity dan sustainability (keberlanjutan). Tabel 2 berikut menyajikan ketiga kriteria tersebut beserta tujuan pengelolaannya.

(34)

Tabel 2. Kriteria alokasi sumber daya air

Kriteria Tujuan

Efisiensi • Biaya penyediaan air yang rendah - Penerimaan per unit sumber daya air yang tinggi

• Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Equity • Akses air bersih untuk semua masyarakat

Sustainability • Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (groundwater depletion)

• Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan generasi mendatang

• Meminimalkan pencemaran air baku

Sumber: UU Nomor 7/2004 dan PP Nomor 16/2005. (diolah)

Selain kriteria di atas, Howe et al. (1986) menambahkan kriteria alokasi sumber daya air antara lain:

• Fleksibilitas (flexibility) dalam penyediaan air sehingga sumber daya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan.

• Keterjaminan (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin.

• Akseptabilitas ( acceptability) politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh rnasyarakat.

Pada beberapa kriteria di atas, pengelolaan sumber daya air, khususnya yang menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni queuing sistem, water pricing, alokasi publik, dan user-based allocation. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 26 ayat (1) pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (1) pengembangan sumber daya air

(35)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) pada wilayah sungai ditujukan untuk kepentingan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk kepentingan rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.

Kelemahan dalam manajemen penyediaan air selama ini lebih banyak terletak pada sisi demand. Sehingga tidak jarang ditemui, seiring dengan perkembangan dan waktu, akhirnya demand melebihi supply, yang mengakibatkan ketidaktaatan hukum para pengguna air dan bermuara pada degradasi sumber daya air dan lingkungan sekitar. Oleh sebab itu langkah awal perencanaan adalah adanya informasi besaran kebutuhan akan air. Kebutuhan akan air untuk suatu peruntukan tertentu sudah harus diketahui pada saat perencanaan. Kebutuhan ini menyangkut jumlah dan mutu yang diinginkan sesuai peruntukannya. Tingkat kebutuhan harus juga mencakup prediksi untuk jangka waktu panjang (long term). Strategi Penyediaan Air Bersih

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006, memiliki misi untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan air minum, meningkatkan kemampuan manajemen dan kelembagaan penyelenggaraan SPAM dan penegakan hukum dan meyiapkan peraturan. Dalam hal penegakkan hukum dan penyiapkan peraturan untuk menyiapkan penyelenggaraan SPAM antara lain:

• Penyusunan peraturan perundangan yang terkait dengan penyediaan air minum dan perlindungan air baku di pusat dan daerah.

• Pemerintah pusat menyiapkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan fasilitasi dan pendampingan kepada daerah, termasuk petunjuk teknis penyelenggaraan SPAM.

• Pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan SPAM.

• Penegakan hukum diberlakukannya sanksi-sanksi bagi pelanggar peraturan terkait dengan penyelenggaraan SPAM.

Sasaran global dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM mengacu pada sasaran yang telah terukur dalam RPJMN dan sasaran dalam Pencapaian MDG 2015 serta beberapa sasaran terukur lainya. Selain itu juga

(36)

menuju sasaran yang normatif seperti tertuang dalam PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM. Sasaran yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009 dalam pengembangan air bersih adalah: meningkatkan pelayanan air bersih melalui perpipaan secara nasional menjadi 40% dengan cakupan layanan untuk penduduk di kawasan perkotaan dapat meningkat menjadi 66% dan kawasan perdesaan menjadi 30%.

Pada kondisi pelayanan air bersih secara nasional pada tahun 2004 sebesar 17,96% atau 39 juta jiwa yang terlayani, maka perlu peningkatan sampai 22,04% selama kurun waktu lima tahun pada tahun 2009 jumlah penduduk yang memiliki akses air bersih perpipaan diprediksi sekitar 92,4 juta jiwa, atau sebesar 40% dari total penduduk Indonesia (231 juta jiwa). Kebijakan nasional tentang air bersih mentargetkan cakupan pelayanan air bersih untuk masyarakat perkotaan pada tahaun 2010-2014 sebesar 66%. Sedangkan untuk masyarakat DKI Jakarta, pemerintah mentargetkan cakupan pelayanan air bersih pada tahun 2014 sebesar 80%.

Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam penyediaan air bersih oleh PAM Jaya belum maksimal walau telah diprivatisasi dalam bentuk konsesi selama 25 tahun kepada perusahaan swasta dari Prancis dan Inggris (kemudian dibeli Jerman dan pengusaha Indonesia). Berdasarkan data statistik dari BPS DKI Jakarta tahun 1998, sekitar 50% rumah tangga menggunakan air ledeng (PAM Jaya), air tanah dengan pompa sebesar 42,67%, sumur gali 3,16% dan lainnya 0,63%. Sementara tarif PAM sudah sangat tinggi, dengan rata-rata Rp. 5.000/ meter3, gedung perkantoran, hotel berbintang dan pusat perbelanjaan (mall) melakukan ekstraksi air tanah dengan volume yang tinggi. Akibatnya, air dalam tanah (deep water) mengalami penurunan yang luar biasa. Sebagaimana dikemukakan ahli teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, terjadi penurunan tanah di Kawasan Jln. MH. Thamrin hingga 10 cm per tahun (Nugroho, 2002).

Penambahan cakupan pelayanan untuk 53,4 juta jiwa dari total penduduk Indonesia, bilamana digunakan tingkat konsumsi normal air rata-rata nasional sebesar 120 lt/orang/hari untuk sambungan rumah dan 60 lt/hari untuk akses hidran umum serta ratio SR dan HU adalah 80:20. Berdasarkan hal tersebut maka

(37)

diperlukan peningkatan kapasitas produksi perpipaan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkiraan kebutuhan nasional kapasitas pengembangan SPAM sampai 2009 No Jenis pelanggan Persentase cakupan % Kebutuhan air rata-rata L/o/h Kehilangan air % Kapasitas tambahan m3/detik 1 Sambungan langsung 80 120 20 71,2 2 Hidran umum 20 60 20 8,9 Total kapasitas 80,1

Sumber: Data dan perhitungan (diolah)

Beberapa kebijakan yang terkait dengan sumber daya air dan pengelolaan air minum antara lain: UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM) dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM (Dep PU Direktorat Jenderal Cipta Karya).

Pada masa penjajahan Belanda, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lingkungan yang terbentuk dan berkembang berdasarkan ajaran dan teori hukum pada jaman tersebut atau disebut juga hukum lingkungan klasik. Beberapa pengaturan tersebut misalnya Undang-undang Gangguan (hinder ordonnantie) 1926, Undang-Undang-undang Perlindungan Binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie) 1931, Undang-undang Perlindungan Alam (Natuurbeschermings Ordonnantie) 1941, Undang-undang Pembentukkan Kota (Stadsvorming Ordonnantie) 1948. Undang-undang tersebut dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella act) bagi undang-undang lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai

Gambar

Gambar 3. Daur hidrologi   (Asdak, 2010)
Tabel 1. Paradigma penyediaan air
Gambar 4.  Kaitan hubungan unsur-unsur fungsional dari  sistem penyediaan air  bersih
Tabel 2. Kriteria alokasi sumber daya air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rayon 5 Medan adalah: (a) Secara umum guru menyusun silabus pembelajaran keterampilan yang dijelaskan oleh kepala sekolah sangat baik, (b) Secara umum guru menyusun RPP keterampilan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kompos pada tanah bekas tambang emas dan mengetahui jenis kompos mana yang terbaik terhadap pertumbuhan awal

mudah memperoleh pengetahuan agama, meskipun mereka dari latar belakang pendidikan rendah, namun semangat mereka dalam mendalami agama patut diapresiasi. Keenam

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang pemisahan lembaga pengawas dari Bank Sentral (BI) dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis pengaruh dalam penerimaan pemerintah di Jawa Timur, untuk mengetahui variabel bebas mana yang berpengaruh paling

Penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi vaksinasi penyakit tetelo secara kontak dengan virus tahan panas RIVS2 ini terdiri dari dua bagian yakni percobaan dalam kandang

Pembuatan padang rumput campuran dapat dilakukan dengan menyebar biji rumput yang dicampur dengan biji leguminosa (Mc Ilroy, 1976) atau seperti yang dinyatakan