• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Kecelakaan Kerja 2.1.1 Pengertian epidemiologi

Epidemiologi adalah studi mengenai apa yang menimpa penduduk, dalam arti luas dimaksudkan suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan, penyakit, dan perubahan penduduk, begitu juga determinan-determinan dan akibat yang terjadi pada kelompok penduduk (Budiono, 2003). Sedangkan menurut Last dalam artikel Murti (2011), epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan keadaan dan peristiwa terkait kesehatan pada populasi, dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan. Jadi, epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mempelajari faktor determinan dari penyakit akibat kerja dan kejadian kecelakaan kerja dan distribusinya pada masyarakat pekerja.

2.1.2 Konsep epidemiologi kecelakaan kerja

Ditinjau dari epidemiologi, kecelakaan kerja terjadi karena ketidakserasian antara tenaga kerja (host), pekerjaan (agent), dan lingkungan kerja (environment) (Tarigan, 2011) berikut penjabarannya:

1. Host, yaitu pekerja yang melakukan pekerjaan a. Umur

Umur mempunyai pengaruh terhadap kejadian kecelakaan akibat kerja. Golongan umur tua mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan akibat kerja dibandingkan dengan golongan umur muda karena umur muda mempunyai reaksi dan kegesitan yang lebih tinggi. Akan

(2)

tetapi umur muda pun sering pula mengalami kasus kecelakaan akibat kerja, hal ini bisa terjadi karena kecerobohan dan sikap suka tergesa-gesa. Orang-orang muda sering tidak memiliki tanggung jawab sebagaimana orang-orang yang berumur lebih tua dan cenderung untuk tidak berhati-hati.

Menurut International Labour Organization (ILO) dalam penelitian tarigan (2011), diungkapkan bahwa pekerja yang berumur muda lebih banyak mengalami kecelakaan dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Hal tersebut karena pekerja umur muda biasanya kurang berpengalaman dalam pekerjaanya. b. Jenis kelamin

Jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Pekerja pria dan wanita memiliki perbedaan fisiologis dan psikologis. Antara pekerja pria dan wanita memiliki perbedaan daya tahan tubuh, ukuran tubuh, dan postur tubuh yang dapat mempengaruhi cara kerja. Dijelaskan pada penelitian Swaputri (2009), kasus wanita lebih banyak daripada pria karena secara anatomis, fisiologis, dan psikologis tubuh wanita dan pria memiliki perbedaan sehingga dibutuhkan penyesuaian dalam beban dan kebijakan kerja, diantaranya yaitu hamil dan haid.

2. Agent, yaitu pekerjaan a. Jenis (unit) pekerjaan

Jenis pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap resiko terjadinya kecelakaan akibat kerja. Jumlah dan macam kecelakaan akibat kerja berbeda-beda di berbagai kesatuan operasi dalam suatu proses. Contohnya pada tenaga kerja jasa konstruksi memiliki tingkat risiko mengalami kecelakaan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja kantoran.

(3)

b. Peralatan bekerja

Peralatan bekerja yang digunakan oleh tenaga kerja juga berpengaruh terhadap risiko terjadinya kecelakaan kerja. Dengan peralatan yang tidak aman, nyaman, dan menimbulkan penyakit maka peralatan bekerja tersebut berdampak pada faktor penyebab kecelakaan kerja. Maka dari itu, semua peralatan kerja harus sesuai fungsinya dan tepat bagi orang yang mempergunakannya.

3. Environment, yaitu lingkungan kerja

Lingkungan kerja merupakan bagian cukup penting dari sebuah tempat kerja, karena lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tenaga kerja dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja.

2.2 Kecelakaan Kerja

2.2.1 Pengertian kecelakaan kerja

Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang sudah jelas tidak dikehendaki dan tidak terduga yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda, atau properti maupun korban jiwa yang terjadi dalam suatu proses kerja industri atau berkaitan dengannya (Tarwaka, 2008). Kecelakaan kerja berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI no 609 tahun 2012 adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. Dengan demikian kecelakaan kerja mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Tidak diduga semula, oleh karena di belakang peristiwa kecelakaan tidak terdapat unsur kesengajaan dan juga perencanaan;

(4)

2. Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan selalu disertai kerugian baik fisik maupun materi;

3. Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya menyebabkan gangguan proses kerja;

Berdasarkan tempat kejadiannya kecelakaan kerja dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori utama yaitu:

1. Kecelakaan industri (industrial accident) yaitu suatu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja, karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali; 2. Kecelakaan di dalam perjalanan (community accident) yaitu kecelakaan yang terjadi di luar tempat kerja dalam kaitannya dengan adanya hubugan kerja.

2.2.2 Sebab-sebab kecelakaan kerja

Suatu kecelakaan kerja hanya akan terjadi apabila terdapat berbagai fakor-faktor penyebab secara bersamaan pada suatu tempat kerja atau proses poduksi. Dari beberapa penelitian para ahli memberikan indikasi bahwa suatu kcelakaan kerja tidak dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi terjadi oleh suatu atau beberapa faktor penyebab kecelakaan sekaligus dalam suatu kejadian.

Meski banyak teori yang mengemukakan tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja, namun secara umum penyebab kecelakaan kerja menurut Tarwaka (2008) dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Sebab dasar atau asal mula

Sebab dasar merupakan sebab atau faktor yang mendasari secara umum terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar kecelakaan kerja di industri meliputi:

(5)

a. Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pemimpin perusahaan dalam upaya penerapan K3 di perusahaannya;

b. Manusia atau para pekerjanya sendiri; dan

c. Kondisi tempat kerja, sarana kerja, dan lingkungan kerja. 2. Sebab utama

Sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja adalah adanya faktor dan persyaratan K3 yang belum dilaksanakan secara benar (substandards). Sebab utama kecelakaan kerja meliputi:

a. Faktor manusia atau dikenal dengan istilah tindakan tidak aman

(Unsafe Action)

Faktor manusia yaitu tindakan berbahaya dari para tenaga kerja yang mungkin dilatarbelakangi oleh beberapa sebab antara lain:

 Kekurangan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge

and skill);

 Ketidakmampuan untuk bekerja secara normal (inadequate

capability);

 Ketidakfungsian tubuh karena cacat yang tidak nampak (bodily

defect);

 Kelelahan dan kejenuhan (fatique and boredom);

 Sikap dan tingkah laku yang tidak aman (unsafe altitude and

habits);

 Kebingungan dan stress (confuse and stress) karena prosedur kerja yang baru belum dapat dipahami;

 Belum menguasai/belum terampil dengan peralatan atau mesin-mesin baru (lack of skill);

(6)

 Penurunan konsentrasi (difficulty in concentrating) dari tenaga kerja saat melakukan pekerjaan;

 Sikap masa bodoh (ignorance) dari tenaga kerja;

 Kurang adanya motivasi kerja (improrer motivation) dari tenaga kerja;

 Kurang adanya kepuasan kerja (low job satisfaction);  Sikap cenderung mencelakai diri sendiri; dll

Manusia sebagai faktor penyebab kecelakaan seringkali disebut sebagai “human error” dan sering disalah-artikan karena selalu dituduhkan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Padahal sering kali kecelakaan terjadi karena kesalahan desain mesin dan peralatan kerja yang tidak sesuai.

b. Faktor lingkungan atau dikenal dengan kondisi tidak aman (unsafe

conditions)

Faktor lingkungan yaitu kondisi tidak aman dari: mesin, peralatan, pesawat, bahan, lingkungan dan tempat kerja, proses kerja, sifat pekerjaan, dan sistem kerja. Lingkungan dalam arti luas dapat diartikan tidak saja lingkungan fisik, tetapi juga faktor-faktor yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas, pengalaman manusia yang lalu maupun sesaat sebelum bertugas, pengaturan organisasi kerja, hubungan sesame pekerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa mengganggu konsentrasi. c. Interaksi manusia dan sarana pendukung kerja

Interaksi manusia dan sarana pendukung kerja merupakan sumber penyebab kecelakaan. Apabila interaksi antara keduanya tidak sesuai maka akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan yang

(7)

mengarah pada terjadinya kecelakaan kerja. Dengan demikian, penyediaan sarana kerja yang sesuai dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia, harus sudah dilaksanakan sejak desain sistem kerja. Suatu pendekatan yang holistic, sistemic, dan

interdisiplinary harus diterapkan untuk mencapai hasil yang optimal,

sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah. 2.2.3 Klasifikasi kecelakaan kerja

Menurut International Labour Organization (ILO) dalam buku Tarwaka (2008), kecelakaan kerja di industri dapat diklasifikasikan menurut jenis kecelakaan, agen penyebab atau objek kerja, jenis cidera atau luka dan lokasi tubuh yang terluka. Klasifikasi kecelakaan kerja di industri secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan a. Terjatuh

b. Tertimpa atau kejatuhan benda atau objek kerja

c. Tersandung benda atau objek, terbentur kepada benda, terjepit antara dua benda

d. Gerakan-gerakan paksa atau perenggangan otot berlebihan

e. Terpapar kepada atau kontak dengan benda panas atau suhu tinggi f. Terkena arus listrik

g. Terpapar kepada atau bahan-bahan berbahaya atau radiasi, dll. 2. Klasifikasi menurut agen penyebabnya

a. Mesin-mesin, seperti: mesin penggerak kecuali motor elektrik, mesin transmisi, mesin produksi, mesin pertambangan, mesin-mesin pertanian, dll.

(8)

b. Sarana alat angkat dan angkut, seperti: for-lift, alat angkut kereta, alat angkut beroda selain kereta, alat angkut di perairan, alat angkut di udara, dll.

c. Peralatan-peralatan lain, seperti: bejana tekanan, tanur/dapur peleburan, instalansi listrik termasuk motor listrik, alat-alat tangan listrik, perkakas, tangga, perancah, dll.

d. Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti: bahan mudah meledak, debu, gas cairan, bahan kimia, radiasi, dll.

e. Lingkungan kerja, seperti: tekanan panas dan tekanan dingin, intensitas kebisingan tinggi, getaran, ruang di bawah tanah, dll.

3. Klasifikasi menurut jenis luka dan cederanya a. Patah tulang

b. Keseleo/dislokasi/terkilir c. Kenyerian otot dan kejang

d. Gagarotak dan luka bagian dalam lainnya e. Amputasi dan enukleasi

f. Luka tergores dan luka luar lainnya g. Memar dan retak

h. Luka bakar i. Keracunan akut

j. Aspixia atau sesak nafas k. Efek terkena arus listrik l. Efek terkena paparan radiasi

(9)

4. Klasifikasi menurut lokasi bagian tubuh yang terluka

a. Kepala; leher; badan; lengan; kaki; berbagai bagian tubuh b. Luka umum, dll.

2.2.4 Tingkat keparahan kecelakaan kerja

Berdasarkan pada standar Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dalam penelitian Tarigan (2011), tingkat keparahan semua luka yang diakibatkan oleh kecelakaan dapat dibagi menjadi:

1. Perawatan ringan (first aid)

Perawatan ringan merupakan suatu tindakan atau perawatan terhadap luka kecil yang tidak memerlukan perawatan lebih atau perawatan medis

(medical treatment) walaupun pertolongan pertama itu dilakukan oleh dokter

atau paramedis. Perawatan ringan ini juga merupakan perawatan dengan kondisi luka ringan, bukan tindakan perawatan darurat dengan luka yang serius.

2. Perawatan medis (medical treatment)

Perawatan medis merupakan perawatan dengan tindakan atau perawatan untuk luka yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis profesional seperti dokter ataupun paramedis.

3. Hari kerja yang hilang (lost work days)

Lost work days atau lebih terkenal dengan lost time injury adalah

kehilangan jam kerja akibat kecelakaan. Hari kerja yang hilang ialah hari kerja dimana sesorang pekerja tidak dapat mengerjakan seluruh tugas rutinnya karena mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya. Hari kerja hilang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

(10)

a. Jumlah hari tidak bekerja (days away from work) yaitu semua hari kerja dimana sesorang pekerja tidak dapat mengerjakan setiap fungsi pekerjaannya karena kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya.

b. Jumlah hari kerja dengan aktivitas terbatas (days of restricted activities), yaitu semua kerja dimana seorang pekerja karena mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya, dialihkan sementara ke pekerjaan lain atau pekerja tetap bekerja pada tempatnya tetapi tidak dapat mengerjakan secara normal seluruh tugasnya. Untuk kedua kasus di atas, terdapat pengecualian pada hari saat kecelakaan atau saat terjadinya sakit, hari libur, cuti, dan hari istirahat.

4. Kematian (fatality)

Kematian merupakan sesuatu hal yang terjadi tanpa memandang waktu yang sudah berlalu antara saat terjadinya kecelakaan kerja ataupun sakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang dideritanya dan saat korban meninggal.

2.2.5 Dampak akibat kecelakaan kerja

Kecelakaan kerja akan menimbulkan dampak seperti kesakitan, cacat, kehilangan penghasilan, kehilangan kapasitas kerja, kekacauan dalam keluarga, kehidupan sosial, serta kematian. Tiap dampak yang ditimbulkan merupakan suatu kerugian, yang antara lain tergambar dari pengeluaran dan besarnya biaya kecelakaan. Dampak akibat kecelakaan kerja seringkali menyebabkan biaya yang dikeluarkan sangat besar, padahal biaya tersebut bukan semata-mata beban suatu peusahaan melainkan juga beban masyarakat dan negara secara keseluruhan (Suma’mur, 2009).

(11)

Secara garis besar kerugian akibat kecelakaan kerja menurut Tarwaka (2008) adalah sebagai berikut:

1. Kerugian/biaya langsung (direct cost) yaitu suatu kerugian yang dapat dihitung secara langsung dari terjadinya kecelakaan sampai dengan tahap rehabilitasi, seperti:

a. Penderitaan yang dialami oleh tenaga kerja yang mendapat kecelakaan serta keluarganya;

b. Biaya pertolongan pertama pada kecelakaan; c. Biaya pengobatan dan perawatan;

d. Biaya angkut dan biaya rumah sakit;

e. Biaya kompensasi pembayaran asuransi kecelakaan; f. Upah selama tidak mampu bekerja;

g. Biaya perbaikan peralatan yang rusak, dll.

2. Kerugian/biaya tidak langsung (indirect cost) yaitu kerugian yang tidak dapat dihitung secara langsung dan merupakan kerugian berupa biaya yang dikeluarkan dan meliputi suatu yang tidak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah terjadinya kecelakaan, seperti:

a. Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja yang mengalami kecelakaan;

b. Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja lain seperti rasa ingin tahu dan rasa simpati untuk membantu tenaga kerja yang mengalami kecelakaan;

c. Terhentinya proses prouksi untuk beberapa waktu, kegagalan dalam mencapai target produksi, kehilangan bonus, dll;

(12)

e. Munculnya stres dan ketegangan serta menurunnya mental dan moral tenaga kerja yang mengalami kecelakaan.

2.2.6 Pencegahan kecelakaan kerja

Setiap kecelakaan kerja jelas akan menyebabkan kerugian yang berdampak buruk bagi tenaga kerja maupun pihak-pihak lainnya. Menurut Suma’mur (2009), metoda analisis penyebab kecelakaan harus betul-betul diketahui dan diterapkan sebagaimana mestinya. Selain analisis mengenai penyebab terjadinya kecelakaan, sangat penting dilakukan pencegahan terjadinya kecelakaan kerja seperti mengidentifikasi bahaya yang terdapat dan mungkin akan mengakibatkan insiden kecelakaan di perusahaan serta mengakses (assessment) besarnya risiko bahaya. Berikut merupakan beberapa pencegahan dari berbagai sektor, yaitu:

1. Sektor pemerintah

a. Menetapkan peraturan atau undang-undang untuk mengatur standar keamanan minimal;

b. Memantapkan pengawasan dan/atau inspeksi; c. Mengumpulkan data kecelakaan kerja.

2. Sektor pemilik dan manajemen

a. Membuat dan menerapkan kesepakatan kebijakan keamanan; b. Menerapkan program keamanan secara berkesinambungan;

c. Supervisi, review, dan implementasi program keamanan oleh staf manajemen.

3. Sektor serikat pekerja dan tenaga kerja

a. Program kesehatan masyarakat untuk keamanan; b. Berperan serta dalam panitia/komisi keamanan; c. Penyediaan dan pemakaian pakaian pengaman.

(13)

4. Sektor petugas keselamatan dan kesehatan kerja a. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja;

b. Kontribusi penetapan program keamanan kerja; c. Penyuluhan keselamatan dan kesehatan kerja; d. Analisis data kecelakaan kerja;

e. Advis perbaikan lingkungan kerja.

f. P3K dan rehabilitasi akibat kecelakaan kerja. 2.3 BPJS Ketenagakerjaan

BPJS Ketenagakerjaan merupakan salah satu salah satu institusi pelayanan publik dibidang jaminan sosial. BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya adalah PT. Jamsostek (Persero) merupakan salah satu institusi pelayanan publik di bidang jaminan sosial. Sesuai dengan UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS berubah nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Januari 2014. PT. Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset, liabilitas, serta hak dan kewajiban dari PT. Jamsostek (Persero) dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan merupakan milik badan hukum publik yang bertanggung jawab langsung pada presiden dengan prinsip nirlaba. Akan tetapi BPJS Ketenagakerjaan baru beroperasi penuh pada 1 Juli 2015.

Program-program dari PT. Jamsostek (persero) juga dihibahkan ke BPJS Ketenagakerjaan karena PT. Jamsostek tetap dipercaya untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja. Adapun program-program dari BPJS Ketenagakerjaan saat ini yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Pensiun (JP). Berikut merupakan pengertian dari tiap program yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 26 Tahun 2015, yaitu : (1) Jaminan Hari Tua (JHT) adalah

(14)

manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pension, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap; (2) Jaminan Kematian (JKM) adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja; (3) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja; (4) Jaminan Pensiun (JP) adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan BPJS Kesehatan akan tetapi sama-sama merupakan program pemerintah dalam kesatuan JKN yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. BPJS Kesehatan ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia dan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014.

BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Kesehatan saling terikat untuk melakukan koordinasi pelayanan. Koordinasi pelayanan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional memiliki prinsip yaitu:

a. BPJS Kesehatan tidak menjamin pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja (KK-PAK).

b. BPJS Ketenagakerjaan merupakan penjamin dari program jaminan KK-PAK.

c. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan melakukan koordinasi pelayanan dan bukan koordinasi manfaat.

(15)

d. Koordinasi pelayanan terkait mekanisme administrasi penjaminan peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). e. Hak kelas peserta di BPJS Ketenagakerjaan adalah kelas I di Rumah

Sakit Pemerintah atau Rumah Sakit Swasta yang setara dan hak kelas peserta di BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan hak rawat berdasarkan besaran iuran yang telah ditentukan maksimal kelas I. f. Peserta yang mendapatkan koordinasi pelayanan adalah peserta BPJS

Ketenagakerjaan yang juga merupakan peserta BPJS Kesehatan.

2.4 Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 2.4.1 Tata cara pendaftaran

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Pasal 53, pemberi kerja selain penyelenggara negara pada skala usaha besar, menengah, kecil dan mikro yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi yang mempekerjakan pekerja harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu, wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program JKK, JKM, dan JHT dengan mengisi formulir sebagai berikut:

 Formulir 1 yaitu pendaftaran perusahaan  Formulir 1a yaitu pendaftaran pekerja  Rekaptulasi rincian pembayaran iuran  Rincian iuran pekerja

Pemberi kerja wajib menyampaikan formulir tersebut yang telah diisi secara lengkap meliputi data dirinya, data pekerjaannya, dan anggota keluarganya kepada

(16)

BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 30 hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima yang dibuktikan dengan tanda terima. BPJS Ketenagakerjaan juga wajib mengeluarkan nomor kepesertaan paling lambat 1 hari dan menerbitkan kartu kepersertaan paling lambat 7 hari sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.

2.4.2 Kepesertaan

Setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta dalam program JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peserta program JKK terdiri dari:

1. Peserta penerima upah yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara meliputi:

a. Pekerja pada perusahaan;

b. Pekerja pada orang perseorangan; dan

c. Orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. 2. Peserta bukan penerima meliputi:

a. Pemberi kerja;

b. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri; dan

c. Pekerja yang tidak termasuk huruf b yang bukan menerima upah. 2.4.3 Besar iuran jaminan kecelakaan kerja

Iuran JKK tiap peserta berbeda-beda baik peserta penerima upah dan peserta bukan penerima upah. Iuran JKK bagi peserta bukan penerima upah didasarkan pada nilai nominal tertentu dari penghasilan peserta dan dipilih oleh peserta sesuai penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan bagi peserta penerima upah

(17)

dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok tingkat risiko lingkungan kerja, yaitu pada tabel berikut:

Tabel 2.1 besaran persentas iuaran jkk berdasarkan tingkatan risiko lingkungan kerja.

Besarnya iuran JKK bagi setiap perusahaan ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan berpedoman pada kelompok tingkat risiko lingkungan kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran pada PP No 44 tahun 2015 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tersebut.

2.4.4 Ruang lingkup kecelakaan kerja

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 609 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, suatu kasus dinyatakan kasus kecelakaan kerja apabila terdapat unsur ruda paksa yaitu cedera pada tubuh manusia akibat suatu peristiwa atau kejadian (seperti terjatuh, terpukul, tertabrak dan lain-lain) dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kecelakaan terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya melalui jalan yang biasa dilalui atau wajar dilalui. No. Tingkat risiko lingkungan

kerja

Besaran persentase

1. Tingkat risiko sangat rendah 0,24 % dari upah sebulan 2. Tingkat risiko rendah 0,54 % dari upah sebulan 3. Tingkat risiko sedang 0,89 % dari upah sebulan 4. Tingkat risiko tinggi 1,27 % dari upah sebulan 5. Tingkat risiko sangat tinggi 1,74 % dari upah sebulan

(18)

Pengertian kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja adalah sejak tenaga kerja tersebut keluar dari halaman rumah dan berada di jalan umum

2. Pengertian kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja mempunyai arti yang luas, sehingga sulit untuk diberikan batasan secara konkrit. Namun demikian sebagai pedoman dalam menentukan apakah suatu kecelakaan termasuk kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja dapat dilihat dari: a. Kecelakaan terjadi di tempat kerja;

b. Adanya perintah kerja dari atasan/pemberi kerja/pengusaha untuk melakukan pekerjaan;

c. Melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan; dan/atau

d. Melakukan hal-hal lain yang sangat penting dan mendesak dalam jam kerja atas izin atau sepengetahuan perusahaan.

3. Penyakit Akibat Kerja yang selanjutnya disingkat PAK (Occupational Disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 disebut Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.

Kondisi lain yang dapat dikategorikan sebagai kecelakaan kerja di luar ketentuan sebagaimana dimaksud di atas yaitu:

1. Pada hari kerja:

a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan perjalanan dinas sepanjang kegiatan yang dilakukan ada kaitannya dengan pekerjaan dan/atau dinas untuk kepentingan perusahaan.

(19)

b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan kerja lembur 2. Di luar waktu/jam kerja:

a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melaksanakan aktivitas lain yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan dan harus dibuktikan dengan surat tugas dari perusahaan. Contoh: melaksanakan kegiatan olahraga untuk menghadapi pertandingan 17 Agustus, pelatihan/diklat, darma wisata dan outbound yang dilaksanakan perusahaan sebagai kegiatan yang telah diagendakan oleh perusahaan.

b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan sedang menjalankan cuti mendapat panggilan atau tugas dari perusahaan, maka perlindungannya adalah dalam perjalanan pergi dan pulang untuk memenuhi panggilan tersebut.

c. Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi dan pulang dari Base

Camp atau anjungan yang berada di tempat kerja menuju ke tempat

tinggalnya untuk menjalani istirahat.

d. Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi dan pulang melalui jalan yang biasa dilalui atau wajar bagi tenaga kerja yang setiap akhir pekan kembali ke rumah tempat tinggal yang sebenarnya (untuk tenaga kerja yang sehari-hari bertempat tinggal di rumah kost/mess/asrama dll). e. Penyakit akibat hubungan kerja/penyakit terkait kerja (work related

disease) adalah penyakit yang dicetuskan atau diperberat oleh pekerjaan

atau lingkungan kerja tidak termasuk PAK. Contoh: seseorang yang telah menderita penyakit asma sejak kecil kemudian bekerja sebagai tukang serut kayu. Polutan hasil kerja berupa debu partikel kayu tersebut memperparah penyakit astma yang dideritanya.

(20)

f. Meninggal mendadak di tempat kerja pada hakekatnya bukan kecelakaan kerja, namun karena kejadiannya sedang bekerja di tempat kerja, maka pemerintah memberikan suatu kebijakan perluasan perlindungan sehingga meninggal mendadak di tempat kerja dianggap sebagai kecelakaan kerja. Kepada yang bersangkutan diberikan jaminan kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Untuk memperoleh jaminan kecelakaan kerja akibat meninggal mendadak di tempat kerja harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. tenaga kerja pada saat bekerja di tempat kerja tiba-tiba meninggal dunia tanpa melihat penyebab dari penyakit yang dideritanya.

b. tenaga kerja pada saat bekerja di tempat kerja mendapat serangan penyakit kemudian langsung dibawa ke dokter/unit pelayanan kesehatan/rumah sakit dan tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam kemudian meninggal dunia.

2.4.5 Manfaat jaminan kecelakaan kerja

Peserta yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKK. Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian berupa:

1. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis yang meliputi: a. pemeriksaan dasar dan penunjang;

(21)

b. perawatan tingkat pertama dan lanjutan;

c. rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;

d. perawatan intensif; e. penunjang diagnostik; f. pengobatan;

g. pelayanan khusus;

h. alat kesehatan dan implan; i. jasa dokter/medis;

j. operasi;

k. transfusi darah; dan/atau l. rehabilitasi medik.

2. Santunan berupa uang meliputi:

a. penggantian biaya pengangkutan peserta yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja, ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;

b. santunan sementara tidak mampu bekerja;

c. santunan cacat sebagian anatomis, cacat sebagian fungsi, dan cacat total tetap;

d. santunan kematian dan biaya pemakaman;

e. santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila peserta meninggal dunia atau cacat total tetap akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja;

f. biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat pengganti (prothese);

(22)

g. penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau

h. beasiswa pendidikan anak sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) bagi setiap peserta yang meninggal dunia atau cacat total tetap akibat kecelakaan kerja.

3. Program Kembali Bekerja (Return to Wowk) berupa pendampingan kepada peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang berpotensi mengalami kecacatan, mulai dari peserta masuk perawatan di rumah sakit sampai peserta tersebut dapat kembali bekerja.

4. Kegiatan promotif dan preventif untuk mendukung terwujudnya keselamatan dan kesahatan kerja dan penyakit akibat kerja.

2.4.6 Tata cara pelaporan jaminan kecelakaan kerja

Sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 26 tahun 2015 yang dituangkan dalam BAB III yaitu tentang tata cara pelaporan dan penetapan jaminan kecelakaan kerja dengan Pasal 7 yaitu pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib melaporkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa tenaga kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan instansi setempat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Laporan JKK dibagi menjadi dua tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap I

Pemberi kerja wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2x24 jam sejak terjadinya kecelakaan kerja sebagai laporan tahap I.

(23)

2. Tahap II

Peserta dan atau pemberi kerja wajib melaporkan akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2x24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, ditambah dengan peserta yang masih melakukan perawatan di Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Laporan tahap II berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa:

a. Keadaan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) telah berakhir; b. Cacat total tetap untuk selamanya;

c. Cacat sebagian anatomis; d. Cacat sebagian fungsi; atau e. Meninggal dunia.

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan persyaratan yang meliputi:

a. Fotokopi kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan; b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);

c. Surat keterangan dokter yang memeriksa/merawat dan/atau dokter penasehat;

d. Kuitansi biaya pengangkutan;

e. Kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan, bila fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan belum bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan; dan

Referensi

Dokumen terkait

Memiliki dampak yang mengganggu kinerja Perangkat Daerah, terkait data pribadi Terbatas Biasa/Terbuka Tidak memiliki dampak yang menggangu kinerja Perangkat Daerah

Saya Rosiani. Saat ini, saya sedang melakukan penelitian mengenai Analisis Hubungan Beban Kerja Fisik dan Tingkat Stress Kerja Perawat di Rumah Sakit Umum Gunung

Musik Jonngan juga terdapat makna nilai yang terkandung di dalam musik tersebut sesuai dengan lima teori makna Kluchohn yaitu makna nilai adat, makna nilai sejarah, makna

Dari percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu operasi maka kontak antara larutan NaOH dengan gas CO 2 akan semakin lama

Pada komponen pendapatan rumah tangga kini terdapat 29 dari 33 provinsi yang nilai indeksnya menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi, sedangkan pada komponen pengaruh inflasi

Skema ini mengacu pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 2016 tentang Penetapan Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia bidang

Dengan prinsip Hamiltonian, mengatakan bahwa “Dari seluruh lintasan yang mungkin bagi sistem dinamis untuk berpindah dari satu titik ke titik lain dalam interval waktu

Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Analisis dan