• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Surat kabar menjadi salah satu media informasi, yang awal kemunculannya, mampu membawa harapan untuk suara perubahan, terutama pada iklim sosial politik yang lebih liberal. Mc Quail menjelaskan bahwa sejarah kemunculan surat kabar, diwarnai dengan perjuangan mewakili hak hak kebebasan, dan demokrasi warga Negara yang lebih besar. Surat kabar komersil yang mulai diterbitkan pada awal abad ke 17 bahkan, kerap dianggap sebagai rival potensial dari kaum pemerintah atau kerajaan, karena salah satu karakteristiknya yang dapat dijangkau dalam jumlah besar atau secara massa, diyakini mampu membawa propaganda bagi masyarakat (Mc Quail 2011:30-31).

Dominasi surat kabar sebagai media yang mampu mempengaruhi khalayak dalam jumlah besar, mulai mengalami masa kemunduran di abad ke 21, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai dengan kemunculan internet atau dikenal sebagai media massa bentuk baru (Mc Quail 2011 32) .

Survei Media Index yang dilakukan oleh Nielsen Media menunjukkan hasil yang signifikan, mengenai penetrasi media cetak terhadap pembacanya yang sejak tahun 2005 semakin menurun. Hal tersebut dapat dilihat melalui Survei single source yang berusaha memberikan informasi mengenai perilaku konsumen terhadap media dan produk-produknya, dengan menggunakan stratified random sampling, dan wawancara tatap muka kepada 14.000 responden di 9 kota besar di Indonesia. Hasil survei Nielsen menunjukkan bahwa angka pembaca koran semakin menurun secara signifikan, dari perolehan 28% pada kuartal pertama tahun 2005 menjadi hanya 19% pada kuartal kedua tahun 2009.

Penurunan yang sama juga terjadi pada media cetak lainnya, yaitu majalah dan tabloid. Pada kuartal kedua tahun 2009, perolehan tabloid hanya mencapai 13%. Sementara itu, majalah memperoleh 12%. Angka ini menurun

(2)

2

jauh dibandingkan perolehan pada kuartal pertama 2005, majalah dan tabloid sama-sama memperoleh 20% dari total populasi.

Hasil yang berbeda justru terjadi pada media internet dan film. Kedua media ini terus berkembang secara perolehan konsumen. Internet terus mengalami peningkatan seiring dengan jumlah pengguna internet yang semakin meluas. Pada kuartal kedua tahun 2009, para konsumen media internet mencapai 17%. Melonjak jauh dari tahun 2005 yang hanya 8%. Demikian juga media film, walaupun sempat turun pada tahun 2006 dengan hanya memperoleh 10%. Namun perlahan, pengguna media film meningkat pada kuartal kedua 2009, mencapai 17%. Sementara itu, untuk media elektronik yakni televisi dan radio cenderung stabil. Meskipun ada penurunan pada pengguna media radio, jumlahnya tidak terlalu signifikan. Dari tahun 2005, yang mendapatkan 46% turun menjadi 39% pada kuartal kedua tahun 2009.1

Badan Pusat Statistik yang merupakan lembaga pemerintah non departemen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, mengeluarkan data yang tidak jauh berbeda, mengenai penggunaan media oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel data dengan indikator sosial dan budaya bagi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang membaca surat kabar atau majalah, sejak tahun 2003, 2006, dan 2009 semakin mengalami penurunan. Sebaliknya, jumlah penduduk yang menonton televisi terus meningkat secara signifikan, khususnya pada 2006 dan 2009.2

Minat baca masyarakat yang rendah membuat, Indonesia berada di urutan ke-36 dari 40 negara, berdasar studi lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada 2006, bahkan

1 Dalam Kompas. Survei Nielsen: Pembaca Media Cetak Makin Turun (Online)

http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/16/16015757/survei.nielsen.pembaca.media.cetak.maki n.turun diunduh pada 17 September 2012 pukul 19.50 WIB

2 Dalam Badan Pusat Statistik. Tabel Sosial dan Kependudukan dengan indikator Sosial dan Budaya (Online)

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=27&notab=36 diunduh pada 17 September 2012 pukul 19.30 WIB

(3)

3

menurut hasil survei UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat terendah di ASEAN.3

Fenomena minat baca usia muda, yang semakin menurun dari tahun ke tahun di Indonesia, dan mulai tergantikan dengan dominasi berbagai media massa lainnya seperti Radio, Televisi, dan bahkan media massa bentuk baru seperti Internet, turut berdampak pada meningkatnya persaingan media cetak, hal tersebut dapat dilihat pada berbagai inovasi yang dilakukan media massa khususnya surat kabar sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi, dan menarik minat baca khalayak.

Tabel 1.1

Indikator Sosial Budaya Tahun 2003, 2006, dan 2009

Indikator 2003 2006 2009

1. Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang Mendengar Radio

50,29 40,26 23,5

2. Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang Menonton Televisi

84,94 85,86 90,27

3. Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang Membaca Surat Kabar/Majalah

23,7 23,46 18,94

4. Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang Melakukan Olahraga

25,45 23,23 21,76

Sumber: Data Badan Pusat Statistik, Tahun 2009

Usia yang relatif sangat muda dan sebelumnya tidak diperhatikan sebagai target pembaca, mulai diperhitungkan, dan dimanfaatkan sebagai peluang bisnis, dengan membuat suatu rubrik khusus bagi pembaca usia muda. Serupa dengan hal tersebut, dalam situs resminya, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, memuat berita yang membanggakan, bahwa dua media cetak Indonesia, yaitu Jawa Pos dan Kompas mampu bersaing, dan meraih penghargaan di tingkat Internasional, dalam kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh World

3 Dalam Kompas. 3 Manfaat Cinta Buku untuk Si Kecil (Online).

http://female.kompas.com/read/2012/02/10/11491514/3.Manfaat.Cinta.Buku.untuk.Si.Kecil diunduh pada 17 September 2012 pukul 19.40 WIB

(4)

4

Association of Newspaper and News Publisher (WAN-IFRA) 2011, atas kontribusi yang dilakukan kepada pembaca usia muda. WAN-IFRA yang bermarkas besar di Darmstadt (Jerman) dan Paris (Perancis) merupakan asosiasi surat kabar dan penerbit dunia yang mewakili 18.000 penerbitan, 15.000 situs online, dan lebih dari 3.000 perusahaan di lebih dari 120 negara4.

Koran Harian Kompas yang terbit sejak 28 Juni 1965, dan dikenal dengan materi beritanya yang kerap mengkritisi pemerintahan pusat5, mulai menargetkan pembaca dengan usia yang relatif muda, di bulan Januari, 2005. Segmentasi pembaca dari kaum menengah ke atas, dan dengan rentang usia produktif sebesar 64% (20-40 tahun)6, mulai bertambah dengan target pembaca yang berasal dari kalangan pelajar SMA dan SMK. Rubrik khusus yang dimuat bagi pembaca usia muda tersebut, dimuat untuk pertama kalinya dalam dua halaman. Sesuai dengan sasaran pembaca, maka rubrik itu pun dinamakan ‟Muda‟, yang terbit setiap satu minggu sekali pada hari Jumat.

Melalui rubrik ‟Muda‟, Kompas menampilkan berbagai tulisan yang berkaitan dengan dunia anak muda, mulai dari soal sekolah, tentang cinta, persahabatan, sampai urusan film, musik, termasuk tempat nongkrong dan berbagai hobi anak muda. Januari 2007, Kompas melakukan perubahan tak hanya pada isi tulisan, tetapi juga tata wajah rubrik muda. Jumlah halamannya pun bertambah, menjadi tiga halaman. Pada perubahan lainnya, Kompas memberi tempat khusus bagi siswa setingkat SMA/SMK untuk menyalurkan bakat menulis, memotret, dan membuat ilustrasi, kartun maupun komik, untuk turut berkontribusi di Kompas.7

4

Dalam Departemen Luar Negeri. 'Jawa Pos' dan 'Kompas' Raih Penghargaan Internasional WAN-IFRA (Online) http://www.deplu.go.id/Lists/News/DispForm.aspx?ID=5207&l=en diunduh pada 12 Desember 2012 pukul 09.20 WIB

5

Dalam KompasIklan.Sekilas Kompas (Online) http://www.kompasiklan.com/about diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.15 WIB

6 Dalam KompasIklan. Kenapa Beriklan di KOMPAS (Online)

http://www.kompasiklan.com/kenapa diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.15 WIB 7 Dalam Kompas. TENTANG KAMI Kompas MuDA(Online) http://muda.kompas.com/about diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.16 WIB

(5)

5

Rubrik ‟Muda‟ mendapatkan penghargaan ”public service” dalam kompetisi yang diselenggarakan WAN-IFRA (Asosiasi Surat Kabar dan Penerbitan Berita Dunia) pada tahun 2011, karena diyakini, mampu memberikan kesadaran bagi masyarakat akan pentingnya gemar membaca di usia dini.8

Tidak hanya Kompas, koran harian Jawa Pos yang berpusat di Surabaya, juga melakukan melakukan beragam inovasi yang tidak jauh berbeda, yaitu dengan membidik pembaca dengan usia yang masih belia dalam rubrik „DetEksi‟, dan bahkan pembaca dengan segmentasi khusus, yaitu perempuan, sebagaimana dapat dilihat dalam rubrik yang bernama For her.

Azrul Ananda sebagai Presiden Direktur Jawa Pos, menjelaskan bahwa pihak Jawa Pos, memberikan perhatian khusus terhadap perempuan, karena perempuan diyakini memiliki kekuatan untuk memimpin laki-laki, bermula dari pemikiran tersebut, pihaknya kemudian merancang sebuah rubrik khusus bagi segmentasi pembaca yang tidak hanya perempuan muda, namun seluruh pembaca perempuan, yang pada akhirnya menjadi nama rubrik tersebut yaitu for her (untuk perempuan).

13 Desember 2010 menjadi awal terbitnya rubrik for her9. Materi berita yang ditampilkan oleh for her sangat beragam dan menarik bagi pembaca dengan segmentasi perempuan, seperti misalnya, kesehatan, kecantikan, karir, percintaan, masakan, fashion, dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Kontribusi Jawa Pos yang menyediakan rubrik khusus bagi perempuan, mendapat respon positif berdasarkan Indonesia Women Consumers Survey 2011, bahkan atas prestasinya Jawa Pos meraih penghargaan Indonesia's Most Favorite Woman Brand 201110.

8 Dalam Departemen Luar Negeri. 'Jawa Pos' dan 'Kompas' Raih Penghargaan Internasional WAN-IFRA (Online) http://www.deplu.go.id/Lists/News/DispForm.aspx?ID=5207&l=en diunduh pada 12 Desember 2012 pukul 09.20 WIB

9 Dalam Jawa Pos. Jawa Pos for her: Perubahan untuk Semua Perempuan (Online)

http://www.jawapos.com/news/news_detail.php?id_cnews=39 diunduh pada 18 September 2012 pukul 19.34 WIB

10 Rabecca Sherly. 2012. Representasi feminisme dalam Rubrik “For her” di Surat Kabar Harian

Jawa Pos. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga diunduh pada 28 November 2012 pukul

(6)

6

Rubrik For Her dengan segmentasi khusus perempuan, tidak menjadi satu satunya rubrik menarik yang diinovasi oleh Jawa Pos, sebagaimana misalnya dapat dilihat pada rubrik unik lainnya, yaitu ‟DetEksi‟, yang bahkan telah terbit sejak tahun 2000, jauh sebelum rubrik Muda dari Kompas dibuat tahun 2005, dan juga, bahkan sebelum rubrik For Her diterbitkan, pada akhir tahun 2010. Rubrik ‟DetEksi‟ adalah rubrik yang secara khusus ditujukan bagi pembaca dengan usia yang relatif muda dengan rentang usia 11 sampai 19 tahun.

Azrul Ananda menjelaskan alasan Jawa Pos selalu memberi perhatian bagi pembaca usia muda, yaitu karena anak muda selalu identik dengan dinamis, dan kreatifitas, dan bahkan beliau sempat menjabat menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos di usia yang muda, yaitu 27 tahun, dalam rentang waktu 2005 sampai 2007. Lebih lanjut Azrul mengatakan, pemikiran untuk mendirikan sebuah rubrik khusus anak muda yaitu ‟DetEksi‟, bermula, ketika Ayahnya, yaitu Dahlan Iskan menghadiri wisudanya di Sacramento, Amerika Serikat, dan bertanya, apakah dirinya masih membaca koran? Azrul menjawab tidak, karena koran identik dengan hal yang membosankan, penuh dengan berita politik dan kemelut. Beranjak dari pemikiran ingin melakukan sebuah inovasi pada format surat kabar yang selama ini membosankan, maka Azrul kemudian mulai merancang dan mengubah Jawa Pos menjadi lebih anak muda, dengan menyisipkan sebuah rubrik yang bernama ‟DetEksi‟ dan diterbitkan pertama kali dalam format 3 halaman11

. Terbitnya Rubrik „DetEksi‟, dipercaya membawa pengaruh positif, khususnya dalam inovasi meraih dan mengembangkan pembaca muda. Kontribusi rubrik „DetEksi‟, membuat Jawa Pos berhasil meraih penghargaan tertinggi World Young Reader Prize 2011, dan sekaligus membuat Jawa Pos menyandang gelar sebagai koran dengan pembaca muda terbaik di dunia. Penghargaan disampaikan pada hari pertama kongres tahunan ke-63 Asosiasi Surat Kabar dan Penerbitan Berita Dunia/ World Association of Newspapers and News Publishers

11 Dalam Indopos. Pembaca Muda Surabaya Jadi Inspirasi (Online)

http://www.indopos.co.id/index.php/index-catatan-don-kardono/17340-pembaca-muda-surabaya-jadi-inspirasi.html diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.34 WIB

(7)

7

(WAN-IFRA), yang berlangsung di Wina, Austria, 12-15 Oktober 2011. Selain meraih penghargaan World Young Reader Prize 2011, di ajang tahunan yang diikuti koran dari seluruh dunia tersebut, Jawa Pos juga meraih kemenangan pada kategori Enduring Excellence, berdasarkan komitmen dan konsistensi untuk meraih dan mempertahankan pembaca muda melalui rubrik „DetEksi‟12.

Prestasi Jawa Pos dalam menarik minat baca usia muda, menurut Azrul sudah terlihat dari data Survei Nielsen dalam beberapa tahun, yang menunjukkan bahwa 51% pembaca Jawa Pos berusia lebih muda dari 30 tahun, kesuksesan ini dianggap berdampak bagi regenerasi pembaca Surabaya yang lebih unggul dibandingkan kota lain. “Dari survey sekarang terlihat jelas, pembaca muda Surabaya yang usia 15-19 tahun, ada 41,7%. Jakarta hanya 28,6%, dan Bandung 23,3%. Lalu usia 20-29 tahun, Surabaya jadi 69,9%, Jakarta 42,8%, dan Bandung 28,6%, ini berkat Jawa Pos” fakta tersebut dipercaya sebagai hasil ‟pengaderan‟ pembaca „DetEksi‟ yang dimulai sejak tahun 2000.13

Antusiasme remaja terhadap terbitnya rubrik „DetEksi‟, bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab selain berfungsi sebagai media yang memenuhi kebutuhan khalayak mudanya akan informasi, kolom „DetEksi‟ juga memiliki suatu ciri khas yang unik dalam menggandeng sesama pembaca mudanya, yaitu dengan selalu melibatkan 500 hingga 1000 anak muda Surabaya, untuk polling yang diadakan dalam setiap temanya14. Polling yang diadakan oleh rubrik „DetEksi‟ merupakan suatu hal yang menarik, dimana perempuan dan laki laki secara bersama sama dalam sebuah ”ruang publik”, memberikan opininya yang beragam mengenai pro maupun kontra terhadap setiap tema pemberitaan yang sedang dibahas.

12 Dalam Jawa Pos. Jawa Pos Raih Gelar Koran Terbaik Dunia (Online)

http://www.jawapos.com/news/news_detail.php?id_cnews=45 diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.40 WIB

13 Dalam Indopos. Pembaca Muda Surabaya Jadi Inspirasi (Online)

http://www.indopos.co.id/index.php/index-catatan-don-kardono/17340-pembaca-muda-surabaya-jadi-inspirasi.html diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.34 WIB

14 Dalam Indopos. Pembaca Muda Surabaya Jadi Inspirasi (Online)

http://www.indopos.co.id/index.php/index-catatan-don-kardono/17340-pembaca-muda-surabaya-jadi-inspirasi.html diunduh pada 18 September 2012 pukul 08.34 WIB

(8)

8

”Ruang Publik”, sebagaimana dirumuskan oleh Habermas (Hardiman 2010:269-270) adalah suatu wilayah kehidupan sosial kita di mana apa yang disebut opini publik terbentuk. Akses kepada ”ruang publik” terbuka bagi semua warga negara. ”Ruang publik” terbentuk dalam setiap pembicaraan di mana pribadi pribadi berkumpul untuk membentuk suatu 'publik'. Bila publik menjadi besar, komunikasi ini menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan pengaruh; zaman sekarang surat kabar dan majalah, radio, dan televisi dapat menjadi ”ruang publik”.

”Ruang Publik” yang disediakan dalam rubrik „DetEksi‟ sebagaimana direspon secara antusias oleh khalayak, tidak hanya menampilkan polling, namun juga menyertakan beberapa hasil wawancara, mengenai tanggapan atau pendapat terkait tema yang sedang dibahas dalam pemberitaan. Peneliti melihat sebuah fenomena yang menarik ketika target pembaca, baik perempuan maupun laki laki, diberikan kebebasan serta kesempatan yang sama untuk mengekspresikan pendapat, dan bahkan berani berbagi pengalaman pribadinya, dalam ”ruang publik”, karena tema yang ditampilkan rubrik „DetEksi‟ Jawa Pos, memang sangat erat dengan kehidupan remaja.

Kontribusi perempuan dalam ”ruang publik”, merupakan suatu fenomena emansipasi yang menarik. Haryatmoko menjelaskan bahwa, ”ruang publik” dapat bermanfaat bagi perempuan untuk menyatakan eksistensinya, sebagaimana mengutip pernyataan Irigaray yang mengundang kaum perempuan untuk menulis, kalau mau membuka jaman baru, yaitu jaman kesetaraan. Menulis bahkan, sama dengan membangun sebuah korpus dan sebuah sandi makna yang dapat diingat, disebarluaskan, dan berkesempatan dicatat dalam sejarah. Menulis dapat digunakan untuk mengungkapkan diri dan berkomunikasi dalam keadaan ketika tidak berhak untuk berbicara (Haryatmoko 2010:149).

Perempuan memang kerap menjadi fokus perhatian apabila, mengemukakan pendapatnya di ruang publik, sebagaimana dijelaskan Kuntjara, bahwa orang-orang kerap beranggapan, perempuan lebih baik dilihat daripada untuk didengar, oleh karena topik pembicaraan perempuan pada umumnya adalah topik topik yang tidak penting. Bahkan dikatakan lebih lanjut bahwa kebanyakan

(9)

9

orang kerap berasumsi, laki-laki cenderung berpikir rasional dalam berbicara, oleh sebab itu laki laki dinilai lebih bermutu, sedang perempuan lebih banyak memakai perasaan yang kadang tidak logis, sehingga orang lebih menganggap pembicaraan perempuan tidak bermutu (Kuntjara 2003:21).

Senada dengan hal tersebut, Irwan bahkan memberikan pandangannya bahwa, anggapan perempuan adalah irasional, sehingga ia bahkan tidak tepat menjadi pemimpin, secara tidak langsung membuat perempuan menjadi tersubordinasi yang merujuk pada pengertian menyudutkan perempuan dalam posisi yang tidak penting dibandingkan laki-laki (Irwan 2009:40). Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut Jackson&Jones juga menjelaskan bahwa, subordinasi dapat terjadi karena, secara historis laki laki telah mendominasi kehidupan dalam bermasyarakat, sehingga tidak jarang, membuat perempuan lebih sering dijadikan objek daripada pencipta pengetahuan (Jackson&Jones 2009:1).

Kebebasan yang diberikan oleh media massa, terutama dalam membuka kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke dalam ”ruang publik” memang patut diapresiasi secara positif, bahkan menurut Haryatmoko media bisa menjadi cermin dalam memberi gambar kepedulian, konsepsi, atau aspirasi kepemimpinan perempuan (Haryatmoko 2010:151). Namun demikian, apakah kebebasan yang diberikan oleh media dalam ”ruang publik” memang mewacanakan sebuah gerakan kesetaraan gender? Gender menurut pandangan Ibrahim adalah konstruksi sosial dan kodifikasi perbedaan antar seks. Konsep ini merujuk pada pengertian hubungan sosial antara perempuan dan laki laki. Gender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal, dan memiliki identitas yang berbeda beda yang dipengaruhi oleh faktor faktor seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ibrahim 2007:7).

Gender dan ideologi memang kerap berkaitan, bahkan Graddol&Swann menjelaskan bahwa ideologi tidak hanya mengimplementasikan komitmen politik tertentu saja, tetapi juga merepresentasikan sebuah hipotesis sosiologis yang berusaha menjelaskan mengapa orang dapat dibujuk untuk bertindak dengan cara cara yang bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka sendiri, dan pada

(10)

10

akhirnya melayani kepentingan kelompok sosial yang dominan. Dalam gender misalnya, kesan feminitas dan maskulinitas yang mendorong perempuan maupun laki laki, untuk mengkonfirmasikan diri dengan norma norma gender yang mapan, pada akhirnya akan berakhir dengan penindasan terhadap perempuan. Lebih lanjut, ideologi kerap dihadirkan sebagai sebuah mekanisme, untuk menjelaskan bagaimana kaum perempuan terlibat penindasan atas diri mereka diri (Graddol&Swann 2003:220-221).

Kekuatan media dalam mempengaruhi opini publik, dan mengolah realitas, kerap diharapkan, untuk memberikan sumbangsih positif, khususnya dalam mendukung kesetaraan gender. Serupa dengan hal tersebut Tuchman (Thornham 2010:73) menjelaskan bahwa media mampu bertindak sebagai agen sosialisasi, yang mengirimkan berbagai citra yang tersterotipe tentang peran seksual, terutama kepada orang-orang muda.

Peran media yang diharapkan mampu memberikan kontribusi, untuk meningkatkan kesetaraan dan pembangunan perempuan, telah menjadi fokus Internasional, sebagaimana diawali pada Dekade Perserikatan Bangsa Bangsa untuk perempuan yang telah berlangsung sejak tahun 1975. Bahkan lebih lanjut, media dimasukkan sebagai salah satu wilayah perhatian penting pada platform Beijing untuk Aksi di tahun 1995. Media memang diharapkan mampu meliput isu isu dan kesetaraan gender, meskipun pada akhirnya dianggap gagal dalam mengaitkan demokrasi, kebebasan berekspresi, pemerintahan, dan isu isu gender yang adil bagi kandungan editorial media. Fokus media dianggap terlalu memperhatikan pola pola pekerjaan perempuan dan laki laki, serta manajemen media, dan mengabaikan bias gender pada pengumpulan berita dan proses proses media lainnya (Ibrahim 2007:3-4).

Bias gender menurut Irianto&Cahyadi, adalah pemikiran yang bersifat stereotipikal tentang peran perempuan dan laki laki, mengacu pada persepsi masyarakat tentang apa yang dinilai baik dari seorang perempuan dan laki laki dengan membedakan peran di antara mereka (Irianto&Cahyadi 2008:11). Galliano (Ibrahim 2007:4) menjelaskan bahwa media menentukan dan mengukuhkan ideologi, ”sistem kepercayaan”, atau ”pandangan dunia” tertentu. Media juga

(11)

11

menanamkan kesadaran dan mitos tertentu mengenai dunia dan kehidupan, yang dengan demikian dapat dikatakan menjadi saluran mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, yang membedakan perempuan, dan laki laki.

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi sebuah permasalahan selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Meskipun demikian, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Fakih menjelaskan perbedaan gender telah membentuk sebuah sistem dan struktur dimana perempuan dan laki laki menjadi korban. Kendati pada akhirnya, adalah perempuan yang kerap dirugikan dengan adanya ketidakadilan gender, sebagaimana dapat dilihat pada marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, dan juga sosialisasi ideologi yang membedakan peran gender (Fakih 2012:12-13).

Kesetaraan gender sebagaimana diharapkan dapat terwujud, mulai muncul ketika konsep ‟ruang publik‟, yang dipahami dalam konteks, sebagai sarana diskursus bersama tanpa mendiskriminasi mulai diperkenalkan. Kaum feminis,15bahkan, mulai memanfaatkan ”ruang publik”, untuk menyuarakan kesetaraan gender, karena selama ini berada dalam dominasi laki laki.

Pateman (Hardiman 2010:207) mengatakan bahwa kehadiran ”ruang publik”, yang diidealkan sebagai sebuah ”ruang” untuk bebas mengemukakan pendapat dan berekspresi tanpa tekanan dari siapapun, telah membawa semangat perjuangan gerakan feminis selama hampir 2 abad, karena perempuan selama ini selalu dipisahkan dalam ‟ruang privat‟, dan tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam ”ruang publik”. Serupa dengan hal tersebut Habermas (Hardiman 2010:189) juga mengatakan bahwa ”ruang publik” dapat menjadi mediasi antara isu-isu privat dalam kehidupan keluarga, bisnis, dan sosial, yang mengatasi

15 Feminis adalah mereka yang melakukan suatu tindakan perlawanan terhadap dominasi laki laki. dalam Hetty Siregar, “Menuju Dunia Baru”, Jakarta, PT BPK Gunung Mulia, 1999, hlm. 6.

(12)

12

perbedaan antara kaum bourgeois dan citoyen, melalui pencarian kepentingan publik.

Young & Baker (Hardiman 2010: 208-209) menjelaskan lebih lanjut bahwa dikotomi privat/ publik kerap melanggengkan dominasi laki laki atas perempuan, sebab persoalan perempuan selalu dianggap sebagai perkara privat, yang dalam konteks ini selalu mengurus urusan domestik saja, urusan perempuan seperti keluarga dan rumah tangga, dianggap sebagai urusan privat yang tidak boleh dibuka ke publik, dalam kenyataannya telah merugikan perempuan. Misalnya, pada masyarakat liberal yang menghargai hak atas privacy, ketika dalam konflik keluarga dan istri mengalami penganiyaan, baik fisik maupun mental, masyarakat umum dan negara tidak dapat campur tangan karena akan dianggap melanggar privacy. Kaum perempuan dalam masyarakat tradisional konservatif, juga sering terpaksa diam dan dengan tabah harus menanggung berbagai siksaan dari suami mereka, karena apabila melakukan protes terbuka ke publik, maka perempuan akan dianggap membuka aib sendiri yang memalukan dengan membocorkan rahasia keluarga.

Keberadaan ”ruang publik” memang telah membawa harapan, yang merujuk pada pengertian, bahwa setiap warga negara bebas mengemukakan pendapat atau opini dalam diskursus yang membahas berbagai problematika, dengan tanpa tekanan dari pihak manapun, sebagaimana konsep yang diidealkan oleh masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan, yang kerap mengalami diskriminasi.

”Ruang publik” yang terdapat pada rubrik „DetEksi‟ Jawa Pos sebagaimana diterapkan pada target pembaca muda, khususnya perempuan dan laki laki untuk berekspresi dalam mengemukakan pendapat, merupakan konsep yang sudah mengalami perkembangan, sejak abad ke 18 pada era masyarakat borjouis di Inggris dan Prancis (Hardiman 2010:26). Pada perkembangan sejarahnya, kontribusi positif, yang terdapat dalam ”ruang publik”, bahkan kemudian mulai menarik perhatian media massa, dan diterapkan, dengan memfasilitasi diskursus warga negara (Hardiman 2010:270). Habermas (Antoni 2004:57) menjelaskan bahwa ”Ruang Publik” merupakan perwujudan sosial yang

(13)

13

di dalamnya pertukaran informasi dan cara pandang mengenai kepedulian bersama dapat tampil. Melalui ”Ruang Publik” pendekatan opini dapat dibentuk dan penduduk diperlakukan sebagai sebuah badan publik yang kebebasannya tidak dibatasi, dalam berekspresi mengemukakan pendapat.

Kebebasan berekspresi dalam berpendapat sebagaimana diidealkan oleh Habermas, harus terjadi dalam suatu ”ruang publik”, mengalami masa kemunduran di pertengahan abad ke 20 seiring dengan munculnya era kapitalisme dan komersialisasi. Refeodalisasi yang merujuk pada pengertian negara dan pasar melakukan intervensi-intervensi hegemoni ke dalam ruang publik sehingga ruang publik yang berciri otonom dan kritis terhadap ekonomi dan birokrasi, justru kini menjadi arena kepentingan-kepentingan pasar dan birokrasi, yang kemudian diyakini, menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ”ruang publik” (Hardiman 2010:194-195).

”Ruang privat” sebagaimana tidak ideal untuk diintervensi dan dieksplotitasi oleh media, mulai dilakukan, demi kepentingan komersialisasi dan komoditas hiburan. Serupa dengan hal tersebut Habermas (Hardiman 2010:195) menjelaskan pandangannya bahwa korporasi korporasi bisnis yang mempunyai fungsi fungsi politis untuk mengendalikan media, mulai mencampuri wilayah wilayah privat warga negara, sehingga mengaburkan distingsi antara privat dan publik, yang pada era borjuis cukup jelas dipertahankan. Perubahan itulah yang kemudian disebut perubahan struktur ruang publik. ”Refeodalisasi” sendiri pada akhirnya memiliki arti lain disamping hegemoni pasar atas demokrasi, yaitu bahwa ruang publik tidak lagi menjadi arena diskursus bagi masyarakat warga, melainkan menjadi sarana representasi para elit media yang menjadi kepentingan kepentingan pasar dan kekuasaan.

Peran khalayak mulai berubah dari partisipatif yang bebas mengemukakan pendapat demi menyikapi setiap fenomena alih-alih kepentingan bersama, menjadi khalayak konsumtif, yang formasi opininya digunakan sebagai komoditas. Serupa dengan hal tersebut Habermas (Hardiman 2010:196) menjelaskan bahwa salah satu wilayah yang dilanda hegemoni pasar atas demokrasi, yaitu wilayah sosial menurut Habermas, media tidak lagi menjadi

(14)

14

fasilitas diskursus rasional, melainkan justru menjalankan konstruksi, seleksi, dan formasi diskursus itu menjadi komoditas hiburan yang dapat dikonsumsi secara pasif oleh khalayak. Peran ”warga negara” berubah menjadi ”konsumen” belaka yang tunduk pada dikte kebutuhan kebutuhan mereka untuk memiliki, memakai, dan menikmati.

Kontribusi rubrik „DetEksi‟ yang telah menyediakan ”ruang publik”, sebagaimana digunakan oleh perempuan dan laki laki untuk mengemukakan pendapat, dan berbagi pengalaman pribadinya secara bebas, untuk menyikapi setiap tema yang sedang dibahas, merupakan suatu hal yang positif, terutama sebagaimana diharapkan oleh kaum feminis, bahwa perempuan harus mendapatkan kesempatan yang sama dan berimbang untuk mengemukakan opininya dalam ”ruang publik”. Serupa dengan hal tersebut rubrik „DetEksi‟ bahkan, melalui personifikasi maskot anjing yang berwarna biru dan mengenakan penutup mata, berani menjamin untuk selalu netral, dalam menampilkan fakta yang apa adanya. Tidak menutup nutupi atau melebih lebihkan fenomena yang sedang berkembang16.

Komitmen rubrik ‟DetEksi‟ untuk selalu netral dalam menampilkan pemberitaan mengenai suatu fenomena yang sedang berkembang, tentunya membawa harapan positif bagi kaum perempuan, khususnya kendati di usia yang masih muda, namun kaum perempuan telah diberikan kesempatan yang sama untuk menunjukkan eksistensinya dalam mengemukakan pendapat bersama sama dengan laki laki. Meskipun demikian, peneliti masih menemukan bahwa tema pemberitaan yang dibahas dan opini perempuan yang ditampilkan, secara tidak langsung, masih menjadikan perempuan sebagai komoditas hiburan, dan berada dalam posisi yang disubordinasi dalam dominasi laki-laki.

Beranjak dari fenomena tersebut, apakah kontribusi perempuan yang bersama sama dengan laki laki mengemukakan opini, bahkan berbagi pengalaman pribadi yang selama ini berada dalam ”ruang privat”, dan tabu untuk dibahas, namun akhirnya berani untuk diceritakan ke ”ruang publik” dan dikatakan netral,

16 Dee/Kkn. 2010. „DETEKSI‟ DECADE.Jawa Pos. Surabaya diunduh pada 5 Januari 2013 pukul 19.00 WIB

(15)

15

pada rubrik „DetEksi‟, dapat digolongkan sebagai rubrik yang mewacanakan ideologi feminisme? ataukah opini perempuan yang selama ini berada dalam ”ruang privat”, dan akhirnya berani untuk disampaikan di ”ruang publik”, pada rubrik „DetEksi‟, justru sesungguhnya tidak berimbang dan sarat dengan subordinasi terhadap perempuan, sebagaimana pada akhirnya dimanfaatkan, bahkan dieksploitasi demi memperoleh keuntungan bisnis? Sebab bagaimanapun juga, menurut Habermas, ”ruang publik” di era kapitalisme tidak lagi menjadi fasilitas diskursus rasional, melainkan justru menjalankan konstruksi, seleksi, dan formasi diskursus yang berubah menjadi komoditas hiburan, sebagaimana dikonsumsi secara pasif oleh khalayak.

Fenomena ini yang ingin dikaji oleh peneliti, dengan menggunakan metode analisis wacana kritis Sara Mills, yang titik perhatiannya terletak pada bagaimana perempuan ditampilkan di dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, maupun dalam berita.

1.2.Rumusan Masalah

Bagaimana wacana subordinasi perempuan dalam komersialisasi “ruang publik” pada rubrik „DetEksi‟ Jawa Pos?

1.3.Tujuan Penelitian

Menggambarkan wacana subordinasi perempuan dalam komersialisasi “ruang publik” pada rubrik „DetEksi‟ Jawa Pos.

1.4.Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pengetahuan tentang analisis wacana terhadap pemberitaan dalam media cetak/koran.

b. Manfaat Praktis

- Menambah wawasan penulis mengenai isi “ruang” publik pada rubrik “„DetEksi‟” Koran Jawa Pos.

- Memberikan tambahan pengetahuan kepada pembaca pada umumnya dan mahasiswa FISKOM terhadap pesan yang disampaikan dalam media massa, agar para pembaca bersikap kritis terhadap pemberitaan yang disampaikan dalam sebuah rubrik.

Referensi

Dokumen terkait

Uraian di atas menjadi dasar berkembangnya suatu pemikiran apakah ada perbedaan perubahan kadar base excess pada pemberian resusitasi cairan ringer laktat

Metode yang digunakan dalam proses pengujian pengaruh variasi jarak mata pisau dengan piringan terhadap hasil pemotongan yaitu dengan melakukan pengirisan singkong

Tungkai di bentuk oleh tulang atas atau paha (os femoris/femur), sedangkan tungkai bawah terdiri dari tulang kering (os Tibia) dan betis serta tulang kaki, sedangkan gelang

Masalah-masalah tersebut umumnya menyangkut strategi pemasaran yang kurang optimal dibandingkan dengan harapan konsumen, antara lain : produk yang dilakukan oleh

(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Unit Pengembangan Usaha dan Kerja Sama berkoordinasi dengan Seksi Kesehatan Pelaut dan Tenaga

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 POJK 42/2020, Transaksi ini merupakan Transaksi Afiliasi yang dilakukan oleh CAP2 yang merupakan perusahaan terkendali Perseroan, dan

Dari beberapa studi kasus pengalaman risiko konstruksi pembangkit listrik konvensional dan identifikasi risiko yang terjadi, maka langkah- langkah yang diperlukan

Setelah user mentukan ingin mencari informasi jalur Trans Jogja dengan menggunakan pencarian kata kunci, maka flowchart pencarian kata kunci ini berfungsi untuk