• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Sunat pada perempuan sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan dan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi terhadap sunat perempuan, menyebabkan adanya perbedaan pendapat tentang praktik tersebut, sehingga menimbulkan pro-kontra di tengah-tengan masyarakat. Sunat perempuan di Indonesia pernah dilarang oleh Pemerintah melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK 00.07.1.31047a, tanggal 20 April 2006 tentang Larangan Petugas Kesehatan untuk Medikalisasi Sunat Perempuan. Berdasarkan surat edaran tersebut, sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan bagi perempuan yang disunat.

Tentang adanya larangan sunat perempuan tersebut mengundang perhatian di kalangan Ulama Indonesia, sehingga pada tahun 2008 melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara khusus dikaji tentang sunat perempuan. Dalam kajian tersebut akhirnya MUI mengeluarkan fatwa Nomor 9A Tahun 2008, tanggal 7 Mei 2008 tentang Hukum Pelarangan Sunat terhadap Perempuan. Fatwa itu menegaskan, bahwa pelarangan sunat pada perempuan bertentangan dengan ketentuan syari'ah dan sunat perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan,

(2)

seperti memotong atau melukai klitoris yang dapat mengakibatkan dharar atau bahaya pada perempuan.

Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat dan dengan pengkajian secara bersama, akhirnya Depkes kembali mengeluarkan peraturan tentang sunat perempuan, yang memberikan otoritas kepada tenaga kesehatan tertentu seperti Dokter, Bidan dan Perawat untuk melakukan sunat pada perempuan. Ketetapan tersebut dituangkan dalam Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010, tanggal 15 November 2010 tentang Sunat Perempuan. Sampai saat ini, peraturan tentang sunat perempuan tersebut terus mendapat tantangan dari lembaga dunia, terutama World Healt Organization (WHO) dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pembela perempuan (seperti LSM Kalyanamitra, Federasi LBH APIK, Amnesty International, dan KOMNAS Perempuan). Tuntutan mereka jelas untuk menolak praktik sunat perempuan, dan menggolongkan praktik tersebut sebagai perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan dapat menimbulkan korban (Solikhah, 2012).

Secara umum ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut sunat perempuan, yaitu: 1) Female Genitale Cutting (FGC) atau pemotongan alat kelamin wanita; 2) Female Genitale Mutilation (FGM) atau mutilasi alat kelamin wanita; 3) Female Circumcision (FC) atau sunat perempuan, namun untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik tersebut, istilah yang lebih banyak dipakai adalah Female Genitale Mutilation (FGM) oleh pihak-pihak yang menentang praktik sunat perempuan (WHO, 2008).

(3)

Menurut Anees (1989) setidaknya ada empat jenis sunat/khitan perempuan yang dikenali, yaitu : 1) Khitan biasa, irisan khitan pada kulup klitoris. Di negeri-negeri muslim tertentu biasanya dikenal sebagai khitan sunnah; 2) Penghilangan, dihilangkannya gland clitoridis atau bahkan seluruh klitoris itu dan mungkin termasuk sebagian, atau seluruh labia minora; 3) Infibulasi, dikenal juga sebagai khitan fir’aun, yaitu penutupan sebagian mulut vagina setelah dipotongnya sejumlah jaringan kelamin. Dalam keadaan yang paling radikal, seluruh bagian dari mons veneris, bibir luar, bibir dalam dan klitoris dihilangkan dan; 4) Introsis, bentuk yang paling kejam dari perusakan alat kelamin wanita. Introsisi adalah pemotongan sampai liang vagina atau penyobekan kerampang dengan menggunakan peralatan benda tajam. Jenis khitan wanita ini dilaporkan pernah dilakukan di kalangan suku-suku di Australia.

Sadaawi (2001) menyatakan bahwa, sunat perempuan dilakukan demi kepentingan untuk menjaga keperawanan serta meminimalisir hasrat seksual wanita. Sunat perempuan memungkinkan seorang wanita pada usia anak-anak dan masa puber untuk menjaga keperawanannya, sehingga martabatnya akan terjaga dengan baik. Sunat perempuan juga merupakan tindakan untuk mendominasi wanita, dalam masyarakat yang patriarki dimana seorang laki-laki dapat memiliki lebih dari satu istri. Perempuan yang disunat, dianggap pasti akan dapat menekan nafsu seksualnya, sehingga mereka tetap dapat menjaga kehormatan dirinya sampai saatnya menikah.

(4)

Menurut Muhamad (1998) bahwa banyak laki-laki tidak dapat mencegah perempuan terhadap pengaruh luar yang mungkin dapat membangkitkan hasrat seksualnya. Maka beberapa kelompok masyarakat di Afrika mengharuskan agar bagian tubuh perempuan yang dianggap sebagai pusat hasrat seksual dan mengakibatkan ia mencari kepuasan seksual, harus dihilangkan kepekaannya dengan memotong atau mengirisnya. Itulah alasan kultural mengapa anak perempuan harus disunat, yang dilakukan dengan cara memotong klitoris/ klitoridektomi.

Banyak alasan mengapa praktik sunat perempuan dilakukan, salah satunya yang dikatakan oleh Lubis (2006) bahwa sunat perempuan bermanfaat bagi kebersihan, kesehatan dan keindahan sehingga seorang perempuan yang tidak disunat akan dianggap tidak bersih dan tidak akan memperbolehkannya menyentuh makanan dan air. Alasan ini merupakan dalih pembenaran yang dipakai oleh banyak masyarakat di dunia untuk melakukan sunat perempuan. Pemotongan klitoris sering dikaitkan dengan tindakan pensucian atau pembersihan oleh masyarakat yang mempraktikkan sunat perempuan.

Menurut Ahmad (dalam Muhamad, 1998) bahwa praktik sunat perempuan dikalangan orang Massai di Afrika, ada kepercayaan bahwa dengan memotong klitoris dan sedikit labia minora, maka anak perempuan akan dapat dilepaskan dari fantasi seksual. Beberapa kaum moralis laki-laki Afrika berargumentasi, bahwa rangsangan seksual pada perempuan akan menyebabkan ereksi klitoris yang serupa dengan ereksi penis pada laki-laki. Dengan demikian, melukai klitoris

(5)

perempuan yang homolog dengan penis laki-laki tersebut, membuat klitoris tidak akan peka lagi terhadap rangsangan erotis.

Sedangkan menurut Gordon (dalam Muhamad, 1998) seperti yang diungkapkan seorang Ulama Al-Azhar di Mesir yang mengatakan bahwa sunat pada perempuan merupakan salah satu cara untuk mencegah perempuan “berpikir kotor”, seperti yang diceritakan oleh seorang laki-laki dari Bulaq, sebuah daerah kumuh di Kairo:

“Bahwa di negeri yang panas ini kami lebih emosional dan prilaku kami lebih mudah untuk lepas dari kendali. Tanpa dikhitan seperti itu, tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya perempuan kami. Pastilah seorang laki-laki saja tidak akan cukup untuk memuaskan mereka.”

Menurut Pinim (2009) dengan mengutip hasil deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2003, bahwa sunat pada bayi atau anak perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Selanjunya, memperhatikan sebuah keputusan Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Zulkarnain (2012) mengatakan bahwa, Permenkes tentang Sunat Perempuan merupakan sebuah kemunduran dalam upaya memerangi kekerasan terhadap perempuan, dan mendesak Indonesia untuk membuat kebijakan yang menghapuskan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan merupakan praktik tradisional yang sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia, umumnya praktik ini dilakukan di negara-negara Afrika, sekitar 2 juta perempuan remaja menjadi korban praktik sunat perempuan setiap tahunnya (Wiknjosastro dkk, 2006).

(6)

Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan tidak memiliki manfaat bagi kesehatan, dan itu merugikan perempuan dan anak perempuan dalam banyak hal, dan WHO menegaskan bahwa FGM adalah pelanggaran hak asasi perempuan. Paktik ini menyebabkan rusak bahkan menghilangkan jaringan sehat dan normal pada alat kelamin perempuan, sehingga mengganggu fungsi tubuh perempuan yang mengalami praktik sunat. Tindakan FGM dapat menyebabkan pendarahan parah, masalah buang air kecil, kista, infeksi, infertilitas serta komplikasi dalam persalinan meningkatkan risiko kematian bayi yang baru lahir. Ada sekitar 140 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia saat ini hidup dengan konsekuensi dari FGM (WHO, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Sadaawi (2001), dari 160 gadis dan wanita Mesir sebagai sampel menunjukkan bahwa 97,5% dari keluarga yang tidak berpendidikan masih mempertahankan parktik FGM, persentase ini turun mencapai 66,2% pada keluarga-keluarga yang berpendidikan. Seperti kasus yang terjadi di Afrika, diperkirakan 91,5 juta anak perempuan dan wanita usia 10 tahun ke atas telah mengalami praktik FGM, 12,4 juta diantaranya adalah berusia 10-14 tahun (WHO, 2011).

Tingginya resiko yang ditimbulkan karena sunat perempuan membuat beberapa negara melakukan pelarangan terhadap praktik tersebut, misalnya Parlemen Mesir yang mengesahkan Undang-Undang tentang pelarangan sunat perempuan. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi denda 185 Dolar Amerika Serikat sampai dengan 900 Dolar Amerika Serikat dan kurungan penjara selama 3

(7)

bulan sampai 2 tahun (Kalyanamitra, 2012). Dan di Inggris, menurut Hedley dan Dorkenoo (1992) diperkirakan 10.000 anak perempuan beresiko mengalami mutilasi genetalia. Sehingga pada tahun 1985, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan Bill, yang memuat prosedur pelaksanaan ”sirkumsisi pada perempuan” tidak legal di Inggris (Andrews, 2009).

Menurut WHO (2007) praktik sunat perempuan dilakukan di 28 negara dan terbanyak di negara Afrika, Timur Tengah dan Asia. Praktik ini juga dilaporkan terjadi di India, dan praktik FGM sampai saat ini juga ditemukan di Eropa, Australia, Kanada dan beberapa Negara Bagian di Amerika. Banyak upaya bersama yang telah dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia bersama kelompok feminisme, untuk mengakhiri praktik sunat perempuan di negara-negara yang masih berlangsung FGM seperti Indonesia.

Sehingga Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2008, mengesahkan resolusi (WHA61.16) tentang penghapusan FGM, dan menekankan perlunya tindakan terpadu di semua sektor kesehatan, pendidikan, keuangan, keadilan dan urusan perempuan. Selanjutnya PBB menyatakan bahwa, tanggal 6 Februari ditetapkan sebagai Hari Internasional Zero Toleransi terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan atau International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation (WHO, 2012).

Praktik-praktik pemotongan klitoris (klitoridektomi) atau infibulasi yang dilaporkan di negeri-negeri Muslim (seperti Mesir, Sudan, Yaman Selatan, Nigeria, Malaysia dan Indonesia) jelas bertentangan dengan ketentuan Islam.

(8)

Tetapi ada sejumlah negeri Muslim lain (seperti Afganistan, Aljazair, Lybia, Maroko, Pakistan, Tunisia) di mana perusakan alat kelamin seperti itu tidak dikenal (Anees, 1989).

Berdasarkan riset Population Council bahwa, sunat perempuan di Indonesia dilakukan di berbagai daerah seperti Banten, Gorontalo, Makassar, Madura, Padang, Padang Pariaman, Padang Sidimpuan, Serang, Kutai Kartanegara, Sumenep, Bone, dan Bandung. Praktik sunat perempuan di Indonesia sampai saat ini menjadi perhatian dari berbagai LSM anti-kekerasan perempuan dan anak seperti Amnesti Internasional. Mereka meminta pemerintah Indonesia segera membuat aturan yang melarang segala bentuk sunat kelamin perempuan, karena ada kekhawatiran jika sunat perempuan dibenarkan maka akan mendorong mutilasi alat kelamin perempuan (Solikhah, 2012).

Wiknjosastro dkk (2006) menyatakan bahwa praktik sunat perempuan di Indonesia, biasanya dilakukan oleh Bidan dengan menggunakan gunting untuk memotong bagian alat kelamin perempuan (biasanya klitoris), sedangkan yang dilakukan oleh tenaga tradisional (Dukun) biasanya menggunakan pisau lipat yang digunakan untuk kegiatan simbolik. Menurut Budiharsana, 2003 (dalam Wiknjosastro dkk, 2006) bahwa praktik sunat perempuan secara medis ditemukan di Padang (91,7% dari 349 kasus yang diobservasi), Padang Pariaman (68,7% dari 323 kasus yang diobservasi), Kutai Kartanegara (20,9% dari 215 kasus yang diobservasi), Sumedep-Madura (18,2% dari 275 kasus yang diobservasi) dan Serang (14,5% dari 44 kasus yang diobservasi).

(9)

Praktik sunat perempuan sampai saat ini masih banyak dijalankan berbagai daerah di Indonesia. Praktik itu dilakukan dengan berbagai alasan dan pandangan tentang hal tersebut, seperti alasan perintah agama, bermanfaat bagi kesehatan dan sebuah tradisi masyarakat secara turun-temurun yang harus dijalankan. Menurut Muhamad (1998) dengan mengutip pernyataan Suparlan, bahwa orang Jawa tradisional yang beragama Islam menekankan pentingnya sunat perempuan hannya dalam bentuk upacara, dan tidak dengan melukai klitorisnya. Mereka memandang upacara tersebut sebagai simbol bahwa anak perempuan mereka sudah melewati masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Sesungguhnya praktik sunat perempuan di Indonesia dan Malaysia sangat jarang dipraktikkan, dan biasanya praktik sunat perempuan tersebut dilakukan hanya secara simbolis tanpa mencederai alat kelamin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Feillard dan Marcoes (1998) bahwa sunat perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, yaitu dengan menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris. Sedangkan berdasarkan Permenkes Nomor 1636 pasal 5 ayat 2 menerangkan bahwa sunat perempuan dilarang dilakukan dengan cara: 1) Mengkauterisasi klitoris; 2) Memotong atau merusak klitoris baik sebagian maupun seluruhnya; dan 3) Memotong atau merusak labia minora, labia majora, hymen dan vagina baik sebagian maupun seluruhnya.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam surat kabar harian Tempo edisi 21 Januari 2013 menjelaskan bahwa, sunat perempuan di Indonesia tidak dilarang, bahkan pihaknya mengizinkan perempuan untuk disunat asalkan

(10)

memenuhi syarat-syarat kesehatan. Menteri Kesehatan mengatakan, jika ada masyarakat yang ingin melakukan praktik sunat perempuan agar menghubungi Dinas Kesehatan setempat untuk ditangani oleh petugas kesehatan, jangan praktik dilakukan oleh Dukun yang tidak memenuhi syarat keamanan dan kesehatan. Sunat perempuan di Indonesia tambah menteri, tidaklah sama dengan sunat perempuan yang dilakukan di negara-negara yang lain, seperti Afrika dan Mesir. Segala bentuk sunat perempuan yang ada di Indonesia tidaklah akan menimbulkan resiko infeksi maupun dampak yang serius terhadap kesehatan dan psikologis anak perempuan tersebut (Antara, 2013).

Pro dan kontra akan hal sunat perempuan juga terlihat dalam pandangan para imam pada umat Islam. Seperti yang dikatakan oleh Basyarahil (2010) menjelaskan bahwa, umat Islam sepakat diisyaratkannya sunat, tetapi berselisih pendapat tentang hukumnya. Imam Syafi’i mewajibkan sunat bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi mensunnahkan sunat bagi laki-laki dan perempuan dan banyak ulama yang mewajibkan sunat untuk laki-laki saja. Namun, ada juga ulama yang mensunnahkan bagi laki-laki dan sebagai bentuk penghormatan bagi perempuan. Ulama yang lain, ada juga yang berpendapat bahwa sunat hukumnya sunnah bagi laki-laki dan zalim bagi perempuan.

Sedangkan waktu pelaksanaan sunat, dapat dilakukan sejak kelahiran anak sampai sebelum masuk usia baliq. Pelaksanaan sunat, disunnahkan 7 hari, 14 hari atau 21 hari sejak kelahiran anak. Sedangkan Baharits (2007) menjelaskan bahwa

(11)

banyak ulama yang berpendapat tentang waktu pelaksanaan sunat, sebagian ulama berpendapat bahwa makhruh hukumnya melaksanakan sunat pada hari ke 7 dari kelahiran anak, sedangkan menurut mazhab Maliki, sunat dilakukan pada saat anak mulai diperintahkan untuk mulai shalat yaitu pada usia 7-9 tahun.

Sampai saat ini, sunat perempuan terus mendapat perhatian banyak pihak, tentang tata cara pelaksanaan, apa alasan tindakan ini terus dipraktikkan dan apa manfaat dari prakrik sunat perempuan terus menjadi topik yang kontroversi. Sampai saat ini, di Kabupaten Aceh Tenggara juga melaksanakan praktik sunat perempuan, namun tindakan ini belum mendapat perhatian khusus dari kalangan ilmuan kesehatan/peneliti, bagaimana pelaksanaannya di tengah-tengah masyarakat.

Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukota Kutacane adalah Daerah Tingkat II dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh. Menurut Sufi dkk (2008) bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002, luas wilayah Aceh Tenggara 4.231,41 km² dengan sebagian besar wilayah berada di lembah. Setelah terjadi pemekaran wilayah dengan Kabupaten Gayo Lues pada tanggal 10 April 2002, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah penduduk Aceh Tenggara tahun 2011 berjumlah 183.108 jiwa berdasarkan hasil sensus tahun 2010 (BPS, 2012).

Menurut Akbar dkk (2005) mengatakan bahwa orang Alas merupakan kelompok-etnis asli yang ada di Aceh Tenggara. Orang Alas memeluk agama Islam dan sangat memegang kuat adat dan tradisi dalam kesehariannya, seperti

(12)

adat pemamanen dan kenduri pesenatken. Menurut Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (2003) bahwa sunat atau khitan (Alas : pesenatken) masyarakat Alas lebih mementingkan dan memperhatikan sunat pada anak laki-laki, pesenatken pada anak laki-laki dilakukan pada usia 8-12 tahun, biasanya sunat tersebut dilakukan dengan pesta adat yang meriah dan banyak melibatkan tamu, serta tahapan adat pesenatken pada masyarakat Alas sampai 3 hari sebelum anak tersebut disunat (LAKA, 2003).

Praktik sunat pada anak perempuan masyarakat Alas umumnya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, tidak banyak melibatkan masyarakat secara umum, berbeda halnya sunat pada anak laki-laki. Menurut keterangan masyarakat Alas, bahwa sunat anak perempuan dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, dan tindakan ini dilakukan oleh seorang dukun sunat perempuan (Alas : mudim de bekhu). Praktik ini dilakukan pada saat anak perempuan berusia 1-2 tahun, dan parktik ini telah lama dikenal dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat Alas.

Sunat pada anak perempuan, merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap anak perempuan, dan hal ini dilakukan dengan berbagai alasan di dalam masyarakat Alas itu sendiri. Sampai saat ini, prosedur sunat perempuan pada masyarakat Alas dilakukan dengan tradisi dan cara pelaksanaan secara tradisional. Berdasarkan latar belakang di atas, dianggap perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang sunat perempuan pada masyarakat Alas,

(13)

dengan judul penelitian Studi Kualitatif Sunat Perempuan pada Masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara.

1.2 Permasalahan

Praktik sunat perempuan sampai sekarang menjadi pro dan kontra pada masyarakat dunia dan menjadi isu yang kontroversi di Indonesia. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, mengapa praktik sunat perempuan dengan berbagai sudut pandang, metode dan alasan-alasan institusional pada masyarakat Alas, sehingga sampai saat ini praktik tersebut terus dijalankan serta bagaimana praktik ini dilakukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah yang dapat dirumuskan, yaitu : 1) Bagaimana praktik sunat perempuan pada masyarakat Alas dewasa ini dilaksanakan, dan; 2) Mengapa praktik sunat perempuan tetap dilaksanakan, walaupun ada resiko yang dapat ditimbulkan, dan mengapa masyarakat Alas lebih mempercayai mudim de bekhu untuk menyunat anak perempuan mereka, yang ternyata tidak sesuai dengan anjuran Pemerintah melalui Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010. Secara lebih tegas, masalah ini dapat dirumuskan “Bagaimana praktik sunat perempuan dijalankan, dan bagaimana praktik ini dilakukan pada masyarakat Alas secara tradisi maupun secara medis?”

(14)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dasar pemikiran, pengetahuan dan hukum/norma-norma yang mengendalikan masyarakat Alas, sehingga melakukan praktik sunat perempuan, yang ternyata sangat beranekaragam.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui alasan-alasan yang mengharuskan masyarakat Alas melakukan sunat pada perempuan sampai saat ini, baik secara tradisi maupun secara medis.

2. Untuk mengetahui manfaat dan dampak dari praktik sunat perempuan menurut masyarakat Alas.

3. Untuk mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan praktik sunat perempuan pada masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan, terhadap teori-teori yang ada mengenai kesehatan reproduksi wanita.

(15)

1.4.2 Manfaat Praktis

Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Instansi terkait khususnya Dinas Kesehatan setempat. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi masyarakat Alas dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, dalam menyikapi masalah tentang sunat perempuan dan kesehatan reproduksi wanita pada masyarakat Alas. Selain manfaat tersebut, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran masyarakat bahwa, isu tentang sunat perempuan bukanlah hanya sekedar isu yang sederhana, sehingga tradisi dan pelaksanaan praktik ini mendapat perhatian khusus dari semua pihak.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan PPM, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan PPM sosialisasi model Teaching Games for Understanding (TGfU) pada guru pendidikan

Hal ini menunjukkan bahwa karyawan RS Fathma Medika Gresik cenderung sering membantu dan menggantikan peran rekan kerja, menyelesaikan pekerjan secara professional

Pendidikan anak menurut pandangan Islam yang harus dilakukan dalam keluarga adalah dengan menggunakan beberapa pola pendidikan. Pola atau dapat disebut juga sebagai

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah pengumpulan data kualitatif yaitu meliputi wawancara dan observasi, agar penelitian dapat dilakukan sesuai dari

Serangkaian pengujian dilakukan untuk meneliti pengaruh serat polyester dengan orientasi bebas pada perilaku geser tanah yang distabilisasi dengan abu ampas tebu

Dia menfocuskan permbicaraannya pada karya- karyanya yang bersifat “ musik tradisional yang berusaha mendekati konsep estetika kontempor er.” Di Indonesia,

klien dengan masalah Halusinasi, 2) Dukungan penghargaan keluarga dalam merawat klien dengan masalah Halusinasi yang diberikan terapi keluarga meningkat setelah

Jumlah tangki yang digunakan beserta spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan untuk perhitungan energi manusia dan kebutuhan steam pada tahap