• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN RAPAT PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CATATAN RAPAT PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN RAPAT

PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PERADILAN TATA USAHA NEGARA Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Jenis Rapat Dengan Sifat Rapat Hari, tanggal Pu k u I Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Rapat Had i r ANGGOTA TETAP : 1986 - 1987 II 18

Rapat Kerja Panitia Khusus ke-15 Menteri Kehakiman

Terbuka

Sabtu, I Nopember 1986 09.00 s/d 12.00 WIB.

Ruang Rapat Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

DR. A.A. Baramuli, S.H. Ors. Noer Fata

Melanjutkan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

PANITIA KHUSUS :

22 dari 38 orang Anggota Tetap; 11 dari 19 orang Anggota Pengganti. PEMERINTAH:

Menteri Kehakiman beserta Staf.

l. DR. A.A. Baramuli, S.H. 2. Damciwar, S.H.

(2)

3. Soelaksono, S.H. 4. Imam Soekarsono. S.H. 5. M. Said Wijayaatmadja, S.H. 6. Harry Soewondo, S.H. 7. Ors. F. Harefa, S.H. 8. M.S. Situmorang, S.H. 9. Moh. Noer Madjid, S.H.

10. Prof. Soehardjo Sastrosoehardjo, S.H. 11. Warsito Puspuyo, S.H.

12. Suhadi Hardjosutamo, S.H. 13. Soeboeh Reksojoedo, S.H. 14. Muljadi Djajanegara, S.H. 15. Ors. Aloysius Aloy 16. Sugiharsojono, S.H. 17. Drs. Sawidago Wounde 18. Soetomo HR, S.H. 19. H. Adnan Kohar S. 20. H.M. Djohan Burhanuddin A, S.H. 21. Tgk. H.M. Saleh

22. Ors. Ruhani Abdul Hakim

ANGGOTA PENGGANTI:

1. Soeharto

2. Amir Yudowinarno 3. Sutjipto, S.H.

4. Ny. A. Roebiono Kertopati, S.H. 5. A. Latief, S.H.

6. Ny. Ora. H. Nasjrah M. Efendy 7. Ir. A. Moestahid Astari

8. lbnu Saleh 9. Hr. Soedarsono

10. Suparman Adiwidjaja, S.H. 11. Ors. H. Yahya Chumaidi Hasan

PEMERINTAH :

I. Ismail Saleh, S.H. 2. Indroharto, S.H. 3. Ojoko Soegianto, S.H. 4. Roeskamdi, S.H. Menteri Kehakiman Staf Menteri Kehakiman Staf

(3)

5. Anton Soedjadi, S.H. Staf 6. A. Zulfikar, S.H. Staf 7. Paulus Efendi L, S.H. Staf 8. Mariana Sutadi, S.H. Staf

9.

Setiawan, S.H. Staf JO. Ny. Fatimah, S.H. Staf 11. Ny. Mariatul Saleh, S.H. Staf 12. Ety Rusmadi Murad, S.H. Staf 13. Dewi Mariyun, S.H. Staf 14. Wicipto Setiadi, S.H. Staf

15. A. Sudjadi Staf

KETUA RAPAT (DR. A.A. BARAMULI, S.H.):

Membuka kembali rapat Panitia Khusus dengan Pemerintah, dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Selanjutnya dikemukakan bahwa pada hari ini akan menerima laporan dari FABRI tentang Pasal l ayat (5), sehingga dengan demikian juga dari FKP tentang judul daripada Rancangan Undang-undang ini. ·

Menurut catatan daripada Pimpinan tidak ada hal~hal yang perlu dimintakan laporan daripada masing-masing Fraksi karena telah diselesaikan semua secara bersama-sama. Hanya perlu Pimpinan sampaikan bahwa pada akhir Rapat Kerja ini akan diumumkan susunan daripada Panitia Kerja, Tim Perumus dan Tim Kecil. Bilamana masih ada yang ingin melengkapi atau ingin menambah atau ingin merubah supaya disampaikan pagi ini selama masih sidang, agar supaya nanti pada akhir sidang dapat diadakan perbaikan-perbaikan sesuai permintaan Para Anggota Panitia Khusus.

Selanjutnya Pimpinan sampaikan juga bahwa togas Tim Perumus itu meliputi beberapa masalah selain ada dalam Rancangan Undang-undang ini menurut pasalnya ada menurut istilahnya. Jadi ada yang menurm pasalnya Tim Perumus, ada yang harus menyelesaikan beberapa istilah antara lain istilah Hakim, sehingga dengan demikian Tim Perumus sedikit berbeda dengan waktu yang lalu, kalau pada waktu yang lalu tidak ada masalah istilah. Semua masalah istilah dimin.ta

<lbli

bahasa untuk menyelesaikan di dalam Panitia Kerja pada waktu menyelesai~an

dua undang-udnang yaitu Undnag-undang Mahkamah Agung dan Undang-undang Peradilan Umum.

Sekarang ini masalahnya lain, yaitu bahwa masalahnya adalah di samping yang harus dirumuskan di dalam batang tubuh undang-undang ini ada masalah istilah dan ada beberapa istilah antara lain istilah Hakim.

Dengan pengumuman ini maka Pimpinan menganggap semuanya telah disampaikan, tinggal lagi untuk menyelesaikan dua pasal yaitu Pasal 140 dan Pasal 141.

(4)

Kemudian menanyakan kepada sidang apa masih ada masalah.

Selanjutnya dikemukakan bahwa akan dimulai dengan Pasal 140. Di dalam Pasal 140 ini akan memberikan kesempatan kepada FKP untuk menyampaikan usulnya atau usul perubahan.

FKP (MUWADI DJAJANEGARA, S.H.):

Di dalam Pasal 140 Rancangan Undang-undang ini FKP di dalam Daftar Inventarisasi Masalah mengemukakan adanya masalah dan rumusan perlu disempumakan.

Menurut FKP materi dari pada Rancangan Undang-undang pada prinsipnya yang mengatur pengecualian untuk pertama kali pada saat undang-undang ini mulai berlaku, atau dengan kata lain hanya untuk satu kali saja pada permulaan pembentukan Badan Peradilan Tata Usaha tersebut. Oleh karena itu menurut hemat FKP isi dari rumusan ini masih memerlukan penyempumaan lebih lanjut, untuk itu FKP mengusulkan agar di dalam Pasal 140 ayat (I) sekaligus ayat (2) ini nantinya dapat dibahas lebih lanjut di dalam Tim Perumus.

FADRI (M. SAID WIDJAJAATMADJA, S.H.) :

-Mengenai Pasal 140 ayat (l) yang berbunyi antara lain: Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat Ketua Mahkamah Agung, mengatur lebih lanjut pengisian jabatan Wakil Ketua dan seterusnya FABRI berpendapat bahwa isi ayat ( l) tersebut kurang tepat, khususnya mengenai kata-kata setelah rnendengar pendapat dan kata-kata lebih lanjut.

Oleh karena itu FABRI mengusulkan agar kata setelah mendengar pendapat diganti dengan kata berdasarkan persetujuan dan juga kata lebih lanjut dihapus. Sehingga dengan demikian apabila saran tesebut diterima Pasal 140 ayat (1) atau berbunyi: Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung mengatur pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti dan Sekretaris pada Pengadilan Tata U saha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Kata-kata berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung adalah lebih kuat dan berbobot daripada kata-kata setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung. Hal ini perlu diketahui bahwa pemah dialami bersama-sama waktu pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Peradilan umum yang kini telah menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986.

Sebagai ilustrasi FKP ingin mengajak hadirin untuk melihat Pasal 36 ayat (3) yang berbunyi : Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Saran ini menurut FABRI adalah juga mengikuti kehendak Bapak Menteri sendiri yang selalu menganjurkan kepada kita untuk selalu konsisten dengan undang-undang yang telah ada bilamana menghadapi hal-hal yang sama. kalau

(5)

boleh pinjam kata beliau supaya konkordan. Itulah sebagai alasan saran dari B\BRI, dan seandainya tidak diterima secara aklamasi supaya dimasukkan dalam Tim Perumus atau Panitia Kerja.

KETUA RAPAT:

Jadi yang dimaksud FABRI adalah Pasal 36 ayat (3) Undang-undang Nomor

2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dengan demikian dipersilakan FPDI. FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

Mengenai Pasal 140 ayat (1) FPDI juga mengajukan suatu perubahan redaksional yang dirasakan atas dasar prinsip konsistensi sebagaimana berkali-kali diharapkan bersama-sama. Sebab memang kami lihat Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat ini tidak konsisten dengan apa yang pernah diputuskan di Undang-undang Nomor 2 Tahon 1986, banyak pasal misalnya Pasal 16 ; hakim Pengadilan diangkat dan diperhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Jadi FPDI berpendapat tidak akan sulit bagi Pemerintah untuk menyesuaikan sebab ini sama dengan kehendak Pemerintah untuk konsisten terhadap permasalahan-permasalahan yang telah diputuskan sebelumnya. Sedangkan kata lebih lanjut yang diusulkan oleh FABRI supaya dihapus FPDI bisa menerima, sebab itu lebih enak di den gar.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.):

FPP di dalam DIM tidak memasukkan apa-apa, hanya ingin mengomentari pendapat Fraksi-fraksi yang secara singkatnya FPP tidak keberatan kalau pasal ini di-'Iimus-kan saja karena menyangkut masalah redaksional, walaupun materinya dikutip seperti yang disebutkan oleh Fraksi-fraksi lain.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Terhadap saran dari FKP agar rumusan-rumusan ini di-'Iimuskan Pemerintah setuju.

Terhadap usul dari FABRI perkenankan Pemerintah memberitahukan latar belakangnya mengapa ada kata yang lain di sini yang tidak dipergunakan dalam pasal sebelumnya yaitu Pasal 16 dan Pasal 36 dari Undang-undang Peradilan Umum, yang juga ditemukan di dalam Pasal 16 ayat (I) dan (2) Rancangan Undang-undang ini dan Pasal 36 ayat (3) Rancangan Undang-Undang-undang ini, yaitu yang terdapat kata-kata berdasarkan persetujuan. Demikian juga ditemukan kata-kata berdasarkan persetujuan ini dalam Undang-undang Peradilan Umum.

FABRI menyatakan agar kata setelah mendengar pendapat itu dirubah menjadi berdasarkan persetujuan. Pemerintah ingin konsisten tetapi perkenankanlah Pemerintah menjelaskan latar belakangnya dahulu.

Dalam Pasal 16 ayat (l) dan (2) yang diatur adalah pengangkatan dan pemberhentian Hakim oleh Presiden. Jadi pengaturan mengenai pengangkatan dan

(6)

pemberhentian Hakim. Jadi ada orang baru masuk pendidikan kemudian bisa diusulkan untuk diangkat sebagai Hakim. Ini berbeda dengan pengaturan Pasal 140 ayat (1), karena Pasal 140 ayat (I) ini tidak mengenai Hakim, tetapi mengenai Ketua. Wakil Ketua, Panitera. Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti. Wakil Sekretaris, ini hanya pengisian jabacan. Jadi formasi dan formasi ini ditentukan oleh BAKN dan diberitahukan kepada Menteri Kehakiman formasi dari BAKN ini, kemudian Menteri Kehakiman oleh karena mempunyai tanggung jawab pembinaan organisasi administrasi personel dan keuangan, maka sesungguhnya wewenang administratip ini ada pada Menteri Kehakiman, ini latar belakangnya. Jadi bukan semata-rnata karena tidak konsisten tetapi ada aspek lain yang disoroti di dalam Pasal 140 ayat ( l) yang berbeda sesungguhnya dengan Pasal 16 adalah pengangkatan dan pemberhentian Hakim, dan Pasal 36 ayat (3) adalah larangan rangkapan jabatan. Di sini kita tidak atur mengenai Pasal 140 ayat ( l) pengangkatan dan pemberhentian tetapi pengisian. jadi jabatan mana yang mau diisi, kita isi di Palembang, kita isi di Tulungagung, Panitera mana yang mau diisi, apakah ditempatkan Irian Jaya. Jadi semacam mutasi.

Jadi Pemerintah serahkan kernbali kepada Fraksi-fraksi sebelum diputuskan. Kalau mengenai redaksional Pemerintah setuju di-limus-kan, tetapi latar belakangnya mengapa ada kata setelah mendengar pendapat ini. Kata-kata setelah mendengar pendapat ini rnemang berbeda permasalahannya dengan yang ditemukan dalam Pasal 16 dan Pasal 36 ayat (3) karena ini menyangkut jabatan-jabatan itu diisi di mana. di daerah mana, apakah orang itu yang kita isi, apakah bukan orang ini, jadi ini policy mutasi, yang mutasi ini ada pada Menteri Kehakiman sampai dengan pada Wakil Sekretaris, Panitera Muda, jadi semacam rutin, sehingga kata setelah mendengar pendapat, disitulah sesungguhnya latar belakangnya.

Perlu diperhatikan juga bahwa dari FKP sendiri dalam Pasal 16 itu kata berdasarkan persetujuan disarankan dirubah setelah mendengar pendapat yaitu dari DIM FKP Pasal 16 ayat (1) dinyatakan kata berdasarkan persetujuan supaya dirubah menjadi setelah mendengar pendapat. Pemerintah berkeberatan oleh karena konfonn dengan Peradilan Umum. Jadi tetap dipertahankan kata berdasarkan persetujuan dalam Pasal 16 demikian juga Pasal 36. Tapi dalam Pasal 140 ini ada perbedaan permasalahan dan tidak bisa disamakan ses:mgguhnya dengan Pasal

16.

KETUA RAPAT:

Penjelasan dari Pemerintah ini cukup jelas, jadi kalau masih ada dipersilakan dari FABRI, FKP.

FADRI

(IMAM SOEKARSONO, S.H.): Mengusulkan di-Panja-kan .

.,

FKP (MUWADI DJAJANEGARA, S.H.) :

(7)

dan oleh karena itu FKP mengusulkan agar apa yang telah disampaikan oleh Pemerintah kiranya nanti di dalam pasal ini dapat diberikan penjelasan.

KETUA RAPAT :

Jadi diberikan penjelasan, cukup dengan nm Perumus. FADRI mengusulkan di-Panja-kan, FKP mengusulkan nm Perumus untuk penjelasannya. Sedangkan batang tubuhnya lebih lanjut itu nm Perumus lagi apa perlu atau tidak. Jadi seluruhnya Tim Perumus oleh FKP.

FKP (MUUADI DJAJANEGARA, S.H.):

Jadi FKP sebenarnya menginginkan rumusan dari·pasal ini masuk dalam nm Perumus, namun demikian kalau dari Fraksi-fraksi yang lain menghendaki Panitia Kerja dan Pemerintah menyetujui,maka FKP tidak keberatan.

KETUA RAPAT :

Jelas kalau demikian, dari FPDI. FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

Dari FPDI telah memahami apa yang telah disampaikan oleh Bapak Menteri Kehakiman mengenai latar belakang dari Pasal 140.

Namun demikian karena di dalam hal ini, rekan-rekan dari FADRI maupun FKP menghendaki di-Panja-kan termasuk mungkin penjelasannya agar tidak menimbulkan kekaburan dengan pasal sebelumnya kita menggunakan istilah berdasarkan persetujuan sedang ini mendengar pendapat, ini agak berbeda permasalahannya dan FPDI sependapat l. di-Panja-kan, 2. untuk diberikan penjelasan.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.):

FPP tidak ada pendapat baru, menyerahk.an sepenuhnya terhadap keputusan Panitia Khusus.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Pemerintah tadi sudah setuju dengan pendapat FKPuntuk di-nmus-kan, tetapi ada pendapat dari FABRI bahwa ini di-Panja-kan dan apa yang telah disampaikan oleh Pemerintah ini dijadikan bahan andaikata memang untuk di-Panja-kan, dan memang ayat ( 1) ini di dalam praktek juga sudah berlaku demikian yaitu di dalam pertemuan atau rapat-rapat Mah. Dep. itu yang memimpin bukan Ketua Mahkamah Agung tetapi Menteri Kehakiman yang memimpin rapat untuk pengisian jabatan, sehingga kata setelah mendengar pendapat ini memang mencerminkan praktek yang telah berlaku dalam pengisian-pengisian jabatan dilingkungan Departemen Kehakiman khususnya yang menyangkut di tenaga-tenaga di peradilan.

KETUA RAPAT:

(8)

V Ketentuan Peralihan,jadi perlu diperhatikan sungguh-sungguh antara lain tempat dari Pasal 140 ini.

J adi kalau demikian apa yang dikemukakan oleh Pemerintah dipeigunakan seluruhnya dalam Panitia Kerja, dan Pimpinan mengusulkan supaya diperhatikan tempat Pasal 140 ini oleh karena di dalam Bab V, Bab VI Ketentuan Peralihan.

Dengan demikian dapatkah ini ci1putuskan di-Panja-kan dan termasuk penjelasannya.

(RAPAT SETUJU) Ayat (2) ini ada usu! dari FKP, dmersilakan. FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.):

Terhadap Pasal 140 ayat (2) FKP sama t:.rhadap apa yang diuraikan tadi, mengusulkan agar supaya rumusan-rumusan yang terdapat di ayat (2) ini dapat dimasukkan di dalam Tim Perumus. Terutama dikaitkan dengan kata dapat menyimpang dari persyaratan yang ditentukan undang-undang mi.

FKP berpendapat kiranya perlu ada kejelasan terhadap rumusan dari Pasa. 140 ayat (2) ini.

KETUA RAPAT:

Kalau memerlukan penjelasan barangkali Panitia Kerja ini, tetapi silakan FKP mempertimbangkan sekali lagi. Apakah ini di-Timus-kan saja, apakah ini masalar redaksional saja.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.):

Kalau menurut FKP masalah ini adalah masalah redaksional. jadi cukup dibahas di dalam Tim Perumus, namun kalau ada pendapat lain FKP akan mempertimbangkan lebih jauh.

FADRI (IMAM SOEKARSONO, S.H.):

FABRI karena ini merupakan redaksional jadi di-Timus-kan. FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.):

FPP tidak memasukkan di dalam DIM, apabila diperkenankan FPP ingin mendapat penjelasan saja sampai sejauh mana pengertian dapat menyimpang dari persyaratan-persyaratan.

Usul FPP kalau masalah ini sependapat ditegaskan saja di dalam penjelasan dalam Rancangan Undang-undang ini. Jadi kongkretnya ini bisa digarap oleh Tim Perumus.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

FPDI setuju di-Timus, hanya FPDI ingin menanyakan kepada Pemerintah, karena dalam ayat ini menyebutkan kata-kata dapat menyimpang dari persyaratan

(9)

yang ditentukan dalam undang-undang ini. Sudah barang tentu penyimpangan ini dalam rangka transisi. Berapa Jama penyimpangan ini diberJakukan 5 tahun, I 0 tahun dan sebagainya.

Jadi FPDI ingin konfirmasi dari Pemerintah karena ini ada kata-kata dapat menyimpang.

KETUA RAPAT:

MempersiJakan Pemerintah.

PEMERJNTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Terhadap usul dari Fraksi-fraksi untuk di-Ttmus-kan, yaitu penjelasan dari ayat (2) Pemerintah setuju.

Terhadap pertanyaan khusus dari FPDI tentang terggang waktu karena ini peralihan sesungguhnya yang dimaksud menyimpang dari persyaratan dalam undang-undang ini, diambil contoh saja, ada persyaratan daJam undang-undang ini, diambil contoh saja, ada persyaratan dalam undang-undang ini bahwa untuk menjadi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara atau Hakim Pengadilan Tinggi ada persyaratan tentang berapa tahun dia sudah menjabat sebagai Hakim Tata Usaha Negara untuk memenuhi persyaratan menjadi Hakim Tinggi Tata Usaha Negara. Kalau persyaratannya untuk menjadi Hakim Tinggi Tata Usaha Negara katakanlah

5 tahun, maka untuk pengisian jabatan itu dapat menyimpang katakanlah --karena kebutuhan 3 tahun, sehingga lebih. dipercepat. Menyimpang dari persyaratan karena ini peralihan; peralihan dalam arti karena belum tersedianya atau belum adanya Hakim-hakim Tinggi Tata Usaha negara yang bisa diajukan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Jadi kalau kita menunggu sampai tersedianya Hakim Tinggi Tata Usaha Negara menurut ketentuan undang-undang ini maka kami khawatir tidak ada nanti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang dapat dibentuk. Jadi menyimpang dari persyaratan-persyaratan untuk menjadi Hakim Tinggi Tata Usaha Negara yang seharusnya 5 tahun, maka disimpangi dengan cukup 3 tahun saja atau cukup 2 tahun saja sudah bisa menjadi Hakim Tinggi Tata U saha Negara. Jadi tidak dihadapkan kepada masalah tenggang waktu atau transisinya berapa tahun kita tidak tahu, Pemerintah berusaha agar benar-benar pengisian Hakim untuk Tata Usaha Negara dapat dipercepat, sehingga kekarnya undang-undang ini juga diimbangi dengan tersedianya sarana dan prasarana, software dan hardwarenya.

KETUA RAPAT:

Ini jelas, jadi diperlukan nanti Tim Perumus, dapat merumuskannya baik dalam batang tubuhnya maupun dalam penjelasannya, kalau diperlukan.

(RAPAT SETUJU)

Dengan demikian ayat (2) diterima Tim Perumus dan kalau perlu diberikan penjelasan.

(10)

Sekarmg memasuki Bab \'II Kcteratuan Penutup. ada dari FPDI mengusulkan Bab baru. Silakan FPDI.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

Mengusulkan adanya Bab baru atau pasal yang akan kami ajukan itu bisa dirnasukkan "lain-lain" terserah, pokoknya sistirnatikalah yang nanti akan menentukan, sebab kami tidak terlalu menguasai masalah sistimatika ini.

Tetapi hal yang kami ajukan ini ada dua masalah, sebelum ke materi 141. Konkretnya yaitu pertama sepanjang belum diatur dalarn undang-undang ini maka dapat menggunakan Hukum Acara Perdata termasuk kebiasaan yang berlak.u dalam Hukum Acara Perdata. Sesungguhnya sejak beberapa wak.tu ini telah membicarakan Hukum Acara di dalam Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi kemungkinan masih ada hal-hal yang terselip di dalam praktek nantinya itu adalah satu pasal yang menentukan manakala itu tidak kita temukankita bisa mengambil hukum Acara Perdata sebagai dasarnya. Itu usul inti yang pertama dari FPDI.

Kemudian yang kedua kami menghendaki bahwa dalam undang-undang ini juga disebutkan semua gugatan sebagai akibat tindakan.Tata Usaha Negaa tetapi tidak termasuk obyek sengketa Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini masuk kompetensi Peradilan U mum.

Mengapa ini kami ajukan? Karena memang sejak awal kita sudah sepakat bahwa undang-undang ini memang kita akui bersama kompetensinya sempit. Pemerintah maupun kita mengakui bersama ini sempit, hanya yang tertulis, yang tidak tertulis kadang-kadang macam-macam hal tindakan penguasa yang melanggar hukum, misalnya onrecht matige overheids daad, dan sebagainya jelas itu masuk peradilan umum. Inipun hakekatnya memberikan satu bantuan atau informasi kepada pihak-pihak yang akan mengajukan perkara atau gugatan; manakala dia sudah tahu bahwa gugatan itu masalah-masalah yang tidak tertulis dan itu dirasa perlu digugat itu masih ada salurannya tetapi bukan saluran hukum lewat Peradilan Tata Usaha Negara tetapi Peradilan Umum. Jadi ini merupakan suatu penegasan di dalam hal undang-undang ini. Jadi dengan demikian pihak pencari keadilan tidak terlalu disulitkan, manakala tertulis mudah itu Tata Usaha Negara kalau tidak kita masuk ke Peradilan Umum, tetapi sudah ditegaskan dalam undang-undang ini.

KETUA RAPAT:

Bagaimana kalau kita tanya kepada Pemerintah dahulu? (Fraksi-fraksi : setuju)

Silakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Mengenai pemikiran yang diajukan oleh FPDI yang pertama. Memang dalam praktek hal ini selalu diperhatikan dan ini didasarkan kepada prinsip bahwa Mahkamah Agung sesungguhnya merupakan Peradilan Negara Tertinggi. Sehingga

(11)

apabila di dalam jalannya peradilan ini'terdapat hal-hal yang memerlukan pengaturan dan penyesuaian lebih lanjut maka ini bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung dan ini juga kita temukan dalam Pasal 79 Undang~undang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Ag1h1g b~rbunyi: "Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperl~kaq bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belU:lll ~ukup diatur dalam undang-undang ini." Jalannya peradilan itu diatur oleh ,Mahkamah Agung termasuk dalam hal ini mengenai penggunaan Hukum Acara Pt;rdata,termasuk kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena Peradilan Tata Usaha Negara ini merupakan institusi baru dan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara inipun ada ciri perdatanya, maka hal ini tentu akan diperhatikan dalam praktek. Mungkin apa yang disampaikan oleh Pemerintah ini dapat dijadikan bahan un.tuk dimasukkan di dalam pejelasan umum dari Rancangan Undang-undang, sehingga demikian maka hal ini bisa juga memenuhi apa yang diinginkan oleh FPDI Dan didalam hal ini kita bisa juga mungkin sempumakan rumusan di dalam penjelasan umum ini, yaitu yang berbunyi : "Hukum Acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya adalah sama dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan antara, lain : a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan dan dalam penentuan beban pembuktian serta penilaian basil pembuktian berdasarkan keyakinannya ... " dan seterusnya.

Kalimat ini yang ada pada penjelasan 'l,lmum Rancangan Undang-undang ini apabila perlu disempurnakan, maka dalamhalini Pemeirntah setuju untuk disempumakan dengan mendengarkan tadi pemikiran-pemikiran atau pertimbangan pemikiran yang diajukan FPDI.

Jadi Pemerintah sudah cukup mengakomodir dan kami persilakan FPDI untuk membaca penjelasan Rancangan Undang-undang yang juga sudah dikaitkan pada hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum. Mungkin kata·kata "kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam Hukum Acara perdata'.' ini "di dalam penjelasan Rancangan Undang-undang belum dipakai. tetapi ini bisa dijadikan dan kiranya hal ini bisa diserahkan kepada Tim Perumus.

Demikian juga yang kedua, semua gugatan sebagai akibat tindakan Tata U saha Negara tertapi tidak termasuk obyek sengketa Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini masuk kompetensi peradilan Umum. Di sini rnenyangkut rnasalah kornpetensi. Kirannya hal ini bisa dipertimbangkan untuk nanti memberikan penjelasan kepada pasal-pasal dalam Rancangan · Undang-undang ini yang menyangkut kompetensi. Kita ketahui di dalam pasal Rancangan Undang-undang ini ada Pasal 62, Pasal 63, di situlah kurang lebih hal-hal yang diajukan oleh FPDI ini dapat dipikirkan.

Sehingga kesimpulannya, Pemerintah tidak setuju adanya Bab baru, tetapi cukup ditampung:

(12)

l. di dalam. penjelasan umum Rancangan Undang-undang.

2. dapat dipikirkan untuk dimasukkan dalam penjelasan pasal-pasaJ yang bersangkutan dengan kompetensi.

KETUA RAPAT: Silakan dari FPDI.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

Menyampaikan terima kasih kepada Bapak Menteri Kehakiman yang telah memberikan tanggapan terhadap usul ataupun gagasan dari FPDI. Setelah kami mendengar jawaban yang telah disampaikan, maka FPDI dapat mengerti dan memahami sehingga bisa menerima untuk point pertama dimasukkan dalam penjelasan Rancangan Undang-undang, sedangkan point kedua dimasukkan dalam penjelasan pasal mengenai kompetensi.

KETUA RAPAT:

Jadi jelas, bahwa yang pertama yang dimaksud oleh FPDI yang satu di atas. Lalu yang kedua, yang dua di bawah.

Kami silakan dari FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.):

Setelah mendengar penjelasan dari pihak Pemerintah secara cukup luas, konkretnya kami usulkan supaya hal ini di-1imus-kan saja.

KETUA RAPAT:

Memang bisa demikian, tetapi kalau penjelasan umum itu masuk Tim Kecil. Kalau nanti penjelasan pasal nanti bisa Ttm Perumus. Memang FPP mengerti tetapi hanya secara pendek dikatakan Tim Perumus, jadi Tim kecil dan Tim Perumus.

Silakan dari FABRI.

FADRI (M.S. SITUMORANG):

Mengucapkan terima kasih atas penjelasan Menteri tadi, memang yang dikaitkan kepada prinsip tetapi selanjutnya telah diatur rlalam Mahkamah Agung mengenai persoalan-persoalan ini. Kami dapat menyetujui sepenuhnya penjelasan umum itu dan tidak ada Bab barn.

Hanya ada satu hal di dalam rangka penjelasan umum ini. Kalau tadi dikatakan dan telah tertulis di dalam penjelasan ini; sebenarnya ini untuk pekerjaan Tim Kecil yang akan datang, pada dasarnya sama dan ini mempunyai konotasi tertentu. Jadi jangan "pada dasarnya" kita katakan sama, karena Peradilan Tata Usaha Negara ini sebenarnya ada satu linglrungan dalam peradilan, sehingga harusnya mempunyai ciri yang khas, ciri yang khusus. Jangan nanti kalau kita katakan "pada dasarnya" adalah sama, seolah-olah nanti Peradilan perdata kenapa

(13)

tidak di dalam peradilan perdata, ada kamar mengenai Perr.dilan Tata U saha Negara. Jangan sampai ada pertanyaan yang demikian nanti. Ini secara jauh pikirannya. Oleh sebab itu "pada dasarnya" ini seyogianya di dalam penjelasan umum jangan sampai kita pergunakan nanti sebaiknya kita bandingkan saja hal-hal yang belum diatur di dalam hal ini adalah diambil daripada Peradilan Perdata. Tetapi tidaklah dengan sendirinya "pada dasarnya" berlaku hukum perdata itu, karena ciri khas daripada Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah berlainan daripada perdata. Seperti yang kami katakan tadi beberapa hari yang lalu rechtsvindingnya itu di dalam perdata adalah perdamaian, sedangkan di sini apa? Ini sama-sama kita membentuk nanti apa kira-kira. Oleh sebab itu jangan sampai kita katakan di sini "pada dasarnya", seyogianya kita katakan kita kaitkan hal-hal yang belum diatur di dalam hukum acaranya dapat mempergunakan hukum acara itu atau mempergunakan hukum acara daripada hukum perdata. Demikianlah sekedar bahan di dalam rangka Tim Kecil nanti.

KETUA RAPAT : Silahkan dari

FKP.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.) :

FKP sangat setuju dengan pendapat Pemerintah bahwa di dalam Bab VI yang diusulkan FPDI ini tidak perlu.

Yang kedua, mengenai uraian tentang usul dari pada FPDI untuk dimasukkan di dalam bagian penjelasan umum memang sangat tepat sekali.

Kemudian menanggapi usul FABRI yang menghendaki adanya perubahan terhadap kalimat yang sudah ada sekarang dalam penjelasan umum Rancangan Undang-undang, maka FKP pun berpendapat bahwa ini adalah hal redaksional yang perlu dibahas oleh Tim Perumus.

Ketiga, bahwa FKP setuju sekali apabila bagian yang nomor dua yang diusulkan oleh FPDI ini dapat diberikan penjelasan di dalam uraian yang berkaitan dengan kompetensi daripada pengadilan yaitu yang termasuk di dalam Pasal 62 dan seterusnya.

KETUA RAPAT:

Dengan demikian sudah jelas. Bolehkah dirumuskan bahwa mengenai apa yang dikemukakan atau diusulkan oleh FPDI diterima dimasukkan kepada wewenang Tim Kecil untuk memberikan penjelasan umum tentang kebiasaan-kebiasaan dan sebagainya yang diatur dalam hukum acara yang sudah dilakukan oleh Makamah Agung, dengan peraturan Mahkamah Agung dengan menunjuk kepada Pasal 79 itu sudah ada wewenangnya. jadi itu akan dijelaskan.

Lalu ketua mengenai kompetensi ini masuk di dalam pasal. Jadi di dalam Pasal 62 dan 63 di sini sudah ada, sehingga nanti di da ·am membicarakan Pasal 62 dan 63 itu akan diselesaikan. Sebab Pasal 62 ada yang bulat diterirna, ada yang

(14)

Panitia Kerja. Jadi bagaimana nanti di dalam penjelasannya diatu~ sedangkan Pasal 63 juga demikian, ada yang bulat ada yang Panitia kerja misalnya ayat (2), jadi di sini tentang pemberian nasihat dan sebagainya. Dan dipersilakan kepada yang mempunyai tugas untuk Panitia Kerja menampung buah pikiran tentang kompetensi ini. Begitu Saudara-saudara, jelas? Dengan demikian dapatlah saya katakan bahwa ini diterima?

(RAPAT SETUJU)

Sekarang kita memasuki Bab-

Vll,

yang tadi kita terima Bab VII Ketentuan Penutup, dan Pasalnya 141. FABRI meminta untuk bicara pertama, silakan.

FABRI (DRS. F. HAREFA, S.H.):

Pasal 14 l bagi FABRI memang cukup penting, yaitu mengenai saat mulai berlakunya undang-undang ini. Apa yang dirumuskan oleh Pemerintah dalam Rancangan Undang-undang ini ditinjau dari segi tehnik perundang-undangan memang juga benar. Tetapi FABRI meminta agar saat mulai berlakunya itu dinyatakan secara tegas dan pasti, sehingga rakyat itu sudah mengetahui kapan undang-undang ini berlaku. Dalam kolom di sini FABRI mengemukakan waktu 3 tahun sejak saat undang-undang ini diundangkan. "Selambat-lambatnya" ini juga kami koreksi, karena dalam sistem bunyi perundang-undangan kurang begitu tepat. Jadi oleh karena itu kami mulai berlaku 3 tahun sejak saat undang-undang ini diundangkan atau saat diundangkan, sehingga memperkirakan dalam persiapan segala-galanya baik Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Tinggi waktu yang 3 tahun cukup memadai.

KETUA RAPAT:

Kalau mengenai sistimatikanya apakah FABRI masih ingin menyampaikan atau setelah pasal 141 atau sekaligus? Apakah ini sue.ah selesai jadi tidak ada masalah lagi?

(FABRI : Sudah selesai) Jadi ini sudah drop oleh FABRI tentang sistimatika?

(FABRI : Sudah dibahas) Sekarang kami silakan dari FK.P.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.):

Di dalam Pasal 141 ini FKP menginginkan memang agar supaya dapat ditegaskan, kapan saat mulainya berlakunya undang-undang. Oleh karena itu FKP sependapat dengan pemikiran daripada FABRI yang mengusulkan waktu, yaitu 3 tahun. Namun demikian mengenai masalah waktu ini bagi FKP menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah.

(15)

KETUA RAPAT:

FKP tegas 3 tahun lalu kemudian menyerahkan kepada Pemerintah, jadi tidak tegas lagi, yang mana yang benar ini tiga tahun atau menyerahkan kepada Pemerintah?

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.):

Jadi dari FKP memang menghendaki adanya suatu ketegasan waktu di dalam memberlakukan saat mulai berlakunya undang-undang ini. Namun FKP di dalam DIM memang tidak menentukan kapan seharusnya mulai diberlakukan. Sekalipun demikian F.KP dapat memahami pemikiran daripada FABRI yang meminta. agar supaya ditentukan waktunya, yaitu 3 tahun. Dengan demikian FKP berpendapat bahwa khusus mengenai soal waktu ini dapat diserahkan kepada Pemerintah dan kita bicarakan bersarna.

KETUA RAPAT:

F.KP memahami usul FABRI selanjutnya menyeralJrnn kepada Pemerintah. Silakan FPDI.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

FPDI dalam DIM mengenai Pasal 141 ada di halaman 85. Di bawah Bab VI Rancangan Undang-undang menjadi Bab VII itu ada usul konkret saat mulai berlakunya undang-undang ini ditetapkan 3 tahun setelah undang-undang ini

diundangkan. . .

Saya rasa alasannya sama saja, jadi supaya segera kita mempunyai kepastian kapan berlakunya.

KETUA RAPAT:

Jelas sekali, jadi sama dengan FABRI. Silakan dari FPP.

FPP (TGK. H.M. SALEH):

Barangkali kalau melihat DIM yang agak lain FPP punya, kami minta han;¥a 6 bulan. Jadi kalau tadi FPP 3 tahun, FPDI 3 tahun, FKP juga 3 tahun bahkan ada fleksibiliti kalau Pemerintah menghendaki lain bisa lain lagi. namun demikian kami ingin menyampaikan di sini bahwa memang dalam undang-undang itu ada juga mendasarkan berlakunya dengan adanya Peraturan pernerintah seperti Undang-undang Perkawinan. Undang-Undang-undang Perkawinan itu berlaku efektif apabila sudah ada Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya. Tetapi ada berbagai undang-undang lain yang juga tidak demikian, disebut saja umpamanya 1 tahun atau 2 tahun. Jadi ada dua versi yang selalu terjadi dalam perundang-undangan di Indo-nesia. Namun kurang enak kiranya kalau dengan Peraturan pemerintah.Ada kurang enaknya, disebabkan suatu undang-undang ini dikaitkan dengan peraturan Pemerintah yang berlakunya di bawah undang-undang. Oleh karena demi kian kita

(16)

pa<la kaii ini sependapat untuk mencar1 hmit wak.tu clan ,~ami menganggap di sini

waktunya 6

bulan. Tetapi ini mungkin sebelum dijawab

oleh Pemerintah,

karena ada waktu yang panjang tentu Pemerintah suka yang panjang. Oleh karena demikian kami inginkan dengan tidak apriori terhadap usul FABRI kami inginkan supaya undnag-undang ini dapat dilaksanakan dalam masa jabatan kabinet sekarang ini. jadi limit waktu itu sampai Maret 1988. Sebab meskipun pemerintahan tidak vacum karena pertukaran kabinet, tetapi sering hal-hal demikian terjadi; apa yang merupakan komitmen oleh seorang menteri yang dijanjikan waktu menteri yang lain dianggap pura-pura tidak tahu. Jadi memang susah di Indonesia, oleh karena demikian sekarang Pak Menteri Kehakiman ini kita percaya. dari sejak kemarin kita sudah percaya. Sampai tidak usah menyebut satu daerah apapun yang dibentuk kita percayakan, tetapi kita ingin selambat-lambatnya Maret 1988 ini sudah berlaku dengan efektif. Jadi kami tidak usah mengatakan 6 bulan. jadi tidak Peraturan pemerintah tetapi dengan limit waktu. Jadi kalau itu 3 tahun ini tidak sampai 3 tahun barangkali, jadi kita mengambil yang praktis artinya Pemerintah juga ingin berpikir secara pragmatis. praktis untuk apa yang kita pikir secara sangat ideal. Nanti orang ini yang janji orang lain yang melaksanakan itu tidak ideal. Saya berjanji tetapi cucu saya nanti yang akan melaksanakan, apa gunanya. Oleh karena demikian siapa yang berjanji itulah yang menepati, jangan janji hanya janji.

KETUA RAPAT :

Memang pak kyai kita dari Aceh ini lain daripada yan~ lain, selalu memberikan gelak tawa dan irama yang enak.

Jadi memang dalam penjelasan umum Pemerintah mengenai jangka waktu ini tidak disebut kapan. Sebenamya kalau memang disebut 3 tahun, barangkali perlu diperhatikan untuk dijelaskan.

Saya silakan sekarang Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Terima kasih Saudara Pimpinan dan para anggota Panitia Khusus yang kami honnati. latar belakang dari rumusan Pasal 141 adalah sebagai berikut: Peradilan Umum dewasa ini di seluruh Indonesia dapat dikatakan bekerja dengan jumlah hakim yang sangat terbatas, masih dapat dikatakan onderbezet. Jadi menurut ketentuan pola itu. rata-rata di pengadilan tinggi Tingkat WKelas II, pengadilan tinggi Kelas II itu 9 hakim dan Kelas I itu 11 hakim lebih, tapi rata-rata hanya terdapat 5 atau 6 hakim. Jadi onderbezet tetapi overbelast, jadi sudah onderbelast, overbelast. Padahal hakim-hakim untuk Tata Usaha Negara atau calon hakim Tata Usaha Negara ini kita ambilkan dari hakim-hakim peradilan umum.

Sementara itu Pemeimtah berjuang untuk menambah hakim-hakim di peradilan umum lagi, yaitu dengan mengadakan pendidikan-pendidikan calon hakim. Dewasa ini jumlah hakim di seluruh Indonesia ± 2.400 untuk rakyat Indonesia yang sekarang jumlahnya sudah 160 juta lebih. Karena itu sejak kami masuk di Departemen Kehakiman, kami merencanakan program pendidikan, kami masuk

(17)

baru tahun 1984 jadi ± 2 tahun yang lalu atau 2 tahun kami menjabat Memeri Kehakiman ini. Kami menyusun program pendidikan hakim, sehingga jumlah hakim di seluruh Indonesia ini kami naikkan menjadi ± 3.500. Terap1 itupun tidak mudah, oleh karena persyaratan-persyaratan untuk menjadi hakim itu benar-benar kami seleksi dengan ketat.

Hakim-hakim yang sekarang sudah ada itu, yah memang sudah lewat, tetapi keadaan yang akan datang itu tergantung daripada keadaan sekarang, sehingga kualitas itu benar-benar ingin kami tingkatkan sehingga dengan meningkatkan kualitas ini pelayanan para pencari keadilan akan bertambah baik, ini gambaran umum. Demikian juga sarana dan prasarana adalah sangat minim sekali. Anggaran Departemen Kehakiman adalah yang paling rendah, paling minim dibandingkan dengan Departemen-departemen Jain.

Bapak-bapak sekalian tentu juga menyadari hal ini, karena membahas APBN sehingga apabila dilihat anggaran Departemen Kehakiman itu yang paling terbawah dan yang paling terendah. Kendati negara kita ini adalah negara yang berdasarkan hukum, kendati kita ingin menegakkan keadilan kebenaran dan kendati-kendati lainnya, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa anggaran Departemen Kchakiman adalah anggaran yang paling terendah. Sehingga memang sulit untuk melaksanakan tugas membina peradilan di negara kita ini dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Pendidikan untuk calon-calon hakim Tata Usaha Negara itu akan kami mulai pada bulan Nopember ini sudah mulai akan merintis pendidikan calon hakim Tata Usaha Negara. Jadi belum sampai undang-undang ini disahkan kami telah merintis untuk mendidik calon-calon hakim Tata U saha Negara Ji samping mengirimkan tenaga hakim ke luar negeri guna mendapatkan pendidikan peradilan Tata Usaha Negara. Jadi kalau Pak Kyai kemarin itu dan sekarang juga menyatakan bahwa tidak perlu diragukan ikhtikad Pemerintah ini dan Saudara Ketua demikian juga fraksi-fraksi lain, tidak meragukan ikhtikad Pemerintah ini dengan dihapuskannya Pasal 138 dan 139 bahwa memang di da!rah-daerah tingkat II itu nanti akan dibentuk dan keinginannya paling tidak kurang daripada yang sekarang yang sudah dicantumkan di dalam Rancangan Undnag-undang dan dalam Rancangan Undang-undang itu ada 6 daerah yang dibentuk, nanti dalam pelaksanaannya benar-benar dibentuk. Sekarangpun juga saya ingin mcndapatkan dari fraksi-fraks1 bahwa pengisian ataupun juga terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara ini benar-benar juga oleh Pemerintah ingin diwujudkan dalam waktu yang se~ingkat­

singkatnya. Tetapi apapun juga kita harus praktis fragmatis. artinya realita itu kitapun juga harus hadapi bahwa kendati kita ini ingin membentuk secara cepat. tetapi anggaran pun juga merupakan keterbatasan. Lebih-lebih daiarn suasana anggaran yang belum bisa menunjukkan sesuatu titik yang cerah. kalau kita membaca surat kabar yaitu kenyataan ataupun juga semacam penjelasan dari Prof. Soemitro itu baru akhir tahun 1987 ada titik terang, sehingga akan pesimistis kami mengenai masalah anggaran ini. Karena apapun juga tidak bisa Gedung pengadilan Tata Usaha Negara ini dijadikan satu dengan Gedung Pengadilan Negeri, sebab

(18)

nakim-hakim pengadilan negeri sendiri sudah berebut untuk ruangan sidang, baik sidang perdata. sidang pidana lebih-lebih sidang lalu lintas. Ruang sidang di pengadilan negeri hanya 2 dan itu berebut, dan kita tidak inginkan agar nanti Peradilan Tata Usaha Negara itu dalam pelaksanaannya itu bahkan ten overvloede dari si pencari keadilan sendiri penggugat maupun teigugat, apabila itu dijadikan satu dengan Gedung pengadilan negeri. Karena ruangan saja tidak memungkinkan (kecil). Sedangkan ini Peradilan Tata Usaha Negara betul-betul memerlukan sesuatu ruangan yang benar-benar baik, sehingga pelayanan para pencari keadilan pun juga baik.

Tetapi oleh karena FABRI sudah menyatakan di sini selambat-lambatnya 3 tahun sejak saat diundangkan yang agak berbeda rumusannya dengan FPDI, kalau FABRI itu pakai istilah "selambat-lambatnya . . . " tetapi FPDI jadi "selambat-lambatnya" di sini di dalam DIM mungkin ada perubahan lagi nanti. Tetapi kalau FPDI "ditetapkan 3 tahun setelah undang-Ul)dang ini diundangkan" jadi tidak ada

kata-kata "selambat-lambatnya .... " di sini..

FKP karena mungkin ini semacam counter-part, jadi juga menyadari beratnya Pemerintah dan kesulitan Pemerintah melaksanakan tugas ini. 3 tahun padahal akhir tahun 1987 baru titik. terang, oleb karena itu Pemerintah sekarang beium bisa memberikan jawaban dan oleh karena sebagaimana Saudara Pimpinan kemarin menyatakan bahwa Rapat Panitia Khusus dan Rapat Kerja ini, Pimpinan itu berhadapan dengan Presiden dan kami sebagai Pemerintah itu yang ditugaskan sebagai wakil Pemerintah, maka kami perlu konsultasi dengan Bapak Presiden. Oleh karena menyangkut masalah sesuatu hal yang sangat penting menentukan sesuatu jangka waktu itu juga nanti dalam pelaksanaannya belum tahu bagaimana apakah memang benar-benar, lnsya Allah mudah-mudahan itu bisa terlaksana dengan ridho Allah SWT. Tetapi manusia itu memperkirakan, tetapi Tuhan itu tetap yang menentukan. Jadi kami memerlukan konsultasi Saudara Pimpinan dan itu adalah wajar, karena sejak Konsideran sampai pasal ini yang terakhii; baru pasal inilah yang kami pergunakan untuk konsultasi dengan Presiden dan tidak pasal-pasal sebelumnya, tetapi pasal ini oleh karena yang menyangkut pelaksanaan suatu undang-undang yang tidak bisa diputuskan oleh menteri Kehakiman. Karena kami mewakili Pemerintah sehingga paling tidak juga konsultasi dengan Menteri Keuangan dan juga petunjuk-petunjuk dari Bapak Presiden sendin.

Demikian Saudara Ketua, terima kasih. KETUA RAPAT:

J adi Saudara-saudara su~ah wajar kalau kita membantu Menteri Kehakiman supaya berkonsultasi dengan Presiden dengan membawa pikiran-pilman yang dikemukakan dalam Panitia Khusus ini.

Dalam catatan saya inilah yang kedua kalinya Menteri Kenai<.iman berkonsultasi dengan Presiden. Pertama karena soal hak uji dari MahKamanAgung, dan kedua ini adalah mengenai soal waktu berlakunya undang-unoan~

(19)

Saudara-saudara dengan demikian tentunya di dalam penjelasan umum perlu dijelaskan mengenai hal-hal yang tadi dikemukakan bahwa pada dasamya undang-undang yang kita buat ini perlu atau cukup. mempunyai dasar yang kuat yang nantinya tentu dapat disesuaikan dengan keperluan pefubangunan negara sewaktu-waktu, sehingga dapat disempumakan. Tapi poko1mya dasamya memang sudah untuk jangka panjang. Jadi isinya ini undang-undang menurut hemat kami membuka kemungkinan untuk jangka panjang, tetapi juga membuka kemungkinan untuk penyempumaan, mungkin 5 tahun sekali atau mungkin lebih kurang. Tetapi ini ada dasamya sehingga perlu ditentukan dan dijelaskan dalam umum daripada penjelasan ini. Kalau pikiran ini bisa disambut oleh Saudara-saudara, saya silakan pertama tentang maksud dari Menteri Kehakiman untuk konsultasi, kedua tentang isi penjelasan umum. Setelah kita selesai semuanya bagaimana yang harus kita masukkan dalam umum ini, silakan dari FABRI.

FADRI (IMAM SUKARSONO, S.H.):

Terima kasih Saudara Ketua. Di samping tadi apa yang diminta oleh Saudara Ketua yang juga saya sambut baik bahwa undang-undang ini barang tentu merupakan pola dukungan bagi pembangunan jangka panjang nanti dan oleh karena melihat ke depan itu juga perlu membuka diri untuk secara bertahap memperbaiki diri undang-undang ini nanti, itu saya setujui.

Yang kedua, ialah bahwa di dalam penjelasan umum ini nanti ada satu hal yang kemarin tatkala Saudara Ketua akan µienutup rapat in i lalu saya mengacungkan tangan minta supaya apa yang saya akan kemukakan itu tetap memperoleh titik tolak, yaitu ini kemarin kita sepakat bersama bahwa kita sudah segala sesuatu penuh mempercayakan ikhtikad baik Pemerintah semua itu. Namun apakah juga tidak baik kalau apa yang saya kemukakan itu sesuatu yang berlebihan ini tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang di dalam peraturan perundangan atau teknik perundang-undangan kita kenal sebagai sesuatu ten koste yaitu sekalipun sesungguhnya lebih, tapi dengan lebih itu makin mantap. Yang saya maksudkan ialah bahwa dalam penjelasan umum yang akan menguraikan antara lain sarana dan sebagainya itu nanti juga di dalam mengadakan untuk pertama kali. Apa yang kemarin juga di dalam pikiran telah terkandung nanti mesti sekurang-kurangya di tiap lbukota Kabupaten itu nanti mesti ada, apakah itu juga tidak baik dalam penjelasan umum juga ditampilkan sekali lagi. Meskipuil itu dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan, apakah sesuatu yang berlebihan teroved9ede tidak apa-apa. lnilah yang kemarin akan saya tanyakan kepada Saudara Ketua yang saya mengacungkan tangan ini. yang kedua, yaitu tadi saya agak tergesa-gesa sedikit tatkala Saudara Ketua bertanya apakah sistimatika yang dimaksud sudah dihapus? Ialah yang berkenaan dengan Pasal 138 dan 139. Padahal sebenamya ada satu pasal yang sesungguhnya lalu diubah, di sini kami mengusulkan bahwa ketentuan lain itu dimulai dari Pasal 127 sampai Pasal 136. sedangkan bunyi Pasal 136 a itu adalah Pasal 35 Rancangan Undang-undang, sedan.~kan kita tahu Pasal 35 Rancangan Undang-undang ini masuk Panitia kerja. Jadi di sini karena Pasal 45

(20)

Rancangan Undang-undang itu masuk Panitia Kerja, saya hanya ingin mengintgatkan saja bahwa Panitia Kerja nanti dalam melaksanakan tugas membahas Pasal 45 ini, kiranya dapat ingat bahwa isi Pasal 45 itu akan tampil sesungguhnya sebagai pasal yang pertama ketentuan peralihan. Sedangkan Pasal .. ~ 138 dan 139 itu hapus.

Inilah yang saya ingin kemukakan, kiranya ini nanti diperhatikan. Dengan demikian kalau Panja nanti akan memperbincangkan Pasal 45, ini harus ingat bahwa ini berkaitan dengan sistimatika.

Terima kasih Saudara Ketua, barangkali rekan Situmorang akan memberikan tambahan yang berkenaan dengan sambutan ini. Terima kasih.

FABRI (M.S. SITUMORANG) : Pasalnya 135 atau 45?

FABRI (IMAM SUKARSONO, S.H.):

Pasal 45 itu isinya dijadikan sebenarnya Pasal 136 yang ketentuan peralihan, sedangkan isi itu Pasal 45. Itu nanti kita kaitkan, karena ada Penitia Kerja yang mem-45-kan.

KETUA RAPAT:

Silakan !

FABRI (M.S. SITUMORANG) : .

Saudara Pimpinan sebagai tambahan dari FABRI yang pertama untuk bahan juga yang nanti kemungkinan dapat digunakan oleh Bapak Menteri dalam konsultasi, karena itu yang menjadi masalah tadi yang dikemukakan oleh Saudara. Ketua dalam rangka memberikan dukungan kepada konsultasi dengan Bapak Presiden, yaitu dengan adanya Rancangan Undang-undang ini menjadi undang-undang tentunya persiapan-persiapan yang telah diberikan oleh Menteri Kehakiman sekarang ini, tentunyajuga ti<lak hanya sampai di situ saja. Akan tetapi pendidikan-pendidikan, umpamanya ini universitas harus menyambut dengan sepenuhnya kehadiran daripada undang-undang ini, sehingga mereka dalam pendidikan univer-sitas juga sudah mengarah kepada sesuatu ketatanegaraan ini, masalah-masalah peradilan ketatanegaraan ini.

Jadi tentunya Bapak Presiden sebagai pimpinan Pemerintah juga dapat mengarahkan hal ini. Dan apa yang telah dikatakan Bapak Pimpinan tadi ini memang sangat strategis. Karena selain kita dengan kehadiran undang-undang ini sudah membuat langkah maju lagi di dalam pembangunan hukum, akan tetapi juga di dalam rangka mengisi kerangka landasan yang akan datang yang sedang giat kita laksanakan sekarang, tentunya dalam rangka take-off pada tahun-tahun berikutnya.

(21)

daripada Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah sengketa. Sengketa itulah yang. sebenarnya diadili, sengketa itu adalah disebabkan oleh sesuatu keputusan yang menyebutkan kerugian. Sehingga bukan pejabatnya yang diadili, bukan personil pejabatnya yang diadili, sebab kami terkesan dengan apa yang termaktub dalam Pasal 53 ayat (2) c yang mengatakan : "Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan tersebut pada ayat (l) setelah mempertimbangkan semua kepentingan-kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu." Seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan yang telah terjadi. Jadi ini seolah-olah mempunyai konotasi kepada pengadilan yang mengarah kepada personilnya itu, jadi ini perlu kita pikirkan bersama karena masalah ini adalah di-Panja-kan. Dan ini tentu nanti juga akan memberikan kesan persoalan akademik nanti. Bahkan lebih jauh lagi pembina-pembina hukum atau advokat-advokat akan mempergunakan kesempatan yang tertulis di sini ini untuk mendiskriditkan personil yang bersangkutan itu, padahal maksud kita adalah mengadili sengketa yang disebabkan sesuatu keputusa. i. jadi bukan mengadili

personil daripada pejabat Pemerintah itu. jadi konotasi ini yang sebenarnya kami minta perhatian.

Di dalam penjelasan umum ini tadi sudah kami nyatakan bahwa kemandirian daripada hokum Peradilan Tata Usaha Negara ini sebagai suatu lingkungan peradilan harus tercermin di dalam penjelasa umum.

Inilah Bapak Pimpinan beberapa hal-hal yang dapat kami berikan sebagai bahan, apakah. itu dibenarkan sebagai bahan untuk berkonsultasi atau untuk pandangan-pandangan selanjutnya dari kita.

Sekian Bapak Pimpinan, terima kasih atas perhatian. KETUA RAPAT :

Baik itu dicatat saya lihat oleh Pemerintah, jadi saya tidak usah ulangi lagi. Dicatat baik-baik oleh Menteri Kehakiman.

Silakan dari FKP.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.): Terima kasih Saudara Ketua.

Pertama-tama FKP ingin menanggapi terhadap penjelasan dari Pemerintah oleh Bapak Menteri Kehakiman atas DIM Fraksi-fraksi terhadap isi Pasal 141, FKP pada dasarnya dapat menerima dan mengerti serta P1enyambut baik terhadap usul Pemerintah untuk mengkonsultasikan mengenai pasal ini dengan Bapak Presiden. Yang kedua, menanggapi usul Ketua agar supaya dapat diberikan penjelasan umum yang dapat memberikan kemungkinan undang-undang untuk dapat diadakan perubahan. Hal ini memang sesuai dengan pemikiran FKP terdalm!u, mengingat Peradilan Tata Usaha Negara ini memang mempakan peradila.t? y2,1•g baru di negara kita sehingga dengan demikian sangat baik apabila dapat diuraikan di dalam penjelasan umum tentang perlunya adanya kemungkinan untuk dapat

(22)

merubah atau menyempumakan isi daripada undang-unriang peradilan yang akan diberlakukan ini.

Demikian Saudara Ketua. terima kasih.

KETUA RAPAT :

Dari FPDI masih ada? Silakan ! FPDI (SOETOMO HR, S.H.):

Saudara Ketua. Bapak menteri Kehakiman,_ Saudara-saudara anggota Panitia · Khusus. Atas jawaban Pemerintah bahwa mengenai Pasal 141 akan dikonsultasikan kepada Mandataris, kami sambut dengan baik. Memang demikianlah merupakan suatu tindakan yang sangat arif untuk mengadakan konsultasi dengan Presiden.

Mengenai imbauan kedua, di dalam rangka penjelasan umum nantinya di samping apa yang sudah di dalam konsep Rancangan Undang-undang memang patut kiranya, karena kita bersama-sama yang ada di sini baik Pemerintah maupun Fraksi-fraksi telah sepakat sejak semula bahwa Peradilan Tata Usaha Negara yang kita bicarakan sekarang ini merupakan tahap awal daripada Peradilan Tata U saha Negara yang ada di Republik ini. Sudah barang tentu mengenai · hal ini sangat layak manakala ad.a dibuka pintu kemungkinan adanya pembaharuan-pembaharuan di kemudian hari. Dan Saudara-saudara di dalam hal ini mengenai masalah-masalah yang lain saya rasa kami tidak ingin menambahkan, hanva satu bal yang patut di sini kami imbau bahwa Rancangan Unclang-unclang yang pada tahap pertama ini . dalam Panitia Khusus kita selesaikan yaiig kemudian akan kita rampungkan secara tuntas di Panitia Kerja adalah karya kita bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.

Kalau nanti di belakang hari terjadi mungkin ada kritik, mungkin ada macam-macam yang ditujukan terhadap produk yang kita hasilkan, ini adalah produk kita bersama dan kita mesti menghadapi bersama. Artinya inilah yang kita basil kan clan kita telah berusaha menyumbangkan apa yang terbaik untuk selesainya undang-unclang yang kita bahas sekarang ini. Jadi baik buruk undang".'undang ini adalah di tangankita. oleh karena itu pertanggungjawaban terhadap masalah ini keluac Sebab dalam hal ini masalah barn sudah barang tentu nantinya akan banyak ya kritik, ulasan dan macam-macam bahkan nanti akan timbul juga dari kalangan universitas yang pemah kita ajak dengar pendapat mengkritik kepada kita, karena imbauan · atau kehendak-kehendaknya tidak dapat disalurkan sepanjang kita sudah perjuangkan, namun kita ini konsensus clan ini piliap awal, dua tidak semuanya · bisa kita berikan secara maksimal, kita capai sqcara maksimal. Oleh karena itu kalau Rancangan unclang-undang ini sudah menjrdi undang-undang sudah barang tentu ini adalah milik kita bersama dan produk yang harus kita pertanggungjawabkan bersama.

Demikian Saudara Ketua. terima kasih.

(23)

KETUA RAPAT : Silakan dari FPP.

FPP (TGK. H.M. SALEH):

Bapak Pimpinan dan Bapak Menteri. Menanggapi usul dari Bapak Menteri bahwa beliau memberikan jawaban kepada Panitia Khusus ini setelah konsultasi dengan Bapak Presiden. Kami kira usul ini cukup layak bisa diterima dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan dalam pertemuan itu nanti akan diperoleh suatu hal yang dapat sesuai dengan harapan kita. Dan karena kebetulan sekarang sedang penyusunan anggaran 1987/1988, kiranya juga karena ini masalah yang baru yang akan lahir atau bayi yang lahir pada awal tahun 1987, ten tu biaya untuk memelihara bayi yang baru lahir ini cukup banyak. Mudah-mudahan juga kesempatan itu tidak hanya sekedar membicarakan limit waktu itu saja, tapi mudah-mudahan juga kesempatan ini bisa juga Bapak Presiden tercurah hatinya untuk memberikan anggaran yang memadai bahkan ada teman-teman saya di samping ini ada yang mengusulkan mudah-mudahan ada Inpres gedung Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kedua mengenai penambahan di Penjelasan Umum, kami kira sudah ada di FABRI antara lain supaya jelas sekali, harus kelihatan mandirinya Peradilan Tata Usaha Negara ini. Juga merupakan suatu masalah yang perlu dengan tegas dibuat dalam penjelasan. Demikian juga ada usul dari pada FKP.

Kecuali itu FPP juga ingin mengusulkan di sini supaya dalam penjelasan umum ini tidak sama dengan penjelasan umum yang kita buat untuk peradilan-peradilan lain, karena peradilan-peradilan lain sudah tradisional. Ini belum.

Oleh karena demikian apa sebab dia lahir, ini harus ada dipenjelasan umum, selama ini kita lihat tidak ada, kenapa dia lahir; untuk apa dia harus dilahirkan, itu harus ada dipenjelasan umum ini.

Dengan demikian dia baru tentu mendapat dukung"n, baik dukungan politik dukungan anggaran dan sebagainya sebab ini memulai tidak seperti yang lain. Jangan disamakan dengan yang lain, yang lain sudah bisa lari ini belum apa-apa. Oleh karena demikian ini harus mendapat suatu hal yang lain, oleh karena demikain sangat jelas juga dalam Penjelasan Umum.

KETUA RAPAT:

Jadi perlu penjelasan kenapa undang-undang ini setelah disahkan, maka berlakunya 3 tahun kemudian, misalnya. Itu perlu juga dijelaskan di penjelasan umum. Tentu penjelasannya hams baik, lalu kenapa undang-undang ini tidak lengkap dalam arti betul-betul merupakan undang-undang yang tidak perlu dirubah lagi. Itu dijelaskan, bahwa memang dasarnya sudah diletakkan kokoh, tetapi penyempurnaan tiap kali sesuai kepentingan pembangunan dapat dilakukan. Ini saya kira suatu hal yang sangat penting untuk bisa dimasukkan di dalam penjelasan itu.

(24)

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Pemerintah menyampaikan terima kasih atas kesediaannya menyetujui usul dari Pemerintah agar kami konsultasi lebih dahulu dengan Bapak Presiden.

Seianjutnya tentang saran-saran dari FABRI yang disampaikan oleh juru bicaranya Pak Imam Soekarsono yaitu rumusan dan Penjelasan Umum, yaitu kiranya dapat dipertimbangkan.

Sedangkan dari Jurubicara FABRI berikutnya Pak Situmorang, memang kami juga merintis membicarakan hal ini dengan Donia Universitas.

Jadi kurik:ulum-kurikulum di universitas itu juga sudah bisa diatur sedemikian rupa ikut mendukung kelahiran dari undang-undang yang baru di negara kita itu, sejak proklamasi kemerdekaan.

Beberapa Universitas saya telah hubungi bahwa kurikulum Fakultas Hukum itu sudah saatnya untuk ditinjau k~mb~li.s.~api menyeluP1h, tidak hanya kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi juga di dalam kaitannya dengan kesiapan Sarjana Hokum di masyarakat ini.

Berikutnya memang kehadiran Tata Usaha Negara ini adalah juga untuk mengisi kerangka landasan dan ini dapat dibaca juga di dalam keterangan Pemerintah pada waktu menyampaikan Randangan Undang-undang ini Pemerintah telah menyatakan bahwa, pengajuan Rancangan Undang-undang ini adalah untuk mengisi kerangk:a landasan di bidang Hokum yang ingin kita mantapkan di Repelita ke V sebagai modal untruc tinggal landas s~pai ke Repelita VI.

Mengenai istilah kerangka landasan diulang oleh FABRI sekarang ini, dan Pemerintah sependapat dengan FABRI atas uraiannya yang dikaitkan dengan Pasal 53 ayat (c) dan itu sudah disepakati untuk di-Panja-kan. Jadi jangan sampai timbul kesan seolah-olah itu personilnya yang diadili itu, walaupun dalam kenyataannya memang tidak mudah untuk menghilangkan kesan, lebih-lebih dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 1 butir (6), yaitu pengertian gugatan. Sebab gugatan itu adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Jadi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu dituntut, jadi kata pejabat Tata Usaha Negara itu dicantumkan dalam Pasal 1 butir (6), tuntutan agar diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan. Jadi apabila kita membaca pengertian gugatanya kita ingin meninggalkan kesan seakan-akan memang bukan personil yang diadili.

Memang ini penting juga untuk mendapatkan pengertian-pengeritan, bahwa yang dituntut adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan yang dinilai atau yang diadili adalah tindakannya, atau perbuatannya, karena ini tindakan yang menyangk:ut bidang publik recht atau Hukum Publik dan Tata Negara.

Jadi Pemerintah sependapat kiranya bagaimana caranya menghilangkan kesan

ini, seolah-olah yang diadili itu adalah Pemerintah atau personil yang bersangkutan. Walaupun ada rumusan di dalam Pasal 1 butir (6) mengenai gugatan.

(25)

perencanaan secara menyeluruh di tiap-tiap Departemen t'ntuk lebih meningkatkan disiplin administrasi, meningkatkan tertib administrasi, bahkan lebih menghayati apa yang disebut administratif behaviout

Jadi kurikulum-kurikulum di universitas itu juga sudah bisa diatur sedemikian rupa ikut mendukung kelahiran dari undang-undang yang baru di negara kita itu, sejak proklamasi kemerdekaan.

Beberapa Univeristas saya telah hubungi bahwa kurikulum Fakultas Hukum itu sudah saatnya untuk ditinjau kembali secara menyeluruh, tidak hanya kaitannya dengan Peradilan Tata U saha Negara, tetapi juga di dalam kaitannya dengan kesiapan Sarjana Hukum di masyarakat ini.

Berikutnya memang kehadiran Tata Usaha Negara ini adalah juga untuk mengisi kerangka landasan dan ini dapat dibaca juga di dalam keterangan Pemerintah pada waktu menyampaikan Rancangan Undang-undang ini Pemerintah telah menyatakan bahwa, pengajuan Rancangan Undang-undang ini adalah untuk mengisi kerangka landasan di bidang Hukum yang ingin kita mantapkan di Repelita ke V sebagai modal untuk tinggal landas sampai ke Repelita VI.

Mengenai istilah kerangka landasan diulang oleh FABRI sekrang ini, dan Pemerintah sependapat dengan FABRI atas uraiannya yang dikaitkan dengan Pasal 53 ayat (c) dan itu sudah disepakati untuk di-Panja-kan. Jadijangan sampai timbul kesan seolah-olah itu personilnya yang diadili itu, walau:;>un dalam kenyataannya memang tidak mudah untuk menghihtQgkan kesan, Jeuih-lebih dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 1 butir (6), yaitu pengertian gugatan. Sebab gugtanitu adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Jadi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu dituntut, jadi kata pejabt Tata Usaha Negara itu dicantumkan dalam Pasal 1 butir (6), tuntutan agar diajukan ke pengadilan untuk mendapat putusan. Jadi apabila kita membaca pengertian gugtan ya kita ingin meninggalkan kesan seakan-akan memang bukan personil yang diadili.

Memang ini penting juga untuk mendapatkan pengertian-pengertian, bahwa yang dituntut adalah badan atau pejabat Tuta Usaha Negara, sedangkan yang dinilai atau yang diadili adalah tindakannya, atau perbuatannya, karena ini tindakan yang menyangkut bidang publik recht atau Hukum Publi.k dan Tta Negara.

Jadi Pemerintah sependapat kiranya bagaimana caranya menghilangkan kesan ini, seolah-olah yang diadili itu adalah Pemerintah atau personil yang bersangkutan. Walaupun ada rumusan di dalam Pasal 1 butir (6) mengenai gugatan.

Setelah Undang-undang ini nanti diundangkan memang perlu ada suatu perencanaan secara menyeluruh di tiap-tiap Departemen untuk lebih meningkatkan disiplin administrasi, meningkatkan tertib administrasi, bahkan lebih menghayati apa yang disebut administratif behaviour.

Oleh karena begitu nanti Undang-undang ini belrdrn dan Pengadilan Tata Usaha Negara sudah terbentuk, maka kesiapan diperlukan rnenjelang kehadiran

(26)

Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kami juga sependapat dengan FPDI, bahwa ini merupakan produk bersama dan kita bersama-sama mempertanggung jawabkan produk ini. Dan juga dalam kaitan ini juga dukungan dari fraksi-fraksi agar ikut memperjuangkan anggaran dari Departemen Kehakiman agar di tahun mendatang itu bisa lebih meningkat.

Terhadap saran dari FPP, kiranya ada semacam lnstruksi Presiden untuk gedung-gedung Pengadilan Tata Usaha Negara ini sesungguhnya tidak mudah untuk dilaksanakan itu oleh karena dasar dari lnstruksi Presiden itu adalah prioritas, sehingga smapai sejauh mana gedung Pengadilan Tata Usaha negara yang ada di daerah-daerah ini bisa masuk dalam skala prioritas. Sebab hanya yang masuk skala prioritas itu yang bisa di-Inpreskan.

Namun demikian Pmerintah menyampaikan terima kasih atas pikiran-pikiran yang berkembang ini dan sekali lagi terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk konsultasi dengan Bapak Presiden.

Terima kasih Bapak Ketua.

KETUA RAPAT:

Saudara-saudara tinggal menunggu nanti setelah Menteri Kehakiman berkonsultasi dengan Presiden, kepada Panitia Khusus akan disampaikan basil konsultasi itu. Hasil Konsultasi itu bisa- disampaikan tanggal 5 Nopember 1986 pada waktu Rapat Panitia Kerja, tetapi kalau belum ada penyelesaian dapat juga tanggal 1 bulan Desember 1986, pada waktu Rapat Tim Perumus, karena memang sudah harus dirumuskan, atau kalau juga belum selesai bisa juga pada tanggal 13 Desember 1986 pada waktu rapat Panitia Khusus dengan Menteri Kehakiman.

Demikian Saudara Menteri Kehakiman, silakan.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Kami setuju dengan jadwal yang disampaikan oleh Saudara Ketua.

KETUA RAPAT:

Jadi salah satu di antara yang tiga tersebut, baik. Dengan demikian kami syahkan Pasal 141 dengan menyatakan bahwa menunggu atau pending keterangan dari Pemerintah tentang mulai berlakunya Undang-undang, begitu Saudara-saudara?

(RAPAT SETUJU)

Jadi Alhamdulillah, Syukur bahwa kita telah selesai dengan pasal yang terakhir

(27)

FABRI dan FKP.

FABRI yaitu mengenai Pasal 1 ayat (5) silakan FABRI.

FADRI (IMAM SUKARSONO, S.H.):

Terima kasih Saudara Ketua, jadi yang kita hadapi mengenai Pasal 1 butir (5) ini ialah masalah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara ini yang oleh FABRI dimaksudkan tidak menjangkau sengketa-sengketa Tata Usaha Negara (Tata Usaha Militer). Sehingga dengan demikian dahulu diusulkan seperti di dalam DIM-nya ini dirumuskan bahwa kalimat terakhir yang berbunyi sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Privat dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya putusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian oleh FABRI yang ingin diusulkan.

lalah sengketa Tata Usaha Militer ini tidak. Dua ~ni kita masukkan dalam Panitia Kerja nanti di sanalah yang ingin kita bicarakan lebih jauh itu bagaimana menampung.

Jadi beberapa waktu yang lampau Pemerintah juga sudah mengemukakan gagasan-gagasan pokoknya dalam menanggapi gagasan FABRI yang dibekalkan kepada Panitia Kerja.

Kemudian yang perlu dikemukakan dengan hubungan ini FABRI sudah beroleh pula bekal-bekal dari Pimpinan Mabes ABRI yakni bahwa seperti itulah yang ingin disampaikan.

Jadi kalau Sengketa Tata Usaha Militer ini tidak masuk di dalam,jangkauan peradilan Tata Usaha Negara ini, kiranya di dalam Rancangan Undang-undang Peradilan Militer yang akan datang itulah, ini yang akan dimasukkan.

Kemudian nanti bagaimana dalam rangka peralihan itu dapat mempunyai kaitan, inilah nanti yang mungkin nanti akan dibicarakan dan diolah oleh Panitia Kerja itu. Kalau Saudara Ketua tadi ingin sampai seberapa jauh gagasan atau saran yang ada di dalam FABRI ini dapat dilaporkan, bahwa dengan konstatif Mabes ABRI memang telah diperoleh konfirmasi seperti apa yang dikemukakan oleh FABRI ini.

Demikian Saudara ketua, laporan dari FABRI, jadi Panitia Kerja ini nanti beroleh beban inilah.

KETUA RAPAT:

Jadi singkatnya dari FABRI, menyatakan Pasal l butir (5) ini khusus mengenai sengketa Tata Usaha Militer supaya dibicarakan dalam Panitia Kerja. Walaupun demikian sudah ada pendirian daripada FABRI. Jadi jelas, baiklah kami serahkan saja kepada Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Jadi setelah mendengarkan penjelasan dari FABRI memang pasal itu akan

(28)

kita Panitia Kerjakan dan Panitia Kerja nanti diberikan bekal dan bekal itu sudah disampaikan tadi oleh FABRI.

Pennasalahannya kalau demikian. adalah sengketa Tata Usaha Militer menu~t FABRI tidak merupakan kompetensi dari Peradi1an Tata Usaha Negara, sebagai akibat dari hal itu, maka ada Peradilan Tata Usaha .!V!iliter tersendiri yang nanti akan dikaitkan kepada peradilan Militer yang Rancan~an l'ndang-undangnya masih akan diajukan, kita belum tahu kapan dia.iukan.

Perrnasalahannya adalah apakah memang sen~et:.. Tata Usaha Militer itu untulc seJanjutnya tidak menjadi kompetensi Peradilan la1::: Usaha Negara tersendiri? Apakah sebelum terbentuknya Peradilan Tata Usaha Mil:ter yang nanti dikaitkan kepada Rancangan Undang-undang Peradilan Mihtt::

Sengk.eta-sengketa kepegawaian militer ini tidak d1se1c-saikan melalui PeradiJan Tata Usaha Negara sehingga diselesaikan sendiri oleh Militer itu yang aparatnya belum ada.

Jadi kongkritnya apabila seorang perwira atau bintara atau tamtama itu diberhentikan tidak dengan honnat, maka yang bersangkutan tidak bisa mengajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian yang adil.

Jadi apakah nantinya untuk selanjutnya memang tidak menjadi kompetens; Peradilan Tata Usaha Negara ataukah sambil menunggt' terbentuknya Peradilan Tata Usaha Militer, sementara ini diselesaikan oleh Perarlilan Tata Usaha Negan. Sehingga ada kemungkinan ada pasal yang berbunyi, selama belum terbentuknya Peradilan Tata Usaha Militer berdasarkan undang-undang yang tidak disebul. maka sengketa-sengketa Kepegawaian Militer diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara ini apakah itu, ataukah sama sekali aout dan tidak ada sesuaru overkhan vase itu overkhan vase yang saya sebut tadi itu hanya sekedar apabila nanti ada Peradilan Tata Usaha Militer sendiri, maka sengketa kepegawaian nu diselesaikan oleh peradilan kepegawaian militer sendiri.

Tetapi selama belum terbentuknya Peradilan Tata Usaha Militer sendiri apakah tidak diselesaikan apabila personil ABRI yang ingin mendapatkan sesuatu penyelesaian melalui pengadilan karena sifatnya adalah sifatTata Usaha. Ini sebuah pertanyaan saja.

Demikian Saudara Ketua.

FABRI

(IMAM SUKARSONO, S.H.l :

Jadi benar bahwa memang nanti secara prinsip Peradilan Militer akan dipikul beban sengketa-sengketa Tata Usaha. gagasan demikian. Jelas bahwa apa yang sekarang kalau pada saat undang-undang ini berlaku nanti, katakanlah Peradilan Militer yang juga dipikuJi beban sengketa Tata Usaha Militer belum menjadi kenyataan, bahwa yang demikian itu memerlukan suatu peraturan peralihan transisi memang jelas. Transisi inilah nanti juga kita pikirkar. sejalan kita mengikuti menjelang Panitia Kerja nanti.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul Pengaruh Arus dan On time terhadap Sifat Mekanik dan Struktur Mikro Permukaan pada Proses Electrical Discharge Machining Die Sinking telah diuji dan

Berdasarkan hasil analisa data, maka diperoleh kesimpulan utama bahwa tidak terdapat hubungan antara modal psikologis dengan keterikatan kerja pada perawat di

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden &gt;80% memiliki tahap proses pengambilan keputusan yang baik yaitu proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi,

TOWER INDONESIA TOWER INDIA TOWER TURKI TOWER AUSTRALIA &amp; KOREA TOWER JEPANG &amp; TIONGKOK TOWER PERANCIS &amp; INGGRIS TOWER AMERIKA TOWER RUSIA TOWER KANADA... ➢

bahwa selama ini hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diatur secara tumpang tindih dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang

Pendekatan biofisik dan ekonomi diperlukan dengan mengidentifikasi komponen-komponen yang mendukung terhadap keberlanjutan sumberdaya agar pemanfaatannya tidak

mendatang sesuai dengan perkembangan. Masalah yang kami anggap penting dan mendasar yaitu itikad baik kita ber- sama bahwa sarana hukum untuk memeriksa, memutus,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik