Normal 0 false false false IN X-NONE AR-SA /* Style Definitions */
table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} TOLERANSI SEHAT Oleh: Duski Samad
Wakil Ketua FKUB Sumatera Barat
Minggu terakhir bulan Desember dan awal Januari setiap tahunnya menjadi event social penting dan strategis. Pada minggu terakhir Desember ada perayaan natal dan awal Januari ada pula penyambutan tahun baru masehi. Dua waktu penting ini memerlukan kedewasaan, toleransi dan kearifan semua pihak. Tema toleransi, saling menghargai, dan hidup
berdampingan secara arif terus disuarakan demi keutuhan bangsa, menjaga stabilitas dan kenyaman public.
Menyadari kemajemukan dan keragaman bangsa adalah nilai potisif yang diharapkan dapat berkonstribusi bagi penciptaan suasana yang damai dan saling menghargai. Bersamaan dengan itu menegaskan identitas diri, dan keyakinan iman adalah unsure pokok yang harus
dijaga dengan baik dan benar. Memelihara ajaran iman dan moral agama sesuai makna, tujuan dan pesan sucinya adalah bahagian utama untuk menciptakan kelurusan pemahaman dan kebenaran suatu keyakinan. Memahami, mengerti dan menjelaskan secara lugas apa artinya toleransi, adalah wujud dari toleransi yang sehat, dinamis dan konstributif. Penjelasan yang kabur, mengambang atau dibelokkan adalah potensi terselubung yang akan merusakan hidup saling memuliakan, dan toleransi yang positif. .
MENCEGAH KONFLIK MELALUI TOLERANSI SEHAT.
Erich Fromm[1] dalam bukunya, Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak
Manusia , menuliskan bahwa konflik dan kekerasan muncul
akibat terhalangnya seluruh kehidupan, terhambatnya spontanitas, tersumbatnya pertumbuhan dan ungkapan kemampuan-kemampuan inderawi emosional dan intelektual manusia. Ketika sebagian orang dilarang untuk mengeluarkan pendapat mereka, untuk mencari nafkah, untuk mencari kehidupan, pemenuhan kehidupan sehari-hari seperti makanan, pendidikan dan kesehatan, dari sinilah akan muncul kekerasan yang acapkali berujung pada perkelahian dan kematian. Dengan demikian, menurutnya, karakter-karakter individu seperti sifat agresif, egois, individualis yang merupakan pemicu timbulnya kekerasan sangat ditentukan oleh lingkungan pembentuk serta pengalaman hidup. Lebih jauh, Erich Fromm berpendapat, akar konflik dan
kekerasan, ti
dak pernah diselesaikan secara tuntas. Ia justru dibiarkan tumbuh dan meluas di masyarakat, sehingga makin sulit diselesaikan. kekerasan kini telah menjadi modus yang jitu untuk
memecahkan masalah. Tidak saja pada tingkatan akar rumput (
grassroot
), tetapi juga pada elit-elit politik.
Tentang arti penting mencegahkan konflik, lewat pemaknaan yang tepat dan lurus terhadap toleransi adalah kebutuhan mendesak. Sejarah mencatat bahwa sejak awal toleransi sehat itu sudah dipraktek pendiri bangsa (founding father) seperti yang ditemukan dalam document
pendirian negara. Dalam konstitusi, para
pendiri bangsa sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh, tidak saja terkait sistem bernegara, tetapi juga terkait kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berbhinneka tunggal ika. Adapun prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Hal itu berarti hakekat kebangsaan Indonesia adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayahan,
kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya
.
Penerimaan satu kelompok, etnis, agama dan suku atas kelompo lain adalah fakta dan realitas yang sudah menyejarah. Keikhlasan dan kearifan pendahulu dalam memberikan ruang bagi perbedaan dan keragaman dimulai dengan penerapan toleransi yang sehat, dinamis dan konstributif.
TOLERANSI MERAWAT SIMBOL KEAGAMAAN.
Secara bahasa, toleransi bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[3] Toleransi berasal dari bahasa toleran
ce (Ing
gris) atau
tolerantia
(Latin) berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. [4]
Toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam
perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama.
[5]
Secara mendasar, prinsip-prinsip toleransi tersebut merupakan “turunan” dari prinsip dan pandangan tentang multikulturalisme. Multikulturalisme diartikan sebagai pemikiran yang merujuk pada pemahaman bahwa masyarakat (Indonesia) tidak hidup dalam satu macam budaya saja.4 Prinsip ini tidak sekedar memahami bahwa setiap masyarakat pada hakekatnya adalah beragam, tetapi juga prinsip ini memaknai bahwa dalam setiap keberagaman
masyarakat (Indonesia) ada sebuah kesetaraan, dan karenanya diperlukan sebuah kesadaran penuh masyarakat untuk bisa mencapainya. Jika pemahaman multikulturalisme dapat
tersosialisasikan dengan baik, maka sebagai hasilnya akan tercipta suatu peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan,
keindahan, keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Sebaliknya, tanpa pemahaman multikulturalisme, konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
kulit, bahasa, adat istiadat, paham, kepercayaan dan penganut agama, adala
h su
atu kenyataan, menjadi
sunatullah,
yang tidak seorang pun dapat menghapuskannya. Sebagaimana juga tertuang dalam Al -Qur'an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, Islam telah memberi kebebasan untuk menganut suatu kepercayaan atau agama tertentu dan melarang memaksa orang lain untuk menganut suatu kepercayaan atau agama tertentu serta melarang memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam.
Dalam sejarah Islam, toleransi dan kerukunan hidup umat beragama bahkan telah dipraktekkan Rasullah SAW melalui kepemimpinan beliau terhadap masyarakat yang majemuk dengan Piagam Madinah sebagai konstitusinya. Piagam Madinah memuat pokok-pokok kesepakatan
antara lain (1) Semua umat Islam,
walaupun berasal dari banyak suku, merupakan satu komunitas, (2) Hubungan antar komunitas Islam
dengan non I
slam didasarkan atas prinsip-prinsip: bertetangga baik, saling membantu dan saling menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati, menghormati kebebasan beragama.
Kehebatan ajaran dan sejarah toleransi itu, kemudian sering diciderai oleh kesalah mengertian dalam memosisikan toleransi. Potensi laten yang menyebabkan terganggungnya tolerasi dan mengundang hadirnya konflik, serta keresahan antar agama adalah ketika identitas dan symbol religiusitas tidak ditempatkan secara wajar dalam bertoleransi.
Penghargaan dan pemuliaan pada identitas dan symbol keagamaan adalah cara tepat untuk menimbulkan toleransi yang sehat. Ketika identitas keagamaan dan symbol-simbol keagamaan dibiarkan tidak terurus apalagi kalau salah dalam mengunakannya, itu berpotensi mengundang konflik. Bagi umat beragama ketegasan dan kejelasan pemihakan terhadap idnetitas dan symbol keagamaanya, tidak dapat ditawarkan. Pedoman tegas Rasul tentang larangan
tasyabbuh
(menyerupai, identik, mirip) terhadap budaya dan pola hidup adalah harga mati yang harusnya dihormati oleh umat lainnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dikatakan man tasyabbaha bi qaumin
fahuwa minhumi, siapa
saya menyerupai atau meniru gaya hidup, pakaian dan symbol kaum atau kelompok tertentu, maka ia adalah bahagian dari kelompok atau agama itu. Dalam konteks ini maka untuk mengembangkan toleransi yang sehat diperlukan kesadaran semua pihak untuk tidak
memaksakan symbol agama pada yang beda iman. Dalam makna ini pula dapat dikatakan bahwa menjaga identitas masing-masing agama adalah cara tepat untuk menerapkan toleransi sehat.
Akhirnya patut disarankan, khususnya umat beragama yang akan menghadapi perayaan natal dan tahun baru, untuk mensosialisasikan toleransi sehat. Toleransi saling menghargai,
sepertinya hidup bertentangga yang sehat. Saling tegur sapa, saling menjaga keamanan, tidak perlu memasuki rumah tetangga, tidak elok pula meminjam pakaian, symbol-simbol social dan ritual tetangga, karena ia butuh saat itu, lagi pula kita punya identas, pakaian dan corak
tersendiri. Toleransi sehat adalah hidup dalam satu rumah besar, dalam kamar khusus masing-masing, dengan kebiasaan, adat, iman dan corak hidup berbeda. Semoga diarifi adanya. Tks. Ds.18122014.
[1] Lihat Erich Fromm, Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta, Januari 2000
[2] Pormadi Simbolon, “NKRI, Konflik Agama dan Sumpah Setia pada Pancasila dan UUD 1945”,
Http://Pormadi-Simbolon.Blogspot.Com/2006/04/Nkri-Konflik-Agama-Dan-Sumpah-Setia.Html
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Tahun 1995
[4] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan
toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karekter manusia. Abdul Halim “Menggali Oase Toleransi”, Kompas 14 April 2008
[5] Binsar A. Hutabarat, ”Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama”, http://www.sinar harapan.co.id/berita/0603/25/opi05.html