PERFORASI SEPTUM NASI HARRY AGUSTAF ASROEL Bagian Ilmu Penyakit THT
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Perforasi septum adalah timbulnya lubang pada septum yang disebabkan oleh berbagai macam trauma, penyakit, dll. Hussain (1997) mendapatkan dari 15 kasus yang ditangani selama 2 tahun, 7 kasus (46,7%) diantaranya adalah iatrogenik2.
Lokasi yang paling sering dijumpai adalah pacta daerah anterior septum3.
Kelainan ini sering tanpa gejala, kalau pun ada tergantung dari ukuran perforasi. Bila perforasi kecil, hidung seperti bersiul dapat terdengar pada waktu respirasi 3-10. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah krusta, epistaksis dan obstruksi
hidung 3.4.5-9.
Penanganan perforasi septum terdiri dari konservatif dan tindakan bedah4.6-9.
Penanganan yang tepat akan mencegah perkembangan dari perforasi dan hal ini penting terutarna pada anak-anak, dimana perforasi septum pada hidung yang sedang dalam masa pertumbuhan akan memperlambat perkembangan hidung3.
ANATOMI
Septum membagi kavurn nasi menjadi dua ruang, kanan dan kiri. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yang membentuk septum adalah lamina perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis maksila dan krista nasalis palatum. Bagian tulang rawan adalah karrilago septum (lamina kuadraangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung11,12.
Bagian terbesar dari septum nasi dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid posterior dan tulang rawan septum anterior; vomer membentuk bagian posterior dari septum nasi, sementara krura medial dari kartilago alar mayor dan prosesus nasal bawah (krista) maksila membentuk bagian anterior septum 11,12.
Lamina perpendikularis os etmoid membentuk sepertiga atas atau lebih septum nasi; ini berhubungan dengan bagian horizontal os eternoid. Di bagian anterior dan superior berhubungan dengan os frontal dan os nasal, di posterior berhubungan dengan tonjolan os sfenoid, di postero-inferior dengan os vomer dan antero-inferior dengan kartilago septum. Uluran kartilago septum berbanding terbalik dengan ukuran lamina perpendikularis os etmoid12.
Vomer terletak di septum nasi bagian posterior dan inferior. Dibagian superior membentuk sendi os sfenoid dan lamina perpendikularis os etrnoid, dan di bagian inferior dengan krista nasalis os maksila dan os palatina.
Tulang rawan septum bagian posterior mempunyai pinggir yang tipis dan masuk ke dalam alur dari lamina perpendikularis os etmoid, dan pinggir posterior juga masuk celah krista nasalis. Periosteum dan perikondrium dari tulang rawan septum dihubungkan oieh jaringan konektif yang dibentuk oleh ligamentum yang memungkinkan terjadinya gerakan dari tulang tersebut. Apabila jaringan konektif itu tidak ada atau salah satu sisi alur atau celah dari krista nasal tidak tumbuh dengan baik maka dislokasi tulang rawan septum mudah terjadi 12.
Septum nasi didarahi oleh a.etmoidalis anterior dan posterior, asfenopalatina,a palatina mayor dan alabialis superior. A.stenopalatina mendarahi bagian posterior septum nasi dan dinding lateral hidung, khusus yana posterior. A. etmoidalis anterior dan posterior adalah cabang dari oftalmika yang berasal dari a. karotis intema. A.etmoidalis anterior adalah pembuluh darah kedua terbesar yang mendarahi hidung bagian dalam, yang mendarahi kedua bagian antero-superior dri septum dan dinding lateral hidung.
Vena - vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri 12.
Gambar II (dikutip dari kepustakaan 12)
Bagian anterior dan superior rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (n. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum11, 12.
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus profundus. Disamping mensarafi hidung, ganglion sfenopalatina mensarafi kelenjar lakrimalis dan palatum 12.
Gambar III (dikutip dari kepustakaan 12)
Aliran limfatik hidung berjalan secara pararel dengan aliran vena. Aliran limfatik yang berjalan disepanjang vena fasialis berakhir pada limfnode submaksilaris11.
KEKERAPAN
Perforasi septum merupakan kasus yang jarang dikeluhkan, karena sebagian besar tanpa gejala.
Meyer dan Middelwerd di Lausanne melaporkan 54 kasus selama ± 15 tahun (1976-1991), dimana pada 38 kasus (18 orang wanita; 20 orang pria) didapati perforasi kecil sampai sedang. Mian di Riyadh melaporkan 14 kasus (12 orang pria; 2 orang wanita) selamat ±3 tahun (1991-1994) yang berada pada interval usia 19-49 tahun 14. Dari data di atas terlihat pria > wanita.
Di bagian THT fK USU / RSUP.H. Adam Malik Medan sampai saat ini belum didapatkan data yang pasti mengenai kasus perforasi septum.
PATOGENESIS
Sejauh ini belum ada literatur yang mengemukakan patogenesis terjadinya perforasi septum dengan jelas. Beberapa literatur mengatakan bahwa patogenesis berhubungan dengan penyebab dari perforasi itu sendiri. Pada perforasi yang disebabkan oleh trauma, perforasi terjadi akibat robekan dari mukoperikondrium yang membentuk ulkus3. Ulkus akibat trauma yang berkali-kali membentuk krusta
dan krusta memperdalam ulkus sampai menyingkapkan tulang rawan. Tulang rawan menjadi nekrosis dari perforasi yang terjadi meluas ke membran mukosa pada sisi yang berlawanan5.
ETIOLOGI
Menurut Maqbocl, penyebab perforasi septum antara lain: 1. Trauma
a. Bedah atau kecelakaan b. Kebiasaan memencet hidung c. Tampon hidung yang padat sekali d. Kauterisasi yang berulang
e. Hematom dan abses yang menyebabkan septum nekrosis. 2. Penyakit a. Tuberkulosa b. Sifilis c. Midline granuloma. d. Rinitis atrofi 3. Zat iritan
a. Menghirup tembakau atau kokain b. Menghirup krom atau merkuri 4. Tumor septum
a. Khondrosarkoma b. Granuloma 5. Idiopatik9
Derajat besamya perforasi3 :
1. Kecil : diameter perforasi < 1 cm. 2. Sedang : diameter perforasi 1-2 cm. 3. Besar : diameter perforasi > 2 cm.
Penyebab yang tersering dari perforasi septum adalah trauma3-10. Pada
anak-anak, trauma karena mengorek hidung berulang-ulang lama-kelamaan dapat menimbulkan perforasi septum10. Lokasi perforasi yang paling sering ditemukan
adalah pada daerah anterior3.
GEJALA KLINIS
Kebanyakan perforasi septum tidak memberikan gejala345. Brain (1980)
mendapatkan dari 69 kasus perforasi septum, sebanyak 62,4 % bebas dari gejala3.
Gejala perforasi septum bervariasi menurut ukuran, penyebab dan lokasinya 1,3,6.
Lokasi perforasi di posterior memberikan gejala yang lebih sedikit4. Perforasi kecil di
anterior dapat menimbulkan bunyi siulan3,4,6,7,9. sedangkan bila besar tidak10. Bila
ada krusta besar akan menyebabkan obstruksi dan terasa seperti ada benda asing, bila ditiup dengan paksa atau dikorek dengan jari, dapat menimbulkan perdarahan
3,4,5,6,7,8,9,10. Bila ada epistaksis berulang harus curiga akan adanya ulkus yang
perforasi 10. Epistaksis berat bisa terjadi bila tepi posterior dari perforasi mengenai a.
sphenopalatina5.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan : Anarmnesa3
Pemeriksaan fisik ; di kavum nasi dijumpai perforasi pada septum, adanya krusta dan epistaksis1-10.
Laboratorium;
biopsi, untuk mengeluarkan kemungkinan disebabkan proses keganasan. tes serologi, pacta penderita yang diduga terkena sifilis.
tes urin, pada penderita yang diduga menggunakan kokain.
CT-Scan dan /atau MRI ; pacta beberapa kasus tertentu untuk menilai luasnya erosi tulang dan mengukur besarnya perforasi3.
PENATALAKSANAAN
Brain mengatakan bahwa ada 2 hal yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan perforasi septum, yaitu :
1. Pengobatan proses penyebabnya 3,8.
2. Menganjurkan penyembuhan alami pada lesinya.
Bila tidak berhasil, tindakan bedah bisa dipertimbangkan3. Kepada penderita
harus dikatakan untuk menjaga hidungnya dengan sangat hati-hati dan menghindari trauma seperti membuang ingus dengan keras dan memencet hidung 3.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa penatalaksanaan perforasi septum terdiri dari 2 bagian:
1. Konservatif.
Tujuan dari penatalaksanaan ini adalah untuk menjaga kelembaban mukosa hidung3. Gejala seperti krusta dan epistaksis dapat dikurangi dengan
menggunakan salap 3,6,7,9 dan irigasi pelembab4.
2. Operasi.
Ballenger berpendapat bahwa operasi penutupan dilakukan pada perforasi yang kecil dan berlokasi di anterior10. Di mana operasi bisa diulang setelah 2 minggu.
Berbagai cara telah dikemukakan untuk menutup perforasi septum : a. Menggunakan obturator.
Untuk menutup perforasi yang kecil, dimana obturator ini terbuat dari plastik lunak (Silastic)3,6,7,9.
b. Tindakan bedah plastik dengan menggunakan flap atau jabir 1 – 10 .
Menurut Ballenger, ada 2 teknik menutup perforasi dengan menggunakan flap. 1. Flap mukosa septum dapat dibalik untuk menutup perforasi.
Teknik operasi : • Anestesi topikal.
• Tepi perforasi dibuat segar dengan mempertemukan epitel dengan membran mukosa.
• Mukoperikondrium dielevasi sampai 1/2 inci sekeliling tepi perforasi.
• Tulang rawan di reseksi seperti cincin untuk 1/8 sampai 1/4 inci dari tepi perforasi.
• Dibuat flap membran mulkosa, yang ukurannya harus lebih besar daripada luas perforasinya, diambil dari perrnukaan septum yang paling sesuai, kemudian dibalik ke arah perforasi dan diselipkan diantara membran yang telah dielevasi sekeliling perforasi.
• Setelah flap bertangkai ini terpasang, dibuat 3 atau 4 jahitan agar flap tetap di tempat.
Gambar V (dikutip dari kepustakaan 10)
2. Cara yang lebih sederhana ( teknik Hazletine ) Teknik operasi :
• Anestesi topikal
• Tepi perforasi dibuat segar dan mukoperikondrium dielevasi. seperti pada bedah reseksi mukosa septum.
• Insisi yang melengkung panjang (gambar 3-23, b ke b) dibuat melalui mukoperikondriwn. 1/4 sampai 1/2 inci di anterior perforasinya. Flap ini kemudian dielevasi.
• Insisi yang melengkung panjang (e ke e) dibuat melalui perikondrium septum sisi satunya. 1/4 sampai 1/2 inci di posterior perforasinya. kemudian flap ini dielevasi.
• Flap anterior dijahitkan ke tepi posterior perforasi yang telah dipersegar (gambar 3-24), dan flap posterior di sisi yang berlawanan dijahitkan ketepi anterior yang juga telah dipersegar. seperti tampak pada gambar 3-25. Daerah a dan a pada gambar 3-24 dan 3-25 akan menyembuh oleh granulasi. Gambar VI (dikutip dari kepustakaan 10)
Ada juga teknik operasi yang lain yaitu : 1. Metode Seeley & Climo
a. Flap dasar bagian atas dielevasikan menjadi satu bagian dari septum setelah insisi rinoplasti rutin dibuat sebagai usaha untuk menghilangkan semua regangan /tegangan pada garis jahitan.
b. Perfomsi kemudian ditutup, mengikis area anterior dan posterior pada flap. 2. Metode Seiffert
(Gambar VIII (dikutip dari kepustakaan 15)
b. Membran mukosa dipindahkan dan pinggiran dalam perforasl dan bagian yang berhadapan dengan konkha media. Septum di tampon dan diletakkan pada konka media.
c. Saat penyembuhan (kira-kira 2 minggu kemudian) sebagian dari konka media di potong clan septum dikembalikan ke tempat semula.
KESIMPULAN
1. Perforasi septum jarang dikeluhkan karena sebagian besar tidak menunjukkan gejala.
2. Penyebab terbanyak dari perforasi septum adalah trauma.
3. Penatalaksanaan perforasi septum apabila telah menimbulkan gejala, dapat dilakukan secara konservatif atau operasi.
KEPUSTAKAAN
Romo T, et al. A Graduated Approach to the Repair of Nasal Septal Perforaticn. Plast. Reconstr. Surg 1999 Jan; 103(1).h. 66.
Di ambil dari httP://www.medscape.com/medline/search/local joumal/abstr.html
Hussain A., Murthy P. Modified tragal cartilage-temporoparietal and deep temporal fascia sandwich graft technique for repair of nasal septal perforation. Dalam : The Journal of Laryngology and Otology. May 1997. Vol.111.h. 435-37.
Brain D. Ulceration and Perforation of the Septum. Dalam : Kerr AG. Scott Brown's Otolaryngology. 6th ed. Vol. 4 Rhinology. Butterworth-Heinemann.
Oxford. 1997.h. 4/11/18-25.
Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 7th ed. Appleton & Lange.
Connecticut. 1999.h. 776.
Colman BH. Han & Colman's Diseases of the Nose, Throat and Ear, and Head and Neck. 14th ed. Ghurchill Livingstone. Singapore. 1992.h. 21.
Maran AGD. Diseases of the Nose, Throat and Ear. 10th ed. PG Publishing.
Singapore.1990.h. 29.
Becker, Ear, Nose, and Throat Diseases. 2nd revised ed. Thieme Medical
Publisher.1994.h. 262.
Stafford ND et al. ENT Colour Guide. 2nd ed. Churchill Livingstone.Hull.1999.h. 49-50.
Maqbool M. Textbook of Ear, Nose & Throat Diseases. 6th ed. Jaypee Brothers Medical
Publishers. New Delhi. 1993.h. 258-9.
Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid I. Alih Bahasa : Staf Ahli Bagian THT FK UI-RSCM. Binarupa Aksara. 1994.h. 109-11.
De Weese DD. Otolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Mosby. 1998.h.
Hollinshead WH. Anatomy for Surgeon, Head and Neck. Vol. I. Harper and Row. New York. 1966.h. 237-40.
Meyer R., Middelweerd RJ. Large Nasal Septal Perforations Can be Closed Surgically. Dalam : American Journal of Rhinology. May-June 1992. Vol. 6. No.3.h.85-92. Mian MY. Repair of Nasal Septal Perforation. Dalam : American Journal of Rhinology.
January-February 1997. Vol. 11. No. I.h. 35-40.
Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 3rd ed. Williams &