• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di zaman modern ini, kesenian sudah merupakan bagian dari kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Di zaman modern ini, kesenian sudah merupakan bagian dari kehidupan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern ini, kesenian sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Seni sebagai bagian dari kreatifitas manusia, mempunyai ciri yang unik dan spesifik. Tidak ada standar baku dalam menilai kualitasnya. Tidak ada pula petunjuk dan aturan yang kaku dalam proses penciptaannya. Karena bersifat individual maka seni juga berurusan dengan subjektifitas. Dari subjektifitas ini tidaklah mungkin memaksakan selera dalam menikmatinya. Akan tetapi yang pasti bahwa seni telah menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya, untuk diciptakan kemudian dinikmati, sebagai hiburan maupun untuk diapresiasi.

Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI), yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya istilah HaKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.

Di era global keberadaan dan perkembangan karya cipta musik dan lagu sebagai salah satu bagian yang dilindungi hak cipta, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan industri teknologi (paten, know-how, dan lain-lainya). Industri ini dibentuk dari industri cultural yang menempati posisi yang cukup diperhitungkan. Posisi tersebut menurut Arnel Affandi dengan mencontohkan Amerika Serikat sebagai negara Adidaya yang mengandalkan industri musik dan lagu sebagai sumber devisa dalam perdagangan internasionalnya. Industri ini juga merupakan salah satu komoditi yang paling potensial bagi transaksi perdagangan internasional, karena mempunyai segmen pasar yang sangat luas dan mampu melewati batas-batas negara. Selain itu musik dan lagu juga dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa mengenal batas usia.

(2)

Dengan demikian musik dan lagu sebagai sebuah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.1

Seni musik adalah salah satu jenis seni yang paling populer dalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini hampir di setiap saat dan setiap tempat musik dapat kita jumpai. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, keinginan orang untuk mendapatkan sekaligus menikmati musik semakin mudah dan semakin praktis. Kita dapat mendengarkan lagu-lagu dari artis-artis kesayangan kita yang "tersimpan" atau terekam dalam segulungan pita magnetik terbungkus kotak plastik, berukuran kira-kira 10 x 6 cm dengan ketebalan yang hanya sekitar 1 cm saja. Benda berupa media sumber suara ini adalah kaset (compact cassette). Dengan bantuan sebuah piranti elektronik tertentu, yang secara awam disebut tape recorder, bertugas memutar dan membaca sinyal-sinyal magnetik di atas permukaan pita tersebut. Oleh tape recorder sinyal-sinyal magnetik yang tersimpan dalam pita kaset diubah menjadi sinyal listrik dan akhirnya diubah lagi menjadi sinyal-sinyal suara di kedua pengeras suaranya. Maka lagu yang tersimpan dalam kaset tadi dapat didengarkan dan dinikmati.

Terbentuknya sebuah kaset berisi misalnya rekaman lagu-lagu itu pada hakekatnya telah melalui proses yang cukup panjang. Melalui rangkaian kegiatan produksi dan ekonomi yang saling terkait. Pihak-pihak yang menunjang produksi ini antara lain adalah pencipta lagu, produser perusahaan rekaman, artis penyanyi, arranger (penata musik), musisi pendukung rekaman, produsen kaset kosong, distributor/penyalur sampai ke pengecer (retail) dalam hal ini toko kaset. Proses

1 Arnel Affandi, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum industri perekaman suara,

(3)

penciptaan sebuah karya sampai pada produksi perekaman dan penggandaan kemudian dipasarkan kepada umum sudah merupakan industri tersendiri. Keberadaannya diakui oleh negara seperti halnya industri-industri lain Secara proposional, dalam keadaan ideal sebenarnya industri perekaman suara dengan kaset sebagai wahana produksinya, menguntungkan semua pihak yang terkait. Akan tetapi mengingat bidang usaha ini mempunyai prospek yang baik secara ekonomis maka ada pihak-pihak tertentu yang ikut menumpang menggunakan jalan pintas secara tidak sah dan tidak adil dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomis tertentu.

Dengan merekam ulang dan memperbanyak tanpa seizin pencipta dan produsernya serta memasarkannya dengan secara sembunyi-sembunyi, mereka dapat meraup keuntungan dalam jumlah besar tanpa harus membiayai komponen-komponen produksi lainnya, misalnya honor pencipta, artis, studio, dan lain-lain. Penggandaan hingga pemasarannya secara ilegal ini lazim disebut tindakan pembajakan kaset.

Produser dan seniman pencipta karya adalah pihak yang paling dirugikan oleh praktek pembajakan kaset ini. Biasanya kaset bajakan dijual dengan harga yang lebih murah dengan kualitas perekaman yang semakin baik, sehingga secara umum hampir tidak bisa dibedakan dengan kaset yang asli. Ketika dihadapkan pada dua pilihan ini, konsumen, tentu saja, akan cenderung memilih produk yang harganya lebih murah dalam hal ini kaset bajakan tersebut. Akibatnya peningkatan penjualan kaset asli menjadi terhambat, karena pasar telah terisi oleh kaset bajakan. Apabila produser memberlakukan sistem royalti pada penciptanya, maka akibat yang diterima

(4)

penciptanya adalah tidak dapat menerima royalti dari sejumlah kaset yang beredar di pasaran, karena produk bajakan.

Dalam kerangka perlindungan hak cipta, hukum membedakan dua macam hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. (Sanusi Bintang, 1998:98). Hak ekonomi berhubungan dengan kepentingan ekonomi pencipta seperti hak untuk mendapatkan pembayaran royalti atas penggunaan (pengumuman dan perbanyakan) karya cipta yang dilindungi. Hak moral berkaitan dengan perlindungan kepentingan nama baik dari pencipta, misalnya untuk tetap mencantumkan namanya sebagai pencipta dan untuk tidak mengubah isi karya ciptaannya.2

Pelaksanaan perlindungan hak ekonomi biasanya dititikberatkan pada pembayaran royalti. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa seorang pencipta musik dan lagu untuk menghasilkan karya seni itu telah melakukan pengorbanan waktu dan tenaga dan sudah selayaknya sang pencipta menuntut perolehan keuntungan ekonomi dari pengorbanan tersebut.

Sehubungan dengan perlindungan hak ekonomi pencipta karya cipta musik dan lagu, pranata hukum belum berperan secara baik untuk melindungi hak ekonomi pencipta. Kemajuan teknologi yang luar biasa, menghadirkan berbagai peralatan canggih, berdaya guna tinggi dengan sistem pengoperasian sederhana, membuka peluang bagi pelanggaran, misalnya dengan cara merekam ulang karya cipta musik dan lagu tanpa seijin pencipta. Dihadapkan pada realitas tersebut yang menawarkan peluang secara ekonomi sangat menjanjikan keuntungan. Logika pelanggaran hak cipta adalah keberanian untuk mengambil resiko melawan hukum. Di samping itu apresiasi masyarakat yang rendah terhadap karya dari pencipta musik dan lagu antara lain dengan membeli kaset bajakan dengan harga murah meskipun dengan mutu

(5)

rendah, ikut mempengaruhi pelanggaran hak cipta. Pembajakan karya seni ternyata tak mengenal orang dan makin menggila di Indonesia. Pembajak musik dan lagu mempunyai pangsa pasar. Barang bajakan mudah diperoleh dan merupakan hal yang biasa dilihat sehari-hari, padahal diketahui hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap perlindungan hukum terhadap pencipta yang telah dicakup dalam Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002.

Tindak pidana hak cipta merupakan delik biasa. Artinya, penegak hukum dalam hal ini pihak Kepolisian, bisa melakukan tindakan hukum terhadap pelanggar hak cipta tanpa perlu adanya pengaduan dari pihak lain. Bagi mereka yang terbukti menjual atau mengedarkan produk bajakan dapat dikenakan denda maksimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan bagi yang terbukti memperbanyak tanpa seizin pemegang hak cipta bisa dikenakan denda minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara sedikitnya 1 (satu) bulan dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

Dengan keterangan diatas, maka penulis akan memberikan uraian mengenai pelanggaran yang terjadi terhadap produk hasil karya cipta seorang pencipta yang mana hal ini sesuai dengan hak moral dan hak ekonomi yang melekat pada pencipta ataupun pemegang hak cipta. Maka dari hal tersebut, maka penulis membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Industri Perekaman Suara Dari Tindak Pidana Pembajakan Kaset.”

(6)

1. Bagaimana Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap ciptaan lagu rekaman dari pelaku pembajakan kaset?

2. Bagaimana pelaksanaan UU Hak Cipta khususnya yang menyangkut tindak pidana pembajakan kaset?

3. Bagaimana Pengaruh aturan sanksi pidana, kepada pelanggar Hak Cipta khususnya Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap ciptaan lagu rekaman dari pelaku pembajakan kaset.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan UU Hak Cipta khususnya yang menyangkut tindak pidana pembajakan kaset.

c. Untuk mengetahui Pengaruh aturan sanksi pidana, kepada pelanggar Hak Cipta khususnya Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan memiliki manfaat antara lain : a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai pelanggar Hak Cipta khususnya Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.

(7)

1) Agar masyarakat mengetahui perlindungan terhadap ciptaan lagu rekaman dari pelaku pembajakan kaset.

2) Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran tentang mengetahui pelaku kejahatan pembajakan kaset.

D. Keaslian penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Industri

Perekaman Suara Dari Tindak Pidana Pembajakan Kaset” adalah benar

merupakan hasil karya penulis sendiri, yang mana sumber yang penulis peroleh dari berbagai literature yang ada tercantum dalam Daftar Pustaka skripsi ini dan sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa skripsi dengan judul tersebut belum pernah ada sebelumnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Tanpa mengabaikan berbagai permasalahan lain yang relevan, terdapat beberapa ketentuan penting dalam UU Hak Cipta 2002 yang perlu dikaji. Hal itu utamanya terkait dengan anggapan sebagian pelaku bisnis yang bereaksi merasa haknya tereduksi. Beberapa ketentuan tersebut diantaranya mencakup jabaran hak ekonomi, end user piracy, dan peniadaan perlindungan ganda bagi karya rekaman suara. Sejauh menyangkut jabaran hak ekonomi, UU Hak Cipta 2002 telah menegaskan kembali status dan legitimasi hak penyewaan atau rental right. Namun, hak seperti itu hanya berlaku untuk karya film/sinematografi dan program komputer.

(8)

UU Hak Cipta 2002 memang tidak mengaplikasikannya pada karya rekaman suara sebagai obyek UU Hak Cipta sebagaimana sebelumnya, karena status karya rekaman suara telah dipindahkan perlindungannya kedalam rejim Neighbouring Right atau Hak Terkait. Di domain yang baru itu hak penyewaan diakui dan tetap diberlakukan.

Adapun mengenai ketentuan end user piracy, tampak kejanggalannya karena ketentuan pidana itu muncul tanpa dukungan norma. Artinya, tanpa ada acuan norma tiba-tiba ditetapkan ketentuan pidana berikut ancaman sanksinya. Selain memiliki cacat konstruksi karena tanpa pembakuan norma sebelumnya, ketentuan ini memiliki kelemahan dari aspek utiliti karena pengaturannya hanya terbatas bagi karya computer program. Selebihnya, persoalan diseputar perlindungan bagi karya lagu atau musik dan industri entertainment yang sejauh ini lebih mewakili potret penegakan hukum Hak Cipta yang tak berdaya. Selain tetap aktual, permasalahan seperti itu melibatkan peran pihak-pihak yang terkait dalam industri rekaman serta problema diseputar eksploitasi karya-karya yang dihasilkan. Pihak-pihak terkait tersebut diantaranya adalah produser rekaman suara, penyanyi, musisi, dan para pengguna karya-karyanya.3

Selanjutnya dalam pasal 1 angka 10, 11 dan 12 UU Hak Cipta masing-masing sebagai berikut :

a. “Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan,

3 Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Global,

(9)

mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya”.

b. “Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya”.

c. “Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui system elektromagnetik”.

Sejalan dengan perubahan itu, karya rekaman suara tidak lagi menjadi obyek perlindungan Hak Cipta. Artinya, seluruh konsepsi perlindungan Hak Cipta tidak berlaku baginya. Lalu bagaimana aktivitas bisnis industri rekaman harus dibaca dari ketaatasasan pada UU Hak Cipta 2002? Tentu, lisensi penggandaan karya rekaman suara kedalam bentuk kaset dan CD harus didasarkan pada aturan Hak Terkait. Bukan Hak Cipta Bagaimana format kontraknya, ini harus disusun dengan hati-hati oleh para pihak yang benar-benar memahaminya.

Dari segi hukum, perubahan ini juga membawa dampak serius bagi perlindungan karya rekaman suara asing di Indonesia. Masalahnya, selama ini basis perlindungan bagi karya rekaman suara asing serupa itu dibangun berdasarkan konsepsi Hak Cipta. Payung perlindungan resiprokal secara bilateral maupun multilateral juga menempatkannya dalam kerangka Hak Cipta.

(10)

UU Hak Cipta 2002 telah menetapkan karya rekaman suara tunduk pada rejim Hak Terkait. Menurut rejim ini, perlindungan difokuskan pada subyeknya, yaitu produser rekaman suara. Perlindungan diberikan karena pihak produser yang telah memprakarsai kegiatan merekam lagu-lagu dengan melibatkan penyanyi (performer/pelaku) dan musisi termasuk arranger. Dalam kegiatan rekaman itu, lagu hanya merupakan salah satu unsur yang terkait. Hasilnya, terwujud dalam bentuk kaset atau CD atau bahkan VCD. Lalu, apabila kaset, CD atau VCD tersebut digunakan oleh para users, apakah penyanyi dan produsernya tidak berhak mendapatkan sebagian dari Undang-undang Hak Cipta 2002 secara jelas menyatakan bahwa Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) ini layak dicermati. Sebab, Pemegang Hak Cipta seperti KCI dapat “menyeret” pelaku-pelaku pelanggaran performing right dari Bandung, misalnya, untuk mondar mandir menghadiri persidangan Pengadilan Niaga di Jakarta. Secara paralel, tuntutan pidana juga dapat dijalankan di manapun di locus delicti-nya. Yang pasti, KCI dapat memforsirnya melalui gugatan perdata di Pengadilan Niaga. Ini tentu akan banyak menyita energi pelanggar karena Pengadilan Niaga untuk saat ini hanya ada di Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Bagi Pemegang Hak Cipta yang taktis, keadaan seperti ini membuka peluang untuk menyandera aktivitas bisnis pelanggar Hak Ciptanya. Sebaliknya bagi pelanggar, harus dikalkulasi kembali untung rugi yang diterimanya dari tindak pelanggaran Hak Cipta yang

(11)

dilakukannya. Sudah tentu, hal ini hanya relevan bila pelanggaran dilakukan sebagai bagian dari bisnis dan taruhan.

Yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak.4 Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku4, sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Yang dimaksud dengan hak ekslusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Sedangkan yang dimaksud dengan ciptaan adalah hasil karyawan pencipta yang menunjukkan keasliaannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 UU RI No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

2. Pengertian industri perekaman suara

Industri perekaman suara adalah salah satu jenis seni yang paling populer dalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini hampir di setiap saat dan setiap tempat musik dapat kita jumpai. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, keinginan orang untuk mendapatkan sekaligus menikmati musik semakin mudah dan semakin praktis. Kita dapat mendengarkan lagu-lagu yang "tersimpan" atau terekam dalam segulungan pita magnetik terbungkus kotak plastik, berukuran kira-kira 10 x 6 cm dengan ketebalan yang hanya sekitar 1 cm saja. Benda berupa media sumber suara ini adalah kaset (compact cassette). Dengan bantuan

4 Tanya-Jawab UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Lengkap dan Terpadu dengan Jawabannya,

(12)

sebuah piranti elektronik tertentu, yang secara awam disebut tape recorder, bertugas memutar dan membaca sinyal-sinyal magnetik di atas permukaan pita tersebut. Oleh tape recorder sinyal-sinyal magnetik yang tersimpan dalam pita kaset diubah menjadi sinyal listrik dan akhirnya diubah lagi menjadi sinyal-sinyal suara di kedua pengeras suaranya. Maka lagu yang tersimpan dalam kaset tadi dapat didengarkan dan dinikmati.

Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai UU Hak Cipta 2002, ketiga jenis ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim Hak Terkait (Related Right/ Neighbouring Right). Dengan pengalihan itu lantas timbul perbedaan yang signifikan yang menyangkut addressat perlindungan. Bila dalam konsepsi Hak Cipta yang dilindungi adalah karya Ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan, sebaliknya dalam konsepsi Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan hukum atau lembaga. Perbedaan ini tampak jelas pada definisi Hak Terkait yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 sebagai berikut:

“Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya”.

Sejalan dengan perubahan itu, karya rekaman suara tidak lagi menjadi obyek perlindungan Hak Cipta. Artinya, seluruh konsepsi perlindungan Hak Cipta tidak berlaku baginya. Lalu bagaimana aktivitas bisnis industri rekaman harus dibaca dari

(13)

ketaatasasan pada UU Hak Cipta 2002? Tentu, lisensi penggandaan karya rekaman suara kedalam bentuk kaset dan CD harus didasarkan pada aturan Hak Terkait. Bukan Hak Cipta! Bagaimana format kontraknya, ini harus disusun dengan hati-hati oleh para pihak yang benar-benar memahaminya.

Dari segi hukum, perubahan ini juga membawa dampak serius bagi perlindungan karya rekaman suara asing di Indonesia. Masalahnya, selama ini basis perlindungan bagi karya rekaman suara asing serupa itu dibangun berdasarkan konsepsi Hak Cipta. Payung perlindungan resiprokal secara bilateral maupun multilateral juga menempatkannya dalam kerangka Hak Cipta. Itu yang dahulu mendasari Persetujuan Bilateral RI.

Pembajakan lagu dilakukan dengan menggunakan berbagai media, seperti kaset, CD (Compaq Disk), VCD (Video Compaq Disk), dan lain-lain. Dengan adanya pembajakan ini kaset-kaset, CD, dan VCD bajakan membanjiri pasaran dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga kaset, CD, dan VCD aslinya. Hal ini dapat terjadi karena kaset, CD, dan VCD bajakan itu hanya diproduksi tanpa membayar pajak, sehingga harga jualnya dapat jauh lebih murah. Di lain pihak, konsumen musik dan lagu di Indonesia tentu saja lebih menyukai membeli kaset, CD, dan VCD bajakan itu karena kualitasnya lebih kurang sama dengan yang asli sedangkan harganya jauh lebih murah.

Pembajakan terhadap musik dan lagu ini bukan hanya terhadap musik dan lagu yang diciptakan oleh orang Indonesia asli, tetapi juga meliputi musik dan lagu yang diciptakan oleh orang dari luar negeri (pengarang lagu dan pemusik asing). Hal inilah yang sering menjadi bahan protes para pemusik dan pengarang lagu dari luar negeri

(14)

yang merasakan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap ciptaan mereka lemah sekali di Indonesia. Apabila hal ini dibiarkan saja maka akan membuat buruk nama Indonesia di dunia internasional yang pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.

Untuk lisensi di bidang musik dan lagu, para produsen kaset, CD, dan VCD musik dan lagu diperbolehkan memperbanyak ciptaan musik dan lagu orang lain dengan syarat bahwa orang tersebut telah mendapat izin terlebih dahulu dari pengarang dan pemusik atau pemegang hak cipta dari musik dan lagu yang ingin diperbanyaknya. Tentu saja dalam kaitan ini pihak yang ingin meminta lisensi itu harus membayar sejumlah uang balas jasa yang disebut dengan royalti. Royalti ini diberikan sesuai dengan perjanjian yang dibuat, misalnya royalti per kaset yang terjual, royalti per tahun, royalti per lagu/musik yang diperbanyak, dan lain-lain. Dengan adanya sistem royalti ini maka pengarang dan pemusik yang lagu dan musiknya diperbanyak oleh orang lain tidak akan merasa dirugikan, bahkan sebaliknya akan merasa diuntungkan.

Secara proposional, dalam keadaan ideal sebenarnya industri perekaman suara dengan kaset sebagai wahana produksinya, menguntungkan semua pihak yang terkait. Akan tetapi mengingat bidang usaha ini mempunyai prospek yang baik secara ekonomis maka ada pihak-pihak tertentu yang ikut menumpang menggunakan jalan pintas secara tidak sah dan tidak adil dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomis tertentu. Dengan merekam ulang dan memperbanyak tanpa seizin pencipta dan produsernya serta memasarkannya dengan secara sembunyi-sembunyi, mereka dapat meraup keuntungan dalam jumlah besar tanpa harus membiayai

(15)

komponen-komponen produksi lainnya, misalnya honor pencipta, artis, studio, dan lain-lain. Penggandaan hingga pemasarannya secara ilegal ini lazim disebut tindakan pembajakan kaset.

Produser dan seniman pencipta karya adalah pihak yang paling dirugikan oleh praktek pembajakan kaset ini. Biasanya kaset bajakan dijual dengan harga yang lebih murah dengan kualitas perekaman yang semakin baik, sehingga secara umum hampir tidak bisa dibedakan dengan kaset yang asli. Ketika dihadapkan pada dua pilihan ini, konsumen, tentu saja, akan cenderung memilih produk yang harganya lebih murah dalam hal ini kaset bajakan tersebut. Akibatnya peningkatan penjualan kaset asli menjadi terhambat, karena pasar telah terisi oleh kaset bajakan. Apabila produser memberlakukan sistem royalti pada penciptanya, maka akibat yang diterima penciptanya adalah tidak dapat menerima royalti dari sejumlah kaset yang beredar di pasaran, karena produk bajakan.

3. Pengertian tindak pidana pembajakan kaset

Permasalahan mengenai Hak Cipta (HAKI) akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Cipta. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Cipta (HAKI).

(16)

Dengan adanya perlindungan hukum terhadap hasil karya cipta, maka pencipta atau penerbit memiliki dan menguasai hasil karya ciptanya tersebut.

Pembajakan kaset, CD, dan VCD di Indonesia kian marak saja dari tahun ke tahun. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, sebab tindakan pembajakan tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hak cipta yang merupakan hak eksklusif pencipta atau penerima hak. Konsekuensinya, setiap penggandaan haruslah dengan seizin pemegang hak cipta

Tindak pidana hak cipta merupakan delik biasa. Artinya, penegak hukum dalam hal ini pihak Kepolisian, bisa melakukan tindakan hukum terhadap pelanggar hak cipta tanpa perlu adanya pengaduan dari pihak lain. Bagi mereka yang terbukti menjual atau mengedarkan produk bajakan dapat dikenakan denda minimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan bagi yang terbukti memperbanyak tanpa seizin pemegang hak cipta bisa dikenakan denda minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara sedikitnya 1 (satu) bulan dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

Dalam hal ini harus dibedakan dengan tegas antara pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan implementasi dari perundang-undangan tersebut. UUHC sendiri telah menyediakan sarana dan dasar dalam penegakan hukum. Sedangkan implementasi dari suatu aturan hukum tergantung pada upaya-upaya dan langkah-langkah yang diambil oleh penegak hukum yang berwenang untuk itu.

Pihak Kepolisian memang pernah melakukan tindakan represif dengan menangkapi para penjual kaset, CD/VCD hasil bajakan serta menyita barang tersebut.

(17)

Namun aksi penegakan hukum ini sepertinya tidak dilakukan dengan intensif dan terencana, hingga hasilnya tidak maksimal karena tidak menyentuh pelaku atau produsen yang berada dibalik aksi pembajakan. Hal ini terbukti dengan tetap maraknya penjualan produk bajakan di tempat-tempat umum seperti pasar.

Pihak Kepolisan mengoptimalkan kinerjanya dengan juga melakukan penyidikan dan penangkapan terhadap pelaku utama yang memotori penggandaan hasil bajakan tersebut, hingga praktek pembajakan dapat diberantas dari akarnya.

4. Putusan No.3683/Pid.B/2008/PN.Medan

Pengadilan Negeri Medan bersidang di Medan yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa Hendry Als Ahwat Umur 33 tahun. Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara sejak tanggal 10 Oktober 2008 s/d 10 Mei 2009.

Terdakwa Hendry Als Ahwat telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : dengan sengaja hak dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan /atau gambar pertunjukannya tanpa persetujuan pelaku memiliki hak eksklusif yaitu berupa VCD bajakan. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 7 bulan. Menetapkan bahwa masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya terhadap pidana yang telah dijatuhkan. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.

Berdasarkan putusan No.3683/Pid.B/2008/PN.Medan telah membaca perkara yang bersangkutan, telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa telah

(18)

mendengar dan memperhatikan tuntutan pidana dari penuntut umum yang pada pokoknya meminta agar Majelis Hakim memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa : Hendry Als Ahwat telah terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan /atau gambar pertunjukkan tanpa VCD bajakan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 72 (1) UURI Tahun 2002 tentang Hak Cipta dalam dakwaan pertama.

2. Menyatakan terdakwa Hendry Als Ahwat dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan pertimbangan mobil tersebut masih dileasing, maka mobil tersebut diserahkan pada wali Henry Als Ahwat. Sedangkan 378 keping kaset VCD Film bajakan, 228 keping kaset VCD Film (Master), 37 keping kaset CD MO.3 lagu (Master 532 keping kaset CD kosong, 140 keping kaset CD lagu India, 1 Unit CDRW (alat Copy kaset) seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan.

3. Menetapkan supaya terdakwa masing-masing dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.1000 (seribu rupiah).

F. Metode Penulisan

Skripsi sebagai suatu karya ilmiah yang harus dijabarkan secara tegas dan jelas, oleh karena itu suatu metode dalam melakukan penelitian ilmiah mutlak diperlukan, karena metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang

(19)

cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Penelitian merupakan suatu sarana yang diperlukan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu hukum, oleh karena itu penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, konsisten dalam menganalisa data dalam penulisan skripsi ini. Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan data-data yang relevan dengan judul skripsi.

Dalam penguraian dan penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan data yang diperlukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :

1) Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode normative. Metode normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai objek penulisan. Dalam hal ini pengumpulan data-data dilakukan melalui sarana kepustakaan yakni dengan cara mempelajari dan menganalisa secara sistematik buku-buku, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

2) Sifat Penulisan

Penulisan yang dilakukan adalah penulisan yang bersifat deskriptif, penulisan deskriptif adalah suatu penulisan yang bermaksud mengadakan pemeriksaan dan pengukuran terhadap gejala tertentu dengan menggambarkan sifat dari objek yang diteliti, kemudian terhadap permasalahannya yang ditinjau dan dianalisis berdasarkan teori dan peraturan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akhirnya sampai pada kesimpulan, yaitu dengan mengemukakan mengenai pelanggaran hukum

(20)

terhadap karya lagu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian dibahas untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diajukan.

3) Sumber Data

Data Sekuder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka hasil penelitian kepustakaan berupa buku-buku dan bahan bacaan lain yang relevan dengan judul skripsi.

Putusan No.3683/Pid.B/2008/PN.Medan

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang

Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Pengaturan hukum tentang industri perekaman suara dalam uu no. 19

tahun 2002. Dalam bab ini berisi tentang Perkembangan Industri perekaman suara di Indonesia, Dilema UU Hak Cipta dalam memberantas praktek pembajakan kaset, CD, VCD, Hukum pembajakan Hak Cipta dan Dasar tindak pidana karena perbuatan pembajakan Hak Cipta.

(21)

BAB III : Pelaksanaan UU Hak Cipta Khususnya Tindak Pidana Pembajakan

Kaset. Bab ini berisikan tentang Status perlindungan karya rekaman suara, Prospek pelaksanaan UU Hak Cipta, dan Pelaksanaan Undang-undang Hak Cipta khususnya tindak pidana pembajakan kaset serta cara menanggulanginya dari pihak industri perekaman suara maupun upaya dari pihak pemerintah.

BAB IV : Perlindungan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembajakan Kaset. Bab

ini berisikan tentang Kasus posisi, Analisa kasus, Pengaruh sanksi pidana yang ditujukan kepada para pelanggar Hak Cipta khususnya pembajak kaset dalam pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian

bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

This study analyses the underestimation of tree and shrub heights for different airborne laser scanner systems and point cloud distribution within the

Sebanyak 18 responden atau 50% mahasiswa termasuk kategori kurang paham, dikarenakan mahasiswa kurang tertarik dengan kegiatan-kegiatan Fordika dan mereka hanya

membeli banyak batu hingga mencapai puluhan kilo gram dengan harga sampai beribu-ribu (seribu merupakan sejuta dalam bahasa jual beli batu akik), biasanya dibayar dengan

[r]

Berdasarkan hasil tinjauan pada penelitian sebelumnya terdapat kesamaan yaitu untuk meningkatkan pelayanan guna untuk memenuhi kepuasan pelanggan, namun yang menjadi

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh antara atribut intrinsik dan atribut exstrinsik secara parsial dan berganda terhadap kepuasan konsumen

dan Kesadaran Merek Terhadap Keputusan Pembelian Tiket Maskapai Berbiaya Rendah Air Asia ”..

Disampaikan bahwa Pokja Konstruksi ULP pada Pemerintah Kabupaten Muara Enim akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi Kegiatan APBDP Tahun Anggaran 2016