• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda Lokal Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda Lokal Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kuda dan Perkembangannya di Indonesia

Kuda modern (Equus caballus) yang saat ini terdapat diseluruh dunia berasal dari binatang kecil yang oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai Eohippus atau Dawn horse yang telah mengalami proses evolusi sekitar 60 juta tahun yang lalu merupakan family dari Equidae, termasuk di dalamnya keledai dan zebra (Draper 2003). Kuda lokal Indonesia (Gambar 1) proses perkawinan silang dan seleksi genetiknya dipengaruhi oleh iklim tropis. Kuda local Indonesia memiliki tinggi umumnya 1,13–1,33 m dan tergolong sebagai kuda poni (disebut poni maksimal tingginya 1,47 m). Kuda lokal Indonesia memiliki kepala besar, wajah rata, sinar mata hidup, daun telingga kecil, leher tegak dan lebar, punggung lurus, kaki berotot kuat dan kering, persendian baik, dan bentuk kuku yang kecil. Kuda Indonesia terdiri dari: kuda makasar, kuda gorontalo dan minahasa, kuda sumba, kuda Sumbawa, kuda bima, kuda flores, kuda timor, kuda Sumatra, kuda jawa, kuda bali dan lombok, dan kuda kuningan (Soehardjono 1990).

Kuda Thoroughbred (Gambar 2) mulai dikembangkan sebagai kuda pacu pada abad ke 17 dan 18 di wilayah Inggris dengan mendatangkan tiga kuda pejantan dari daerah Timur yaitu Byerley Turk, Darley Arabian, dan Godolphin Arabian yang kemudian disilangkan dengan kuda betina lokal Inggris (Soehardjono 1990). Kata Thoroughbred muncul sekitar tahun 1821 dan dicatat di General Stud Book yang merupakan buku yang berisi catatan silsilah tentang Thoroughbred di Inggris dan Irlandia. Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kuda Thoroughbred adalah tinggi 176–178 cm, bentuk kepala dan rahang besar, leher panjang dan simetris dengan pundaknya, proporsi badan panjang, kaki bagian

(2)

belakang panjang dan anggun dengan persendian yang baik sehingga memberikan daya dorong yang maksimum, kaki bagian depan ramping dan panjang dengan otot yang besar serta persendian yang rata, mempunyai bahu yang panjang dan membentuk slope yang tidak terlalu menonjol sehingga menghasilkan langkah yang panjang dan rendah (Edward 1994).

Keberadaan kuda Thoroughbred di Indonesia sejak tahun 1968 sangat mempengaruhi perkembangan peternakan kuda di Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan dilakukannya persilangan kuda jantan Thoroughbred dengan induk lokal Indonesia salah satunya oleh peternakan kuda Pamulang. Pemilihan kuda Thoroughbred sebagai pejantan dikarenakan akan memperbaiki keturunan dengan munculnya sifat unggul dari pejantan, daripada penggunaan betina Thoroughbred selain sukar untuk memilih pejantan juga dapat menurunkan sifat genetiknya. Hasil dari persilangan tersebut saat ini sudah banyak digunakan dalam arena pacuan di Indonesia (Soehardjono 1990).

Perkembangan kuda di Indonesia dimulai sejak berdirinya kerajaan Hindu dan Budha pada abad ke-7 Masehi. Kerajaan-kerajaan ini memiliki armada maritim yang kuat sehingga mempercepat usaha pengembangbiakan dan penyebaran kuda keseluruh wilayah Indonesia mulai dari pulau Jawa sampai Sulawesi bahkan sampai ke pulau-pulau kecil lainnya (Soehardjono 1990). Kuda yang terdapat di wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia termasuk jenis kuda pony yang merupakan keturunan kuda Mongolia (keturunan kuda Przewalski) yang menyebar dari wilayah bagian Timur dan Selatan dari pegunungan India dan Tibet sampai ke Indonesia melewati Thailand dan Cina. Kuda pony pada umumnya memiliki tinggi badan antara 1.13 – 1.33 m dengan bentuk badan yang

(3)

kurang serasi karena kaki bagian depan lebih berkembang dibandingkan kaki bagian belakang (Edward 1994).

Pemuliaan kuda dikepulauan Indonesia dimulai sejak tahun 1800 dengan mendatangkan beberapa ekor kuda yaitu kuda Arab, kuda Australia dan kuda Eropa. Jenis kuda Eropa didatangkan dari negara Belanda, Jerman dan Belgia. Kuda-kuda ini selanjutnya disebarluaskan ke beberapa daerah di Indonesia untuk dikawinkan dengan kuda lokal yang terdapat di daerah tersebut. Kuda Arab disebarluaskan dan dikembangbiakan di daerah Sumatera Barat, kuda Australia di daerah Jawa dan kuda Eropa di daerah Sulawesi Utara (Soehardjono 1990). Keturunan kuda yang dihasilkan di Sumatera Barat dinamakan kuda Sandel Arab Sumatera Barat (SA), di daerah Jawa dinamakan kuda Priangan dan di daerah Sulawesi Utara dinamakan kuda Minahasa (Soehardjono 1990). Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918 membangun pusat pengembangan dan pembibitan kuda di Padang Mangatas, Sumatera Barat yang berfungsi sebagai tempat persilangan kuda Sandel dan Kuda Arab. Hasil persilangannya dinamakan kuda Sandel Arab yang memiliki tinggi 1.28 – 1.42 m. Pengembangbiakan kuda kembali dilaksanakan pada tahun 1950 setelah terjadi perang dunia ke-2 oleh pihak Kavaleri Angkatan Darat untuk membentuk pasukan berkuda. Pengembangan dilakukan di Parompong, Jawa Barat dengan mendatangkan kuda pejantan dari luar negeri yang bernama Dark Chevallier dan telah berhasil membuahkan keturunan kuda pacu yang baik (Soeharjono 1990).

Siklus Reproduksi Kuda

Sikus reproduksi kuda terkait dengan berbagai fenomena, diantaranya; pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, akivitas seksual setelah beranak dan penuaan atau umur. Beberapa hal tersebut diatur oleh faktor lingkungan, genetik, fisiologi, hormonal dan tingkah laku. Fertilitas akan meningkat seiring dengan tercapainya pubertas dan akan menurun seiring bertambahnya umur. Seiring dengan tercapainya pubertas, sekresi gonadotropin juga akan meningkat (Hafez 2000). Gonadotropin yang dihasilkan oleh hypothalamus menstimulasi kelenjar pituitary untuk mensekresikan follicle stimulating hormon (FSH). Hormon FSH ini akan menstimulasi perkembangan

(4)

folikel sampai terbentuknya folikel dominan. Hormon estrogen yang disekresikan dari folikel, memiliki fungsi menyiapkan saluran reproduksi untuk dilakukan pembuahan yang ditandai dengan estrus dan hormon estrogen juga akan menstimulasi kelenjar pituitary untuk mensekresikan luteinizing hormon (LH) yang berfungsi untuk menstimulasi terjadinya ovulasi pada folikel de Graaf (Riegal dan Hakola 2002).

Estrus ditandai dengan penerimaan kuda betina untuk dinaiki kuda jantan, relaksasi leher rahim, kehadiran dominan folikel, dan edema endometrium. Sedangkan diestrus ditandai dengan kurangnya penerimaan kuda betina untuk dinaiki kuda jantan, kehadiran korpus luteum, ketatnya leher rahim, dan kurangnya edema endometrium (Samper 2008). Sementara itu, Johnson dan Everitt (1995) menyatakan bahwa lamanya durasi siklus ovarium dalam kondisi fisiologis normal terdapat fase folikuler dan luteal akan berbeda pada masing-masing spesies. Panjang siklus estrus pada kuda 20-22 hari dengan panjang fase folikuler 5-6 hari dan fase luteal 15-16 hari. Menurut Hafez (2000) panjang siklus estrus adalah 20-24 hari. Selanjutnya, Shirazi et al. (2004) melaporkan bahwa pada kuda bangsa Caspian memiliki interval interovulatory, lama estrus, dan diestrus sepanjang 22,1±0,40; 8,3±0,86; dan 13,8±0,59 hari.

Durasi estrus diinduksi oleh berakhirnya fase luteal dengan panjang estrus antara 5-7 hari, dan onset estrus 3-4 hari (Samper 2008). Waktu pencapaian ovulasi pada kuda adalah 4-6 hari setelah mulainya estrus atau 1-2 hari sebelum akhir estrus. Panjang siklus estrus dan waktu ovulasi bervariasi dalam hubungannya dengan faktor-faktor eksternal maupun internal. Pada tingkat ovarium, periode estrus ditandai dengan sekresi estrogen yang tinggi dari folikel preovulatori. Estrogen yang dihasilkan oleh sel theca interna merangsang pertumbuhan uterus melalui mekanisme yang menyebabkan interaksi antara hormon dengan reseptornya. Estrogen juga merangsang produksi prostaglandin oleh uterus. Pada akhir estrus, terjadi ovulasi yang diikuti dengan terbentuknya korpus luteum yang akan mensekresikan progesteron (Hafez 2000).

(5)

Tingkah Laku Estrus

Siklus reproduksi kuda betina dimulai saat pubertas dan berlanjut hingga berumur tua, dimana setiap siklus akan ditandai dengan adanya estrus atau birahi. Estrus pertama pada kuda ditandai dengan periode permintaan dan penerimaan terhadap pejantan terjadi pada jangkauan usia 8 dan 24 bulan, kejadian ini dapat dijadikan tanda bahwa pubertas telah tercapai (Waring 2003). Tingkah laku individu selama estrus bervariasi antar individu kuda, tetapi cenderung sama antar siklus. Tanda-tanda estrus yang dapat dilihat secara fisik, diantaranya adalah; penerimaan terhadap pejantan, ekor terangkat, sering urinasi, vulva mengedip (winking) dan cara berdiri cenderung jongkok (squatting) (Coleman & Powell 2004). Sementara itu, Waring (2003) menyatakan pada saat estrus kuda betina akan menjadi relatif lebih jinak dengan kehadiran pejantan dan akan membiarkan pejantan untuk mengendus, menyundul, menggigitnya dan terkadang kuda betina akan meringkik. Hafez (2000) menambahkan bahwa selama dalam periode estrus, vulva akan membengkak, bagian bibirnya akan mengendur dan akan mudah dibuka ketika akan diperiksa. Vulva berwarna merah tua, basah, mengkilap dan diselaputi lendir yang bening.

Tingkah laku yang diamati merupakan sifat yang muncul saat periode diestrus dicirikan dengan penolakan terhadap pejantan. Ketika pejantan mendekat, telinganya akan mengarah ke belakang sebagai tanda kemarahan, menunjukkan kegelisahan dan kadang mengibaskan ekor. Betina akan menghindari pejantan dengan bergerak pergi, atau akan meringkik, menggigit, bahkan menendang pejantan (Waring 2003).

Sinkronisasi Ovulasi

Induksi estrus dan ovulasi pada kuda menggunakan PGF2α yang dikombinasikan dengan hCG (Samper 2008). Prostaglandin termasuk dalam hormon reproduksi primer yaitu hormon reproduksi yang secara langsung terlibat di dalam berbagai aspek reproduksi (Toelihere 1981). Prostaglandin F2α dihasilkan oleh endometrium uterus (Senger 2003). Pemberian prostaglandin menyebabkan regresi korpus luteum dan pengurangan konsentrasi plasma progesteron (Hafez 2000). Pada kuda estrus dapat diinduksi dengan menghentikan fase luteal dengan

(6)

injeksi prostaglandin. Estrada dan Samper (2003) melaporkan bahwa dengan penggunaan 7.5 mg PGF2α yang dilakukan paling awal pada hari ke-5 setelah ovulasi akan menyebabkan onset estrus dalam jangka waktu 3-4 hari dan ovulasi dalam jangka waktu 8-10 hari. Menurut Samper (2008) kisaran antara awal pemberian PGF2α sampai dengan onset estrus dan tercapainya ovulasi dapat berkisar berturut-turut pada 48 jam dan 12 hari, tergantung dari diameter folikel yang akan mengalami ovulasi pada saat pemberian PGF2α. Jika pada ovarium terdapat folikel besar pada saat penyuntikan, ovulasi akan terjadi dalam kurun waktu 72 jam setelah penyuntikan PGF2α tanpa menunjukkan gejala estrus yang tampak jelas. Penyuntikan PGF2α ketika folikel berukuran 40 mm, akan mengakibatkan ovulasi terjadi keesokkan harinya (Samper 2009). Namun demikian menurut Samper et al. (1993) jika folikel telah mencapai diameter maksimal selama fase luteal yang didominasi oleh progesteron, maka folikel ini akan mengalami regresi dan akan terjadi perekrutan folikel-folikel baru, sehingga estrus dan ovulasi akan mengalami penundaan.

hCG merupakan hormon peptide yang dihasilkan pada plasenta manusia, yang merangsang fungsi luteal. Sel luteal berfungsi untuk mensekresikan hormon progesterone yang akan digunakan untuk mempertahankan kebuntingan apabila terjadi pembuahan pada saat kebuntingan awal (Bergfelt 2007). Komposisi hCG serupa dengan LH, akan tetapi hCG memiliki waktu paruh yang lebih lama dalam tubuh dibandingkan dengan LH dikarenakan adanya kandungan asam sialic (Samper 2009). hCG telah digunakan secara luas untuk menginduksi ovulasi pada kuda dengan tujuan untuk mengoptimalkan waktu perkawinan (Harrison et al. 1991). Penelitian tentang penggunaan hCG terus dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan hCG dari tingkat dosis yang berbeda maupun kontraindikasinya pada praktek komersial di peternakan kuda. Kontraindikasi tersebut meliputi kejadian ovulasi ganda dan kebuntingan kembar (Davies-Morel & Newcombe 2008). Gastal et al. (2006) melaporkan bahwa dosis 1500 IU hCG yang disuntikkan pada saat diameter folikel terbesar mencapai ≥35 mm akan menyebabkan ovulasi pada 44.0±1.0 jam setelah penyuntikan.

(7)

Dinamika Ovari

Ovarium adalah organ yang memilki bentuk fisik seperti ginjal dan didalamnya terdapat sel gamet betina (sel telur). Ovarium sendiri mempunyai dua fungsi utama, yang pertama adalah siklus produksi ovum (sel telur) yang dapat dibuahi, yang kedua adalah produksi hormon-hormon steroid dengan rasio yang seimbang yang menjaga perkembangan saluran reproduksi, memfasilitasi migrasi embrio dini dan menjaga implantasi agar berhasil dan perkembangannya di dalam uterus (Hafez 2000). Sel telur itu sendiri terdapat dalam folikel yang nantinya akan berkembang sampai tercapainya ovulasi.

Folikel adalah kompartemen dari ovarium yang memungkinkan ovarium untuk memenuhi fungsi gandanya dalam gametogenesis dan steroidogenesis (Hafez 2000). Persediaan folikel primordial terbentuk pada saat pertumbuhan fetus atau pada saat segera setelah kelahiran yang jumlahnya sangat variatif pada masing-masing kuda tergantung dari diameter ovari, beberapa folikel primordial akan mulai tumbuh secara berkesinambungan selama hidup. Folikel yang terbesar berperan untuk menghasilkan estrogen yang paling banyak yang dihasilkan oleh ovarium pada saat estrus. Sekresi estrogen oleh folikel yang terbesar akan berkurang secara cepat pada saat tercapainya puncak LH. Pertumbuhan dan pematangan folikel menunjukkan serangkaian urutan perubahan komponen folikel, yaitu: oosit, sel granulosa dan sel theca. Karena adanya pengaturan oleh beberapa faktor intraovarium, intrafolikel dan sinyal-sinyal hormonal yang menyebabkan sekresi androgen dan estrogen (terutama estradiol). Ukuran folikel menentukan sekresi estradiol yang akan memberikan umpan balik positif terhadap LH untuk menstimulasi ovulasi dan luteuinisasi. Gangguan pada tingkat respon sel-sel theca dan sel granulosa terhadap sinyal gonadotropin, menyebabkan berhentinya pertumbuhan folikel dan menyebabkan atresia folikel (Hafez 2000).

Diameter folikel dapat digunakan sebagai sarana untuk memperkirakan ovulasi pada kuda, walaupun jangkauan diameter preovulatori cukup besar dalam waktu 24 jam sebelum ovulasi, yaitu 34-70 mm (Ginther 1995), 22-65 mm (Newcombe unpublished yang diacu dalam Cuervo-Arango dan Newcombe 2008), dan juga 41-45 mm (Kahn 2004). Diameter folikel preovulatori pada kejadian ovulasi ganda akan berukuran lebih kecil daripada ovulasi tunggal antara

(8)

35-40 mm (Kahn 2004). Selanjutnya Cuervo-Arango dan Newcombe (2008) diameter folikel preovulatori pada seekor induk akan relative sama dengan siklus-siklus sebelumnya. Selain itu, pola pembengkakan (edema) uterus juga dapat digunakan sebagai parameter untuk memperkirakan waktu optimal perkawinan.

FSH memainkan peranan penting untuk dimulainya pembentukan antrum. Gonadotropin ini merangsang mitosis sel granulosa dan pembentukan cairan folikel. Pada saat folikel dominan berbentuk pear shape, maka bentuk ini merupakan tanda akan terjadinya ovulasi dan akan terbentuk korpus luteum (Kahn 2004). Korpus luteum yang aktif terdapat pada ovarium pada saat periode terpanjang suatu siklus estrus, yang disebut fase luteal. Sedangkan fase folikuler, periode dimana mulai regresinya korpus luteum sampai dengan ovulasi (Hafez 2000). Korpus luteum teramati menggunakan ultrasonografi sampai hari ke-12 dari siklus estrus (Kahn 2004).

Pada kuda gelombang pertumbuhan folikel yang menghasilkan ovulasi berkembang pada pertengahan kedua siklus estrus. Pada umumnya hanya satu folikel yang akan mengalami ovulasi. Ketika folikel yang paling besar mencapai diameter 21-23 mm, dua folikel terbesar akan bertindak sebagai folikel dominan dan sub-ordinat, proses ini dinamakan deviasi folikel. Folikel sub-ordinat akan berkembang lebih lambat hingga akhirnya akan mengalami regresi, sedangkan folikel dominan akan terus berkembang sampai terjadinya ovulasi (Donadeu & Ginther 2002).

Ultrasonografi

Peralatan instrumentasi ultrasonografi modern telah tersedia dalam berbagai varian dan memungkinkan bagi sebagian besar manusia untuk mengoperasikannya dengan mudah. Namun demikian, harus disertai dengan pemahaman yang baik terhadap sifat fisika ultrasonografi dan interaksi fungsi peralatan dengan jaringan untuk memperoleh hasil yang baik. Kualitas gambar yang dihasilkan juga akan sangat dipengaruhi oleh keterampilan seorang sonographer. Diagnostik ultrasound menggunakan prinsip pulse-echo yang dapat menghasilkan gambar pada tayangan scanner yang berhubungan dengan accoustic impedance atau resistensi jaringan yang dijumpai gelombang ultrasound.

(9)

Ultrasound tidak dapat berpindah melalui udara (acoustic barrier). Medium terbaik untuk penghantaran ultrasound adalah cairan dan dihantarkan melalui kompresi atau penghalusan gelombang-gelombang (Goddard 1995).

Menurut Barr (1988) terdapat tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu; Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna putih (white) pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak. Hypoechoic;

echopoor menampilkan warna abu-abu (grey) pada sonogram atau

memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada sekelilingnya, contohnya jaringan lunak. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menampilkan warna hitam (black) pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang, contohnya cairan.

Teknik ultrasonografi untuk mengamati saluran reproduksi kuda adalah transrectal yaitu menggunakan transducer (probe) linear yang dimasukkan kedalam rectum yang akan memancarkan gelombang suara ke organ reproduksi dan akan dipantulkan kembali ke probe untuk divisualisasikan pada layar monitor. Probe sendiri memiliki dua jenis yaitu linear array transducer dan convex array transducer, keduanya memiliki beberapa frekuensi yaitu 3.5, 5.0, dan 7.5 MHz. Semakin tinggi frekuensi transducer, maka resolusi gambar akan lebih baik namun kedalaman organ yang ditembus dangkal (Goddard 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran pada organ kelamin primer yaitu ovarium dan saluran reproduksi (tuba Fallopii, cornua, corpus, cervix, dan vagina) dari 23 ekor kuda

Hasil pengamatan terhadap tingkah laku estrus pada saat penelitian menunjukkan bahwa pada seiring dengan waktu terjadinya estrus, maka skor tingkah laku estrus juga

Hormon PMSG mencapai kadar tertinggi dalam darah antara hari ke-60 sampai dengan 90 dari masa kebuntingan dan diperkirakan hormon ini merangsang pembentukan korpus

Menurut Turner dan Bagnara (1976) tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus reproduksi (siklus estrus) lebih dari dua kali dalam satu tahun.. Lama satu siklus

Parmitasari dkk (2002) mengatakan bahwa pada masa menopause akan terjadi perubahan fisik karena produksi hormon estrogen yang menurun akibat berkurangnya fungsi

Melalui umpan balik negatif, hormon steroid mengurangi tingkat GnRH, mengganggu fertilitas dan memiliki efek lokal pada saluran reproduksi yang secara langsung memengaruhi

Bila tidak terjadi pembuahan/ implantasi maka korpus luteum akan artrofi, sehingga kadar estrogen ↓ dan progesteron ↓, arteri spiralis

Kegunaan lain yang penting dari spektrum infra merah adalah memberikan keterangan tentang gugus fungsi pada suatu molekul.. Gugus fungsi ini dapat dibedakan antara daerah