• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB III

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.1 GEOMORFOLOGI

3.1.1 Geomorfologi Umum Daerah Penelitian

Pengamatan geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi, pengamatan langsung di lapangan, dan juga dengan bantuan data sekunder berupa citra satelit (SRTM image). Pengamatan geomorfologi ini menghasilkan sebuah Peta Geomorfologi daerah penelitian dengan skala peta 1:12.500. Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian mengacu kepada Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (BMB). Klasifikasi BMB ini mempunyai prinsip-prinsip utama geologi tentang pembentukan morfologi yang mengacu kepada proses-proses geologi baik endogen maupun eksogen (Brahmantyo dan Bandono, 2006), sehingga penulis dapat menentukan 5 satuan geomorfologi, antara lain Satuan Perbukitan Karst Goaterawang, Satuan Dataran Antiklin Kedungmulyo, Satuan Dataran Sinklin Kedungbanggi, Satuan Perbukitan Homoklin Kajengan, dan Satuan Dataran Alluvial Kali Penjalin.

Daerah penelitian memiliki variasi ketinggian, mulai pada ketinggian 75 mdpl sampai pada ketinggian 187,5 mdpl. Daerah yang relatif tinggi berada pada bagian utara dan barat peta, sedangkan daerah yang relatif rendah berada pada daerah selatan dan timur peta. Daerah yang menunjukkan relief tinggi memiliki litologi yang lebih resisten terhadap pelapukan, yaitu batupasir dan batugamping, dan memiliki pola erosi sungai yang vertikal. Sedangkan daerah yang menunjukkan relief rendah memiliki litologi yang kurang resisten terhadap pelapukan, yaitu batulempung, dan memiliki pola erosi sungai lateral.

Secara umum daerah penelitian mempunyai 2 tahapan geomorfik, yaitu tahapan geomorfik muda dan dewasa. Tahapan geomorfik muda ditandai oleh morfologi yang cukup terjal dengan lembah sungai berbentuk “V” yang menunjukkan erosi vertikal lebih dominan dibanding erosi horizontal. Tahapan geomorfik dewasa ditandai oleh morfologi datar, terjadinya proses pelarutan (pada batugamping), adanya sungai yang berkelok, dan erosi sungai horizontal lebih mendominasi dibanding erosi vertikal.

(2)

15 3.1.2 Satuan Geomorfologi

3.1.2.1 Satuan Perbukitan Karst Goaterawang

Satuan Perbukitan Karst Goaterawang menempati sekitar 30% luas daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian barat daerah penelitian dengan penyebaran satuan relatif barat-timur, meliputi Desa Goaterawang, Desa Margolelo, dan Desa Gayam. Pada Peta Geomorfologi terlihat dengan warna merah (Lampiran E3). Satuan ini dicirikan oleh kontur yang relatif rapat, lereng yang terjal (15-30%), dan memiliki kisaran ketinggian antara 100-150 mdpl.

Satuan ini berbentuk bukit-bukit (Foto 3.1), di beberapa singkapan ada yang memiliki kemiringan lapisan, namun kebanyakan singkapan tidak memiliki kedudukan lapisan. Satuan ini disusun oleh litologi berupa batugamping. Litologi penyusun satuan ini mencerminkan litologi yang tahan terhadap pelapukan dan erosi sehingga membuat daerah ini menjadi suatu tinggian.

Litologi batugamping pada satuan ini telah mengalami pelarutan (karstifikasi) yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya goa-goa yang digunakan oleh penduduk sekitar untuk tempat rekreasi, berupa Goa Terawang, Goa Bebek, Goa Macan (Foto 3.2), Goa Kidang, ada sungai yang mengalir di dalam Goa Bebek (Foto 3.2), ada stalagtite di Goa Terawang (Foto 3.3), dan ada stalagmite di Goa Kidang (Foto 3.3). Lahan di daerah ini digunakan oleh Perhutani untuk hutan jati.

Satuan ini memiki tipe aliran sungai konsekuen, contohnya Kali Gemlep dan Kali Goaterawang. Sungai pada satuan ini merupakan sungai muda berbentuk „V‟ dengan pola erosi sungai vertikal (Foto 3.4).

Foto 3.1. Geomorfologi perbukitan karst di Desa Goaterawang (foto atas). Foto diambil dari Kaki Bukit Goaterawang menghadap ke utara. Geomorfologi perbukitan karst di Desa

Gayam (foto bawah). Foto diambil dari Desa Kalonan menghadap ke utara.

(3)

16 Foto 3.2. Goa Bebek di Kaki Bukit Goaterawang, tampak sungai kecil yang mengalir keluar

dari goa (foto kiri), dan Goa Macan di Kaki Bukit Goaterwang yang merupakan hasil pelarutan (foto kanan).

Foto 3.3. Goa Terawang di Bukit Goaterawang, tampak adanya stalagtite (foto kiri), dan Goa Kidang di Desa Gayam, tampak adanya stalagmite (foto kanan).

Foto 3.4. Kali Goaterawang memiliki lembah sungai berbentuk „V‟.

sungai

stalagtite

stalagmite

(4)

17 3.1.2.2 Satuan Dataran Antiklin Kedungmulyo

Satuan Dataran Antiklin Kedungmulyo menempati sekitar 26% luas daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian selatan daerah penelitian dengan penyebaran satuan relatif utara-selatan meliputi Desa Kalonan, Desa Kedungmulyo, dan Desa Kedungwaru. Pada Peta Geomorfologi terlihat dengan warna kuning terang (Lampiran E3). Satuan ini dicirikan oleh kontur yang renggang berupa dataran, lereng yang landai (2-7%), dan memiliki kisaran ketinggian antara 75-100 mdpl (Foto 3.5).

Foto 3.5. Satuan Dataran Antiklin Kedungmulyo, terdiri dari litologi dominan batulempung dengan sisipan batugamping dan batupasir. Foto diambil dari Jalan Raya Tinapan

menghadap ke arah timur.

Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa antiklin. Struktur antiklin ini dapat terlihat dari adanya perbedaan arah kemiringan lapisan. Pada bagian utara di daerah Desa Kedungmulyo, satuan ini memiliki kemiringan lapisan ke arah utara. Sedangkan pada bagian selatannya, satuan ini memiliki kemiringan lapisan ke arah selatan.

Umumnya, satuan ini disusun oleh litologi dominan berupa batulempung. Namun, juga terdapat sisipan-sisipan litologi lain, yaitu batupasir dan batugamping. Litologi batulempung yang dominan mencerminkan litologi yang kurang tahan terhadap pelapukan dan erosi, sehingga membuat daerah ini mudah terlapukkan dan mengalami tingkat erosi yang tinggi. Dengan demikian akan terbentuk dataran dengan lereng yang landai.

(5)

18 Satuan ini memiki beberapa tipe aliran sungai, antara lain konsekuen, obsekuen, dan subsekuen. Sungai pada satuan ini merupakan sungai yang berkelok dengan pola erosi sungai horizontal, pengikisan cenderung ke arah lateral sungai, dan penyebaran endapan alluvial berada pada point bar. Sungai di satuan ini dapat diklasifikasikan sebagai sungai dewasa (Foto 3.6).

Daerah pada satuan ini umumnya telah ramai dengan pemukiman penduduk dan juga digunakan penduduk sekitar untuk bertani dan berkebun.

Foto 3.6. Kali Penjalin, menunjukkan sungai yang berkelok dan penyebaran endapan alluvial pada point bar.

3.1.2.3 Satuan Dataran Sinklin Kedungbanggi

Satuan Dataran Sinklin Kedungbanggi menempati sekitar 22% luas daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian timur laut daerah penelitian dengan penyebaran satuan relatif barat-timur, meliputi Desa Gelam, Desa Kedungbanggi, dan Desa Kedungwungu. Pada Peta Geomorfologi terlihat dengan warna oranye terang (Lampiran E3). Satuan ini dicirikan oleh dataran, kontur yang renggang, lereng yang sangat landai (0-2%), dan memiliki kisaran ketinggian antara 87,5-100 mdpl (Foto 3.7).

(6)

19 Foto 3.7. Satuan Dataran Sinklin Kedungbanggi, terdiri dari litologi dominan batulempung dengan sisipan batugamping dan batupasir. Foto diambil dari Bukit Goaterawang menghadap

ke tenggara.

Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa sinklin. Struktur sinklin ini dapat terlihat dengan adanya perbedaan arah kemiringan lapisan. Pada bagian utara di daerah Desa Kedungbanggi, satuan ini memiliki kemiringan lapisan ke arah selatan. Sedangkan pada bagian selatannya, satuan ini memiliki kemiringan lapisan ke arah utara.

Satuan ini disusun oleh litologi berupa batulempung yang dominan, namun juga terdapat litologi lain, berupa batupasir dan batugamping. Litologi batulempung yang dominan mencerminkan litologi yang kurang tahan terhadap pelapukan dan erosi, sehingga membuat daerah ini mudah terlapukkan dan mengalami tingkat erosi yang tinggi.

Satuan ini memiki beberapa tipe aliran sungai, antara lain konsekuen dan obsekuen. Sungai pada satuan ini merupakan sungai dewasa dengan bentuk berkelok, pola erosi sungai horizontal, pengikisan cenderung ke arah lateral sungai, dan penyebaran endapan alluvial pada point bar (Foto 3.8).

(7)

20 Foto 3.8. Kali Blimbing, menunjukkan sungai dewasa yang berkelok dan penyebaran

endapan alluvial berapa pada point bar. 3.1.2.4 Satuan Perbukitan Homoklin Kajengan

Satuan Perbukitan Homoklin Kajengan ini menempati sekitar 20% luas daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian utara daerah penelitian dengan penyebaran satuan relatif barat-timur, meliputi Desa Cokrowati, Desa Kajengan, dan Desa Gunungan. Pada Peta Geomorfologi terlihat dengan warna coklat (Lampiran E3). Satuan ini dicirikan oleh kontur yang relatif rapat, lereng yang relatif terjal (7-15%), dan memiliki kisaran ketinggian antara 150-187,5 mdpl.

Satuan ini berbentuk perbukitan (Foto 3.9) yang memiliki kemiringan lapisan ke arah selatan yang diinterpretasikan dari penampang geologi. Umumnya, satuan ini disusun oleh litologi berupa batupasir. Batupasir pada satuan ini memiliki kandungan kuarsa yang tinggi. Kuarsa merupakan mineral Seri Bowen yang sulit untuk lapuk. Hal ini membuat daerah ini merupakan suatu perbukitan yang relatif terjal. Satuan ini merupakan bagian dari sayap Sinklin Kedungwungu.

Satuan ini memiliki tipe aliran sungai, berupa konsekuen. Sungai di satuan ini dapat diklasifikasikan sebagai sungai dewasa dengan bentuk berkelok, pola erosi sungai horizontal, dan pengikisan cenderung ke arah lateral sungai (Foto 3.10). Daerah pada satuan ini umumnya tidak begitu ramai dengan pemukiman penduduk, namun sebagian besar daerah digunakan penduduk sekitar untuk bertani dan berkebun.

(8)

21 Foto 3.9. Satuan Perbukitan Homoklin Kajengan. Foto diambil dari bukit persawahan di

Desa Cokrowati menghadap ke arah utara.

Foto 3.10. Hulu Kali Blimbing, menunjukkan tahapan sungai dewasa. 3.1.2.5 Satuan Dataran Alluvial Kali Penjalin

Satuan Dataran Alluvial Kali Penjalin ini menempati sekitar 2% luas daerah penelitian. Pada Peta Geomorfologi terlihat dengan warna abu-abu (Lampiran E3). Satuan ini dicirikan oleh dataran, lereng yang landai (2-7%), dan memiliki kisaran ketinggian antara 70-75 mdpl dan 95-100 mdpl. Sungai memiliki bentuk berkelok, pola erosi sungai horizontal, dan penyebaran endapan alluvial berada pada point bar (Foto 3.6, Foto 3.8, dan Foto 3.11). Hal ini menunjukkan tahapan geomorfik dewasa. Satuan ini tersusun oleh endapan lepas berukuran pasir halus sampai bongkah, terdiri dari batugamping, batupasir, dan batulempung.

B T

(9)

22 Foto 3.11. Kali Kedungwungu, menunjukkan sungai dewasa yang berkelok dan penyebaran

endapan alluvial berapa pada point bar. 3.1.3 Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai

Pola aliran dungai di daerah penelitian adalah Pola Aliran dendritik (Gambar 3.1). Pola Aliran Dendritik ini dicirikan oleh pola sungai yang bercabang seperti ranting pohon, mengalir ke semua arah dan akhirnya menyatu di induk sungai (Howard, 1967 op. cit. Van Zuidam, 1985). Pola aliran ini diperkirakan terbentuk akibat tingkat resistensi erosi permukaan yang kecil. Adapun sungai-sungai yang memiliki Pola Aliran Dendritik, antara lain Kali Jamban, Kali Penjalin, Kali Kedungbanggi, Kali Sendangputri, Kali Kedungwungu, Kali Jayo, Kali Blimbing, Kali Sumurmulut, Kali Gemlep, dan Kali Goaterawang.

Tipe genetik sungai pada daerah penelitian berupa konsekuen, obsekuen, dan subsekuen. Tipe sungai konsekuen memiliki makna bahwa aliran sungai mengalir searah dengan struktur utama atau kemiringan awal. Tipe sungai konsekuen diperlihatkan, seperti Kali Sendangputri, Kali Blimbing, Kali Goaterawang, Kali Gemlep dan Kali Penjalin. Tipe sungai subsekuen memiliki makna bahwa aliran sungai pada daerah tersebut searah dengan jurus perlapisan. Tipe sungai subsekuen diperlihatkan seperti Kali Jamban, cabang Kali Kedungbanggi, dan cabang Kali Kedungwungu. Tipe sungai obsekuen memiliki makna bahwa aliran sungai berlawanan dengan kemiringan struktur atau lapisan. Tipe sungai obsekuen diperlihatkan, seperti Kali Jayo dan Kali Kedungbanggi.

(10)

23 Gambar 3.1. Peta Pola Aliran Sungai di daerah penelitian.

3.1.4 Pola Kelurusan

Pola kelurusan pada daerah penelitian (Gambar 3.2) diamati dengan menggunakan metode pengamatan secara tidak langsung, yaitu baik pada peta topografi maupun pada citra satelit (SRTM image). Kelurusan-kelurusan yang diperoleh akan diolah dengan bantuan perangkat lunak Stereonet for Window v. 1.2 sehingga menghasilkan dominasi umum arah kelurusan, yaitu berarah timurlaut-baratdaya, timur tenggara-barat baratlaut, dan baratlaut-tenggara (Gambar 3.2). Arah umum kelurusan timurlaut-baratdaya ini kemungkinan dipengaruhi oleh arah kemenerusan lapisan (strike) pada sayap sinklin menunjam. Arah umum kelurusan timur tenggara-barat baratlaut merupakan arah kemenerusan lapisan (strike) batuan yang juga dikontrol oleh struktur berupa antiklin menunjam. Sedangkan arah umum kelurusan baratlaut-tenggara merupakan arah yang dipengaruhi oleh struktur sesar mendatar.

(11)

24 Gambar 3.2. Pola kelurusan daerah penelitian.

(12)

25 3.2 STRATIGRAFI DAERAH PENELITIAN

Berdasarkan hasil pengamatan langsung ciri litologi di lapangan dan analisis sayatan petrografi, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 satuan lithostratigrafi tidak resmi (Gambar 3.3). Satuan lithostratigrafi tersebut dari tua ke muda, antara lain Satuan Batupasir, Satuan Batugamping, Satuan Batulempung, dan Satuan Alluvial.

(13)

26 3.2.1 Satuan Batupasir

3.2.1.1 Penyebaran Satuan Batupasir

Satuan Batupasir disusun oleh litologi berupa batupasir. Satuan Batupasir menempati bagian paling utara daerah penelitian. Satuan ini menempati 20% dari daerah penelitian. Satuan ini memiliki penyebaran relatif arah barat-timur. Penyebarannya dapat terlihat pada Peta Geologi dengan warna kuning (Lampiran E2). Umumnya, singkapan pada satuan ini dijumpai tidak banyak dan kurang bagus. Hal ini dikarenakan pada daerah satuan ini telah digunakan oleh penduduk sekitar untuk bertani dan berkebun, sehingga kenampakkan di lapangan berupa hamparan kebun dan sawah. Pengamatan singkapan yang dapat dilakukan hanya pada tebing lereng dan di sungai yang umumnya lapuk, serta dilakukan juga pengamatan pada butiran-butiran atau pecahan-pecahan batuan hasil bajakan sawah dan kebun yang masih dapat dikenali litologinya. Beberapa singkapan yang tersingkap dengan cukup baik, antara lain di Kali Blimbing, dan di Hulu Kali Gemlep (Foto 3.12). Berdasarkan rekonstruksi penampang pada peta geologi, tebal satuan ini diperkirakan >225 m.

(14)

27

Foto 3.12. Singkapan Satuan Batupasir di Hulu Kali Gemlep (lokasi E.6.1), singkapan lapuk, terlihat kenampakkan butir-butir kuarsa.

3.2.1.2 Ciri Litologi Pada Satuan Batupasir

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, singkapan-singkapan batupasir tidak memilliki kedudukan lapisan. Ciri litologi batupasir tersebut, antara lain batupasir, berwarna coklat keputihan, pemilahan baik, besar butir pasir sedang, bentuk butir membundar-menyudut tanggung, kemas tertutup, porositas baik, getas, memiliki fragmen butiran berupa kuarsa, matriks lempung.

Berdasarkan analisis sayatan petrografi (lihat Lampiran A1) pada sampel E.6.11, batupasir ini merupakan Batupasir Quartz Arenite (Gilbert, 1982), tekstur klastik, terpilah sedang, kemas tertutup, kontak antarbutir point, long, dan concave-convex contact. Butiran terdiri dari kuarsa, hornblenda, plagioklas, fragmen batuan, mineral opak, dan mikroklin. Matriks lempung yang menyebar di sela-sela butiran. Porositas dijumpai berupa intergranular.

(15)

28 3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir

Pada pengamatan laboratorium, batupasir pada satuan ini telah dilakukan preparasi mikrofosil, namun tidak menemukan fosil planktonik maupun bentonik. Oleh karena itu, umur dan lingkungan pengendapan satuan ini juga mengacu pada peneliti terdahulu. Penulis juga menginterpretasikan batupasir kuarsa pada satuan ini diendapkan dengan mekanisme arus traksi yang diendapkan di lingkungan dekat pantai.

Berdasarkan penyebaran satuan, ciri litologi di lapangan, dan kandungan mineralogi, maka umur dari satuan ini dapat disebandingkan dengan umur Miosen Awal-Miosen Tengah (N8-N12) dan diendapkan dalam lingkungan dekat pantai sampai neritik tengah (Kadar dan Sudijono, 1994).

3.2.1.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Satuan Batupasir

Berdasarkan ciri-ciri litologi, penyebaran satuan yang diamati di lapangan, dan pengamatan petrografi, maka Satuan Batupasir ini dapat disebandingkan dengan Formasi Ngrayong (Kadar dan Sudijono, 1994) yang terdapat pada Peta Geologi Lembar Rembang. Satuan ini tidak diketahui kontak batas bawahnya karena tidak tersingkap di daerah penelitian.

3.2.2 Satuan Batugamping

3.2.2.1 Penyebaran Satuan Batugamping

Satuan Batugamping disusun oleh litologi berupa batugamping. Satuan Batugamping menempati bagian barat daerah penelitian. Satuan ini menempati 34% dari daerah penelitian. Satuan ini memiliki penyebaran relatif arah barat-timur. Penyebarannya dapat terlihat pada Peta Geologi dengan warna biru (Lampiran E2).

Umumnya singkapan pada satuan ini berwarna putih krem, masif, fragmental, dan kompak. Singkapan-singkapan pada satuan ini cukup bagus dengan kondisi segar, terlihat jelas, dan tidak tertutup vegetasi. Singkapan-singkapan satuan ini tersebar pada morfologi yang relatif lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Beberapa singkapan yang tersingkap dengan baik, antara lain di Kali Penjalin, daerah Pancasona (Foto 3.13), Kali Kedungwungu (Foto 3.14), Bukit Gayam (Foto 3.14),

(16)

29 dan daerah Goaterawang. Pada pengamatan di lapangan juga teridentifikasi ada indikasi berubah fasies. Pada Kali Penjalin, apabila menelusuri singkapan searah strike, maka akan diperoleh perulangan Batugamping dan Batulempung. Hal ini menunjukkan ada indikasi Batugamping berubah fasies dengan Batulempung. Berdasarkan rekonstruksi penampang pada peta geologi, tebal satuan ini diperkirakan ±87,5m.

Foto 3.13. Singkapan batugamping masif di daerah Pancasona pada lokasi E.9.13 (foto kiri) dan pada Lokasi E.9.11 (foto kanan).

Foto 3.14. Singkapan batugamping berlapis di Kali Kedungwungu pada lokasi E.1.14 (foto kiri) dan di Bukit Gayam pada Lokasi E.4.6. (foto kanan).

3.2.2.2 Ciri Litologi Pada Satuan Batugamping

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, singkapan batugamping ada yang berupa masif dan fragmental, ada juga yang memiliki kedudukan lapisan. Pada umumnya, ciri litologi batugamping tersebut, antara lain batugamping, berwarna putih krem, pemilahan buruk, bentuk butir

membundar-T B T B

(17)

30 menyudut tanggung, kemas tertutup, porositas buruk, kompak, memiliki komposisi fosil foram besar, foram kecil, alga, moluska, koral, matriks mikrit, dan semen spar. Berdasarkan analisis sayatan petrografi (lihat Lampiran A2), Satuan Batugamping ini memiliki 3 jenis batugamping, yaitu Packstone, Grainstone, dan Boundstone.

Pengamatan petrografi pada batugamping ini akan dibahas dan dianalisis lebih lanjut pada Bab IV, Sub-Bab Petrografi Batugamping.

3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Satuan Batugamping

Berdasarkan analisis mikrofosil (Lampiran B) pada batugamping, ditemukan fosil foraminifera besar, antara lain Operculina sp., Lepidocyclina sp., Cycloclypeus sp., dan Miogypsina sp.. Hasil analisis mikrofosil tersebut menunjukkan bahwa Satuan Batugamping ini adalah Tf2-Tf3 (Miosen Tengah) berdasarkan Biozonasi

Tersier V.D.Vlerk dan Umbgrove, 1927 op.cit. Pringgoprawiro dan Kapid, 2000. Pada batugamping juga ditemukan fosil foraminifera bentonik, yaitu Bolivina sp., Uvigerina sp., dan Nodosaria sp.. Berdasarkan Rauwenda dkk (1985), fosil bentonik tersebut menunjukkan lingkungan pengendapan Neritik Tengah (20-100 m).

3.2.2.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Satuan Batugamping

Berdasarkan ciri-ciri litologi, penyebaran satuan yang diamati di lapangan, pengamatan petrografi, dan umur dari satuan ini, maka Satuan Batugamping ini dapat disebandingkan dengan Formasi Bulu (Kadar dan Sudijono, 1994) yang terdapat pada Peta Geologi Lembar Rembang. Satuan ini diendapkan selaras di atas Satuan Batupasir.

3.2.3 Satuan Batulempung

3.2.3.1 Penyebaran Satuan Batulempung

Satuan Batulempung ini disusun oleh litologi dominan berupa batulempung dan sisipan batupasir dan batugamping. Satuan Batulempung menempati bagian paling timur daerah penelitian. Satuan ini menempati 44% dari daerah penelitian. Satuan ini memiliki penyebaran relatif arah utara-selatan. Penyebarannya dapat terlihat pada Peta Geologi dengan warna hijau (Lampiran E2). Umumnya singkapan

(18)

31 pada satuan ini kurang baik. Hal ini dikarenakan pada daerah satuan ini hampir seluruhnya lapuk. Pengamatan singkapan dilakukan pada singkapan sungai dengan kondisi lapuk dan singkapan pinggir atau tebing sawah yang juga dalam kondisi lapuk (Foto 3.15). Beberapa singkapan yang tersingkap dengan baik, antara lain di Kali Blimbing, Kali Kedungbanggi, dan Kali Penjalin. Berdasarkan rekonstruksi penampang pada peta geologi, tebal satuan ini diperkirakan >175 m.

3.2.3.2 Ciri Litologi Pada Satuan Batulempung

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, ciri litologi batulempung, antara lain batulempung berwarna abu-abu gelap, getas, semen karbonatan, dan memiliki fragmen fosil foraminifera kecil. Berdasarkan analisis kalsimetri (Lampiran D), batulempung di satuan ini merupakan lempung murni – napal lempungan (Pettijhon, 1957 op.cit. Koesoemadinata, 1985).

Foto 3.15. Singkapan Satuan Batulempung di Kali Penjalin (lokasi E.2.3), kondisi singkapan cukup lapuk.

Berdasarkan analisis sayatan petrografi (lihat Lampiran A1) pada sampel E.2.3, ciri batulempung, yaitu butiran terdiri dari kuarsa, mineral opak, dan fosil plankton dan bentos. Matriks dijumpai berupa lempung dan kalsit. Porositas dijumpai berupa mouldic.

(19)

32 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, litologi batupasir merupakan sisipan dalam Satuan Batulempung dengan kondisi singkapan cukup lapuk (Foto 3.16). Ciri litologi batupasir, antara lain berwarna kecoklatan, pemilahan baik, besar butir pasir halus, bentuk butir membundar-menyudut tanggung, kemas tertutup, porositas sedang, getas, fragmen berupa fosil foraminifera kecil, matriks lempung, dan semen karbonatan.

Foto 3.16. Singkapan perselingan Batulempung dan Batupasir di Hilir Kali Penjalin (E.2.1), terlihat ada struktur paralel laminasi. Batupasir berwarna kecoklatan dan Batulempung

berwarna abu-abu.

Berdasarkan analisis sayatan petrografi (lihat Lampiran A1) pada sampel E.3.16, ciri litologi batupasir, yaitu Batupasir Quartz Wacke (Gilbert, 1982), tekstur klastik, terpilah baik, kemas terbuka, kadang kala di beberapa tempat terdapat kontak antarbutir point dan long contact. Butiran terdiri dari kuarsa, mineral opak, dan fragmen fosil foraminifera kecil. Matriks dijumpai berupa lempung dan semen dijumpai berupa kalsit. Porositas dijumpai berupa intergranular dan mouldic.

Singkapan Batugamping berada pada Kali Blimbing (Foto 3.17). Batugamping ini merupakan sisipan pada Satuan Batulempung. Ciri litologi yang diamati di lapangan pada batugamping tersebut, antara lain berwarna abu-abu kecoklatan, pemilahan buruk, bentuk butir membundar-menyudut tanggung, kemas terbuka, porositas buruk, kompak, memiliki fragmen fosil foram besar dan foram kecil, matriks berupa mikrit, serta semen berupa spari kalsit.

(20)

33 Foto 3.17. Singkapan batugamping pada Satuan batulempung di Kali Blimbing (lokasi

E.3.13).

Berdasarkan analisis sayatan petrografi (Lampiran A1) pada sampel E.3.9, ciri batugamping, yaitu Grainstone (Dunham, 1962), tekstur klastik, terpilah buruk, kemas tertutup, grain supported. Butiran terdiri atas fragmen fosil berupa foraminifera kecil, foraminifera besar, brachiopod, moluska, echinoid; detritus berupa kuarsa, glaukonit, dan mineral opak. Matriks dijumpai berupa lumpur karbonat. Semen dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit. Porositas dijumpai berupa interpartikel dan mouldic.

3.2.3.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Satuan Batulempung

Berdasarkan hasil analisis mikrofosil (Lampiran B), maka didapatkan umur Satuan Batulempung ini adalah Miosen Tengah (N13-N14) berdasarkan Zonasi Blow (1969), dengan ditemukannya fosil foraminifera planktonik, seperti Orbulina universa, Globorotalia menardii, Globigerinoides trilobus immaturus, Globoquadrina altispira, Globorotalia mayeri, Globigerina praebulloides, Globorotalia fohsi, dan Globigerinoides subquadratus.

Asosiasi fosil foraminifera bentonik yang ditemukan, seperti Lenticulina sp., Nodosaria sp., Bolivina sp., Uvigerina sp., Spiroloculina sp., Bulimina sp., Pyrgo sp., Amphicorina scalaris, Quinqueloculina sp., Ammonia sp., Bolivina schwageriana, Eggerela sp., Robulus vortex, dan Elphidium advena, maka menunjukkan lingkungan pengendapan Satuan Batulempung ini adalah Neritik Tengah bagian dalam dengan kedalaman ±50-100 mdpl (Rauwenda dkk, 1985).

(21)

34 3.2.3.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Satuan Batulempung

Berdasarkan ciri-ciri litologi, penyebaran satuan yang diamati di lapangan, pengamatan petrografi, dan umur dari satuan ini, maka Satuan Batulempung dapat disebandingkan dengan Formasi Wonocolo (Kadar dan Sudijono, 1994) yang terdapat pada Peta Geologi Lembar Rembang. Satuan ini diendapkan secara menjemari terhadap Satuan Batugamping dan selaras di atas Satuan Batugamping.

3.2.4 Satuan Alluvial

3.2.4.1 Penyebaran Satuan Alluvial

Satuan Alluvial ini disusun oleh material endapan lepas yang tersebar pada point bar sungai. Satuan ini menempati 2% dari daerah penelitian. Satuan ini memiliki penyebaran pada Kali Penjalin dan Kali Kedungwungu (Foto 3.6, 3.8, dan 3.11). Penyebarannya dapat terlihat pada Peta Geologi dengan warna abu-abu (Lampiran E2).

3.2.4.2 Ciri Litologi Pada Satuan Alluvial

Satuan ini tersusun oleh endapan lepas berukuran pasir halus sampai bongkah, terdiri dari batugamping, batupasir, dan batulempung. Kebundaran material berkisar antara menyudut hingga membundar. Material-material tersebut merupakan hasil erosi dari satuan batuan yang lebih tua.

3.2.4.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Satuan Alluvial

Satuan ini diinterpretasikan memiliki umur Holosen-Resen dan diendapkan pada lingkungan darat. Proses pembentukan endapan material lepas masih berlangsung hingga saat ini. Selain itu, Kadar dan Sudijono (1994) juga menentukan Holosen-Resen sebagai umur Satuan Alluvial.

3.2.4.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Satuan Alluvial

Satuan ini diendapkan secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua dengan batas erosional.

(22)

35 3.3 STRUKTUR GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian berupa kemiringan lapisan, antiklin gayam, sinklin kedungwungu, dan sesar mendatar cokrowati. Struktur sesar yang berkembang menunjukkan arah umum yang sama dengan dominasi arah kelurusan di daerah penelitian. Kondisi daerah penelitian yang umumnya digunakan penduduk untuk bertani dan berkebun serta kondisi singkapan yang tidak segar lagi mempengaruhi pengamatan lapangan yang dilakukan, sehingga sulit menemukan bukti-bukti di lapangan yang menunjukkan gejala struktur tersebut. Beberapa bukti-bukti adanya gejala struktur di lapangan yang masih bisa dijumpai, antara lain shear fracture dan gash fracture (Foto 3.18) pada singkapan E.3.2, E.4.19, E.4.20, E.5.7, E.6.17, dan E.7.11.

Foto 3.18. Bukti gejala struktur berupa gash fracture di Kali Kedungwungu pada lokasi E.4.20 (foto kiri) dan shear fracture di daerah Kali Blimbing pada lokasi E.7.21 (foto

kanan).

B T

(23)

36 3.3.1 Kemiringan Lapisan

Gambar 3.4. Peta Topografi dan kedudukan lapisan daerah penelitian.

Secara umum, jurus lapisan pada daerah penelitian berarah relatif barat-timur (Gambar 3.4). Kemiringan lapisan sangat landai, yaitu 8º-25º. Pada bagian utara daerah penelitian, arah kemiringan lapisan adalah ke arah selatan. Pada bagian tengah daerah penelitian memiliki arah kemiringan lapisan ke arah utara. Sedangkan pada bagian selatan memiliki arah kemiringan lapisan ke arah selatan.

3.3.2 Antiklin Gayam

Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh arah kemiringan lapisan pada daerah Gayam bagian utara dan selatan menuju arah yang berbeda (Gambar 3.4). Pada bagian utara daerah Gayam memiliki arah kemiringan lapisan ke arah utara, sedangkan pada bagian selatan daerah Gayam memiliki arah kemiringan lapisan ke arah selatan. Setelah dilakukan analisis struktur antiklin tersebut dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Stereonet for Window v. 1.2, sehingga menunjukkan adanya struktur antiklin dengan sumbu antiklin berarah 12º, N101ºE (relatif arah barat-timur) yang menunjam ke arah timur (Lampiran C).

KEDUNGWUNGU

(24)

37 3.3.3 Sinklin Kedungwungu

Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh arah kemiringan lapisan pada daerah Kedungwungu bagian utara dan selatan menuju satu arah yang sama (Gambar 3.4). Pada bagian utara daerah Kedungwungu memiliki arah kemiringan lapisan ke arah selatan, sedangkan pada bagian selatan daerah Kedungwungu memiliki arah kemiringan lapisan ke arah utara. Hal ini menunjukkan adanya struktur sinklin. Hal ini didukung pula dengan analisis struktur sinklin tersebut dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Stereonet for Window v. 1.2, sehingga menunjukkan adanya struktur sinklin dengan sumbu sinklin berarah 10º, N100ºE (relatif arah barat-timur) yang menunjam ke arah timur (Lampiran C).

3.3.4 Sesar Mendatar Cokrowati

Sesar mendatar ini diperoleh dari hasil interpretasi dari gejala adanya pergeseran bukit dan juga pergeseran satuan batuan. Bukti-bukti gejala struktur di lapangan tidak teramati dengan baik pada daerah ini. Hal ini dikarenakan daerah ini merupakan bukit yang sebagian besar telah dimanfaatkan warga sekitar untuk bertani dan berkebun. Bukti yang dapat mendukung gejala struktur di daerah ini adalah pola kelurusan yang diperoleh dari interpretasi pada peta topografi dan citra satelit (SRTM image,) seperti terlihat pada Gambar 3.5. Kemiringan Bidang Sesar Mendatar Cokrowati diinterpretasikan adalah vertikal, dan jenis sesar adalah sesar mendatar menganan.

(25)

38 Gambar 3.5. Bukti kelurusan yang mendukung gejala Sesar Mendatar Cokrowati (SRTM

image). 3.3.5 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi

Kemiringan lapisan yang terbentuk di daerah penelitian merupakan pengaruh dari struktur perlipatan (antiklin gayam dan sinklin kedungwungu), ditandai dengan adanya kemiringan lapisan yang menuju ke arah yang berbeda-beda (Gambar 3.4). Pada bagian utara daerah penelitian memiliki kemiringan ke arah selatan, pada bagian tengah daerah penelitian kemiringan ke arah utara, sedangkan pada bagian selatan daerah penelitian memiliki kemiringan ke arah selatan. Struktur ini diinterpretasikan merupakan akibat dari gaya kompresi berarah relatif utara-selatan. Gaya kompresi ini diperkirakan berasal akibat penunjaman antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Hindia-Australia. Proses ini diperkirakan terjadi setelah semua satuan batuan di daerah penelitian diendapkan pada Akhir Miosen Tengah. Hal ini didukung dengan studi pustaka Lembar Rembang oleh Kadar dan Sudijono (1994) yang menyebutkan adanya proses pengangkatan pada Akhir Miosen Tengah. Seiring dengan terus berlangsungnya proses kompresi, selanjutnya diinterpretasikan menghasilkan Sesar Mendatar Cokrowati pada Miosen Akhir.

Gambar

Foto 3.1. Geomorfologi perbukitan karst di Desa Goaterawang (foto atas). Foto diambil dari  Kaki Bukit Goaterawang menghadap ke utara
Foto 3.3. Goa Terawang di Bukit Goaterawang, tampak adanya stalagtite (foto kiri), dan Goa  Kidang di Desa Gayam, tampak adanya stalagmite (foto kanan)
Foto 3.5. Satuan Dataran Antiklin Kedungmulyo, terdiri dari litologi dominan batulempung  dengan sisipan batugamping dan batupasir
Foto 3.6. Kali Penjalin, menunjukkan sungai yang berkelok dan penyebaran endapan alluvial  pada point bar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Schumacker dan Lomax (2010, p.2), structural equation modeling (SEM) menggunakan beragam jenis model untuk menggambarkan hubungan diantara variabel laten dan

Menurut Sugiyono (2018) metode penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah

Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik beberapa temuan sebagai berikut: (1) terdapat determinasi disiplin belajar terhadap

Pengembangan komoditasnya Kriteria penentuan wilayah pengembangan Prioritas program pembangunan industri pengolahan hasil pertanian Analisis MCDM Kelompok industri dan jml unit

Berdasarkan hasil pemetaan lapangan dan analisis petrografi yang telah dilakukan, satuan batuan yang dapat di jumpai di daerah penelitian terbagi menjadi 4 satuan tersusun

Satuan batuan tersebut berurutan dari tua ke muda yaitu Satuan Batupasir – batulempung yang berumur Miosen Tengah, Satuan Batulempung, Satuan Batugamping dan Satuan Batupasir –

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis petrografi terdapat empat satuan batuan tidak resmi di daerah penelitian, urutan dari tua ke muda satuan tersebut

Satuan batuan tidak resmi di daerah penelitian dari tua ke muda yaitu Satuan Batugamping-Batulempung yang disetarakan dengan Formasi Rambatan,