• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1 I.1 Latar Belakang

Masalah gizi yang umum melanda negara berkembang seperti Indonesia adalah malnutrisi. Malnutrisi merupakan kesalahan pangan terutama dalam ketidakseimbangan komposisi nutrisi. Malnutrisi terbagi menjadi dua macam yaitu gizi lebih dan gizi kurang. Gizi lebih, susunan hidangan mungkin seimbang tetapi kuantitas nutrisi yang dikonsumsi melebihi apa yang diperlukan oleh tubuh. Gizi kurang, nutrisi harian yang dibutuhkan tubuh tidak tercukupi (Sediaoetama, 2010). Gizi kurang lebih banyak menjadi sorotan karena penderitanya akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan tubuh bahkan kematian.

Masalah gizi kurang didominasi oleh anak-anak dan balita akibat imbas sosial ekonomi yang menyebabkan ketidakmampuan keluarga dalam menyediakan makanan cukup dan bergizi seimbang. Kebutuhan protein dalam tiap harinya sebesar 0,57 g/kg berat badan untuk laki-laki dewasa, 0,54 g/kg berat badan untuk wanita dewasa dan untuk wanita hamil serta anak-anak mencapai 1 g/kg berat badan dengan penambahan protein ekstra (Winarno, 1991). Untuk balita dan anak-anak, angka kecukupan gizi harian protein yang dibutuhkan antara 12-36 g berdasarkan Peraturan Kementerian Kesehatan No. 75 tahun 2013 (Anonim (a), 2013). Berdasarkan laporan Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia tahun 2008, angka penderita malnutrisi di tahun 2008 mencapai 27,8 % sedangkan di tahun 1990 mencapai 35,5 % (Anonim (b), 2008). Dalam kurun waktu 20 tahun Indonesia tumbuh, persentase angka penderita malnutrisi hanya menurunkan 8 % padahal target minimum di bawah 15 %, artinya bangsa kita masih harus bekerja keras memerangi gizi buruk.

Indikasi gizi kurang adalah keadaan kurang energi protein (KEP) akibat kekurangan asupan protein. Istilah lain kurang energi protein adalah defisiensi protein sedangkan kuarshiorkor dan marasmus merupakan penyakit yang muncul akibat kurang energi protein berkepanjangan. Tidak terpenuhinya protein yang

(2)

mengandung asam amino esensial dapat meningkatkan resiko mengidap defisiensi protein. Sebab secara fungsional, asam amino esensial tidak hanya berperan sebagai penyusun protein tetapi sebagai prekursor kimia bagi banyak senyawa yang mengandung nitrogen seperti tirosin yang merupakan prekursor dalam biosintesis pigmen kulit yaitu melamin (Soendoro, 1997).

Asam amino esensial merupakan metabolit yang tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, asam amino esensial harus disuplai secara kontinu dalam bentuk makanan berprotein. Selain kecukupan, asam amino esensial pembatas di dalam makanan harus mencapai keseimbangan kuantitas dengan asam amino lainnya. Konsep asam amino pembatas didefinisikan sebagai asam amino esensial yang jumlahnya paling sedikit dibandingkan konsentrasi acuan. Jika suatu protein mempunyai satu atau lebih asam amino esensial kadarnya rendah maka efisiensi pemanfaatan semua asam amino terbatasi oleh asam amino pembatas. Contohnya lisin merupakan asam amino pembatas pada jagung. Untuk memaksimalkan atau memperbaiki nilai protein dalam jagung dilakukan pengayaan dengan penambahan lisin (Achmadi, 1989).

Alternatif pemecahan masalah gizi adalah fortifikasi. Fortifikasi merupakan proses penambahan zat gizi makro atau mikro pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari agar kualitasnya meningkatkan dan mencukupi angka kebutuhan gizi harian. Fortifikasi dapat berupa penambahan zat gizi yang memang tidak terdapat dalam bahan makanan atau sekalipun ada secara kuantitas sangat sedikit jumlahnya atau tidak mencukupi ketentuan. Penambahan zat gizi dalam lingkup kimia diartikan sebagai penambahan senyawa seperti asam amino esensial, asam lemak, vitamin atau zat anorganik seperti mineral-mineral. Zat yang ditambahkan dikenal sebagai fortificant sedangkan zat yang pembawa dikenal sebagai vehicle (Helmyati, 2014). Fokus penelitian fortifikasi yang sedang berkembang saat ini yakni menemukan bahan fortifikasi asam amino esensial untuk memerangi defisiensi protein.

Kriteria terpenting dalam pemilihan bahan fortifikasi alternatif bahwa sumber bahan tersebut berasal dari bahan yang tak termanfaatkan seperti hasil samping suatu proses produksi dan memiliki nilai guna yang rendah. Kita tahu

(3)

bahwa biji merupakan bagian terpenting dalam regenerasi tumbuhan dan di dalamnya terdapat metabolit primer yang mengandung unsur nitrogen berupa protein maupun non-protein. Contoh penelitian dalam bidang fortifikasi yang telah berhasil meningkatkan kadar protein satu makanan seperti, biji jambu yang dimanfaatkan sebagai bahan fortifikasi dalam pembuatan roti (Perez-Rocha dkk., 2015) dan biji semangka sebagai bahan fortifikasi dalam pembuatan biskuit (Wani dkk., 2015). Buah carica (Carica pubescens) merupakan sejenis buah papaya yang hanya tumbuh di dataran tinggi yaitu di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo. Biji buahnya berpotensi sebagai bahan fortifikasi alternatif karena kandungan gizinya dan ketersediannya yang melimpah.

Buah yang serupa dengan buah carica juga ditemukan di Amerika Selatan. Buah tersebut dikenal dengan papaya gunung atau pepaya Chile (Vasconcellea pubescens). Secara taksonomi, buah carica (Carica pubescens) dengan buah papaya Chile (Vasconcellea pubescens) bersinonim yang berarti keduanya buah yang sama. Biji pepaya Chile memiliki kandungan protein sebesar 31,84 % (Briones-Labarca dkk., 2015). Selain itu, kesamaan kekeluargaan dapat melatarbelakangi komposisi nutrisi biji carica (Carica pubescens) dengan buah pepaya (Carica papaya). Keduanya berada keluarga Caricacaea dalam satu genus yakni Carica, perbedaan terletak pada spesiesnya yakni pubescens pada buah carica dan papaya pada buah pepaya. Protein yang terkandung dalam biji pepaya cukup tinggi yaitu mencapai 27,8 % (Marfo, dkk., 1986). Selain itu, kandungan asam lemak dalam biji pepaya adalah asam oleat 71,60 %, asam palmitat 15,13 %, dan asam stearat 3,61 % (Ingglet dan Charalambous, 1979). Asam oleat yang terdapat dalam biji pepaya Chile sebesar 70 %.Berdasarkan kekerabatan tersebut, biji carica Wonosobo memiliki kandungan protein yang tidak jauh berbeda seperti kandungan protein biji papaya dan biji papaya Chile.

Untuk ketersediaannya, berdasarkan data Asosiasi Pengrajin Carica tahun 2009, 25 Unit Kecil Menengah (UKM) penghasil oleh-oleh manisan carica membutuhkan buah carica sebanyak 130 ton dalam satu bulan (Rini, 2011). Jika biji carica sebesar 10 % (b/b) di setiap satu kilogram buah carica maka setiap bulan akan ada 13 ton biji carica yang terbuang. Adapun faktor lainnya, buah

(4)

carica dibudidayakan secara terpusat di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Lokasi yang terpusat dapat memudahkan dalam pengembangan penelitian ini maupun pengembangan kearifan lokal daerah tersebut.

Sesuai dengan judul penelitian, kajian dilakukan terhadap kandungan asam amino beberapa fraksi protein biji carica. Pengambilan protein melalui metode ekstraksi basa dan pengendapan isoelektrik. Protein dikondisikan sangat ionik agar dapat tersolvasi oleh pelarut kemudian protein dikondisikan bermuatan netral agar kelarutan protein menurun akibat peningkatan sifat hidrofobik. Problemnya, setiap bahan pangan dalam proses isolasi proteinnya memiliki kondisi optimum tersendiri agar kuantitas isolat protein mencapai titik maksimal. Salah satu contoh kondisi yang berpengaruh dalam isolasi protein adalah titik isoelektrik protein. Saat titik isoelektrik, asam amino akan bersifat zwitter ion atau bermuatan netral. Titik isoelektrik salah satu protein biji carica tidak sama dengan titik isoelektrik protein lainnya karena kandungan asam amino yang menyusun berbeda. Selanjutnya, hidrolisis untuk memutuskan ikatan peptida antar asam amino penyusun protein. Dengan mengetahui kualitas dan kuantitas asam amino yang terkandung, kita dapat mempelajari potensi biji carica sebagai bahan fortifikasi alternatif dengan membandingkan ketentuan fortifikasi yang ditetapkan oleh Food and Agricultural Organization/World Health Organization (FAO/WHO).

Jika penelitian ini dapat diaplikasi secara menyeluruh dalam bidang pangan, fortifikasi dapat meningkatkan kualitas pangan yang artinya good food, good life untuk memerangi gizi buruk demi mencerdaskan generasi bangsa. Selain itu, nilai guna dari buah carica akan meningkat dan meningkatkan kesejahteraan finansial para petani buah carica maupun unit kecil menengah pengolah buah tersebut. Buah carica (Carica pubescens) merupakan buah khas simbol Kabupaten Wonosobo, secara tidak langsung, pengembangan secara maksimal terhadap buah carica akan menguatkan kearifan lokal di Wonosobo juga.

(5)

I.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah komposisi gizi yang terkandung dalam biji carica (Carica pubescens)?

2. Bagaimanakah kandungan fraksi protein biji carica melalui ekstraksi basa atau alkali (pH 12) dan pengendapan isoelektrik pI 5 dan pI 8? 3. Apakah skor fraksi protein biji carica dapat memenuhi standar

ketentuan FAO/WHO sebagai bahan fortifikasi?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian di bawah ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan analisis proksimat biji buah carica (Carica pubescens) yang meliputi kadar air, abu, lemak, asam lemak, protein, dan karbohidrat.

2. Melakukan fraksinasi protein biji carica melalui ekstraksi basa atau alkali (pH 12) dan pengendapan isoelektrik pada pI 5 dan pI 8.

3. Menentukan kandungan asam amino esensial tiap fraksi protein biji carica.

4. Mengkaji potensi fraksi protein biji carica sebagai bahan fortifikasi.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada masyarakat seperti: 1. Meningkatkan pemanfaatan buah carica dan nilai guna limbah biji

buah carica.

2. Hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai referensi dalam pilihan bahan fortifikasi pangan ataupun penelitian lain yang berkaitan dengan pemanfaatan buah carica.

Referensi

Dokumen terkait

aktivis dakwah kampus diharapkan tidak menjadi kaki tangan pihak. kampus.. c) Pers Kampus (penguasaan informasi

Lebih lanjut Gunarsa (1988: 19), menyatakan bahwa dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yakni:

Penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi sekolah untuk menentukan stategi pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa sehingga bisa

Untuk dapat menggambarkannya, Anda harus menggambarkan satu persatu daerah yang memenuhi satu pertaksamaan dan menandainya (dengan pengarsiran, ataupun tanda

(1) Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan

menentukan perkara perceraian tersebut layak atau tidak layak untuk melalui proses mediasi dengan dipandu oleh seorang hakim mediator adalah ketua majelis hakim yang

mempengaruhi lingkungan fisik kimiawi, proses dan hasilnya mempengaruhi lingkungan sosial budaya, eksploitasi sumber daya air yang pemanfaatannya berpotensi menimbulkan

Pada penelitin yang dilakukan oleh Riyadi dan Tirtoboma (2004) terhadap embrio somatik kopi arabika, diperoleh hasil induksi terbaik untuk varietas Kartika-1