• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN TINGKAT PENALARAN MORAL SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN TINGKAT PENALARAN MORAL SISWA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN TINGKAT PENALARAN MORAL SISWA

Fidya Alvi Mufida

Fakultas Psikologi & Kesehatan, Universitas Islam Negeri Ampel Surabaya Moh. Isbir

STIT Miftahul Ulum Modung Bangkalan ebitjamil@yahoo.co.id

Abstract: The purpose of this study was to determine the relationship between religiosity and the level of moral reasoning of high school students. This research is a correlation research using data collection techniques in the form of religiosity scale and moral reasoning scale. The results of this study indicate that there is relationship between religiosity and students' level of moral reasoning Senior High School, with a correlation coefficient of (-0.049) with a significance of 0.668. This shows that there is no significant relationship between religiosity and the level of moral reasoning of high school students. Based on the negative coefficient price, the higher the level of religiosity followed by the low level of moral reasoning, and vice versa, the higher the level of moral reasoning followed by low religiosity in high school students.

Keywords: level of moral reasoning, religiosity

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan tingkat penalaran moral siswa SMA. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala religiusitas dan skala penalaran moral. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dengan tingkat penalaran moral siswa SMA, dengan nilai koefisien korelasi sebesar (-0,049) dengan signifikansi 0,668. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan tingkat penalaran moral siswa SMA. Berdasarkan harga koefisien yang bersifat negatif menunjukkan semakin tingginya religiusitas diikuti rendahnya tingkat penalaran moral, begitu sebaliknya semakin tingginya tingkat penalaran moral diikuti rendahnya religiusitas pada siswa SMA.

Kata kunci : tingkat penalaran moral, religiusitas

PENDAHULUAN Latar Belakang

Masa remaja sebagai masa perpindahan masa anak-anak menuju dewasa yang dilalui dengan berbagai dinamika. Menurut Santrock (2003) usia remaja ditandai dengan terjadinya perubahan besar dalam berbagai aspek biologis, kognitif, sosio dan emosional. Namun, pertumbuhannya cenderung lebih optimal pada segi fisik sedangkan tahap kematangan psikologis cenderung kurang. Menurut Hamalik (2002) remaja ialah individu yang mengalami serangkaian tugas perkembangan yang khusus.

Tugas perkembangan penting yang harus dilalui remaja salah satunya memelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mampu membentuk perilaku agar sesuai

(2)

dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi didorong dan diancam hukuman seperti saat anak-anak. Remaja dituntut lingkungan untuk menyesuaikan kondisi sosial, penyesuaian dengan teman sepergaulannya dan penyesuaian terhadap moral yang berlaku. Dalam hal tersebut, sosial dan moral remaja berkembang sehingga melahirkan nilai-nilai moral lainnya (Budiningsih, 2004). Namun, Yusuf (2002) mengingatkan bahwa perkembangan remaja tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyaknya faktor penghambat yang bersifat internal maupun eksternal.

Remaja pada umumnya berada pada tingkat Sekolah Menengah Atas, sudah memiliki kematangan fisik (baligh). Kondisi tersebut membawa konsekuensi kewajiban menjalankan ibadah bagi remaja. Menurut Ainur (2005) menjalankan ibadah merupakan penyelaras antara kewajiban agama dan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral, namun Hamin (2015) mengingatkan bahwa agama tidak identik dengan moral, karena banyak kasus orang yang dianggap mengerti agama, tapi tidak bermoral dan sebaliknya. Khusus masalah remaja, banyak kasus pelanggaran moral justru dilakukan oleh kalangan remaja yang berstatus sebagai siswa sekolah, seperti penggunaan narkotika, keterlibatan tawuran antar pelajar, pelanggaran tata tertib sekolah, membolos, pornografi serta perampasan hak milik orang lain yang menjadi permasalahan sosial, dsb.

Menurut Hurlock (1980) perilaku menyimpang yang banyak dilakukan remaja dikarenakan ketidakmatangan moral yang berdampak pada penyesuaian pribadi dan sosial. Beberapa remaja mengabaikan peraturan hukum dan beberapa lainnya tidak dapat mempelajari mana yang baik dan salah serta mengorbankan standar orang tua jika hal tersebut dijamin memperoleh dukungan sosial dari teman-temannya. Banyak remaja yang membenarkan perbuatan yang mereka ketahui salah dengan mengatakan semua orang mengutil, menipu atau menggunakan obat-obatan terlarang. Teori tersebut sudah diklaim oleh Rest (1979) yang menyatakan bahwa pendidikan dan IQ memiliki hubungan yang konsisten terhadap penalaran moral, di mana pendidikan dan IQ merupakan indikator tak langsung dari perkembangan kognitif. Artinya, ketika memasuki masa remaja, sebenarnya kondisi moral remaja yang bermasalah belum cukup matang.

Kohlberg menjelaskan perilaku moral akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku moral yang dapat dilihat saja, tetapi juga meliputi hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral untuk membuat sebuah keputusan dalam melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku moral yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat diukur. Pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada

(3)

penalaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Budiningsih, 2004). Setidaknya terdapat lima faktor yang dapat memengaruhi perkembangan penalaran moral seseorang yaitu: (1) kesempatan alih peran, (2) situasi moral, (3) konflik moral kognitif, (4) keluarga dan (5) pendidikan. Selain itu, faktor lain yang memengaruhi penalaran moral di antaranya pola pengasuhan anak, sekolah, interaksi dengan teman sebaya dan budaya. Kohlberg meyakini semua pengalaman tersebut bekerja dengan menghadirkna tantangan kognitif yang merangsang mereka untuk memikirkan persoalan moral dalam cara ynag lebih rumit (Kohlberg dalam Berk& Laura, 2012).

Moralitas telah diteliti dalam berbagai sudut pandang variabel pendukung lain salah satunya seperti dalam penelitian Wahyuni (2012) seseorang dikatakan bermoral jika memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta yang etis dan tidak etis. Orang yang bermoral dengan sendirinya akan nampak dalam penilaian atau penalaran moralnya serta pada perilaku yang baik, benar dan sesuai dengan etika. Artinya, ada kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku moralnya. Dengan kata lain, betapa bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka perilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku yang mengandung nilai moral.

Salah datu upaya mengantarkan anak didik menuju kepada proses kedewasaan dalam berbagai aspek adalah dengan pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki dua fungsi pokok yaitu tempat pendidikan dan lembaga sosialisasi. Berdasarkan kedua fungsi tersebut, maka pengaruh sekolah pada siswa tidak hanya sebatas pada pengalihan ilmu pengetahuan saja, tetapi suasana lingkungan sekolah dan sistem pendidikan yang diterapkan juka akan memengaruhi fungsi kepribadian siswa (Furhmann, 1990). Hal tersebut sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartababt dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu tujuan Pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Sedangkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaam Tahun 2016 tentang standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah bab II mengenai Tingkat Kompetensi menjelaskan bahwa tingkat kompetensi merupakan kriteria capaian kompetensi yang bersifat generik yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada setiap

(4)

jenjang pendidikan dalam rangka pencapaian Standar Kompetensi Lulusan. Tingkat Kompetensi dikembangkan berdasarkan kriteria; (1) Tingkat perkembangan peserta didik, (2) Kualifikasi kompetensi Indonesia, (3) Penguasaan kompetensi yang berjenjang. Selain itu Tingkat Kompetensi juga memerhatikan tingkat kerumitan atau kompleksitas kompetensi, fungsi satuan pendidikan dan keterpaduan antar jenjang yang relevan. Adapun kompetensi tingkat pendidikan menengah SMA terdiri dari kompetensi inti sikap sprilitual, sikap sosial dan sikap pengetahuan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan Pendidikan Nasional.

Sistem pendidikan di sekolah sangat penting dalam membantu proses meningkatkan daya penalaran moral seorang siswa, baik antara siswa dengan guru, maupun siswa dengan teman, untuk itulah memberikan pendidikan moral pada siswa tetap diperlukan sampai kapanpun. Pendidikan agama melalui berbagai institusi dan media belum mampu mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Agama dengan ajaran dan nilai-nilainya masih menjadi sesuatu yang formal. Tegasnya, bagi banyak pihak, keberagamaan belum berkorelasi dengan perilaku sosialnya (Departemen Agama RI, 2004).

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berlandaskan agama Islam, yaitu usaha sadar yang dilakukan oleh pendidikan atau lembaga yang berwenang dalam kependidikan untuk memberikan arahan dan perubahan kepada peserta didik agar menjadi insan yang berwatak, berkepribadian dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama Islam (Nata, 2010). Anshari (1986) mengartikan agama, religi atau din, sebagai sistem tata keyakinan atau keimanan atas dasar sesuatu yang mutlak di luar diri manusia dan merupakan suatu sistem peribadatan manusia kepada yang dianggap mutlak, serta sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam lainnya dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang telah diatur. Sedangkan menurut Darajat (1997) religiusitas atau agama dapat memberikan jalan keluar individu untuk mendapatkan rasa aman, berani, dan tidak cemas dalam menghadapi permasalahan kehidupannya. Oleh karena itu, gagasan agama atau religiusitas sering menjadi landasan manusia untuk mengatasi dilema moral kehidupan. Hasil penelitian Hardy & Carlo (2005); Sherrod & Spiewak (2008) dalam Laura E, Berk (2012), menemukan bahwa pendidikan agama dan aktifitas kepemudaan mengajarkan langsung kepedulian terhadap sesama dan memberikan kesempatan bagi diskusi moral. Remaja yang terhubung dengan sesuatu yang lebih tinggi bisa mengembangkan kekuatan batin tertentu, termasuk relevansi moral diri dan nilai-nilai prososial, yang membantu mereka menerjemahkan pemikiran mereka ke dalam tindakan. Sedangkan Wahman, (1981) berpendapat bahwa dogma agama terkait dengan religiusitas dan memengaruhi moral.

(5)

Beberapa penelitian berfokus pada bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi moralitas, sebuah penelitian menunjukkan bahwa religiusitas berkaitan dengan penalaran moral. Batson, (1976) menemukan bahwa orang yang merasa memiliki dorongan untuk menemukan kebenaran agama dan keimanan cenderung lebih menggunakan penalaran moral sesuai tahapan teringgi teori Kohlberg dan lebih memiliki motivasi altruistik. Penelitian Young, Cashwell dan Woohington, (1998) menunjukkan bahwa teradapat korelasi antara agama, spiritulitas dengan tingkatan penalaran moral. Mereka juga menemukan bahwa spiritualitas yang kuat berpengaruh dengan kebermaknaan, hal tersebut sesuai dengan gagasan Batson bahwa dorongan untuk menemukan kebenaran agama berhubungan dengan tingkat penalaran moral. Demikian pula hasil penelitian King & Ames (2004) yang menghubungkan religiusitas, agama dan perilaku moral mempunyai hasil yang positif sehingga dapat mendasari proses dan pengaruh agama apabila disesuaikan dengan proses sosial pada ukuran perilaku moral dan sikap. Penelitian (Ahmadi, 2013) menjelaskan bahwa terdapat hubungan diatara tingkatan perkembangan moral dengan perilaku religiusitas, emosi dan kepatuhan terhadap ajaran agama memiliki hubungan negatif, meskipun pada kesimpulannya bahwa dengan adanya peningkatan perkembangan moral dan emosi serta kepatuhan terhadap ajaran agama akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Hasset tahun 1981 (dalam Atwater, 1992) tentang moral menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara religiusitas atau agama dan perilaku moral. Responden yang mempunyai skor religiusitas dan skor perilaku moral yang tinggi hanya dihasilkan oleh beberapa orang, sedangkan yang lainnya mempunyai skor berbeda antara skor religiusitas dan skor perilaku moralnya. Artinya hubungan antara religiusitas dan perilaku moral lebih banyak ditunjukkan pada perilaku yang bersifat institusional dibandingkan perilaku yang bersifat pribadi. Hasil penelitian yang dilakukan (Yoga, 2016) terkait perbedaan penalaran moral yang dilakukan pada subjek siswa sekolah berbasis agama dan sekolah umum, menunjukkan tingkat moral siswa yang bersekolah di sekolah berbasis Islam lebih tinggi dibandingkan siswa yang bersekolah di sekolah umum. meskipun berdasarkan nilai rerata secara umum tingkat moral siswa yang bersekolah di sekolah berbasis Islam maupun sekolah umum termasuk kategori tinggi. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh (Immawan, 2004) menunjukkan bahwa siswa sekolah dengan basis agama Islam Madrasah Tsanawiyah lebih tinggi tingkat penalaran moralnya daripada siswa sekolah umum. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa lingkungan sekolah dengan pendidikan berbasis agama Islam berpengaruh terhadap segi religiusitas dan meningkatnya penalaran moral siswa. Dalam penelitian ini peneliti memilih siswa Sekolah Menengah Atas sebagai populasi penelitian untuk membuktikan

(6)

apakah lingkungan sekolah danpendidikan menjadi faktor utama meningkatnya penalaran moral siswa dilihat dari segi religiusitas agama Islam. Hasil penelitian Ainur (2005) menemukan bahwa perkembangan kesadaran beragama seseorang termasuk remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain meliputi; faktor pembawaan (internal) dan faktor lingkungan (eksternal). Perkembangan agama pada remaja dapat meningkat melalui pengetahuan yang bersumber dari pendidikan, bimbingan orang tua, diskusi teman sebaya dan lainnya, kitab suci Al-Quran dan buku-buku bacaan.

Berdasarkan paparan di atas serta hasil-hasil penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa remaja sebagai individu yang mengalami perkembangan kompleks dengan adanya berbagai hambatan yang harus dilalui, dituntut mampu membentuk konsep penalaran moral agar dapat membentuk perilaku yang dapat membedakan baik dan buruk dengan tetap memerhatikan ajaran Agama Islam. Remaja sebagai proses perkembangan yang didalamnya terdapat proses “baligh atau mummayiz” di mana individu atau remaja sudah matang dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk diharapkan mampu menyelaraskan antara tuntunan agama dan perilaku moralitas melalui penalarannya. Oleh karena itu penelitian ini mengkaji bagaimana religiusitas dapat memengaruhi tingkatan penalaran moral pada siswa sekolah menengah atas.

Lembaga pendidikan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu lembaga pendidikan berlatar belakang pendidikan umum dan islam yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang merupakan lembaga pendidikan di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional dengan naungan agama Islam Yayasan. Pemberian mata pelajaran di SMA seimbang antara mata pelajaran umum dari pada mata pelajaran agama. Kemudian dirumuskan masalah penelitian yaitu, apakah terdapat hubungan religiusitas dengan tingkat penalaran moral pada siswa Sekolah Menengah Atas?

METODE PENELITIAN Variabel Penelitian

Penalaran moral dipandang sebagai konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisis masalah sosial dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya, dengan tahapan yang berbeda disetiap perkembangannya, tahapan penalaran moral Kohlberg digunakan sebagai dasar penyusunan skala penalaran moral Budiningsih (2004), yaitu: (1) tingkat prakonvensional; tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, tahap orientasi relativis instrumental, (2) tingkat konvensional; tahap orientasi kesepakatan antar

(7)

pribadi, tahap orientasi hukum dan ketertiban, (3) tingkat pasca-konvensional; tahap orientasi kontrak sosial legalitas, tahap orientasi prinsip etika universal.

Religiusitas yaitu perasaan spiritual dan keyakinan religious yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama dan membantunya mengorganisasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Dimensi dalam religiusitas adalah; (1) dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah; dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatic, (2) dimensi peribadatan atau praktik agama disejajarkan dengan syariah; (3) dimensi peribadatan atau syariah enunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya, (4) dimensi pengalaman atau penghayatan disejajarkan dengan ihsan, menunjuk pada seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius, (5) dimensi pengetahuan agama disejajarkan dengan ilmu; menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya, (6) dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak; menunjuk pada seberapa tingkatan seorang muslim berprilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan duianya, terutama dengan manusia lain.

Populasi

Populasi yang diteliti yaitu siswa SMA yang akan dipilih sesuai dengan karakteristik sebagai pertimbangan sampel dengan karakteristik sampel penelitian; (1) remaja madya (15-18 tahun), (2) beragama Islam, (3) berstatus sebagai siswa sekolah menengah atas. Metode pengambilan yaitu probabilitas sampling dengan teknik simple random sampling, pengambilan sampel secara acak atau random memungkingkan setiap individu berpeluang untuk menjadi sampel penelitian, dengan cara rendomisasi dengan anggapan sampel bersifat homogen atau sama (Iskandar, 2009). Digunakan pula prinsip tabel Krejcie-Morgan dengan tingkat kesalahan 5%. Jika jumlah populasi siswa SMA kurang lebih 100 siswa maka sampel dalam penelitian berjumlah 80 siswa (Usman, 2003).

(8)

Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan alat ukur atau instrumen penelitian berupa skala psikologi. Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variable yang diteliti (Hadi, 2000). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian skala penalaran moral dalam penelitian ini diadaptasi dari instrumen penelitian Budiningsih (2008). Skala penalaran moral diambil dari pedoman wawancara berupa dilema moral yang disusun oleh Kohlberg dalam bentuk cerita pendek yang mengandung persoalan-persoalan moral untuk dipecahkan. Tujuan skala ini untuk mengungkap penalaran moral subjek tentang tindakan apa yang sebaiknya dilakukan jika subjek berada pada situasi seperti yang diperankan dalam cerita. Skala Reigiusitas digunakan untuk mengukur variable bebas, yakni religiusitas. Skala ini disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi Glock dan Stark yang disesuaikan dengan konsep Ancok dan Suroso, agar sesuai dengan konsep agama Islam.

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan perhitungan statistik. Dalam penelitian ini, seluruh proses perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program stastistical package for the social science (SPSS) 16.0 for windows. Metode analisis data antara lain; 1) Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian telah menyebar secara normal dengan menggunakan One Sample Smirnov. Prosedur One Sample Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menguji hipotesis nol suatu sampel akan suatu distribusi tertentu. Menurut Hadi (2000), jika signifikansi> 0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika signifikansi < 0,05 maka data sebaran tidak normal. 2) Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian, yaitu variabel bebas (religiusitas) dengan variabel tergantung (penalaran moral) memiliki hubungan linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan analisis uji F (Anova). Analisis statistik uji F akan menghasilkan

Fhitung. Kriteria data yang linear yaitu apabila p>0,05 maka hasilnya signifikan artinya garis

regresi adalah linier, begitu sebaliknya. 3)Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi spearman program SPSS untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dan membuktikan hipotesis adanya hubungan antara religiusitas dengan tingkat penalaran moral siswa SMA. Uji korelasi spearman digunakan untuk uji korelasi yang datanya berbentuk ordinal atau berjenjang rangking dan bebas berdistribusi. Jika korelasi bersifat positif maka hubungan kedua variabel bersifat searah atau berbanding lurus, yang berarti semakin tinggi religiusitas maka semakin tinggi pula tingkat penalaran moralnya. Jika korelasinya negatif maka semakin tinggi nilai religiusitas maka semakin rendah tingkat penalaran moral begitu pula sebaliknya. Nilai koefisien korelasi berkisar 0

(9)

sampai dengan 1, semakin mendekati angka satu maka semakin kuat hubungan kedua variabel, Untuk menguji hipotesis digunakan kaidah signifikansi >0,05 maka Ho diterima, dan signifikansi < 0,05 Ho ditolak (Muhid, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Dari hasil uji hipotesis menunjukkan tidak terdapat hubungan antara religiusitas dengan tingkat penalaran moral siswa SMA. Berdasarkan harga koefisien korelasi sebesar (-0,049) yang bersifat negatif, artinya menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan dimana terdapat hubungan semakin tingginya religiusitas siswa diikuti semakin rendahnya tingkat penalaran moral siswa, begitu sebaliknya. Meskipun secara keseluruhan data secara kategorisasi siswa SMA Yapita memiliki skor religiusitas kategori sangat rendah 0%, kategori rendah 0%, kategori sedang dengan jumlah 3 siswa dan presentase 3,75%, kategori tinggi dengan jumlah siswa 39 dan presentase 48,75% dan kategori sangat tinggi dengan jumlah 38 siswa dan presentase 47,5%. Sedangkan pada tingkatan penalaran moral terdapat sebanyak 5 siswa pada tingkat prakonvensional sebanyak 6,25%, 64 siswa dengan tingkat konvensional dan presentase 80% dan 11 siswa pada tingkat pascakonvensional dengan presentase 13,75%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan konsepsi Kohlberg bahwa tidak adanya kaitan religiusitas terhadap penalaran moral individu. Kohlberg menjelaskan bahwa antara religiusitas dan penalaran moral adalah dua bagian proses perkembangan yang terpisah, religiusitas merupakan suatu proses yang tersusun berdasarkan pada wahyu sedangkan penalaran moral tersusun berdasarkan pada argumen tentang keadilan. Argumen tersebut dikatakan dipengaruhi tingkat perkembangan kognitif yang lebih tinggi dan keterpaparan terhadap pengalaman moral serta kemampuan dalam menghadapi perdebatan atau konflik, salah satunya proses melalui perguruan tinggi (Kohlberg, 1981). Konsep Kohlberg menekankan bahwa penentu kematangan moral dipengaruhi bagaimana cara individu bernalar bukan karena respons suatu perilaku, begitupun kematangan moral pada remaja.

Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian dilakukan oleh Sukmaya yang berjudul “Pengaruh Religiusitas Terhadap Penalaran Moral Remaja yang Beragama Islam”, yang menunjukkan hasil tidak adanya pengaruh antara religiusitas dengan penalaran moral pada remaja. Selain itu penelitian yang dilakukan Forsyth (1980) menunjukkan bahwa orang- orang spiritualis lebih idealis daripada orang yang kurang spiritualis. Sementara orang yang sangat spiritual tidak cenderung relativistik daripada orang-orang yang kurang spiritual, hal

(10)

tersebut menujukkan bahwa spiritual tidak terkait dengan penalaran moral. Penelitian yang dilakukan oleh Hasset tahun 1981 (dalam Atwater, 1992) tentang moral menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara religiusitas atau agama dan perilaku moral. Responden yang mempunyai skor religiusitas dan skor perilaku moral yang tinggi hanya dihasilkan oleh beberapa orang, sedangkan yang lainnya mempunyai skor berbeda antara skor religiusitas dan skor perilaku moralnya. Artinya hubungan antara religiusitas dan perilaku moral lebih banyak ditunjukkan pada perilaku yang bersifat institusional dibandingkan perilaku yang bersifat pribadi.

Pembahasan

Berdasarkan temuan penelitian ini, beberapa penelitian terdahulu dan konsep utama terkait penalaran moral dapat diketahui bahwa diperlukan variabel lainnya atau variabel pendukung untuk mengetahui adanya hubungan terkait religiusitas dengan tingkatan penalaran moral. Meskipun pada dasarnya dalam penelitian ini didapatkan data bahwa secara kategori subjek dalam tingkatan religiusitas sedang dengan jumlah 3 siswa dan presentase 3,75%, kategori tinggi dengan jumlah siswa 39 dan presentase 48,75% dan kategori sangat tinggi dengan jumlah 38 siswa dan presentase 47,5%. Sedangkan pada tingkatan penalaran moral terdapat sebanyak 5 siswa pada tingkat prakonvensional sebanyak 6,25%, 64 siswa dengan tingkat konvensional dan presentase 80% dan 11 siswa pada tingkat pascakonvensional dengan presentase 13,75%.

Tidak adanya pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang memengaruhi penalaran moral dan memberikan sumbangan efektif yang lebih besar daripada religiusitas. Menurut Kohlberg, penalaran moral dipengaruhi oleh level perkembangan kognitif yang tinggi dan pengalaman sosiomoral (Glover, 1997). Pernyataan ini diperkuat oleh Rest (1979) yang menyatakan bahwa pendidikan dan IQ memiliki hubungan yang konsisten terhadap penalaran moral, di mana pendidikan dan IQ merupakan indikator tak langsung dari perkembangan kognitif.

Dalam perkembangan subjek penelitian yang merupakan remaja madya dengan usia 15 sampai dengan 17 tahun memang secara konsep menurut piaget termasuk dalam tahapan Autonomous morality yaitu tahap kedua pada usia 10 tahun atau lebih, dimana seorang anak mulai menyadari bahwa aturan adalah buatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat pelaku dan konsekuensinya perlu dipikirkan. Bahwa didalam proses bernalar erat kaitannya dengan proses kognitif individu. Meskipun terdapat hal lainnya yang memengaruhi tingkatan penalaran moral seseorang seperti, iklim moral, kesempatan alih

(11)

peran, konflik sosio-kognitif, pola asuh, sekolah, interaksi teman sebaya, budaya dan sifat dasar manusia yaitu kemampuan diri untuk mengontrol diri dalam bertindak, gender, tingkatan pendidikan. Dari beberapa konsep faktor yang memengaruhi penalaran moral tersebut agama berperan penting dalam proses pengendalian penalaran moral, sehingga perlu dipahami bagaimana peranan agama dalam moral, dan agama itu dapat menjadi pengendali moral. Sehingga dapat dilihat betapa erat hubungan agama dengan ibadah-ibadah dan moral.

Hal ini dibuktikan bahwa perlu dikembangkan cara untuk mengetahui keterkaitan antara religiusitas dengan penalaran moral sebab perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi interaksi dalam domain kognitif, behavioral dan emosional. Dalam domain kognitif menjelaskan bagaimana individu menalar atau memikirkan aturan untuk perilaku etis. Dalam domain behavioral, menjelaskan bagaimana individu berperilaku secara aktual, bukan pada moralitas dari pemikirannya. Dalam domain emosional menekankan pada bagaimana individu merasakan secara moral seperti, apakah mereka memiliki perasaan bersalah yang kuat dalam menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tidak bermoral (Santrock, 2003). Perlu diperhatikan hubungan antara penalaran moral dengan variabel lain untuk melihat keterkaitannya dengan religiusitas, pemakaian instrumen atau alat ukur perlu diperhatikan dalam proses mengetahui hubungan tingkat penalaran moral dan religiusitas. Sebab penggunaan instrumen juga memengaruhi hasil dari data yang didapatkan.

PENUTUP Simpulan

Kesimpulannya pada penelitian ini membuktikan tidak adanya hubungan religiusitas dengan tingkat penalaran moral siswa SMA. Berdasarkan harga koefisien korelasi sebesar (-0,049) yang bersifat negatif, artinya menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan dimana terdapat hubungan semakin tingginya religiusitas siswa diikuti semakin rendahnya tingkat penalaran moral siswa, begitu sebaliknya. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sekolah dalam pengembangan iklim sekolah terkait religiusitas dan moralitas siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. Suroso, F.N. (1994). Psikologi Islami : Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

(12)

Ainur, Arif. (2005). Sistematika Psikologi Perkembangan Islami. Surabaya: ARKOLA Anshari, S.E. (1986). Wawasan Islam. Jakarta : PT Rajawali Press.

Atwater, E. (1992). Adolescence. New Jersey : Prentice Hall Englewood Cliffs.

Batson, C. D. (1976). Religion as prosocial: Agent or double agent? Journal for the Scientific

Study of Religion.

Berk, Laura E. (2006) Child Development. USA: Perason Education, Inc. Budiningsih, A. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Daradjat, Z. (1997). Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta : CV Haji Masagung. Departemen Agama RI. (2004). Pedoman Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum.

Jakarta:Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum.

Forsyth, D. R. (1980). A taxonomy of ethical ideologies. Journal of personality

and social psychology. 39, 175-184.

Furhmann, B.S. (1990). Adolescence. London: Scott, Foreman and Company.

Glover, R. J. (1997). Relathionship in Moral Reasoning and Relgion Among Membeer of

Conservative, Moderate, and Liberal Religious Groups.Thejournal of social psychology.

137 (2), 247-254.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research.. Yogyakarta : Penerbit Andi Yogyakarta.

Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B (1990). The Psychology of Religion : an Empirical Approach. New York: Guilford Press.

Immawan, Zidni. (2004). Penalaran Moral Pada Siswa SLTP Umum Dan Madrasah

Tsanawiyah. Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal Vol.1 No. 2 Agustus 2004:25-32 Fakultas Psikologis Universitas Wangsa Manggala

King. P.M, & Ames. L.F. (2004). Relligion as a Resources for Psitive Youth Development:

Religion, Social Capital and Moral Outcomes. Developmental Psychology, 40. 703-713.

Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of Moral Development. San Fransisco: Harper and Row. Langford, P.E. S. Goerge. (1975). Intellectual adns moral development in adolescence. British

Journal of Educational Psychology.

Muhid, Abdul (2012). Analisis Statisktik. 5 Langkah Praktis Analisis Statistik Dengan SPSS for

Windows. Sidoarjo: Zifatama.

Nata Abuddin.(2010). Ilmu pendidikan Islam . Jakarta:kencana.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah bab II mengenai Tingkat Kompetensi

(13)

Rosyidi, Hamim (2015) Psikologi Agama. Surabaya: Jaudar press.

Rest, J. R. 1979. Resived Manual for The Defining Issues Test. USA: Mineapolis Minnesota Moral Research Projects.

Santrock, W, John (2003) Adolence perkembangan remaja. Jakarta : Erlangga. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan.

Yoga, Okta, (2016), Perbedaan Tingkat Moral Siswa Antara Sekolah Berbasis Islam dengan

Sekolah Umum. Naskah Publikasi Twinning Programe. Fakultas Psikologi dan Fakultas

Agama: Islam Universitas Muhamadiyah surakarta.

Young, S. J., Cashwell, C.s., & Woolington, J.V. (1998). The relathionsip of spirituality to

cognitive and moral development and purpose in life: An exploratory investigation.

Counseling and Values, 43 91), 63-70.

Wahrman, I. S. (1981). The relationship of dogmatism, religious affiliation, and moral judgment

development. The Journal of Psychology, 108, 151–154.

Wahyuni, Tri (2012). Hubungan Antara Tingkat Penalaran Moral Dengan Kedisiplinan Siswa

Referensi

Dokumen terkait

Nilai inisial untuk optimisasi lokal dengan Solver didapatkan dari dari 7 kombinasi variabel yang memenuhi batasan pada optimisasi global. Dari hasil optimisasi

Deskripsi Kegiatan Pada kegiatan ini pada tahapan pertama yaitu membuat konsep/rancangan Bahasa daerah yang akan digunakan untuk poster dilaksanakan pada tanggal

Dilakukan modifikasi struktur eugenol untuk meningkatkan aktivitas antioksidan dengan menambahkan gugus tersier -butil pada posisi orto dari gugus fenolik melalui reaksi

Dari berbagai pendapat tentang pengertian belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang disengaja dan bertujuan sehingga

keputusan pembelian, responden cenderung memiliki pandangan serta keinginan yang sama misalnya responden me milih untuk me mbeli Kijang Innova tipe G dikarenakan

yüzyılda halının endüstriyel bir ürün haline gelmesi, dokuma halıların satışında gerileme ve düşüşe sebep oldu, bu yüzden halı tüccarları eski tme

We start with the notion of Optimal Placement, which represents the ideal order that could be executed in a given time window, where the notion of ideal means that this an order

diusahakan proses pencetakan secepat mungkin untuk menghindari pengentalan resin sebelum dimasukkan ke dalam cetakan, dilakukan seperti pembuatan sampel pertama (