• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL IMRAATUN INDA NUQTA AL-SIFR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL IMRAATUN INDA NUQTA AL-SIFR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL

IMRAATUN ‘INDA NUQTA AL-SIFR

Murliani

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) YPIQ Baubau Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada struktur novel “Imraatun ‘inda Nuqtaas-Sifr” yang ditulis oleh Nawal el-Sa’dawiy. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui struktur novel, pandangan dunia pengarang, struktur sosial yang turut memberikan konstribusi terhadap kelahiran novel. Penelitian ini menggunakan metode dialektika dan analisis novel menggunakan teori strukturalisme genetik sebagai pisau bedah.Penelitian ini mencoba menganalisis dua aspek yang saling berkaitan yakni aspek instrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Aspek instrinsik adalah tiap-tiap unsur pembangun cerita sementara aspek ekstrinsik meliputi segala sesuatu yang berada di luar teks seperti pengarang dan kondisi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam struktur novel “Imraatun ‘inda Nuqta as-Sifr” terkandung beberapa oposisi yakni oposisi kultural, oposisi sosial, dan oposisi manusia. Pandangan dunia penulis yang termuat dalam novel ini adalah pandangan dunia feminis radikal. Adapun kondisi sosial pada saat novel ini ditulis menunjukkan kondisi masyarakat yang sedang berada dalam masa transisi dari ciri tradisional ke ciri masyarakat yang lebih modern.

Kata kunci: Strukturalisme, novel, Imraatun, modern, dan masyarakat

1. Pendahuluan

Menyinggung tentang karya sastra hal pertama yang secara otomatis muncul di benak kebanyakan orang adalah sesuatu yang fiktif dan imajinatif. Dalam buku yang berjudul “Dari Peristiwa ke Imajinasi”, karangan Umar Junus disebutkan bahwa adanya karya sastra yang lahir sebagai bentuk reaksi terhadap suatu keadaan yang disaksikan pengarang (Umar, 1983). Pernyataan ini mengindikasikan keberadaan suatu sumber acuan yang dapat merangsang kemunculan sebuah karya sastra yang tidak lain adalah realitas sosial. Dalam dunia kesusastraan pertautan antara sastra dan sosiologis bukanlah sebuah fenomena baru. Kajian-kajian yang mempertalikan antara sastra dan aspek sosiologis dianggap sebagai sesuatu yang penting sebab hal tersebut mempunyai implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Secara khusus, jika perhatian ditujukan pada kesusastraan yang berkembang di wilayah Arab, khususnya di Mesir, analisis karya dengan melibatkan aspek sosial merupakan hal penting yang mesti dilakukan, mengingat betapa dekat hubungan antara sastra dengan kondisi masyarakatnya (Roger, 2012). Kedekatan hubungan ini dapat ditelusuri lewat kecenderungan tema yang diusung para penulis di tiap-tiap periode. Sebagai contoh, pada dekade 1950-an terjadi revolusi Mesir yang ditandai dengan peralihan sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik serta upaya pengusiran pasukan inggris dari wilayah Mesir. Sebagai respon dari kondisi ini, lahirlah karya-karya yang didominasi tema politis sebagai upaya untuk menumbuhkan sentimen nasionalisme lokal yang bertujuan untuk mengantarkan

(2)

Mahfuz merupakan salah satu karya yang merekam kehadiran inggris pada masa perang di Mesir.

Selanjutnya, dekade 1960-an menjadi sebuah dekade di mana rezim revolusioner di Mesir bergerak dari gejolak dan pergolakan yang mengantarkan mereka menuju kemerdekaan menuju suatu proses untuk memformulasikan prinsip-prinsip ideologi gerakan dan mengubah prinsip-prinsip-prinsip-prinsip tersebut ke dalam praksis. Proses seperti ini jelas memicu banyak penentangan, khususnya dari kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda, penentangan ini kemudian diekspresikan melalui berbagai ragam bentuk tulisan (Roger, 2012 : 45).

Memasuki dekade berikutnya masyarakat Mesir menghadapi sebuah fase transisi ke arah modernisasi. Salah satu isu sentral yang menjadi perbincangan pada fase ini adalah masalah kedudukan dan hak-hak perempuan, baik di tengah masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan perempuan secara sosial (kerja, tanggung jawab dengan hukum, dan sebagainya) dan pribadi, baik dalam maupun luar perkawinan (Nawal, 2003 : 8). Keadaan demikian memicu respon para sastrawan untuk memproduksi karya sastra yang menyoroti tentang masalah ini. Dari sejumlah karya yang dipublikasikan pada dekade terakhir ini, novel-novel yang ditulis oleh Nawal el-Sa’da>wiy boleh dikatakan sebagai novel-novel kontroversial yang memunculkan beragam reaksi di tengah masyarakat sebab memiliki latar belakang cerita perempuan yang tertindas dan termarjinalkan.

Salah satu karyanya yang menuai sorotan tajam adalah novel Imraatun

Imraatun ‘inda Nuqta as-Sifryang kemudian disingkat IINS, pertama kali terbit tahun

1973, novel ini menjadi gambaran kehidupan masyarakat Mesir khususnya kaum

perempuan. Novel IINS bercerita tentang kisah hidup seorang perempuan bernama Firdaus yang sedang menunggu pelaksanaan eksekusi mati di balik jeruji besi. Dalam cerita ini, firdaus dinyatakan bersalah oleh hakim karena tindakannya membunuh seorang lelaki yang tidak lain adalah mucikarinya sendiri. Beberapa orang menyarankannya untuk meminta grasi kepada presiden namun ia menolak dan tetap memilih dihukum mati sebab baginya kematian adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan hakiki.

Berlatar belakang sosial kehidupan masyarakat Mesir pada abad ke-20 novel ini menyoroti budaya patriarki, obsesi laki-laki terhadap seks, serta tekanan psikis dan kekerasan fisik yang dialami perempuan. Seperti yang telah dipaparkan di awal bahwa dalam konteks Arab, sastra dan masyarakat mempunyai kedekatan yang erat maka bisa dikatakan sebagai hipotesis awal faktor lingkungan sosial merupakan pemicu utama dari terciptanya novel ini. Oleh karena itu, penelitian terhadap

novelIINS harus melibatkan unsur sosial masyarakat yang melahirkannya.

2. Metode Penelitian

Penelitian terhadap novel IINS dilakukan dengan menggunakan teori Strukturalisme-Genetik sebagai pisau bedahnya. Adapun ruang lingkup pembahasan berfokus pada tiga bagian, masing-masing bagian tersebut meliputi tentang struktur mental yang terdapat dalam karya sastra yang strukturnya terdiri dari citra tokoh-tokoh beserta lingkungan kultural, sosial, dan ideologis beserta hubungannya satu

sama lain, pandangan dunia kelas sosial yang terekspresi dalam struktur novel IINS

serta latar belakang sejarah serta kondisi sosial yang terjadi di Mesir yang

(3)

3. Pembahasan

a. Struktur karya sastra

Konsep strukturalisme dalam strukturalisme-genetik berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. Dalam konsep strukturalisme yang seperti ini bangunan dunia sosial dan kultural manusia terlihat sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, yang terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain yang meliputi oposisi manusia, oposisi sosial, dan oposisi kultural.

1) Oposisi Manusia

Berdasarkan teori strukturalisme genetik sebuah elemen penting yang harus ada dalam sebuah karya (novel) adalah tokoh hero problematik. Hero tersebut diceritakan sebagai individu yang tengah mencari nilai-nilai otentik yang menghadapi tokoh-tokoh lain sebagai perwujudan kelompok sosial lainnya. Dalam novel IINSyang menjadi Tokoh hero problematiknya adalah Firdaus. Pernyataan tersebut dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa Firdaus merupakan sosok yang setiap saat berhadapan dengan permasalahan-permasalahan hidup yang kompleks dan dalam keadaan demikian ia berusaha mencari nilai-nilai ideal dari kehidupan. Problema hidup yang dialami tokoh hero problematik dalam novel IINSdapat dikatakan disebabkan oleh keberadaan tokoh-tokoh lain. Tokoh-tokoh ini melakukan berbagai tindakan yang mengakibatkan terjadinya gesekan dengan sang tokoh hero hingga membentuk relasi oposisional di antara mereka.

Berdasarkan hasil pembacaan terhadap novel IINS karya Nawal El-Sada>wiy,

terdapat relasi yang terjalin antara tokohHero dan tokoh-tokoh lain dalam novel

seperti: anak – ayah, kemenakan – paman, perempuan – perempuan, laki-laki – perempuan.

Suami Istri

Anak Ayah

Laki- Laki Perempuan

Perempuan Perempuan

Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa relasi yang dapat

diidentifikasi dalam novel IINS . Berikut penjabaran mengenai Relasi yang ada

antara tokoh hero (Firdaus) dan tokoh-tokoh lain. Relasi yang petama adalah antara Firdaus dangan ayahya. Ayah Firdaus merupakan sosok yang individualis. Hal tersebut membuat Firdaus harus menjalani masa kecil dengan tidak bahagia. Perilaku ayahnya yang semena-mena terhadap Firdaus dan anggota keluarga lainnya membuat Firdaus meragukan status sang ayah sebagai ayah kandungnya.Relasi yang terbangun antara Firdaus dan ayahnya adalah relasi oposisi. Firdaus berstatus sebagai tokoh hero yang mengalami subordinasi. Sementara ayahnya adalah tokoh yang melakukan dominasi terhadap sang tokoh hero. Ayah merupakan tokoh yang mewakili keluarga patriarki yang menempatkan anak perempuannya sebagai makhluk inferior yang keberadaannya dianggap tidak cukup penting oleh laki-laki. Relasi yang kedua adalah relasi kemenakan dan Paman. Firdaus mewakili tokoh kemenakan yang terinspirasi untuk menjadi seperti sosok sang paman yang terpelajar. Awalnya Firdaus menganggap pamannya sebagai sosok terpelajar dan religius karena ia merupakan mahasiswa yang menimba ilmu di universitas Al-Azhar. Firdaus kecil menjalin hubungan

(4)

yang lebih dekat dengan sang paman ketimbang ayahnya sendiri tetapi ketidakharmonisan terjadi muncul ketika sang paman melakukan tindakan tak senonoh kepada Firdaus dan menerima saran istrinya untuk menikahkan Firdaus dengan paman istrinya yang terpaut usia puluhan tahun dengan Firdaus.

Mengetahui dirinya akan dinikahkan dengan pria tua Firdaus memutuskan untuk lari dari rumah akan tetapi karena tak ada tempat yang dapat ia tuju, Firdaus akhirnya kembali ke rumah pamannya dan menikah dengan pria tua pilihan paman dan istrinya tersebut. Selang beberapa waktu setelah pernikahan rumah tangga Firdaus mulai diguncang prahara, hal ini dipicu tindak KDRT yang dilakukan suaminya. Puncaknya, Firdaus merasa tidak kerasan lagi tinggal bersama sang suami dan memutuskan pulang ke rumah pamannya untuk mengadukan hal-hal yang menimpanya. Firdaus menganggap bahwa pamannya yang terpelajar dan memahami ajaran-ajaran agama akan membela dan melindunginya dari tindakan semena-mena yang dilakukan suaminya pada dirinya. Namun, Kekecewaan mengungkung Firdaus saat mendapati sang paman justru membenarkan perilaku suaminya. Tokoh paman merepresentasi golongan terpelajar dan religious yang menggunakan agama untuk melegitimasi perlakuan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan novel berikut:

لاق يمع نكل .يمع ىلإ تبهذو هتيب تكرتف ،يدسجو يهجو مروت ىتح ءاذخلا بعكب ةرم ينبرض نأ يل

،مهتاجوز نوبرضي جاوزلأا لك Artinya :

Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman. Tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul istrinya…

Relasi yang ketiga adalah relasi oposisional yang terjalin antara perempuan dan perempuan. Tokoh-tokoh perempuan dalam relasi ini adalah Firdaus, ibu, dan istri paman. Firdaus mewakili sosok perempuan yang berusaha menepis upaya penguasaan laki-laki atas diri perempuan. Ia menyadari - berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri- bahwa penguasaan tersebut akan berdampak pada subordinasi dan tindakan semena-mena laki-laki terhadap lawan jenisnya. Keputusan menjadi pelacur diambilnya karena ia menyadari akan rendahnya status seorang istri di hadapan superioritas para suami. Keberadaan istri tidak lebih dari objek pemuasan nafsu seks sekaligus objek kekerasan suami, sebagaimana yang tercermin dari kutipan-kutipan novel berikut:

لا ةسومجلا عيبيو ،ضرلأا عرزي نأ ّلاإ ةايحلا نم فرعي مل ،بتكي ملو أرقي مل ،حلاف ريقف ىبأ لبق ةمومسم ع ىنحنيو ،هراج هقراسي نأ لبق هراج ةعارز قرسيو .روبت نأ لبق ءارذعلا هتنبا عيبيو ،تومت نأ دي ىل .ضرلأا ضعت ىتح ةليل لك هتجوز برضيو ،اهلبقي نأ نود ةدمععلا Artinya:

Ayah saya, seorang petani miskin, yang tak dapat membaca maupun menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan. Bagaimana caranya bertanam, bagaimana menjual kerbau yang telah diracun oleh musuhnya sebelum mati, bagaimana menukar anak gadisnya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, bagaimana caranya mendahului tetangganya mencuri tanaman pangan

(5)

yang matang di ladang. Bagaimana memukul istrinya dan memperbudaknya tiap malam.

Sementara tokoh ibu dan istri paman mewakili sosok perempuan dengan kepasrahan dan ketundukkan total terhadap laki-laki. Mereka dengan bahagia menerima identitas yang diberikan pada mereka dan percaya bahwa kepatuhan dan kepasrahan yang mereka tujukan terhadap para suami akan mendatangkan berkah Allah. Mereka senantiasa beranggapan bahwa kaum lelaki memiliki kemuliaan dan keutamaan lebih yang dianugerahkan Tuhan dibanding perempuan. Perilaku kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya dianggap sebagai hal yang wajar dan perlawanan terhadap tindak kekerasan itu hanya akan mendatangkan murka dari yang maha kuasa.

لماك ةفرعم نيدلا فرعي لجرو ،مرتحم خيش يمع نأ اهل تلقو .اهبرضي يمع نأ يل تلاق يمع ةجوزو ، ة برضي يذلاوه ةلماك ةفرعم نيدلا نأ فرعي يذلا لجرلا نأ ةجوز تلاقو .هتجوز برضي نأ نكميلاو يدلا نأ فرعي هنلأ ، هتجوز بجاوو ،اهجوزوكشت نأ ةلضافلا ةجورلل سيلو ، ةجوزلا برض حيبي ن ةعاطلا اه ةلماكلا… Artinya:

dan istrinya menambahkan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Saya katakan bahwa paman adalah seorang syekh yang terhormat, terpelajar dalam hal ajaran agama, dan dia, karena itu, tak mungkin memiliki kebiasaan memukul istrinya. Dia menjawab, bahwa justru lelaki yang memahami agama itulah yang suka memukul istrinya. Aturan agama mengizinkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang istri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya ialah kepatuhan yang sempurna.

2) Oposisi Sosial

Dalam oposisi sosial ini ada delapan elemen yang saling beroposisi yaitu: laki-laki dan perempuan, penguasa dan rakyat jelata, pejabat tinggi dan pegawai rendah, serta orang kaya dan orang miskin. Oposisi antara laki-laki dan perempuan diwakili oleh tokoh Firdaus, Nawal, ibu firdaus, istri paman, syarifah (perempuan), dan ayah, paman, syekh Mahmoud, Ibrahim, Fawzi, dan Marzouk (laki-laki). Relasi yang terjalin antara perempuan dan laki-laki bisa dikatakan sebagai relasi yang cenderung horizontal yang mengarah pada upaya subordinas, marjinalisasi, dan diskriminasi gender baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kutipan novel IINS di bawah ini dapat menjadi sebuah deskripsi tentang keadaan inferioritas perempuan di hadapan laki-laki;

تطبه كنلأ كنوبقاعي مث ،ضيضحلا ىلإ يطبهت نأ كيلع نوضفري لاجرلاو .ةعودخم ءاسنلا لك ىلإ

.ةرمتسملا ةمدخلاوةميتشلاو برضلاب كنوبقاعي مث جاوزلا كيلع نوضفري لاجرلا .ضيضحلا Artinya:

Semua perempuan merupakan korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan terhadap perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.

(6)

Perempuan terjebak dalam dunia yang dikuasai oleh laki-laki hingga membuat mereka sulit berekspresi sesuai dorongan kehendak yang lahir dari dalam diri mereka, kontrol laki-laki sangat sulit dihilangkan dalam hal memutuskan perkara-perkara menyangkut kehidupan perempuan yang meliputi bidang-bidang seperti pendidikan, perkawinan, pekerjaan, hingga yang paling intim menyangkut perihal berhubungan seks. Hal yang demikian dipicu oleh beberapa sebab yakni budaya patriarki yang telah mengakar kuat baik dalam lingkup keluarga tradisional yang hidup di pedesaan maupun masyarakat kota, penafsiran ayat suci yang dilakukan oleh individu yang mengarah pada pembentukan identitas perempuan sebagai

second sex. “Identitas” yang dimaksud dalam hal ini adalah identitas perempuan yang secara filosofis disebut sebagai pengada bebas, sebagai eksistensi yang membentuk dirinya secara otonom, mandiri, dan otentik.

Elemen kedua yang berada dalam relasi oposisi adalah penguasa dan rakyat jelata. Dalam novel IINS penguasa digambarkan sebagai individu-individu yang

munafik, mereka berupaya menampakkan imej sebagai sosok manusia yang

peduli dan concern terhadap keadaan rakyat apabila berada di tengah-tengah

masyarakat, padahal hal sebenarnya yang mereka lakukan adalah menipu rakyat dengan citra palsu yang diperlihatkan, citra palsu tersebut mereka gunakan hanya untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat demi memuluskan pencapaian tujuan mereka yakni menggapai kesenangan hidup melalui kepemilikan harta yang melimpah. Upaya untuk mewujudkan hal yang diinginkan tidak jarang mendorong para penguasa tersebut menetapkan standar ganda bagi norma-norma moral yang berlaku di masyarakat; prostitusi misalnya, merupakan perbuatan yang menyimpang dari nilai moral luhur masyarakat namun hal tersebut dianggap sebagai sebuah perbuatan terpuji jika dilakukan untuk menyokong perwujudan kepentingan penguasa.

Elemen ketiga yang berada dalam relasi oposisi adalah pejabat tinggi dan pegawai rendahan. Sebagaimana yang tergambar dalam novel, Pejabat tinggi

adalah sebagian orang yang menikmati fasilitas yang lux dan perlakuan istimewa

dalam dunia kerja sementara pegawai rendahan harus puas dengan keadaan pas-pasan dan tidak jarang menghadapi hinaan dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak tertentu. فظوملاراغص هنم لخديرخآ بابو ،دحأ هسرحيلا نيفظوملارابك هنم لخدي باب ،ناباب ةكرشلل ناكو ني ي ،باوب لكش ىلع فظوم هسرحيو بأو .فارصنلإاوروضحلارتفد هقوف نمريغص بتكم ىلع سلج نع ثح ترضح يذلا تقولا يمسإ مامأ بتكي مث ،هتعاس يفرظنيو ،همامأ عقوأف ،ليوطلا فشكلا يف يمسإ هيف ف تجرخ يذلا تقولا يمسإ مامأ لجسيو ،هتعاس يف رظني ،اضيأ ةكرشلا نم جورخلادنعو .ةقيقدلاب هي .ةقيقدلاب فظوملارابك ناك بكوأ ةريغص ةرايس مهنم لكلو ،تقو يأ يف نوجرخيو ،تقو يأ يف نورضحي ني حملأ .ةري سيبوتلأا يف ةروشحملا ةيدسجلا ةلتكلا لخاد ةدحاو مدق ىلع فقأ انأو ،اهلخاد سلاجوهو مهنم دحاولا تاذو، ءاملاك يدسجو يسأر ىلع طقست هترظنب اذإف ،سيبوتلأاب قلعتل يرجأ انأو مهدحأ ينحمل ةرم لا ةرظن دراب ريبك فظوم ىلإريبك فظوم Artinya:

"Gedung perusahaan tempat saya bekerja, memiliki dua pintu: sebuah untuk para karyawan yang kedudukan atau pangkatnya lebih tinggi yang tak dijaga, dan sebuah pintu lainnya bagi para karyawan rendahan yang dijaga oleh salah

(7)

seorang karyawan, semacam seorang penjaga pintu. Biasanya ia duduk di belakang meja kecil dengan sebuah buku pendaftaran besar di depannya. Para karyawan menandatangani daftar itu bila mereka tiba di pagi hari atau meninggalkan kantor di akhir hari kerja. Biasanya saya harus membaca daftar yang panjang itu untuk menemukan nama saya dan menulis tanda tangan saya di sebelahnya. Lalu di sebelahnya ia akan menuliskan waktunya yang tepat, sampai kepada menitnya, kedatangan saya itu. Ia mendaftarkan keberangkatan saya dengan catatan yang sama telitinya.”

“Tetapi karyawan-karyawan yang berpangkat tinggi akan datang dan pergi sesuka mereka. Mereka semua mengendarai mobil besar atau kecil. Saya biasanya melihat sepintas mereka yang sedang duduk dalam mobil ketika saya sedang berdiri dengan satu kaki dalam bis, terjepit oleh gumpalan massa sekian banyak tubuh manusia. Pada suatu hari, ketika saya sedang berlari di balakang bis, berusaha untuk mendapatkan tempat berpijak dan dapat meloncat ke dalam, salah seorang dari mereka melihat saya. Pandangan matanya seperti orang berpangkat tinggi terhadap yang rendah.”

Dapat dikatakan bahwa hal yang ingin ditekankan pegarang dari penggambaran kondisi di atas dalam novel IINS bukan hanya terkait masalah jumlah pegawai rendahan yang menjadi mayoritas di perusahaan tersebut tapi juga masalah kedisiplinan yang tidak menyentuh kalangan elit perusahaan. Jabatan bagi kalangan elit ini dimanfaatkan untuk menafikan peraturan yang seharusnya dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh civitas perusahaan.

Adapun elemen terakhir yang saling beroposisi adalah orang kaya dan orang miskin. Oposisi sosial antara si kaya dan di miskin tidak luput disinggung dalam novel ini. Sudah menjadi suatu kelaziman apabila keberlimpahan atau keterbasan kepemilikan harta benda akan sangat mempengaruhi perilaku hidup seseorang serta perhatian dan penghargaan yang didapatkan orang tersebut. Sebagaimana dalam novel ini yaitu Firdaus lahir dan dibesarkan di tengah keluarga miskin di desa. Dalam novel diceritakan bahwa kemiskinan yang melanda hidup anggota keluarga Firdaus telah memicu munculnya perilaku-perilaku tidak terpuji yang dilakoni oleh sang ayah seperti mencuri, menipu, dan menukar anak gadisnya dengan imbalan harta benda. Kemiskinan telah memaksa individu seperti ayah Firdaus untuk menanggalkan nilai-nilai luhur yang semestinya dipegang teguh hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Saat Firdaus beranjak remaja ia menyaksikan bagaimana sang paman memperlakukan istrinya dengan cara berbeda -tidak seperti cara ayahnya memperlakukan ibunya- karena istrinya berasal dari keluarga berada, sebagaimana kutipan novel berikut:

.... ةرشبلا ءاضيب ةنيمس ةريصق ةأرما يمع ةجوز تناك دأب لماعي ناك .اهتوص ىلع هتوص عفريوأ اهبرضي يمع نكي ملو ،يمع يمدق لسغت نكت مل ،ديدش ب ذلا ،مارتحلإا نم يلاخلا بدلأا نم عونلاذه هنكل اهاشخي هنأ سحأ تنك .ءاسنلا لاجرلا هب لماعي ي رثكأ تشي،اهترسأ دارفأ نم دحأ وأ اهوبأ انروزي نيحو .هتقبط نم ىلعلأا ةقبطلا نم اهنأو .اهبحي امم ير وطلا يفيرلا اهبابلجب هتمع انروزت نيحو . هتاكحض تيبلا يف نرتو ،جاجدلاوأ محللا يمع اهيديو لي بلا نكر يف يوزني ،اهتققشم .ملكتيلاو مسبتيلا تي Artinya:

“Istri pamanku adalah seorang wanita bertubuh pendek, gemuk dengan kulit yang agak putih. Ia tidak pernah membasuh kaki paman, dan paman tidak

(8)

pernah memukulnya, atau menyapanya dengan suara keras. Ia sangat sopan, hanya memperlakukannya dengan cara sopan yang aneh tanpa sikap hormat yang diberikan laki-laki bagi kaum perempuan. Saya rasakan bahwa perasaannya terhadap istrinya lebih banyak rasa ketakutan daripada cinta, dan bahwa istrinya berasal dari kelas masyarakat yang lebih tinggi dari suaminya. Jika ayah istrinya, atau salah seorang kerabat istrinya berkunjung ke rumah kami, paman akan membeli daging atau ayam, dan rumah kami akan bergema dengan suara nyaring tawanya. Tetapi jika bibinya datang, berpakaian baju petani yang panjang yang memperlihatkan tangannya yang pecah-pecah dari lubang lengan baju yang panjang, ia mengundurkan diri ke suatu sudut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ataupun senyuman.”

Potret oposisi sosial antara si kaya dan si miskin juga dideskripsikan oleh pengarang dalam lingkup yang lebih luas seperti ketika Firdaus melarikan diri ke jalanan dari rumah suaminya di sana ia menyaksikan realitas kehidupan masyarakat yang sarat dengan kesenjangan kelas bawah dan kelas atas;

نيعامنأك تحبصأ ينكلو يبكارلاوأ مهمادقأ ىلع نيرئاسلا سانلا تيأرو ،يسأر ىف تحتف ةديدج يف ن مهنلأو .ينوري نأ نودو عراشلااوري نأ نود ،نولورهي مهلك ،نوعرسم مهلك ،تارايسلاو تاسيبوتلأا جوو ،ةلكآتم اهبوعك مهتيذحأ ،ةثر مهسبلام مادق لأا ىلع نؤراسلا .مهارأ نأ تعطتسإ دقف يننوريلا مههو ةبحاش كأ تارايسلا يف نوبكارلاو .نزحلاب هبشأ ئيشل ةملستسم ،مومهب ةلقثم ،ةلباذ مهنويعو ، ةضيرع مهفافت شتم ،ةلصلصتم ،ةرذح ترايسلا ذفاون جاجز ءارو نم مهنويعو ،ةريدتسم مههوجوو ،محللاب ةزنتكم ،ةكك .ةلذ هبش ىف ،ةيناودع ،ةصبرتم Artinya:

“Sekarang seakan-akan ada mata ketika yang sekonyong-konyong muncul di kepala saya. Saya dapat melihat kerumunan orang bergerak dalam arus yang tak putus-putusnya sepanjang jalan, ada yang berjalan kaki yang lainnya naik bis dan mobil. Sebuah dalam keadaan tergesa-gesa, berlalu cepat, tak acuh tentang apa yang terjadi di sekeliling mereka. Tak seorang pun yang memperhatikan saya ketika saya berdiri di sana sendirian. Dan karena mereka tidak memperhatikan saya, maka saya dapat mengamati mereka. Ada orang-orang yang memakai baju kotor dan sepatu yang sudah usang. Muka mereka pucat, matanya pudar, lesu, berat dan penuh rasa sedih dan khawatir. Tetapi mereka yang naik mobil memiliki bahu yang lebar berotot, dan pipi mereka penuh serta bulat. Dari balik jendela kaca mereka memandang ke luar dengan mata penuh rasa waspada, curiga, mata yang bersiap untuk menerkam secara ganas, tetapi mendekati sikap merendah.”

Kelas-kelas sosial telah merenggangkan hubungan antar manusia dan melunturkan sikap keluhuran yang ada dalam diri setiap individu yang mapan secara finansial yakni sikap tolong menolong dan berbagi belas kasih kepada mereka yang kehidupannya jauh dari kata “layak”. Individualisme atau sikap mementingkan diri sendiri telah menjadi semacam prinsip hidup yang diemban dalam masyarakat. Ketakutan akan kehilangan harta benda telah memunculkan sikap curiga dan saling tidak percaya di antara sesama.

(9)

Dalam oposisi kultural ini ada enam elemen yang saling beroposisi yaitu: patriarki dan feminisme, ketundukan dan perlawanan, serta kota dan desa. Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kabudayaan sebagai “berlawanan” atau tidak sama. Kondisi superioritas laki-laki (patriarki) sangat ditonjolkan dalam novel ini. Dalam sistem sosial, budaya, patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Patriarki membudaya di segala lini kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, politik, ekonomi, dan hukum yang dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, agama, masyarakat, tempat kerja, sampai kebijakan negara.

Feminisme sebagai aktivitas atau gerakan perlawanan yang dilakukan perempuan terhadap segala tindakan subordinasi dan diskriminasi yang dialamatkan pada mereka diperlihatkan pengarang lewat tokoh Firdaus. Firdaus yang menolak untuk mengajukan permohonan grasi kepada penguasa merasa kematian merupakan cara yang tepat baginya untuk menemukan kebanggaan sebagai manusia. Ia melawan tatanan yang sarat dengan supremasi laki-laki dengan melakukan perilaku-perilaku menyimpang. Kesan kuat dari apa yang di kisahkan dalam novel ini bahwa perempuan bekerja menjadi pelacur adalah pekerjaan yang terhormat, tentunya akan menjadi perdebatan dalam masyarakat. Dengan pertimbangan matang kepelacuran bagi Firdaus adalah membalik segala

apa yang diklaim laki-laki misalnya; poligami yang dilakukan atas dasar ayat

agama yang ditafsirkan dengan frame ideologi laki-laki untuk mewadahi libido

laki-laki. Sedangkan perempuan mendapat nilai monogami setelah menikah,

perempuan hanya boleh melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki saja. Dengan pelacuran Firdaus meruntuhkan klaim keperkasaan laki-laki yang dimana-mana dianggap sama. Firdaus menggunakan pelacuran sebagai media perlawanan total dan dominan dalam novel ini. Meskipun secara hukum normatif dianggap sabagai orang yang berprilaku menyimpang. Tetapi tidak ada pelacuran yang terjadi jika tidak ada laki-laki yang memakai, hal ini yang oleh Firdaus dijadikan pemerkuat pandangannya untuk tetap terjun di dunia pelacur.

b. Kondisi Sosial Yang Melatar Belakangi Kelahiran Novel IINS

Masyarakat Mesir pada saat novel ini ditulis sedang berada pada taraf transisi dan juga dalam proses modernisasi. Masalah nilai-nilai tradisional masih merupakan permasalahan yang belum terselesaikan dan malahan di berbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit dapat diselesaikan. Salah satu topik yang menjadi bahan perdebatan dan malahan konflik adalah masalah status dan hak-hak perempuan, baik di tengah masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan perempuan secara sosial (kerja, tanggung jawab di depan hukum, dan sebagainya) dan juga pribadi baik di dalam maupun di luar perkawinan.

Hak-hak perempuan di tengah masyarakat meliputi partisipasi dalam bidang politik dan ekonomi. Perempuan Mesir mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih di tahun 1956 pada masa pemerintahan presiden Gamal Abdul Nasser. Walaupun demikian, partisipasi perempuan dalam bidang politik di era Nasser sangat terbatas hal ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi kebebasan setiap individu untuk mengespresikan kehendak dan aspirasi

(10)

masing-masing. Memasuki era pemerintahan Anwar el-Sadat eksistensi perempuan mulai diperhitungkan setelah Jehan Sadat mulai terjun mendampingi sang suami dalam berbagai tugas kenegaraan dan aktif dalam organanisasi-organisasi sosial. Tidak ada data akurat yang menujukkan tentang peran dan jumlah perempuan yang menjadi anggota di parlemen sebab situasi dan kondisi Mesir pada masa itu sedang berada pada level tidak stabil sehingga amat sulit untuk mengakses data-data tentang hal ini. Dalam bidang ekonomi partisipasi perempuan terbilang rendah di mana perempuan yang terlibat dalam kerja pasar presentasinya masih kecil jika dibanding dengan laki-laki. Peran perempuan masih bekisar pada domain privat yakni hanya bekerja mengurus rumah dan anak-anak mereka.

Novel IINS karya Nawal el-Sa’da>wiy ini menyuarakan diskriminasi, khususnya terhadap perempuan. Perempuan merupakan setengah dari keseluruhan populasi masyarakat yang tak jarang mengalami diskriminasi dan ketertindasan baik di ranah privat maupun publik. Keluarga merupakan unit dasar organisasi masyarakat Mesir yang menjadi bagian integral dalam lingkup masyarakat Arab secara keseluruhan. Keluarga Arab (terkhusus Mesir) bisa didefinisikan sebagai unit dasar produksi dan pusat organisasi sosial dan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat Arab. Keluarga Arab biasanya bersifat patriarki, memiliki hierarki piramidal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Adanya kenyataan bahwa para pemuda tersubordinasikan pada orang tua sedangkan para perempuan terhadap laki-laki membuat Hisyam Sarabi menyimpulkan bahwa elemen paling tertekan dalam masyarakat Arab adalah

orang-orang miskin, perempuan serta anak-anak mereka. Subordinasi perempuan.

Nawal el-sa’da>wiy merupakan penulis yang masuk dalam kategori penulis beraliran liberal, baginya untuk memahami dependensi perempuan terhadap laki-laki hal yang harus dilakukan adalah menyelidiki kondisi sosial- ekonomi masyarakat. Pernyataan yang dikemukakan oleh Mehdi Hasan dalam program Head to Head di stasiun televisi Al-Jazeera bisa memberikan sedikit gambaran tentang kondisi sosial yang terjadi di Mesir, Mehdi menyatakan, “There is something that unites the countries in the Middle East and that political oppression, lack of democracy, dictatorship oppress everyone both men and women…(Mehdi, 2016)”.

Demokrasi menjadi isu krusial yang sangat sulit terwujud di Mesir, dimulai dari era pemerintahan presiden kedua Mesir pasca revolusi 1952 Gamal Abdul Nasser. Meskipun di satu sisi pemerintahan Nasser mempunyai kelebihan seperti terciptanya keadilan sosial di Mesir dengan kembalinya hak-hak kaum petani dan pekerja melalui program reformasi tanah, namun kelemahan utama pada masa itu adalah tiadanya sistem demokrasi dengan dihapuskannya sistem multipartai yang telah diberlakukan saat pemerintahan Mesir masih bercorak monarki dan diterapkan sistem partai tunggal bentukan Nasser yang diberi nama ASU (Arab Sosialist Union). Era pemerintahan Anwar el-Sadat yang naik menggantikan Nasser mengubah sistem pemerintahan otoriter ala Nasser menjadi sistem demokrasi dengan mereferendum konstitusi 11 september 1971, yang isinya: “ Mesir adalah negara republik multi partai (pasal 5), kekuasaan berada di tangan rakyat (pasal 3), Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber perundang-undangan dan bahasa Arab adalah bahasa resmi negara. Di samping itu, dijelaskan secara tegas bahwa republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis yang berdasarkan aliansi kekuatan pekerja rakyat (pasal 1).

Sadat memberlakukan sistem multi partai yang berarti terbukanya peluang bagi partai-partai lain di luar ASU untuk ambil bagian berpartisipasi dalam

(11)

pemerintahan, akan tetapi sistem multi partai yang diberlakukan tersebut tetap tidak lepas dari kontrol dan pengawasannya. Untuk mempermudah upayanya dalam mengontrol partai-partai di luar ASU ia pun mengambil inisiatif mendirikan partai yang diberi nama NDP (National Democratic Party) sebagai sarana untuk menunggangi partai-partai tersebut. Selain tujuan yang barusan disinggung NDP juga dijadikan alat oleh Sadat untuk melanggengkan kekuasaannya sekaligus melegetimasi kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

Dalam pernyataan yang dikemukakan oleh Mona el-Tahawy di acara Head to Head Minimnya iklim demokrasi ini menekan kebebasan setiap orang tidak hanya para anggota partai politik untuk berekspresi dan berpendapat. Kediktatoran penguasa telah mengekang setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dan if the regime oppresses us all our society oppress us as woman (Mona, 2016).

Selain isu demokrasi faktor lain yang turut menciptakan instabilitas sosial adalah konflik antara Mesir dan Israel di tahun 1973. Mesir pasca revolusi 1952 bersama beberapa negara yang tergabung dalam kelompok persatuan liga Arab yakni Jordania, Suriah, dan Irak bahu membahu melakukan kesepakatan untuk berperang melawan Israel yang dianggap telah sangat lancang mencaplok wilayah-wilayah yang menjadi milik negara-negara Arab tersebut diantaranya dataran tinggi Golan dan semenanjung Sinai sewaktu berlangsungnya perang enam hari pada tahun 1967.

Kondisi ekonomi Mesir pada era pemerintahan Sadat juga sedang berada pada posisi yang tidak stabil. Untuk menyelamatkan keadaan ekonomi negaranya dari keterpurukan Sadat mengambil inisiatif untuk menerapkan kebijakan yang dikenal dengan nama al- Infithah al-Iqtishadi (The Economic Opening) yang ditandai dengan masuknya bantuan dan investasi asing di Mesir. Sadat berdalih bahwa kebijakan yang diambilnya semata-mata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Mesir yang yang sedang mengalami krisis moneter pasca kalah perang melawan Israel. Selama lima tahun antara 1968-1973 Mesir telah menggelontorkan dana sebesar 8 sampai 9 juta dolar untuk membiayai perang. Walaupun penerapan kebijakan infithah dimaksudkan untuk mendorong peningkatan ekonomi di Mesir namun realitas yang terjadi di lapangan justru berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan. Kebijakan infitah terhadap perusahaan asing yang masuk bukannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebaliknya justru lebih memperparah keadaan di sektor tersebut.

Nazih N. Ayubi dalam tulisannya yang berjudul The State and Public

Policies in Egypt since Sadat menyatakan kebijakan infithah yang diberlakukan Sadat tidak memberikan dampak yang memuaskan bagi pertumbuhan dan peningkatan iklim ekonomi di Mesir sebaliknya penerapan kebijakan tersebut justru menjadi penyebab merosotnya pendapatan perusahaan industri lokal, merebaknya korupsi bak jamur di musim hujan, melemahnya etos kerja di kalangan masyarakat, meningkatnya comersialism, dan terciptanya kesenjangan sosial di mana orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat.

Dampak dari kebijakan ekonomi “infithah” ini juga mendorong masuknya budaya Barat ke Mesir seperti pakaian, perilaku hingga opini publik melalui tayangan televisi, musik dan video, yang mana hal tersebut justru menguntungkan negara-negara barat yang bisa menikmati hasil untuk tambahan pendapatan ekonominya. Peningkatan kerjasama di bidang perdagangan yang termuat dalam kebijakan infithah juga tidak banyak membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat tidak didorong untuk lebih produktif menghasilkan berbagai komoditi

(12)

yang bisa diekspor ke luar negeri, sementara ketergantungan impor pemerintah, khususnya pada negara-negara Barat, semakin besar. Hasil dari instabilitas ekonomi di era Sadat turut memberikan dampak pada banyak bidang di antaranya semakin meningkatnya angka pengangguran di mana Hanya 4% dari kaum muda Mesir yang mampu menemukan pekerjaan dengan imbalan baik dan masa depan yang sukses, selebihnya harus menghadapi pilihan keras. Selain itu kemiskinan menjadi satu fenomena negatif bagi masyarakat Mesir yang tidak dapat terelakkan.

Pengangguran serta Kemiskinan telah menjadi semacam jalan pembuka bagi lahirnya berbagai krisis moral seperti pencurian, pembunuhan, penindasan, pelecehan seksual, kekerasan yang terjadi di ranah privat maupun publik, kawin paksa dan lain-lain. Perempuan yang ditempatkan di posisi kedua di bawah laki-laki dalam hierarki pranata sosial Mesir mengalami beban penderitaan ganda akibat dari kondisi tersebut. perempuan di Mesir seringkali menjadi objek kekerasan tidak hanya oleh anggota keluarga dan masyarakat tetapi juga oleh pegawai pemerintah, termaksud para polisi yang seharusnya bertanggungjawab untuk melindungi setiap warga negara. Dalam kasus kekerasan yang terjadi di ranah privat seperti rumah tangga, badan statistik milik negara menyatakan bahwa tidak ada kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Mesir. Mendapati pernyataan tersebut Nawal H. Ammar dalam penelitiannya terhadap kekerasan yang menimpa perempuan di Mesir berpendapat:

“Ascertaining the true incidence of crime, especially in the privat family sphere is difficult due to social pressure on women not to report. In Egypt, this difficulty is further complicated by categorization of crimes against women as crime of honors. Such a classification is a particular kind of patriarchal victim blaming which implies that women are responsible for male violence against them (Nawal, 2000 : 30)”.

Tidak mudah bukan berarti tidak ada sama sekali informasi yang dapat menjadi bukti terkait masalah kekerasan terhadap perempuan karena masih ada beberapa dokumen yang bisa dijadikan rujukan informasi yang akurat seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Populasi Nasional yang dikutip dari surat kabar Al-Ahram yang menunjukkan bahwa 35% perempuan di Mesir pernah dipukul oleh suami mereka paling tidak sekali selama pernikahan. Selain itu studi yang dilakukan oleh Laila Abd el-Wahab menunjukkan pula bahwa tindak kekerasan biasanya dilakukan kepada individu-individu yang berusia 15 sampai 49 tahun. Kebanyakan mereka yang mengalami pengalaman tidak menyenangkan dalam rumah tangga tersebut adalah istri, tunangan, janda, ibu, anak perempuan, dan kakak perempuan.Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa bentuk dari tindak kekerasan yang umum dilakukan adalah memukul (71%), lalu diikuti dengan membakar (21%), dan terakhir menikam dengan senjata tajam (20%). Penelitian lainnya yang juga concern terhadap kekerasan yang terjadi di ranah privat adalah penelitian yang dilakukan oleh Abu Shaba’s yang dikutip dari Al-Ahali, ia menemukan bahwa (5.5%) tindakan pemukulan yang dilakukan pada perempuan mengakibatkan kecacatan dan (21.1%) lainnya berujung pada kematian. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Badan Populasi Nasional ditemukan bahwa para suami memukul istri mereka karena alasan sang istri tidak menghargai suami (60%), istri berbicara dengan laki-laki asing (15%), istri mengabaikan anak (10%), keinginan suami untuk menguasai harta dan warisan (5%), dan beberapa macam alasan lain (5%).

(13)

Pelecehan seksual di ranah publik menjadi fenomena ketiga yang banyak disinggung jika berbicara mengenai diskriminasi terhadap perempuan di Mesir. Pelecehan seksual adalah setiap kata atau tindakan yang memiliki konotasi seksual dan merangsang terjadinya tindakan tak senonoh terhadap seseorang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thompson Foundation diketahui bahwa 99% of women in Egypt suffer for some kind of sexual harrassement just they are walking down the street. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 99% perempuan di Mesir pernah mengalami tindak pelecehan seksual ketika berada di area publik.

Survey lain yang dilakukan oleh United Nation For Gender Equality (UNGE) memperlihatkan 99.3% perempuan di Mesir pernah mengalami tindakan pelecehan dalam satu dan lain bentuk, 96.5% menyatakan mereka mengalami kasus pelecehan

secara fisik dan 95.5% pernah mengalami pelecehan secara verbal. Kekerasan pada

perempuan pada dasarnya sangat sulit untuk dihentikan karena pemerintah dan para pegawainya juga ikut berkonstribusi dalam hal tersebut. polisi yang bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan dengan sengaja memanfaatkan perempuan sebagai pion untuk menangkap para lelaki yang dicurigai melakukan tindak kejahatan untuk menggulingkan rezime yang berkuasa. Salah satu contoh misalnya ketika terjadi penyerangan teroris di Read Sea Coast pada saat itu polisi dan pasukan keamaanan negara menahan ratusan orang yang tinggal di dekat kota. Sebagian pelaku teror yang hendak ditangkap oleh polisi berhasil melarikan diri. Karena tidak mendapatkan orang-orang yang mereka cari, polisi akhirnya memutuskan menangkap para perempuan yang dianggap memiliki kedekatan dengan para pelaku kemudian melakukan kejahatan seksual dan fisik, penyiksaan, pelecehan, dan penghinaan di depan publik terhadap mereka.

c. Pandangan dunia

Pengalaman Nawal sebagai pribadi terhadap kondisi ketertindasan yang dialami perempuan sebagaimana yang diuraikan pada pembahasan di atas menyebabkan ia sering melukiskan keadaan-keadaan tragis yang dihadapi perempuan dalam karya-karyanya, novel IINS merupakan salah satunya. Tema diskriminasi perempuan dikonstruksi Nawal untuk menyatakan pandangan dunianya. Melalui novel ini Nawal menggambarkan kenyataan sesungguhnya hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adalah hubungan politik, karena hubungan itu didasarkan pada struktur kekuasaan. Relasi yang terjalin antara perempuan dan laki-laki bisa dikatakan sebagai relasi yang cenderung horizontal yang mengarah pada upaya subordinas, marjinalisasi, dan diskriminasi gender baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Nawal dalam novel IINS dengan sangat gamblang menjelaskan praktek-praktek dominasi, penindasan, dan eksploitasi yang dialamatkan kepada kaum perempuan oleh para laki-laki. Dalam struktur keluarga misalnya ayah menempatkan dirinya sebagai seorang penguasa sekaligus eksekutor tunggal pengambil semua kebijakan yang menyangkut anggota keluarga. Ayah Firdaus menempatkan posisi istinya hanya sebagai orang yang tak lebih dai budak di dalam rumah. Ditegaskan Halim Barakat dalam bukunya bahwa dalam sebuah keluarga Arab (Mesir) tradisional sosok ayah memegang otoritas dan tanggungjawab penuh dan berusaha melanggengkan otoritas dan tanggungjawabnya karena dia adalah pemilik tunggal kekayaan keluarga dan menjadi pencari nafkah, ayah juga menginginkan kehormatan dan kepatuhan atas segala perintahnya.

(14)

Sedangkan bentuk kedua dari patriarki yang biasa disebut dengan patriarki publik dapat dilihat dalam struktur masyarakat. Walby mencatat segala hal yang berkaitan dengan hal ini yaitu relasi patriarki dalam rumah tangga, pekerjaan, berbangsa dan bernegara, serta kekerasan yang dilakukan oleh kaum lelaki terhadap perempuan. Pada relasi patriarki dalam rumah tangga, kerja perempuan secara tidak langsung ditukar dengan perlindungan dan pemeliharaan hidup sehari-hari terutama ketika ia tidak bekerja dan sepenuhnya bergantung pada suami, dalam hal ini perempuan biasa tidak dihargai sebagaimana mestinya. Sikap tidak menghargai itu biasa dilakukan dengan memukul sang istri. Berdasarkan data dari kondisi sosial yang dijabarkan sebelumnya diketahui bahwa 35% perempuan Mesir yang sudah menikah pernah mengalami tindakan pemukulan yang dilakukan oleh suami mereka. Relasi patriarki dalam pekerjaan yakni perempuan yang mempunyai kesempatan terjun di dunia kerja seringkali mengalami diskriminasi di masyarakat sehingga mereka berada dalam keadaan yang tak seimbang dengan laki-laki.

4. Kesimpulan

Berdasarkan analisis novel dengan menggunakan teori strukturalisme genetik maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Struktur novel “Imraatun ‘inda Nuqta as-Sifr” terkandung beberapa oposisi

yakni oposisi manusia, oposisi sosial, dan oposisi kultural. Oposisi manusia terdiri dari oposisi antara suami dan istri, anak dan ayah, laki-laki dan perempuan, perempuan dan perempuan. Secara umum oposisi yang terjadi antara tokoh-tokoh di dalam novel adalah oposisi antara kaum lelaki dan perempuan di mana laki-laki sebagai dominant dan perempuan sebagai subordinat.Dalam oposisi sosial ada delapan elemen yang saling beroposisi yaitu: laki-laki dan perempuan, penguasa dan rakyat jelata, pejabat tinggi dan pegawai rendah, serta orang kaya dan orang miskin. Oposisi kultural antara laki-laki dan perempuan diwakili oleh tokoh Firdaus, Nawal, ibu firdaus, istri paman, syarifah (perempuan), dan ayah, paman, syekh Mahmoud, Ibrahim, Fawzi, dan Marzouk (laki-laki).

b. Pandangan dunia yang terkandung dalam novel adalah feminis radikal. Paham

feminis radikal adalah paham yang berpendapat bahwa ketertindasan yang dialami kaum perempuan bersumber dari sistem patriarki yang merupakan sebuah sistem yang menganggap kaum laki-laki ditakdirkan untuk mengatur perempuan.

c. Masyarakat Mesir pada saat novel ini ditulis sedang berada pada taraf transisi

yang ditandai dengan peralihan dari ciri tradisional ke dalam masyarakat modern. Masalah nilai-nilai tradisional masih merupakan permasalahan yang belum terselesaikan.

Daftar pustaka

Junus, Umar. (1983). Dari Peristiwa Ke Imajinasi; Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Gramedia, Jakarta.

Ratna, Nyoman Kutha. (2015) Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Cet XIII). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

(15)

Allen, Roger. (2012)Pengantar Kajian Novel Arab, terj: Erza. Era Baru Persindo, Yogyakarta.

El-Sa’da>wiy, Nawal. (2003).Perempuan di Titik Nol ,terj. Amir Sutaarga,

Perempuan di Titik Nol, dengan kata pengantar oleh Mochtar. Yayasan obor Indonesia, Jakarta.

Barakat, Halim. (2012). Dunia Arab, terj. Cet I; el-Gindy, Nancy Historiography of

Egypt (tanpa tahun dan penerbit). Nusamedia, Bandung.

El-Thahawy, Mona Head to Head, wawancara, Sumber Courtesy of Youtube Diakes Tanggal 6 Agustus 2016.

Ammar, Nawal H. (2000). In The Shadows of The pyramid: Domestic Violence In Egypt. Academic Publisher , London.

BBC World News, Is Egypt The Worst Place For Women In The Arab World,

Sumber Courtesy of Youtube Diakes Tanggal 6 Agustus 2016.

UNICEF. (2013). Female Genital Mutilation /Cutting: A Statistical Overview And Exploration of The Dynamics of Change, New York.

Mohammed A Tag El-Din, Mohsen A Gadallah, Mahmoud N Al-Tayyeb, Mustafa Abdel Aty, Esmat Mansour & Mona Salem. (2008). Prevalence of Female Genital Cutting Among Egyptians Gilrs.

Marian Onomerhievurhoyen dan Ndidi Mercy. (2015). Female Genital Mutilation : The Place of Culture And The Debilitating Effects on The Dignity of The Female Gender, European Scientific Journal May 2015 Edition Vol 11, No 14 ISSN 1857-7881 (Print) e-ISSN 1857-7431.

Hasan, Mehdi Head to Head, wawancara, Sumber Courtesy of Youtube Diakes Tanggal 6 Agustus 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan sarasehan dan gerakan penghijauan akan melibatkan juga masyarakat sekitar pegunungan Desa Pare, Selogiri, sukarelawan peduli lingkungan Wonogiri, pencinta

Motivasi yang di fokuskan dalam penelitian ini yaitu motivasi intrinsik agar penelitian ini lebih menarik dan lebih baik, penelitian ini diharapkan dapat lebih

Temuan penelitian yang diperoleh digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian berikut 1) bagaimana delegasi, reward, dan motivasi kepala sekolah pada Sekolah

perpustakaan umum dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara. lain

Pembuatan mesin slurry ice refrigerator menggunakan daya kompresor 1 HP dengan hasil nilai uji coba sudah dapat mencapai suhu -6 0 C tanpa beban air laut dan

11 Setelah proses di atas selesai, kita tinggal membuat garis di belakang KATA PENGANTAR kemudian spasi, terus tekan Tab pada keyboard sehingga hasil seperti gambar di bawah :.

Kedua: Strategi pembelajaran aktif tipe student recap dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII MTs TI Batang Kabung, hal ini dapat dilihat dari langkah kegiatan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus wistar