• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran United Nation Truce Supervision Organization (UNTSO) dalam Mengatasi Konflik Palestina-Israel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran United Nation Truce Supervision Organization (UNTSO) dalam Mengatasi Konflik Palestina-Israel"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Organization (UNTSO)

dalam Mengatasi Konflik Palestina-Israel

Kristina Roseven Nababan

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga

Email: kristina.nababan@uksw.edu Abstrak

Sejak dimulainya konflik Israel dan Palestina di Timur Tengah, telah begitu banyak upaya perdamaian yang dilakukan baik dari kedua belah pihak ataupun pihak ke tiga untuk memediasi dan mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut. Salah satu pihak yang turut mencoba mengatasi konflik Israel dan Palestina tersebut adalah Perserikatan Bangsa Bangsa

(PBB). Sejak tahun 1948, PBB melalui United Nation Truce

Supervision Organization (UNTSO) ikut terlibat dalam upaya menciptakan Perdamaian antara Palestina dan Israel. Tulisan ini mencoba memotret peran yang dilakukan oleh UNTSO dan

apa penyebab kegagalan dalam pelaksanaan peacekeeping yang

dilaksanakan oleh UNTSO. Salah satu di antaranya adalah kurangnya kompetensi lintas budaya. Pasukan perdamaian yang ikut serta menjadi bagian dari UNTSO berasal dari berbagai macam negara seperti Argentina, Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Rakyat Tiongkok, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Irlandia, Italia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Slovenia, Swedia, Swiss dan Amerika serikat secara umum memiliki karakter kebudayaan yang berbeda dengan Timur Tengah. Untuk itu, selain

kemampuan beradaptasi, pemahaman kebudayaan dan

kompetensi lintas budaya menjadi sangat penting dalam menngatasi sebuah konflik yang terjadi.

Kata Kunci: Palestina, Israel, Timur Tengah, UNTSO, PBB

(2)

PENDAHULUAN

Timur Tengah telah menjadi pusat perhatian dunia sebagai salah satu wilayah yang di landa bencana sosial dalam bentuk konflik sosial yang tidak ada hentinya. Adanya konflik yang terjadi di sana yang bukan saja konflik internal negara, namun adanya konflik antar negara baik negara Arab maupun Non-Arab. Hal tersebut tidak luput dari pandangan dunia internasional yang menginginkan perdamaian di seluruh dunia harus di galakkan. Namun, permasalahan yang di hadapi bukan saja konflik antar negara, namun juga konflik internal suatu negara sekaligus memiliki konflik dengan negara lain. Ialah konflik yang berkepanjangan yakni konflik Israel – Palestina. Konflik antara Palestina dan Israel telah terjadi mulai dari sebelum zionis Israel melakukan penjajahan kepada bangsa Palestina, Kerajaan Inggris telah melakukan penjajahan terhadap bangsa Palestina, hal tersebut terjadi sejak diadakan perjanjian SkysPicot (1916) antara Inggris, Perancis dan Rusia bergabung setelah itu.

Dalam perjanjian tersebut berisikan tentang pembagian wilayah kaum muslimin, wilayah yang pernah dikuasai khilafah Turki Utsmani, Inggris mendapatkan wilayah Irak, Yordania Timur dan Palestina, sedangkan Perancis mendapatkan wilayah Lebanon dan Suriah. Pada masa penjajahannya Inggris membuat suatu perjanjian kepada Zionis untuk membantu melawan aliasni negara Jerman dan Turki dan imbalan yang di berikan ialah daerah dari tanah jajahannya dimana daerah jajahan tersebut ialah kampung halaman Zionis tersebut. Setelah Zionis tersebut membantu Inggris dalam misinya, maka datanglah bangsa Zionis yang hampir dari segala penjuru bumi dan membuat permukiman di wilayah Palestina dan mejadi hak milik dari Zionis, hingga nantinya mereka

(3)

mendeklarasikan diri dan membentuk negara dan menyebut negara tersebut sebagai negara Israel.

Perasaan terancam dan tidak terima akan

permukiman dan semakin banyaknya bangsa Israel yang datang ke Palestina tersebut semakin mempertegang hubungan yang buruk antara Israel dan Palestina. Palestina tidak terima akan kedatangan mereka dan melakukan perlawanan. Hal tersebut justru membuat konflik yang ada di timur tengah semakin memanas bukan saja antara Palestina dan Israel namun juga negara -negara Arab lainnya. Konflik tersebut mengakibatkan banyaknya korban jiwa baik dari pihak Israel maupun Palestina. Oleh karena kekacauan yang terjadi maka menarik perhatian internasional yang menghasilkan adanya Resolusi dari Dewan Keamanan PBB yang berusaha memberikan

Win-win solution dimana daerah yang di perebutkan dan klaim

wilayah tersebut segera terselesaikan. Resolusi tersebut dikenal dengan Resolusi PBB No. 181, 29 November 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa Palestina ke dalam tiga wilayah, wilayah pertama ditempati oleh warga Arab-Palestina, wilayah kedua diberikan kepada Yahudi dan wilayah ketiga meliputi dua kota Al Quds dan Baet Lahem Bafeda dibawah kendali internasional.

Resolusi yang di berikan oleh Dewan Keamanan PBB tersebut bukannya menyelesaikan konflik malah justru semakin memperkisruh konflik yang terjadi dimana Palestina tidak mau menerima resolusi yang di berikan dan negara arab lainnya yang tidak tinggal diam untuk menyerahkan daerah tersebut ke tangan Israel. Akibat dari konflik yang sudah tegang dan semakin buruk Pada tanggal 29 Mei 1948 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 50 yang meminta penghentian permusuhan yang terjadi di Palestina dan memutuskan bahwa proses gencatan senjata harus diawasi oleh mediator yang berasal

(4)

dari PBB, dengan bantuan kelompok pengamat militer. Kelompok pengamat militer pertama yang di bentuk adalah UNTSO (United Nation Truce Supervision

Organization) yang bermarkas di Gedung Parlemen di

Jerusalem, Israel. UNTSO adalah misi pemeliharaan perdamaian pertama yang dibuat oleh PBB dan datang ke Timur Tengah sejak Juni 1948. UNTSO bertugas sebagai

badan pengamat militer yang memonitor suatu

persetujuan dan pelaksanaan gencatan senjata yang terjadi antara pihak yang bertikai di Timur Tengah. Selain itu, UNTSO juga bertugas mencegah berkembangnya suatu tingkat kerawanan di daerah operasinya dan tidak kalah pentingnya adalah peranannya dalam memberi bantuan asistensi kepada Badan PBB yang lain, yang berada dalam wilayah operasinya.

Masuknya UNTSO sejak tahun 1948 tersebut tidak memberikan pengaruh yang cukup kuat hingga sekarang konflik yang terjadi di Timur tengah khususnya antara Palestina dan Israel tidak mempu untuk di hentikan dalam penggunaan senjata dan banyaknya korban jiwa. Hal ini dapat memberikan simpulan sementara bahwa adanya kegagalan oleh UNTSO dalam melaksanakan misinya. Hal ini dapat di lihat dari gencatan senjata yang tiada henti dan juga pelanggaran – pelanggaran yang di lakukan dan bahkan telah terjadi bebeberapa pelanggaran dalam hukum humaniter internasional. Hal tersebut memberikan keraguan terhadap pasukan perdamaian yang ada di UNTSO belum mampu menerapkan tugas dan tanggung jawabnya dalam melakukan penjagaan perdamaian di timur tengah. Apakah kegagalan-kegagalan tersebut di akibatkan oleh kurangnya kemampuan emosional dan kompetensi yang di miliki baik melalui pemahaman kompetensi lintas budaya yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang solutif bagi penyelesaian konflik Palestina-Israel oleh anggota pasukan atau bahkan

(5)

semakin peliknya konflik yang di hadapi di lapangan. Oleh karena hal tersebut, tulisan ini akan berusaha untuk membahas dan memberikan saran terkait konflik Palestina-Israel sekaligus saran yang akan mengembangkan hasil kinerja UNTSO.

PEMBAHASAN

1. Konflik Palestina – Israel

Thomas Hobbes (1974) mengemukakan bahwa manusia cenderung bertindak sebebas mungkin dan berusaha mempertahankannya dengan cara menguasai orang lain. Kehendak manusia untuk dapat mempertahankan kebebasan mereka juga pada dasarnya didorong oleh kehendak mereka untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Maka dengan adanya persaingan untuk dapat menyelamatkan diri mereka masing-masing, konflik antar manusia tidak dapat dihindari. Hal inilah yang seringkali dijadikan dasar terjadinya penguasaan serta konflik yang ada di berbagai negara khususnya konflik antar negara. Demikian pula konflik yang terjadi di Israel dan Palestina yang belum memberikan tanda-tanda akan segera berakhir. Konflik ini dapat dilihat dari awal masuknya berbagai jenis bangsa ke suatu wilayah yang di sebut dengan wilayah palestina ini telah dapat dilihat berbagai bentuk upaya kategorisasi yang di lakukan sejak lama. Sekitar tigaribu tahun yang lalu, mereka telah memberikan penamaan yakni “Israel” dan “Palestina” dimana kata Israel berasal dari bangsa Yahudi yang menyebut mereka dengan Bnei Israel (the people or tribe of Israel) dan mereka mempercayai tanah tersebut telah diberikan oleh Tuhan (Eretz Israel/ Land of Israel).

Sedangkan kata Palestina berasal dari bangsa Philistines yakni masyarakat Yunani yang menetap di sekitar pantai Palestina yang bersamaan ketka Yahudi menguasai bukit-bukit di bagian wilayah tersebut.

(6)

Dalam teori Sosial Identity (SIT) yang di perkenalkan oleh Tajfel & Turner, (dalam Ashfort, 1989 : 20) Sosial identity mempengaruhi identifikasi dan mampu untuk mempengaruhi perilaku kelompok. SIT berusaha untuk membentuk klasifikasi dan pengkategorian baik dari keanggotaan kelompok, jenis kelamin serta usia. Kategori didefinisikan oleh karakteristik prototipikal yang diabstraksikan dari anggota (Turner, 1985). Kategosisasi sebenarnya memiliki 2 fungsi utama dimana kategorisasi memberikan gambaran sebagai penempatan dan pendefenisisan diri di lingkungan sosial dimana dalam teori SIT hal ini merujuk pada karakteristik idiosynkratik (atribut fisik, kemampuan, ciri psikologis, minat). Fungsi kedua yakni secara kognitif menyegmentasikan dan memerintahkan lingkungan sosial, menyediakan individu dengan cara sistematis untuk mendefinisikan orang lain. Hal inilah yang kerap kali memunculkan stereotype dan menimbulkan konflik atasnya. Dalam hal ini pengkategorisasian muncul di antara Israel dan Palestina, yang mengakibatkan adanya keinginan untuk merebut wilayah dan memperluas daerah kekuasaan Israel dengan bersatunya Yahudi untuk menguasai Palestina. Hal tersebut sejalan dengan Social categorization approach (Jones, 1997 : 208) berpandangan bahwa pada dasarnya prasangka dan stereotype merupakan konsekuensi yang terjadi secara alamiah dari pola pikir kategorial yang ada dalam kognisi individu. Hal inilah yang menjadikan individu memiliki kecenderungan untuk memberikan pembedaan atau kategorisasi yang di lakukan untuk membuat pemisahan antara kita (ingroup) dan mereka (outgroup) yang terjadi di Palestina dan Israel.

Setelah beberapa tahun penguasaan Yahudi di Palestina, terjadilah penjajahan atas Palestina oleh bangsa asing yang berakibat pada pengusiran yang dilakukan kepada Yahudi di Palestina dan menjadikan Yahudi terusir dan terpencar hingga mengungsi kewilayah lain seperti Eropa dan Irak. Pada tahun

(7)

700an SM, Kerajaan Palestina tersebut ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan lain berturut-turut yakni Assyria, Babylon dan Romawi sebagai bagian dari rencana perluasan pengaruh kerajaan. Setelah dikuasai oleh Rommawi, maka penaklukan dilakukan atas dasar penyebaran agama. Agama yang pertama kali menguasai Palestina adalah Islam yang di bawa oleh pasukan gurun dan kemudian Kristen yang dilakukan oleh Crusader. Tak lama setelah Crusader berkuasa, Palestina diambil alih oleh Ottoman. Ottomanlah yang paling lama menguasai Palestina hampir 750 (1187-1918) dan selama penguasaan Ottoman, bangsa arab yang mayoritas beragama Islam yang mendominasi. Setelah masuknya agama tersebut, sebenarnya telah memberikan suatu identitas sosial bagi mereka.

Pada abad ke 19, Ottoman melakukan kerjasama dengan bangsa Eropa untuk peningkatan perekonomian. Kesempatan ini menjadi jalan kembalinya Yahudi di Eropa untuk kembali ke Palestina dengan gerakan Zionisme. Warga yahudi melakukan pendudukan kembali ke wilayah Palestina dan membeli tanah-tanah kosong. Dalam pendudukan wilayah tersebut, Yahudi ingin kembali mendirikan negara Israel nantinya di daerah Palestina yang mereka anggap sebagai kampung halamannya. Untuk memastikan bahwa tanah yang mereka beli tidak akan pernah di jual kembali, maka mereka membentuk Jewish National Fund pada tahun 1901 dan memusatkan informasi unruk pembelian tanah bagi orang-orang yahudi. Tindakan yang di lakukan oleh bangsa Yahudi tidak mendapatkan kecurigaan dan perlawanan oleh Ottoman sehingga memampukan Yahudi untuk membangun pangkalan dan mulai menguasai wilayah-wilayah di Palestina. Namun, walaupun Yahudi mendapatkan hati Ottoman, mereka tidak mampu mengambil hati Arab di Palestina yang justru menyadari pergerakan mereka dan merasa terancam akan kembalinya mereka ke wilayah tersebut.

(8)

Perang Dunia I pecah (1914-1918) dimana pada masa kekaisaran Ottoman Turki memilih untuk bersekutu

kepada Jerman. Hal tersebut menjadikan Turki

berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh alami Jerman. Situasi tersebut diamati oleh kelompok Zionis dan nasionalisme Arab yang melihat peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur tengah sehingga mereka memilih untuk memihak kepada Inggris. Inggris meminta bantuan kepada Zionis dan memberikan perjanjian dan imbalan berupa kampung halaman kepada Yahudi (walau sesungguhnya tidak di terima oleh Arab Palestina) karena jika perang tersebut dimenangkan oleh Inggris, maka aliansi yang kalah harus menyerahkan daerah jajahan kepada pi hak yang menang dan pada Akhirnya kemenangan berada di pihak Inggris.

Migrasi semakin banyak datang ke wilayah Palestina sesuai dengan janji yang di berikan oleh Inggris kepada Yahudi dan menempati wilayah yang di janjikan serta lahan yang telah di beli oleh orang-orang Yahudi di Palestina. Hal itu mengakibatkan perlawanan oleh Arab Pelestina dan melakukan perlawanan kepada Yahudi karena merasa terancam, namun usaha yang di lakukan gagal. Karena perlawanan yang di lakukan oleh Arab tersebut, maka Inggris membuat pemisahan yang secara tidak langsung memberikan legalitas kepada Yahudi atas wilayahnya. Namun Arab Palestina menolak karena wilayah yang di inginkan oleh Arab Palestina adalah keseluruhan wilayah Palestina dan secara otomatis yang akan mengusir Yahudi. Atas penolakan tersebut Arab Palestina kembali menyerang dan memberontak kepada Yahudi yang akhirnya memicu krisis di Palestina dan setelah itu Inggris mundur dari Palestina.

Sejak mundurnya Inggris dari Palestina, PBB mengambil alih dan membentuk UNSCOP (United Nations

(9)

Special Committee on Palestine) untuk melakukan investigasi dan kemudian melakukan solusi penyelesaian masalah yang berlangsung semenjak abad ke-19. UNSCOP merekomendasikan pemisahan dengan membagi wilayah Palestina menjadi dua, untuk negara Arab dan negara Israel (Partition Plan). Namun sekali lagi masyarakat Arab Palestina dan negara lainnya tidak mendukung rencana pemisahan ini. Arab yakin dengan diterimanya pemisahan ini maka Israel mendapatkan legitimasi untuk mendirikan negara Israel di Palestina.

Dengan adanya partition plan, Yahudi mendeklarasi-kan kemerdekaan dan mendapatmendeklarasi-kan pengakuan de facto

dari Amerika Serikat, de jure dari Uni Soviet. Namun, di hari yang sama, bangsa-bangsa Arab menginvansi Palestina dan menyerang negara Israel yang baru merdeka tersebut. Negara Arab (Irak, Syria, Libanon, Mesir dan Jordania) menyerang ke Palestina. Penyerangan yang dilakukan merupakan bentuk dari kategorisasi dan identifikasi sosial yang dilakukan karena kesamaan identitas dengan Arab Palestina yang di anggap sebagai bagian dari kelompoknya. Hal ini juga telah membentuk

ingroup dan outgrup, dimana Ingroup tersebut ialah

bangsa-bangsa Arab termasuk Arab Palestina. Sedangkan outgrup ialah Israel yang telah menganggap negara

tersebut sebagai negara musuh dengan bentuk

penyerangan. Setelah penyerangannya, Israel

memenangkan perang tersebut dan kembali di menangkan oleh Israel dan berhasil menguasau Galilea Barat, Negev , Teluk Aqaba dan laut merah. Dengan adanya penguasaan wilayah tersebut sebenarnya Israel telah melanggar perjanjian karena telah melewati perjanjian pembagian wilayah yang telah di bentuk pada partition plan. Pada tahun 1949, PBB melakukan mediasi antara pihak yang bersengketa yakni Israel, Mesir, Libanon, Jordania dan

(10)

Syria. Namun, disisi lain pelaksanaan mediasi yang di lakukan tidak melibatkan Palestina yang telah mengalami banyaknya kerugian dan terpaksa harus mengungsi dan mendapat perlindungan dari bangsa Arab.

Mediasi yang telah di lakukan oleh PBB tidak berhasil dan justru mengakibatkan pecahnya perang antara Israel dan Mesir dimana adanya kebijakan yang di keluarkan oleh Mesir untuk melakukan penutupan terusan Suez yang memberikan dampak buruk kepada negara -negara yang melintas di daerah terusan Suez seperti Israel, Inggris dan Prancis. Akibat dari penutupan tersebut, Israel melakukan invansi ke mesir dengan bantuan Inggris dan Prancis. Namun keinginan invansi besar-besaran tersebut berhasil di redam oleh Amerika Serikat dengan adanya penarikan mundur pasukan dari Mesi r. Pasukan UNEF

(United Nation Emergency Forces) yang bermarkas di Gaza

pada tahun 1956, kemudiaan pada Mei 1967 U Thant Sekjen PBB menarik pasukan UNEF I atas desakan yang dilakukan oleh Presiden Mesir ketika itu Gamal Abdel. Kekosongan penjagaan keamanan memberikan peluang kepada Israek untuk mnyerang negara-negara Arab yang menyebabkan pecahnya Perang 6 Hari antara Israel dan Mesir dibantu oleh Syria di semenanjung Sinai yang kemenangan kembali di raih oleh Israel dan menguasai tepi barat, jalur Gaza, dan dataran Golan. Penguasaan wilayah tersebut di tanggapi oleh PBB dengan adanya resolusi dengan DK 242 untuk mundurnya Israel dari wilayah yang di duduki dan memberikan penghormatan kepada negara-negara tersebut untuk mendapatkan hak damai di negara-negara Arab. Namun, negara Israek tetap menjajah daerah kloninya hingga muncullah camp David

dengan isi Tepian Barat dan jalur Gaza sebagai wilayah

Palestina di bawah pengawasan Jordania dan

(11)

Israel belum menyerahkan jalur Gaza kepada Palestina yang sesuai dengan hasil kesepakatan camp david

namun Israel justru membangun pemukiman di daerah tersebut. Karena PLO yang merupakan gerakan nasional Palestina sesungguhnya tidak memiliki strategi politik yang efektif untuk mempertahankan keberadaannya maka mereka lebih memilih militer. Hal tersebut mengakibatkan intifada dimana pemberontakan yang di lakukan oleh Palestina kepada Israel yang di prakarsai oleh masyarakat Palestina. Namun dengan adanya pemberontakan tersebut, justru mengubah kebijakan politik PLO dengan secara resmi memutuskan untuk menerima solusi dua negara

(partition plan) yang berarti selain ingin membentuk

negara Palestina, organisasi ini telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan Israel. Perlu di ketahui pula bahwa PLO ini adalah satu-satunya organisasi yang di anggab sah sebagai organisasi perwakilan masyarakat Palestina. Oleh karena itu, hal ini dapat dijadikan sebagai boomerang karena memberikan pengakuan kepada Israel namun di sisi lain adanya penolakan pengakuan terhadap Israel.

Pengutamaan militer dalam konflik yang dilakukan sebenarnya bukan pilihan yang Tepat dimana Palestina tidak memiliki kekuatan yang cukup atau tidak sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Israel yang juga di bantu oleh Amerika dalam memasok persenjataan ke Israel. Langkah yang sebaiknya di lakukan harusnya mengedepankan diplomasi dan juga pendekatan dan mengembangkan wilayah yang sebelumnya di miliki sebelum melakukan penyerangan. Di samping itu, Palestina harusnya berusaha mendapatkan kemerdekaan di banding dengan perebutan wilayah sebelum merdeka.

Selanjutnya munculnya Intifada karena ledakan kebencian generasi muda Palestin bukan saja kepada Israel

(12)

namun kepada pemimpin palestina yang tidak kunjung

memberikan kemerdekaan bahkan menyudutkan

masyarakat dengan pemungutan pajak dan peningkatan pengangguran. Israel juga tidak luput memberikan kesengsaraan kepada masyarakat palestina karena adanya

penggusuran wilayah-wilayah yang menjadikan

banyaknya masyarakat yang tidak memiliki lahan maupun wilayah walau hanya untuk sekedar tinggal sehingga mereka melakukan perlawanan dengan cara pelemparan batu, penembakan, penusukan, pelemparan bom yang di tujukan ke Israel dan bahkan komite wanita Palestinpun akhirnya bergabung dalam perlawanan tersebut. Alasan komite wanita ikut serta karena adanya perlakuan Israel yang tidak pandang bulu dengan adanya ujaran siapapun orangnya akan tetap disakiti karena kau orang palestina. Hal ini dapat dilihat bahwa konflik yang terjadi bukan saja hanya berakhir di stereotype melainkan hingga pada diskriminasi.

2. United Nation Truce Supervision Organization (UNTSO) dan Konflik Israel Palestina.

Pada 29 Mei 1948 Dewan Keamanan PBB

mengeluarkan resolusi 50 yang meminta pengentian permusuhan yang terjadi dan harus dilakukan mediator oleh PBB dengan bantuan pengamat militer dimana pengamat militer tersebut dibentuk dengan nama United

Nation Truce Supervision Organization (UNTSO) yang

bermarkas di Gedung Parlemen di Jerusalem, Israel dan kantor penghubung di Beirut (Lebanon), Ismailia (Mesir) dan Damaskus (Suriah). UNTSO bertugas sebagai badan pengamat militer yang memonitor suatu persetujuan dan pelaksanaan gencatan senjata yang terjadi antar pihak yang bertikai di Timur Tengah. Selain itu, UNTSO juga bertugas untuk mecegah eskalasi konflik di wilayah

(13)

operasi dan memberikan bantuan asistensi kepada badan -badan PBB yang lain. Selanjutnya, pada Agustus 1949, DK PBB melalui resolusi 73 memberikan fungsi baru kepada UNTSO yang berjalan dengan 4 perjanjian gencatan senjata antara Israel dengan Arab tetangganya (Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon). Sejak saat itu, pengamat UNTSO tetap tinggal di Timur Tengah untuk mencegah timbulnya insiden dan membantu operasi pemeliharaan perdamaian yang berada di wilayah tersebut.

Penjagaan keamanan yang di lakukan oleh

Peacekeeping Operation yang merupakan agenda PBB dapat dikatakan gagal dan belum mampu melaksanakan misi dengan baik. UNTSO berfungsi untuk melakukan kontrol terhadap pengembangan senjata dimana ketika dibentuk pada tahun 1948 dimana tugas utama badan ini ialah untuk mengawasi gencatan senjata yang terjadi antara Arab dan Israel. Di bawah naungan PBB organisasi tersebut mengawasi pemakaian senjata antara negara -negara yang memiliki persenjataan dimana esensi dari menjaga perdamaian adalah tentang menjaga harmonisasi interaksi yang terjadi antara negara-negara yang berpegang pada legacy prinsip-prinsip kedaulatan negara dan keutuhan wilayah adalah dua hal krusial dalam kehidupan negara. Dalam pelaksanaan perwujudan perdamaian serta keamanan internasional yakni dengan pencegahan konflik, peacemaking dan peace building. Dalam upaya diplomasi preventif agar perubahan-perubahan di bidang ekonomi, sosial dan pollitik di daerah berkembang. Selain itu, PBB juga diharapkan mampu untuk meredam kepentingan dan power dari negara-negara besar untuk ikut campur atau mengintervensi negara yang bermasalah. Peacekeeping dimana pengurangan manifestasi kekerasan dalam suatu konflik melalui cara-cara intervensi militer

(14)

Kemudian adanya Peacemaking yang dilakukan untuk meredam konflik yang di arahkan pada biidang politik dan strategi actor yang berkonflik melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi dan kondiliasi. Kemudian adanya peacebuilding

untuk merestrukturisasi dan rekonstruksi sekotor sosial ekonomi dan politik yang rusak akibat konflik yang juga dilengkapi dengan usaha menghilangka akar konflik structural dan kultural demi mencapainya sustainable peace.

Kegagalan dalam pelaksanaan peacekeeping yang dilaksanakan oleh UNTSO, dimana yang menyumbang bantuan militer kepada UNTSO adalah Argentina Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Rakyat Tiongkok, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Irlandia, Itali, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, CCCP, Slovenia, Swedia, Swiss dan Amerika serikat tersebut dipengaruhi oleh banyaknya tantangan yang di hadapi oleh pasukan perdamaian atau yang sering di sebut dengan Peacekeeping Operation (PKO). Tantangan utama yang seharusnya di kuasai oleh PKO ialah kemampuan adaptasi dan kurangnya kompetensi lintas budaya dimana hal tersebut sangat dibutuhkan untuk pemahaman budaya yang ada di wilayah konflik. Satu hal yang perlu dipahami bahwa untuk meyelesaikan suatu konflik, akan lebih efektif jika menggunakan akal bulus/ wits sebagai bentuk negosiasi. Dan pada saat melakukan negosiasi, maka harus mampu mengunakan poker face selama melakukan misi. Selanjutnya pelaksanaan negosiasi harus mampu untuk mensingkronisasikan perilaku dan sikap karena selama negosiasi akan terjadi share emotional. Oleh karena itu sangat penting untuk menganalisis emosi dalam negosiasi

dan mediasi dalam pelaksanaan misi penjagaan

perdamaian di wilayah konflik. Analisis emosi yang dimaksud dalam hal ini dimana PKO diharapkan adanya

(15)

kompetensi emosional yang bukan saja harus mampu mengenali emosional lawan bicara dalam berinteraksi maupun memahami emosional yang pasukan miliki melainkan harus mampu memahami dan mengendalikan emosi yang ia miliki. Kompetensi emosional seperti yang di jelaskan oleh Goleman (2005: 7) bahwa bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan

kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat

menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Analisis emosional di daerah konflik dapat dilihat dari pendekatan budaya yang di miliki suatu neg ara, baik pendekatan suku, budaya maupun agama. Karena dalam pelaksanaan misi di daerah operasi, PKO di hadapkan dalam perbedaan budaya dan ketidakpastian tentang nilai -nilai budaya. Pengetahuan akan budaya lokal (lintas budaya) merupakan suatu konsep yang diharapkan mampu untuk mengerti konsepsi budaya suatu konflik, struktur dari masyarakat local yang sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat konflik yang timbul. Oleh karena itu pasukan UNTSO harusnya memiliki kecerdasan budaya yang mampu mempermudah proses pelaksanaan misi di daerah operasi.

Kecerdasan budaya yang di bentuk oleh Early dan Ang (2003) dimana kecerdasan budaya dimaksud ialah kemampuan individu untuk berfungsi efektif dalam lingkungan budaya yang beragam serta terdiri atas

kemampuan mental (metakognisi, kognisi dan

motivasional) dan kemampuan perilaku (behaviour). Dalam hal ini PKO bukan saja hanya mampu mengetahui perbedaan-perbedaan yang ada di lokasi, namun harus

(16)

mampu untuk menganalisis perbedaan yang ada namun juga harus mampu untuk bersikap dan berperilaku dengan masyarakat di wilayah misi. Untuk pelaksanaan misi di Timur tengah ini perlu di perhatikan bahwa komposisi militer yang menyumbangkan militer, maka dapat di pahami bahwa sedikitnya negara Islam yang memberikan bantuan menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini dikarenakan adanya pendekatan etnoreligius yang dapat di pertimbangkan di wilayah konflik tersebut, karena bangsa-bangsa Arab memiliki agama mayoritas Islam. Hal inilah yang seharusnya PBB perhatikan untuk memberikan pelatihan kepada PKO pun jika tidak adanya bantuan dari negara Islam lainnya.

Penerimaan negara/ masyarakat di wilayah konflik tersebut juga harus sangat di perhatikan. Ketika masuknya PKO ke daerah misi, pasukan sebaiknya tidak menutup komunikasi, namun juga harus mampu berinteraksi sesuai dengan adanya kemampuan sosial yang menyesuaikan dengan budaya yang ada dengan wilayah konflik dan juga

harus mampu untuk memberikan keamanan dan

kenyamanan kepada penduduk setempat. Dengan

banyaknya bantuan militer dari berbagai negara, diharapkan PBB memfasilitasi suatu pelatihan khusus bagi seluruh PKO yang akan diturunkan ke Timur tengah dengan mendatangkan pelatih dari negara yang memiliki multicultural baik suku, budaya, ras dan agama seperti Indonesia, India, Tiongkok maupun negara-negara yang mampu memberikan pelatihan lintas budaya yang memiliki aneka keberagaman dan khususnya Indonesia yangs salah satu negara yang paling beragam di dunia dan dari segi agama, Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, jauh lebih banyak dari seluruh negara Islam di Timur Tengah. Dengan mendatangkan pembicara yang memiliki keberagaman

(17)

struktur budaya, diharapkan mampu untuk mendorong percepatan penjagaan perdamaian di Timur Tengah dan penghentian kontak senjata dan usaha Deeskalasi konflik di wilayah tersebut.

Dalam pelatihan yang di berikan, harus diperhatikan

pula pengembangan self-awarness prajurit dalam

memahami keberagaman budaya yang akan di tuju. Dalam hal ini harus lebih memahami kapan dan bagaimana penekanan penggunaan budaya di lokasi tersebut. Dibutuhkan metakognitif, dan dalam hal ini kita membutuhkan EQ kita untuk memahami bias yang kita miliki. Dari yang unconsius dikeluarkan menjadi conscious. Hal ini dimaksud ketika pemahaman telah di bentuk, maka lebih aware dan mampu memahami bias yang ada dalam bertindak. Hal ini dimaksud bukan saja hanya memberikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap budaya,namun juga harus memperhatikan kapan keberagaman budaya tersebut berlaku. Karena ketika ia paham mengenai keberagaman lintas budaya tersebut, ia juga harus dilatihkan bagaimana dalam mensikapinya. Oleh karenanya, pelatihan tersebut juga memberikan pelatihan daya kritis, adaptasi dan keseimbangan (sesilien), interaksi dengan individu lainnya, empati dalam menghadapi keberagaman yang ada sehingga ia akan lebih mudah untuk memilih perilaku yang tepat sehingga dapat diterima oleh lingkungan daerah misi.

Interaksi antara militer dan penjaga perdamaian sipil menjadi sangat penting karena kedua pihak harus mampu untuk bersatu dalam mengadapi kelompok-kelompok local dengan budaya yang beragam dan populasi orang local dengan budaya yang sangat kompleks. Namun, PBB yang dalam hal ini PKO sering lupakan sehingga memperumit kondisi di lapangan. Disisi lain, banyaknya tugas dan peranan yang bias yang di lakukan oleh PKO yang

(18)

mengakibatkan stressing yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan perilaku. Tidak jarang PKO menggunakan kekerasan diwilayah konflik. Oleh karena itu, adaptasi juga sangat di butuhkan oleh PKO.

Pengalaman berinteraksi di budaya lain tidak akan berpengaruh positif terhadap kemampuan berinteraksi lintas budaya secara efektif karena adanya individu yang memilih untuk tetap berpikir dan bertindak seperti kebiasaan yang berlaku di budaya ia berasal. Oleh karena itu dibutuhkan expanded cultural cognition (kognisi perluasan budaya) adanya upaya dalam meningkatkan deteksi dan proses informasi budaya terhadap individu dan lingkungan sosial dalam interaksi lintas budaya yang terjadi jika seorang individu telah melakukan proses pembelajaran atas penjelajahan lintas budaya di dalam alam pikirannya sendiri (multicultural journey inward), serta kemudian secara kognitif memahami adanya perbedaan budaya (recognizing cultural differences), dan kemudian melakukan cognitive and behavioral switching. Oleh karenanya, setelah pelaksanaan pelatihan yang diberikan kepada PKO maka diharapkan PBB memfasilitasi latihan gabungan yang bukan saja beberapa negara tetapi seluruh negara yang berkaitan atau negara yang memberi kan bantuan militer dalam UNTSO. Dalam pelatihan lanjutan ini juga diharapkan adanya pelatihan komunikasi yang ekspresif seperti ekspresi wajah, gesture ataupun bahasa tubuh (low context) ataupun pelatihan orientasi pada hal -hal ekspresif, tidak langsung dan menggunakan bahasa

yang bernuansa dan ketergantngan pada syarat

paralunguistik (high context). Hal tersebut merupakan bagian dari expanded cultural cognition dengan penerapan pelatihan dan perluasan pengetahuan dari budaya lain. Hal ini diharapkan memberikan keterkaitan, kesamaan misi, dan pemahaman konsep-konsep budaya yang

(19)

berbeda di setiap negara yang bukan lagi menjadi suatu penghambat atau penghalang, namun menjadi solusi dalam penanganan konflik dan saling mengisi setiap kekurangan yang ada.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat di ambil dari analisis di atas ialah:

a. Pembentukan identitas sosial ada tiga proses penting yang dilalui, yaitu kategorisasi, identifikasi, dan komparasi. Pada proses kategorisasi merupakan suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna. Disini negara-negara yang berkonflik telah membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yaitu kita/ Palestina (us) dan mereka/ Israel (them). Kita adalah in-group,

sedangkan mereka adalah out-group. Setelah

dikategorisasikan maka identitas sosial dapat diidentifikasikan dengan mengasosiasikan diri dengan kelompok tertentu untuk meningkatkan self esteem dan juga untuk membentuk sense of belonging. Proses ini akan berakhir dengan adanya komparasi yang membandingkan mana kelompok yang baik/benar atau mana kelompok tidak baik/benar dan membandingkan dengan diri mereka dan kelompok mereka sehingga ini akan menimbulkan rasa memiliki yang berlebihan terhadap diri atau kelompok mereka sendiri. Hal ini bukan saja di bentuk oleh negara Israel ataupun Palestina, melainkan adanya komparasi yang di barengi dengan prasangka dari negara lain dan menilai mana negara yang sepantasnya menduduki wilayah Palestina tersrbut. Bersamaan dengan ini stereotipe juga akan muncul dengan adanya pembedaan konsep in-group dan out-group serta mana kelompok yang

(20)

baik/benar atau mana kelompok tidak baik/benar. Stereotype yang sangat kental mempengaruhi prasangka

(prejudice) yang menimbulkan diskriminasi dan

penyerangan yang dilakukan oleh generasi muda Palestina kepada Israel. Stereotype yang di maksud dalam hal ini dengan adanya pandangan bahwa siapapun orangnya akan tetap di sakiti karena kau adalah orang Palestina. Hal ini berdampak pada Prajudice dan diskriminasi secara bergantian oleh kedua pihak yang bersengketa. Dimana prasangka berawal dari skema dimana fikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi, dan mengambil informasi, yang dikembangkan melalui pengalaman, yang mempengaruhi pengolahan informasi sosial yang baru yang berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan dengan penggunaan diskriminasi pada aksi negatif terhadap negara lain.

b. Permasalahan yang dihadapi para petugas UNTSO dalam pelaksanaan misi yang mempengaruhi kegagalan pelaksanaan operasi penjagaan perdamaian ialah karena masih kurangnya kemampuan pasukan PKO dalam berinteraksi baik dengan masyarakat di wilayah konflik sekaligus dengan tim PKO yang berasal dari berbagai negara yang memiliki perbedaan karakter dan budaya yang seringkali menjadi tantangan tersendiri. Selain itu emotional intelligence yang juga belum mampu di laksanakan di lapangan dimana masih adanya kekerasan yang dilakukan dalam negosiasi yang merupakan bagian dari ketidak mampuan dalam melaksanakan kemampuan emosional oleh pasukan PKO. Kemudian social intelligence dan cross cultural competency juga masih sangat jauh dari harapan dimana negara-negara yang berkait belum mampu menghentikan kontak senjata dan juga masih adanya ketakutan yang di rasakan oleh

(21)

masyarakat di daerah konflik. Kaitkan secara eksplisit bagaimana teori-teori tersebut dapat menjelaskan

DAFTAR PUSTAKA :

Ashfort, Blake E. 1989. Social Identity and Organization.

Academy of Management Review, Vol 14. No. l, 20 -39.

Goleman, Daniel. 2004. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI

Lebih Penting Daripada IQ, Terjemahan oleh T.

Hermaya. 2004. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hidayat, Eri R, dkk. 2018. Socio-Cultural Competence And

Resilience. Bahan Ajar. Bogor : Universitas

Pertahanan.

Jones, J. M. (1997). Prejudice and racism. NewYork: TheMcGraw-Hill Companies Inc.

Louis Kriesberg. 2001. Mediation and the Transformation of

the Israeli-Palestinian Conflict, Journal of Peace

Research, 38 :3.

Malik, Ichsan. 2017. Nature of Conflict. Bahan Ajar. Bogor : Universitas Pertahanan.

Nugroho, Ito-Prajna. 2018. Philosophy of Conflict Resolution. Bahan Ajar. Bogor : Universitas Pertahanan.

Smith, Charles D. 2001. Palestine and the Arab-Israeli

Conflict, United States of America : Bedford/ St.

Referensi

Dokumen terkait

Tampilan antarmuka Latihan Matematika – Hitung Bilangan pada pembelajaran IPA dan Matematika untuk Anak Tunagrahita SMPLB-C, dimana pada latihan ini diberikan

[r]

Ketepatan pelayanan fisioterapi pasien peserta jaminan kesehatan nasional di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Jatinom Klaten Sebagian besar tingkat ketepatan pelayanan

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c dilakukan dalam penyelenggaraan sumber daya manusia di bidang transportasi sesuai dengan ketentuan

Berdasarkan data hasil penelitian, pengolahan data, analisis dan pembahasan data maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa karya ilmiah yang dibuat oleh kelompok siswa

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang

Untuk mendukung hal tersebut, maka dalam Proyek Akhir ini akan dibangun sebuah ” Aplikasi pelaporan penggantian KTM berbasis web pada Politeknik Telkom” yang dapat

Pada tanggal 22 Juni 2004, PT Bank Pan Indonesia Tbk (BP), pemegang saham, melakukan transaksi penjualan saham Perusahaan melalui PT Bursa Efek Jakarta sebanyak 16.000.000