• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBIBITAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBIBITAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI BANTEN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBIBITAN TERNAK

KERBAU DI PROVINSI BANTEN

(Feasibility Study of Buffalo Breeding Farm in Banten Province)

E.JUARINI,SUMANTO,I.G.M.BUDIARSANA danL.PRAHARANI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Research was conducted in Lebak District, Banten Province in 2009, aimmed to design buffalo development model by improving the existing population through technological improvement. A group of 20 farmers were interviewed on the management, socio economic and some technical aspects including the mating system of their buffaloes. A year monitoring of farmer’s group activities were recorded for recommendation of proposed activities in 2010. Data collected then were tabulated and analyzed descriptively. Result showed that along one year monitoring showed that some problems were faced by the farmers such as shortage of feed due to agricultural land changes to other uses. To accommodate the solution of the problem, opportunity of extensification can be met by setting collaborative program with the department of Forestry particularly for the high land areas. In the low land areas technological preservation of feed will be intensified as feed bank. On the other hand, intensity of inbreeding was noted has been lasting for years. Therefore out breeding program need to be implemented for better buffaloe performance, by introducing new sires or AI from out of Banten herd such as from Baluran of East Java or Brebes of Central Java; and also fattening program is other alternative activity for farmer’s income improvement.

Keys Words: Buffalo, Production, Reproduction, Development, Model ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009 dengan tujuan menganalisa rancangan model pengembangan kerbau di Kabupaten Lebak, dengan metode PRA yang dilanjutkan dengan on farm research terhadap 20 orang petani peternak kerbau di Kabupaten Lebak Petani kooperator yaitu peternak yang memiliki skala usaha lebih dari 3 ekor induk. Data primer mencakup aspek teknis, sosial dan ekonomis meliputi potensi dan kendala, sistem perkandangan, tatalaksana pemberian pakan, reproduksi, pembibitan, penggemukan, dan input-output yang berkaitan dengan sistem usaha kerbau yang akan dikembangkan. Data sekunder diperoleh dari dinas terkait berupa sumberdaya fisik meliputi prasarana dan sarana produksi, sistem kelembagaan, harga dan pemasaran serta daya dukung lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan produksi dan reproduksi kerbau di dataran tinggi kurang baik dibandingkan dengan di dataran rendah. Secara ekonomis sistem pemeliharaan kerbau di lokasi penelitian menunjukan keuntungan yang diperoleh cukup besar. Usaha penggemukan kerbau selama 90 hari dapat memberikan keuntungan Rp. 1.084.500 cukup menarik untuk usaha pokok bagi petani. Ditinjau dari kondisi petani, pengembangan kerbau di Banten cukup potensial, namun ketersediaan lahan sebagai sumber pakan sangat terbatas. Karena itu perlu dilakukan upaya preservasi pakan. Usahatani kerbau masih dilakukan secara tradisional. Untuk di dataran tinggi pemeliharaan kerbau lebih terintegrasi dengan usaha tanaman karena berperan sebagai sumber tenaga kerja maupun sumber pupuk. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran tinggi kurang baik dibandingkan dengan di dataran rendah diduga karena dipakai untuk tenaga kerja. Analisis kelayakan usaha perbibitan pada tingkat diskon faktor 12% dengan skala induk kerbau 200 ekor selama enam tahun dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 1.658.860.000 dengan B/C rasio 1,46. Meskipun peternak akan diuntungkan namun diperlukan jangka waktu yang cukup panjang.

(2)

PENDAHULUAN

Propinsi Banten, termasuk sepuluh propinsi yang memiliki populasi kerbau lebih dari 100.000 ekor di Indonesia dari total populasi sebanyak 2.572.169 ekor dan populasi ternak kerbau ini relatif rendah jika dibandingkan dengan ternak sapi yang jumlahnya 10.726.347 ekor (DITJENNAK, 2005).

Kerbau mempunyai potensi selain sebagai sumber tenaga kerja, juga berperan penting dalam penyediaan daging, susu dan pupuk. Peran penting ternak kerbau semakin strategis pada daerah-daerah tertentu di Indonesia seperti halnya di Toraja (Sulawesi Selatan), yang sering dijadikan sebagai ternak pelengkap pada acara sosial keagamaan.

Pada saat ini secara umum dapat dikatakan bahwa pola pemeliharaan ternak kerbau belum banyak berubah yaitu masih dipelihara dalam skala pemilikan yang kecil, oleh para petani dipedesaan yang tujuan utamanya sebagai tenaga kerja mengolah sawah dan dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging (WIRYOSUHANTO, 1980; KUSNADI et al., 2005). Kerbau yang dipelihara peternak di Indonesia pada suatu agroekosistem tertentu telah terseleksi secara alamiah berupa kerbau lumpur sebagai penghasil daging dan kerbau sungai sebagai penghasil susu (HARDJOSUBROTO, 2006).

Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 1994 mencapai 2.684.239 ekor. Namun dalam dekade 10 tahun terakhir menurun secara signifikan, hingga mencapai angka 2.572.169 ekor pada tahun 2005 (DITJENNAK, 2006). Penurunan ini terjadi hampir di setiap propinsi, termasuk di Propinsi Banten.

Pada tahun 1994 populasi kerbau di Propinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing adalah 172.382 ekor, 176.254 ekor dan 145.176 ekor. Namun pada tahun 2004 tercatat hanya 163.834 ekor di Banten, 170.203 ekor di Jawa Barat dan 144.481 di Jawa Tengah (DITJENNAK 2005). Ini berarti di ketiga propinsi tersebut terjadi penurunan populasi rata-rata 0,30% per tahun. Menurut WIRYOSUHANTO (1980) populasi kerbau di Indonesia menurun sejak tahun 1925 dengan laju penurunan yang semakin besar. Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa penanganan khusus tidak mustahil kerbau di Indonesia akan terkuras terutama bibit unggul yang ada,

sehingga untuk pengembangan selanjutnya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu perlu ada usaha-usaha dari berbagai aspek keilmuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendorong berkembangnya kerbau di Indonesia.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan populasi kerbau di Indonesia diantaranya adalah peran kerbau dalam meningkatkan pendapatan petani relatip rendah. Menurut data BPS yang dilaporkan oleh DITJENNAK (2005), keuntungan memelihara ternak kerbau hanya Rp. 204 ribu/ekor/tahun. Minimnya keuntungan dalam memelihara kerbau, menyebabkan petani kurang bergairah untuk mengembangkan usaha ternak kerbau (KUSNADI et al., 2005). Disamping itu terganggunya lingkungan hidup kerbau dalam suatu agroekosistem, seperti berkurangnya lahan baik sebagai lahan garapan petani maupun lahan sebagai sumber pakan menyebabkan kerbau sulit berkembang. Menurut TRIWULANINGSIH (2005) sistem pemeliharaan tradisional menyebabkan terjadi perkawinan sedarah (in breeding) sehingga kualitas bibit kerbau menurun yang berakibat pada perkembangan populasi yang lambat.

Produksi daging di Indonesia berasal dari ternak sapi, domba, kambing, babi, unggas dan kerbau. Produksi daging tertinggi diperoleh dari ternak unggas. Sementara itu, produksi daging dari ternak kerbau menduduki urutan ke lima (DITJENNAK, 2006; BPS, 2006). Produksi daging kerbau belum banyak berpengaruh terhadap masyarakat karena produksi dagingnya masih rendah yaitu rata-rata 2,6% dari produksi daging nasional (DITJENNAK 2006).

Atas dasar pemikiran tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan untuk merancang suatu model pengembangan dan intervensi teknologi usaha ternak kerbau yang cocok dengan kondisi agroekosistem setempat. Hal ini disebabkan hasil penelitian sebelumnya (KUSNADI et al., 2006) menunjukkan bahwa peternakan kerbau di Provinsi Banten dilakukan dengan tingkat ketrampilan yang masih rendah terutama dalam penggunaan teknologi, namun berpotensi untuk dikembangkan. Disamping itu, hasil penelitian pada tahun 2007 menunjukkan bahwa usaha ternak secara sosial diterima petani, secara teknis dapat dilakukan dan secara ekonomis

(3)

menguntungkan sehingga layak untuk dikembangkan lebih lanjut dengan intervensi teknologi (KUSNADI et al., 2007).

MATERI DAN METODE

Lokasi penelitian dilakukan di Propinsi Banten yaitu di Kabupaten Lebak yang mewakili agro-ekosistem dataran tinggi (Desa Neglasari, Kecamatan Cibadak) dan di dataran rendah (Desa Ciaul, Kecamatan Cikulur) dengan pertimbangan bahwa lokasi terpilih merupakan wilayah pengembangan kerbau sesuai dengan program pemerintah daerah setempat, memiliki agroekosistem dan sistem pemeliharaan yang berbeda dan mempunyai prospek pengembangan kerbau ditinjau dari ketersediaan lahan dan sarana prasarana wilayah.

Penelitian ini dilakukan dengan metode PRA yang dilanjutkan dengan on farm research dan farm record keeping (MANWAN et al., 1996; KUSNADI et al., 1993) terhadap 20 orang petani peternak kerbau di lokasi terpilih. Petani terpilih yang menjadi kooperator yaitu peternak yang memiliki skala usaha lebih dari 3 ekor induk dalam kelompok.

Sebelum kegiatan dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pra survei (penjajagan) dalam memperoleh informasi dan advokasi dengan Dinas Peternakan setempat mengenai faktor-faktor usaha, variabel teknis dan sosial.

Data yang dikumpulkan

Data primer mencakup aspek teknis, sosial dan ekonomis meliputi potensi dan kendala, sistem perkandangan, tatalaksana pemberian pakan, reproduksi, pembibitan, penggemukan, pengendalian penyakit, pemasaran, dan input-output yang berkaitan dengan sistem usaha ternak kerbau yang akan dikembangkan.

Data sekunder diperoleh dari dinas yang terkait berupa sumberdaya fisik meliputi prasarana dan sarana produksi, sistem kelembagaan, harga dan pemasaran serta daya dukung lahan.

Analisis data

Data secara tabulatif dan deskriptif untuk profil peternak (latar belakang, penguasaan lahan, pekerjaan, skala pemilikan dan status pemilikan ternak kerbau), profil usaha dan profil produktivitas ternak kerbau di kedua agro-ekosistem.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik peternak kerbau

Dapat dikatakan bahwa ditinjau dari umur, pengalaman dan pendidikan petani, kondisi petani cukup potensial untuk pengembangan usaha. Sementara itu kalau ditinjau dari pemilikan lahan dibandingkan dengan

Tabel 1. Karakteristik peternak kerbau

Uraian Dataran rendah Dataran tinggi

Rata-rata umur petani (tahun) 36 42

Pengalaman beternak (tahun) 6 15

Pendidikan SD SD

Rata-rata pemilikan lahan (ha) 0,7 0,34

Pekerjaan utama Bertani Bertani

Pekerjaan tambahan Beternak kerbau Beternak kerbau

Pemilikan kerbau (ekor) 6,3 3,2

Status pemilikan: Milik sendiri (%) Gaduhan (%) 60 40 90 10

(4)

pemilikan kerbau tidak akan mencukupi kebutuhan pakan, sehingga petani mengandalkan pakan dari luar, dalam memenuhi kebutuhan secara kontiniu.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan kerbau juga berbeda diantara kedua lokasi penelitian, semua petani di dataran rendah memelihara kerbau secara

ekstensif 50% tidak mempunyai kandang, 50% selebihnya mempunyai kandang yang sangat sederhana. sementara petani di dataran tinggi memelihara kerbau mereka secara semi intensif dimana kerbau dikandangkan pada waktu malam hari sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Usahatani kerbau yang dilakukan petani baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi

Tabel 2. Profil usahatani kerbau

Uraian Dataran rendah Dataran tinggi

Sistem pemeliharaan Ektensif Semi intensif

Kandang 50% Tidak ada

50% Kandang sederhana

Malam hari di kandangkan Pakan Cari sendiri di lapangan, sawah,

bera, kebun kelapa dan lahan kosong

• Cari sendiri di kebun, sawah, hutan

• Disediakan dalam kandang rumput lapangan dan rumput kerbau

• Limbah pertanian (daun jagung dan daun ubi) Tenaga kerja Tidak dikerjakan 68 % sebagai tenaga pengolah lahan

Tujuan Usaha • Penghasil anak • Produksi daging • Tambahan pendapatan

• Penghasil anak • Produksi daging • Sumber tenaga kerja • Sumber pupuk • Tambahan pendapatan

Inovasi teknologi Belum ada Inseminasi buatan pada sebagian kecil Tabel 3. Rata-rata penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau

Uraian Dataran rendah Dataran tinggi

Ukuran tubuh (cm)

Induk umur > 2 tahun (60 ekor) Panjang badan

Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual (Rp/ekor)

30 ekor 118,1 + 16,2 122,1 + 9,6 176,2 + 13,1 4.200.000 30 ekor 112,1 + 14,7 120 + 11,2 168,5 + 9,3 4.000.000 Jantan umur > 2 tahun (30 ekor)

Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual (Rp/ekor)

15 ekor 126,3 + 12,4 124,9 + 8,6 184,6 + 13,2 5.600.000 15 ekor 116,1 + 10,8 121 + 11,4 173,3 + 9,8 5.200.000 Parameter produktivitas dan reproduktivitas

Fertilitas (%)

Umur beranak pertama (tahun) Calving interval (bulan)

76 3,5 4,1 6 – 28 70 3,7 4,3 16 – 29

(5)

masih bersifat tradisional berintegrasi dengan padi, dimana belum ada sentuhan teknologi. Dari Tabel 2 terlihat bahwa sistem pemeliharaan kerbau di dataran tinggi lebih terintegrasi dengan usaha tanaman palawija (jagung, ubi jalar)

Tabel 3 menunjukkan bahwa penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau didataran tinggi cenderung lebih rendah daripada dataran rendah, mungkin disebabkan karena di dataran tinggi kerbau digunakan sebagai tenaga kerja sehingga mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan reproduksi kerbau.

Keterbatasan ketersediaan pakan untuk kerbau yang diaritkan, maupun ketersediaan tenaga kerja untuk mengaritkan menjadi sebab utama kecenderungan kinerja kerbau yang lebih rendah. Secara ekonomis sistem pemeliharaan kerbau (sistem pemeliharaan kombinasi pembesaran dan penggemukan kerbau) di dua lokasi penelitian menunjukkan keuntungan yang diperoleh cukup besar antara lain karena rendahnya biaya pemeliharaan. Untuk pola usaha penggemukan kerbau hanya dijumpai di dataran tinggi yang kinerjanya disajikan pada Tabel 4.

Tabel tersebut, menunjukkan nilai margin keuntungan cukup baik, sehingga cukup menarik untuk dikembangkan. Untuk lebih

memberikan efisiensi usaha, perlu akses permodalan untuk mencapai skala usaha yang ekonomis.

Di lokasi pengamatan belum ditemui usaha kerbau yang khusus untuk perbibitan, meskipun diketahui pentingnya usaha perbibitan kerbau dalam rangka kebutuhan yang mendesak untuk pengembangan ternak tersebut.

Rancang model usaha kerbau di Provinsi Banten

Rancang model usaha merupakan rancangan model usaha yang berpotensi untuk bisa diterapkan di suatu wilayah atau daerah. Rancang model yang dibuat merupakan rancangan yang diindikasi atas kondisi riil wilayah atau daerah yang besangkutan dari berbagai kondisi di lapangan.

Dari kegiatan PRA yang dilakukan terungkap beberapa masalah antara lain:

1. Kurangnya pejantan. 2. Sumber pakan berkurang.

3. Belum diaplikasikannya teknologi tepat guna.

Tabel 4.Gambaran usaha penggemukan ternak kerbau di dataran tinggi

Uraian Dataran tinggi

Kerbau jantan umur 26 bulan Berat awal Harga beli ADG Lama pemeliharaan Berat jual Biaya pakan/hari Harga jual/kg Biaya transport 338 kg Rp. 14.500/kg 0,7 kg/ekor/hari 90 hari 401 kg Rp. 2.000 Rp. 15.500 Rp. 50.000 Biaya (Rp) Pembelian Trasport Biaya pemeliharaan Jumlah 4. 901.000 50.000 180.000 5. 131.000

Penerimaan (Rp.) penjualan ternak 6. 215.500

(6)

Untuk menanggulangi masalah tersebut maka beberapa solusi yang dianggap penting dilakukan yaitu:

1. Penambahan pejantan

2. Membuka padang pengembalaan baru atau menanam tanaman hijauan pakan ternak 3. Introduksi pengolahan pakan dan

Inseminasi buatan.

Model usaha kerbau pola breeding (perbibitan)

Hasil kegiatan PRA yang dilakukan menunjukkan bahwa beberapa model usaha dapat dilakukan di Provinsi Banten yaitu pola penggemukan dan pola pembibitan. Model usaha dapat dilakukan berkelompok diantara

peternak maupun sendiri-sendiri. Analisis ekonomi usaha ternak kerbau pola breeding dilakukan melalui proyeksi-proyeksi terhadap penerimaan dan pengeluaran yang mungkin terjadi pada usaha ternak kerbau pola breeding. Parameter teknis dan biologis yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan dilapangan pada tahun 2009 dan laporan sebelumnya.

Analisis cash flows usaha peternakan kerbau pola perbibitan

Dari parameter teknis (Tabel 5.) maka perhitungan cash flows usaha ternak kerbau pola perbibitan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Asumsi koefisien teknis dan ekonomis

Petani anggota kelompok 1 kelompok (20 orang) dengan jumlah kerbau betina 200 ekor

Jenis kerbau Kerbau lokal betina yang sudah siap kawin

Fertilitas 80% Service per conception 2 kali

Calving internal 15 bulan

Kematian anak s/d dewasa 10%

Sex ratio 50 : 50

Umur jual anak kerbau jantan 18 bulan

Harga kerbau betina siap kawin Rp. 4.000.000/ekor

Harga kerbau pejantan Rp. 5.000.000/ekor

Harga kerbau induk afkir Rp. 5. 000.000/ekor

Harga kerbau jantan 18 bulan Rp. 4.000.000/ekor

Harga kerbau betina 18 bulan Rp. 4.000.000/ekor Harga /nilai pupuk kandang Rp. 400/kg

Produksi pupuk+kompos 1 ton/ekor/tahun

Kenaikan bobot badan harian (ADG) 0,4 kg/hari Harga daging bobot hidup Rp. 17.000/kg Pemberian pakan (lokal + dedak)/ekor/hari Rp. 1.250/ekor/hari

Obat-obatan/vaksin Rp. 2.500/ekor/tahun

Biaya pembuatan dan penyusutan kandang Rp. 200.000 dan Rp. 2.500/ekor/tahun Biaya perkawinan sampai jadi Rp. 50.000/ekor

(7)

Ta be l6 .Cash flows Analisis usaha ternak k erb au pol a pembibitan selama 6 tahun (Rp.000) Uraian Ta h u n To ta l 01 2 3 4 5 6 Biay a Bibit: induk 200 ekor x R p 4.000 800.000 -800.000 Pakan Induk 91.250 91.250 91.250 91.250 91.250 91.250 547.500 Anak 1 -48.600 48.600 -97.200 Anak 2 -37.800 65.700 -103.500 Anak 3 -16.200 65.700 16200 98.100 Anak 4 -5.400 5.400 Obat-obatan Induk 500 500 500 500 500 500 3.000 Anak -360 720 720 720 2.520 Pembuatan kand ang 488 ekor x R p 200 97.600 -97.600 Pemeliharan kan d ang (5%) 1 120 1 120 1 120 1 120 1 120 1 120 6.720 T enag a k erja 24.000 42.000 60. 000 60.000 42.000 42.000 270.000 Biay a p erkawi nan 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 60.000 Buat pupuk 20.000 34.400 48.800 48.800 34.400 34.400 220.800 T o tal biay a 897.600 146.870 228.230 298. 790 294.290 244.970 201.590 2.312.340

(8)

n Ta be l6 . aan it: Induk -1.000.000 1.000.000 Jual an ak umur 18 bulan -576.000 576.000 576.000 1.728.000 Anak umur 1 bulan -360.000 360.000 Nilai pupuk 80.000 137.600 195.200 195.200 137.600 137.600 883.200 pen erimaan 0 80.000 137.600 771. 200 771.200 137.600 2.073.600 3.971.200 -897.600 -66.870 -90.630 472. 410 476.910 -107.370 1.872.010 1.658.860 fa ctor (12%) 1,000 0,893 0,797 0,712 0,636 0,567 0,507 total p en er imaan -71.429 109.694 548.925 490.1 12 78.078 1.050.550 2.348.787 total b iaya 897.600 131.134 181.944 212.673 187.027 139.003 102.132 1.851.51 1 pendapatan (897.600) (59.705) (72.250) 336.252 303.085 (60.925) 948.419 497.276 B C R asio 1,46 Rate of Return (I RR) 22,30 k embali tahun ke-4,1

(9)

Usaha pembibitan memerlukan modal awal sebanyak Rp. 876,000 juta, yang diperlukan untuk pembelian 200 ekor induk dan pembangunan kandang. Pada analisis ini perhitungannya mencakup komponen biaya, pakan, obat-obatan, perkandangan, perkawinan kerbau, tenaga kerja manusia dan pembuatan kompos. Terlihat bahwa biaya pakan merupakan kontribusi komponen biaya paling besar (60,2%) dari total biaya operasional. Total biaya operasional perbibitan 200 induk kerbau per tahun yang diperlukan berkisar pada Rp. 146,870.000 – Rp. 298,790.000. Dari sisi pendapatan terlihat bahwa penerimaan terbesar diperoleh dari hasil penjualan anak dan disusul dengan penjualan kerbau afkir. Penerimaan lainnya yaitu diperoleh dari penjualan pupuk kandang. Hasil analisa kelayakan usaha adalah: 1). BC rasio menunjukkan nilai 1.46 dan analisis IRR sebesar 22,3% lebih besar dari bunga bank yang berlaku pada saat analisis dilakukan yaitu sebesar 12%. Dari hasil analisis tersebut maka indikasinya menunjukkan bahwa usaha ternak kerbau pola breeding tetap layak dilakukan, meskipun waktu yang diperlukan lama dan titik impas dapat tercapai pada tahun ke- 4,1.

KESIMPULAN

1. Ditinjau dari kondisi petani, pengembangan kerbau di Banten cukup potensial, namun ketersediaan lahan sebagai sumber pakan sangat terbatas

2. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran tinggi kurang baik dibandingkan dengan di dataran rendah diduga karena dipakai untuk tenaga kerja.

3. Gambaran usaha penggemukan/ pembesaran kerbau selama 90 hari dapat memberikan keuntungan Rp. 1.084.500 sehingga cukup menarik untuk usaha pokok bagi petani. Sementara itu, untuk

perbibitan, dengan asumsi bahwa updating data harus dilakukan pada saat harga berlaku namun dapat disimpulkan bahwa untuk perbibitan, meskipun peternak akan diuntungkan namun diperlukan jangka waktu yang cukup panjang

4. Untuk memperbaiki kualitas tampilan kerbau di wilayah ini perlu dilakukan program perkawinan dengan mendatangkan kerbau pejantan atau semen kerbau yang lebih unggul dari wilayah lain seperti dari Baluran Jawa Timur atau Brebes Jawa Tengah (Out breeding)

DAFTAR PUSTAKA

DITJENNAK. 2005. Budidaya ternak ruminansia

(kerbau) di Indonesia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Pros. Lokakarya Kerbau 29 – 30 Nopember 2005. Puslitbang Peternakan hlm.

KUSNADI U.,D.A.KUSUMANINGRUM,R.G.SIANTURI

dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan

peranan kerbau dalam sistem usahatani di Provinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier Puslitbang Peternakan. Bogor 17 – 18 September 2005.

KUSNADI,U.,S.ISKANDAR and M.SABRANI.1993.

Research Methodology for Crop Animal System in Hilly areas of Indonesia Crop Animal Interaction Proc. of an International Workshop. Held at Khon Kaen Thailand. MANWAN I, dan M. OKA, A. 1996. Konsep

Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Makalah Seminar Usahatani Terpadu 2 Nopember 1995. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. TRIWULANNINGSIH, E. 2005. Laporan Hasil

Penelitian Breeding dan Reproduksi Ternak Kerbau di Indonesia Balitnak Ciawi Bogor. WIRYOSUHANTO. (1980). Peternakan Kerbau di

Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Gambar

Tabel 3. Rata-rata penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau
Tabel 3 menunjukkan bahwa penampilan  produktivitas dan reproduktivitas kerbau  didataran tinggi cenderung lebih rendah  daripada dataran rendah, mungkin disebabkan  karena di dataran tinggi kerbau digunakan  sebagai tenaga kerja sehingga mempengaruhi  per
Tabel 5. Asumsi koefisien teknis dan ekonomis

Referensi

Dokumen terkait

Al-Muhasibi menjawab pertanyaan ini, “Yang wajib dilakukan manusia dalam tawakal yang difardhukan kepada mereka adalah membenarkan Allah SWT terhadap apa yang

THB L 35 Karyawan Swasta Kawasan Kampung Melayu Batu Besar Nongsa Asimptomatik. Melakukan pemeriksaan SWAB/PCR mandiri

Batas kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah dikenal pula sebagai batas-batas konsistensi atau batas-batas Atterberg (yang mana diambil dari

disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa proses pelaksanaan program Tahfidz Al-Qur‟an ini dilaksanakan dibagi menjadi dua tingkatan halaqah dan dijadwalkan

4. Pengaruh norma subyektif terhadap niat beli produk hijau. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dapat disimpulkan bahwa konstruk norma subyektif berhubungan positif

Kebiasaan membolos yang sering dilakukan oleh siswa tentu akan berdampak negatif pada dirinya, misalnya dihukum, diskorsing, tidak dapat mengikuti ujian, bahkan bisa dikeluarkan

Kemudian untuk mengetahui hasil penelitian dari ketiga objek penelitian yaitu aktifitas guru, aktifitas siswa dan minat belajar siswa dalam menggunakan metode