• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Konsep Diri

2.1.1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan pandangan diri setiap individu tentang dirinya sendiri. Worchel (dalam Syam, 2012) mengatakan bahwa konsep diri merupakan pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki individu tentang karakteristik dan ciri-ciri pribadinya. Dalam kamus psikologi menjelaskan bahwa konsep diri adalah evaluasi dan penilaian diri sendiri oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 2011). Maka konsep diri merupakan pandangan dan penilaian terhadap diri yang berkaitan dengan semua ide, perasaan keyakinan, hubungan interpersonal, dan karakteristik diri sendiri.

Menurut Deaux, Dane, dan Wringstman (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai diri. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan sebagainya. Setiap individu memiliki perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya tentang bagaimana ia merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang atau tidak senang dengan diri.

James (dalam Hutagalung, 2007) mengatakan bahwa diri (self) adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang diri sendiri yang bukan hanya

(2)

11 tentang tubuh dan keadaan fisik sendiri, melainkan juga tentang anak, istri/ suami, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, kepemilikan, uang dan lain-lain. Konsep diri menurut James lebih mengarah pada penilaian diri dari faktor luar diri yang bukan hanya penilaian terhadap diri saja.

Brehn dan Kassin menambahkan bahwa konsep diri merupakan keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri sifat) yang dimilikinya (Dayakisni & Hudaniah, 2009). Dengan demikian, maka diri (self) memberikan sebuah kerangka berfikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri sendiri. Hal tersebut termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan, dan banyak hal lainnya.

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di atas maka kesimpulannya, konsep diri merupakan cara pandang individu terhadap keyakinan, pengetahuan tentang diri yang menyangkut aspek psikologi, sosial, fisik, dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan. Oleh karena itu, konsep diri merupakan gambaran diri dan cara pandang seseorang secara menyeluruh terhadap keberadaan diri sendiri, maupun untuk memahami orang lain. Pada pengertian tentang teori konsep diri peneliti lebih mengacu pada pendapat Menurut Deaux, Dane, dan Wringstman yang menjelaskan bahwa konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan sebagainya. Setiap individu memiliki perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya tentang bagaimana ia merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang

(3)

12 atau tidak senang dengan diri. Sehingga dari pendapat tersebut dapat mendukung dalam penelitian tentang konsep diri pada pensiunan.

2.1.2. Komponen Konsep Diri

Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosial, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal yang di luar dirinya (Fitts dalam Putri, 2011). Dimensi eksternal ini meliputi empat unsur yaitu:

1. Diri fisik (physical self)

Diri fisik (physical self) berkaitan dengan keadaan seorang individu secara fisik, kesehatan, penampilan diri dan gerak motoriknya. Diri fisik ini menekankan penilaian seorang individu terhadap penampilan fisik dan bentuk tubuh, seperti cantik, tampan, jelek, tinggi, pendek, menarik, ataupun tidak menarik.

2. Diri pribadi (personal self)

Diri pribadi (personal self ) merupakan perasaan dan persepsi individu mengenai keadaan pribadinya. Penilalain pada diri pribadi ini juga dipengaruhi oleh sejauh mana individu dapat mengenal dirinya dan merasa puas terhadap diri pribadinya.

3. Diri keluarga (family self)

Diri keluarga (family self ) merupakan pandangan dan penilaian seseorang yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai individu dalam anggota keluarga, termasuk hubungan individu dengan orang-orang terdekatnya. Diri keluarga ini menunjukan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga mapun terhadap peran dan fungsi sebagai anggota keluarga.

(4)

13 4. Diri sosial (social self)

Diri sosial (social self) merupakan persepsi seseorang mengenai dirinya sebagai anggota dari lingkungan sosial dan bagaimana caranya ia dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Dengan demikian aspek konsep diri pada uraikan di atas yang merupakan dasar pada cara pandang dan penilaian diri individu terhadap dirinya sendiri. Konsep diri seseorang terbentuk karena beberapa aspek yang menyatu sebagai penilaian individual, sehingga berdampak pada apa yang akan dilakukan individu saat ini dan yang akan datang.

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri

Manusia mengenal dirinya secara alami yang didahului oleh pengenalan terhadap orang lain. Secara umum konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dan kelompok rujukan, namun tidak semua orang mempunyai pengaruh yang sama. Berdasarkan pedapat para ahli menyebutkan tiga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri yaitu terdiri dari:

a. Orang Lain

Sullyvan (dalam Rahmat, 2008) menjelaskan bahwa jika individu diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keberadaannya, maka individu tersebut akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya sendiri. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan, menyalahkan dan menolak individu tersebut, maka ia akan tidak menyenangi dirinya. Namun tidak semua orang berpengaruh terhadap konsep diri, karena biasanya yang paling berpengaruh adalah

(5)

orang-14 orang terdekat yang mepengaruhi persepsi terhadap dirinya sendiri. Ketika individu tumbuh dewasa, individu tersebut mencoba mengumpulkan penilaian dari semua orang yang pernah berhubungan dengannya.

b. Kegagalan

Kegagalan yang terus menerus dialami sering kali menimbulkan pertanyaan pada diri sendiri, kemudian berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri (Syam, 2012). Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna, kemuadian dari kegagalan ini membuat individu memandang dirinya dengan penilaian negatif.

c. Kelompok Acuan (Reference Group)

Dalam bersosialisasi dengan lingkungan seperti bersosialisasi dengan masyarakat, setiap individu memungkinkan untuk berpartisipasi dalam suatu kelompok. Seperti menjadi anggota kelompok RT, ikatan warga dan lainnya (Rahmat, 2008). Dari norma kelompok cenderung mengikat individu dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri individu, sehingga mengarahkan perilakunya pada menyesuaikan diri dengan ciri-ciri kelompoknya.

Terbentuknya konsep diri dipengaruhi oleh orang lain, kegagalan, dan kelompok rujukan. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi konsep diri, maka konsep diri pada setiap individu akan terbentuk melalui proses belajar dari awal dilahirkan yang konsep dirinya belum terbentuk, kemudian secara bertahap menjadi terbentuk hingga dewasa. Peran orang terdekat seperti keluarga dan teman dalam satu kelompok ikut terkait dalam pembentukan konsep diri individu.

(6)

15 Masa lalu yang buruk jika disikapi dengan positif maka akan menghasilkan konsep diri yang berdeda dengan individu yang menyikapi dengan negatif.

2.1.4. Jenis-Jenis Konsep Diri

Cara berfikir seseorang terhadap penilaian dirinya seringkali menjadi faktor yang mempengaruhi konsep diri. Menurut Burns (dalam Hutagalung, 2007) konsep diri terbagi menjadi dua yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif.

a. Konsep Diri Negatif

Karakteristik mengenai konsep diri negatif secara umum tercermin dari keadaan diri sebagai individu yang sangat peka dan mempunyai kecenderungan sulit menerima kritikan dari orang lain. Individu tersebut jarang merasa puas terhadap dirinnya, takut kehilangan sesuatu, takut tidak diakui, dan iri terhadap kelebihan orang lain (Hutagalung, 2007). Individu yang memiliki konsep diri negatif tidak dapat mengarahkan kasih sayangnya kepada orang lain, hal ini terjadi karena individu terlalu memfokuskan waktunya untuk mencintai diri mereka sendiri. Menurut Brooks dan Emmert (dalam Rahmat, 2008) ada empat tanda individu yang memiliki konsep diri negatif yaitu:

1. Orang yang memiliki konsep diri negatif, mereka peka terhadap kritikan, tidak tahan dengan kritikan yang diterimanya dan mudah marah. Bagi individu dengan konsep diri negatif, koreksi sering kali dipersepsikan sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya, menghindari dialog terbuka, dan mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru.

(7)

16 2. Orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian, cenderung tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada pujian, dan hiperkritis terhadap orang lain. Individu dengan konsep diri negatif kurang pandai terhadap mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.

3. Orang dengan kosep diri negatif, cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan merasa tidak diperhatikan. Sehingga individu tersebut kurang dapat melahirkan keakraban dan persahabatan. Ia tidak mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.

4. Orang dengan konsep diri negatif, bersikap pesimis terhadap kompetensi dan enggan bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Individu tersebut merasa tidak berdaya menghadapi persaingan yang merugikan dirinya.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki konsep diri negatif adalah individu yang peka terhadap kritikan, takut kehilangan sesuatu, takut tidak diakui, psimis, merasa tidak diperhatikan dan merasa tidak disenangi orang lain. Sehingga orangtua yang berkonsep diri negatif, kurang lebih mereka memiliki ciri-ciri tersebut.

b. Konsep Diri Positif

Konsep diri positif telihat pada orang yang terbuka dan tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif, memiliki rasa aman, percaya diri, dapat menerima dirinya sendiri dan

(8)

17 memandang dunia ini sebagai suatu tempat yang menyenangkan. Mereka memiliki kemampuan untuk memodifikasi nilai dan prinsip yang sebelumnya dipegang teguh oleh pengalaman yang baru, serta tidak mempunyai kekhawatiran terhadap masa lalu dan masa mendatang (Hutagalung, 2007). Sehingga orang dengan konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Rahmat (2008) menjelaskan tentang orang yang memiliki konsep diri positif di tandai dengan lima hal yaitu:

1. Yakin akan kemampuan mengatasi masalah 2. Merasa setara dengan orang lain

3. Menerima pujian tanpa rasa malu

4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat

5. Mampu memperbaiki dirinya karena individu tersebut sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

Maka individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang mampu menghargai dirinya, optimis, percaya diri, dan mampu memandang dunia sebagai sebuah tempat yang menyenangkan. Dalam kenyataannya, memang tidak ada orang yang sepenuhnya berkonsep diri negatif atau positif.

Dari dua jenis konsep diri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki konsep diri negatif, individu tersebut kurang mengetahui kekurangan dan kelebihan tentang dirinya, takut kehilangan, takut tidak diakui,

(9)

18 merasa tidak puas terhadap diri sendiri, dan sensitif terhadap kritikan. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri positif, ia memiliki kenyakinan dan percaya diri yang tinggi, terbuka, cenderung cepat tanggap terhadap situasi sekelilingnya, merasa aman, dan tidak mempunyai kekhawatiran terhadap masa lalu atau masa yang akan datang.

2.2. Dewasa Akhir

2.2.1. Pengertian Dewasa Akhir

Sebelum menjelaskan tentang perkembangan dewasa akhir, terlebih dahulu peneliti menjelaskan pengertian orangtua. Poerdawadarmita (dalam Munir, 2010) mengatakan bahwa pengertian orangtua dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah “Orang tua artinya Ayah dan Ibu”. Orangtua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya pada masyarakat Indonesia mengartikan orangtua sebagai orang yang telah memiliki anak, orang tua yang terdiri dari Ibu dan Bapak. Orang tua yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah orang tua yang sudah memasuki usia lanjut.

Usia lanjut merupakan tahapan perkembangan dewasa akhir akan memasuki masa kematian. Dalam melakukan kegiatan fisik, mereka cenderung merasa cepat lelah, dan waktu reaksi terhadap suatu stimulus tergolong lambat. Terutama bagi mereka yang terbiasa bekerja dengan menggunakan kekuatan intelektual, dapat menyebabkan kegiatan fisiknya cenderung berkurang. Hurlock (dalam Paramitadan, Setiasih, & Setianingrum, 2008) membatasi usia lanjut ke dalam dua bagian, yaitu usia lanjut dini dan usia lanjut dalu. Usia lanjut dini

(10)

19 berkisar antara 60 tahun hingga 70 tahun. Sedangkan menurut departemen kesehatan Indonesia (dalam Nursasi & Fitriani, 2002) membuat pengelompokkan dewasa akhir menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Kelompok pertengahan umur (45-54 tahun): kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakan kekuatan fisik dan kematangan jiwa.

2. Kelompok usia lanjut dini (55-64 tahun): kelompok prasenium, yaitu yang telah masuk usia pensiun dan mulai memasuki usia lanjut.

3. Kelompok usia lanjut (65 tahun ke atas): kelompok senium, yaitu kelompok usia lanjut yang dengan resiko tinggi.

2.2.2. Perkembangan Fisik

Umumnya pada perkembangan dewasa akhir mulai mengalami perubahan fisik yang melibatkan menurunnya indera sensori, motorik dan kesehatan. Beberapa perubahan fisik pada dewasa akhir sejumlah perubahan pada fisik semakin terlihat sebagai akibat dari proses penuaan, dan dapat terlihat jelas oleh pengamat biasa. Kulit yang lebih tua cenderung lebih pucat, memiliki bercak, tidak elastis, serta karena lemak dan otot menyusut menyebabkan kulit cenderung keriput. Selain itu penurunan sensori seperti pada indera penciuman menjadi kurang peka terhadap rasa dan bau, juga kepekaan terhadap rasa pahit dan masam bertambah lama dibandingkan terhadap rasa manis dan asin (Santrock, 2002). Namun, pada sebagian para lansia yang sehat, cenderung mengalami sedikit

(11)

20 penurunan dalam kepekaan terhadap rasa dan bau dibandingkan mereka yang tidak sehat.

Pada orangtua usia lanjut dapat memiliki beberapa penyakit atau dalam keadaan sakit yang meningkat (kronis). Penyakit-penyakit kronis dicirikan oleh serangan yang perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Penyakit kronis jarang muncul pada masa dewasa awal meningkat seiring bertambahnya usia dan menjadi biasa di usia lanjut. Harris (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa umumnya kondisi kronis yang membatasi kerja adalah penyakit jantung (52%), diabetes (34%), asma (27%), dan radang sendi (27%). Meskipun orangtua dewasa akhir umumnya mengalami penurunan fisik, banyak dari mereka dapat meneruskan aktivitas sehari-hari dan bekerja.

2.2.3. Perkembangan Kognitif

Pada perkembangan lansia umumnya dapat mengalami penurunan pada beberapa kemampuan seperti ingatan, memori, dan intelegensi mungkin dapat menurun seiring dengan perjalanan waktu.

Weschler (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa usia lanjut dicirikan dengan penurunan intelektual karena adanya proses penuaan yang dialami setiap orang, namun ternyata isu ini lebih kompleks. Beberapa kemampuan seperti kecepatan proses mental dan penalaran abstrak mungkin menurun seiring berjalannya waktu. Meskipun perubahan dalam kemampuan pemprosesan mencerminkan penurunan neurologis, namun masih ada variasi perbedaan antar individu yang menunjukan fungsi bukan sesuatu yang tidak bisa dihindari dan

(12)

21 dapat dicegah (Papalia, 2009). Pada beberapa penurunan di usia lanjut dapat diminimalisir, misalnya dengan melatih kemampuan kognitif dan aktif dalam aktivitas yang menggunakan kemampuan kognitif.

Ketika para lansia memperlihatkan kemunduran memori, kemunduran tersebut cenderung terbatas pada keterbatasan tipe-tipe memori tertentu. Misalnya, kemunduran cenderung terjadi pada keterbatasan memori episodik, memori yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman tertentu di sekitar kehidupan (Desmita, 2005). Kemunduran dalam memori episodik sering menimbulkan perubahan dalam hidup orangtua. Pada seseorang yang memasuki masa pensiun, yang mungkin tidak lagi menghadapi bermacam-macam tantangan penyesuaian intelektual yang berhubungan dengan pekerjaan, mereka kurang termotivasi untuk mengingat berbagai hal sehingga akan mengalami kemunduran dalam memorinya. Sementara memori lainnya menurut Fieldman (dalam Desmita, 2005) menjelaskan bahwa seperti memori sematik (memori yang berhubungan dengan pengetahuan dan fakta-fakta umum) dan memori implisit (memori bawah sadar) yang secara umum tidak mengalami kemunduran karena pengaruh penuaan.

2.2.4. Perkembangan Psikososial

Perubahan fisik masa lansia terkait perubahan pada psikososial akan sangat berpengaruh terhadap peran dan hubungan individu dengan lingkunganya. Dengan seiring bertambahnya dan dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, usia secara perlahan mulai melepaskan diri dari kehidupan sosial. Menurut Erikson pencapaian tertinggi pada masa dewasa adalah adanya rasa integritas diri,

(13)

22 suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah berhasil menyesuaikan diri dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam hidup seseorang (Papalia, 2009). Individu pada masa dewasa akhir perlu mengevaluasi dan menerima kehidupan yang telah dijalani tanpa ada rasa penyesalan besar, berarti menerima tidak sempurnaan yang ada pada diri sendiri, orang tua, anak, juga kehidupannya.

Umumnya lansia memiliki teman dekat, dan seperti halnya pada masa dewasa awal dan menengah, dengan lingkaran pertemanan mereka yang aktif akan cenderung lebih sehat dan bahagia. Para lansia yang bisa membagi perasaan, pemikiran, kekhawatiran, dan kesulitan mereka dengan teman cenderung akan menghadapi perubahan dan krisis karena penuaan dengan lebih baik. Mereka menikmati saat menghabiskan waktu dengan teman-teman mereka dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan dengan keluarga. Sama seperti halnya masa awal hidup, pertemanan berkisar pada kesenangan, sedangkan hubungan keluarga cenderung berkisar pada tugas dan kebutuhan sehari-hari (Papalia, 2009).

Permasalahan dan konflik yang dihadapi pada usia lanjit ini diatasi dengan berbagai macam cara berbeda, yang merefleksikan kebiasaan hidup, nilai dan konsep diri. Orang tua yang luwes dengan kehidupan batin yang baik, biasanya membuat tiga jenis penyesuaian diri yang memuaskan yaitu:

1. Pertama mengadakan reorganisasi, sebagai pengganti kegiatan lama dengan yang baru (seperti menjadi anktif di rumah ibadah atau di masyarakat).

2. Kedua, membuat spesialisasi yang terfokus, dimana mereka hanya memilih satu peran dan memusatkan perhatian pada peran tersebut (seperti

(14)

23 berperan sebagai suami yang baik, atau berperan sebagai seniman yang baik).

3. Ketiga menarik diri dari keterlibatan sosial yang sebelumnya aktif diikuti, tetapi mereka tetap menaruh minat terhadap dunia dan dirinya sendiri. (Desmita, 2005).

2.3. Pensiun

2.3.1. Pengertian Pensiun

Beberapa ahli mencoba mendefinisikan pensiun. Kimel (dalam Sari, 2010) mengatakan bahwa pensiun merupakan suatu isyarat sosial bahwa seseorang telah memasuki usia lanjut yang juga berarti berakhirnya masa kerja seseorang dan mulainya periode waktu luang yang panjang tanpa aktivitas rutin. Pensiun dianggap sebagai masa krisis dan transisi dari bekerja menjadi tidak bekerja. Terkadang pensiun menjadi suatu stressor kehidupan bagi orang yang menjalaninya.

Mangkunegara (2011) menjelaskan bahwa pensiun adalah pemberhentian dengan hormat oleh pihak perusahaan terhadap pegawai yang usianya telah lanjut dan dianggap sudah tidak produktif lagi atau setelah usia 56 tahun, kecuali tenaga pengajar dan instruktur dapat pensiun ketika berusia 65 tahun. Atwater (dalam Sari, 2010) mendefinisikan pensiun sebagai suatu proses pengunduran diri individu dari aktivitas atau status pekerjaan rutin. Biasanya hal ini disebabkan oleh perubahan pada usia dan kesehatan. Jadi, pensiun merupakan suatu proses dari aktif bekerja menjadi tidak aktif bekerja.

(15)

24 Secara keseluruhan dari beberapa penjalasan tentang pensiuan, penulis menyimpulkan bahwa pensiun merupakan masa seseorang berhenti bekerja sesuai dengan usia yang telah ditentukan, dari aktif bekerja menjadi tidak aktif bekerja, dan mulainya waktu luang yang panjang tanpa aktivitas rutin.

2.3.2. Fase-Fase Pensiun

Atchley (dalam Santrock, 2002) menyatakan ada tujuh fase pensiun yang dilalui oleh orang dewasa akhir. Dari tujuh fase itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu; (a) fase pra-pensiun yang terdiri dari (fase jauh, dan fase mendekat); (b) fase pensiun terdiri dari (fase bulan madu, fase kekecewaan, dan fase reorientasi); (c) fase pasca masa pensiun terdiri dari (fase stabil dan fase akhir). Dalam fase ini biasanya ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti seseorang, ketidakmampuan dalam mengurus diri sendiri, dan keuangan yang menurun. Di bawah ini merupakan penjelasan lengkap tentang fase-fase pensiun.

1. Fase jauh (the remote phase): kebanyakan individu sedikit melakukan sesuatu aktivitas untuk mempersiapkan fase pensiun. Seiring dengan bertambahnya usia pada mereka yang memungkinkan pensiun cenderung menyangkal bahwa fase pensiun akan terjadi.

2. Fase mendekat (the near phase): para pekerja mulai berpartisipasi di dalam program pra-pensiun. Program ini biasanya membantu orang-orang dewasa untuk memutuskan kapan dan bagaimana seharusnya pensiun dapat mengakrabkan diri pada keuntungan dari dana pensiun yang diharapkan akan dapat mereka terima. Selain itu, mereka bisa terlibat

(16)

25 dalam diskusi mengenai isu-isu yang lebih komprehensif, seperti kesehatan fisik dan mental (Santrock, 2002).

3. Fase bulan madu (the honeymoon phase): merupakan fase terawal dari fase pensiun dan banyak individu merasa bahagia pada fase ini. Mereka mungkin dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, dan mereka menikmati aktivitas dari waktu luang yang lebih. Akan tetapi, orang-orang dewasa yang di-PHK atau pensiun dini, mungkin mereka tidak mengalami aspek-aspek positif dari fase bulan madu ini. 4. Fase kecewa (the disenchantment phase): orang-orang dewasa lanjut

menyadari bahwa bayangan pra-pensiun mereka tentang fase pensiun ternyata tidak realistik. Setelah fase bulan madu, orang-orang dewasa lanjut seringkali jatuh dalam rutinitas. Jika rutinitas itu menyenangkan, penyesuaian terhadap fase pensiun biasanya sukses. Orang-orang dewasa yang gaya hidupnya tidak sibuk diseputar pekerjaan sebelum pensiun, lebih mungkin menyesuaikan diri dengan pensiun dalam mengembangkan rutinitas yang menyenangkan daripada mereka yang tidak mengembangkan aktivitas-aktivitas di waktu luangnya selama tahun-tahun kerjanya.

5. Fase re-orientasi (reorientation phase): pensiunan mencatat apa yang masih dimiliki, mengumpulkannya, dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan yang lebih realistik. Mereka orangtua dewasa akhir yang menjalani masa pensiun, mengevaluasi jenis-jenis gaya hidup yang memungkinkan mereka untuk menikmati kepuasan hidup.

(17)

26 6. Fase stabil (the stability phase): Orangtua dewasa akhir dapat memutuskan dengan apa yang telah dibuat berdasarkan kriteria tertentu setelah melalui proses evaluasi pilihan pada fase pensiun dan bagaimana akan menjalani keputusan yang telah dibuat tersebut. Bagi beberapa orang dewasa akhir, fase ini mengikuti fase bulan madu, tetapi bagi beberapa individu lainnya, perubahan pada fase stabil cenderung lambat dan lebih sulit.

7. Fase akhir (the termination phase): Bagi sebagian orang dewasa akhir, peranan fase pensiun digantikan oleh peran sebagai orang tua yang ketergantungan pada orang lain. Waktu luang yang penuh mungkin membosankan bagi mereka, dan mereka mungkin membutuhkan uang untuk menyokong kebutuhan hidup dirinya sendiri. Sehingga, beberapa dari mereka mungkin ada yang bekerja lagi dan seringkali menerima pekerjaan yang secara keseluruhan cenderung tidak berhubungan dengan apa yang telah mereka lakukan sebelum pensiun.

Karena usia dan alasan memilih pensiun pada setiap individu berbeda-beda, maka tidak ada waktu khusus untuk urutan waktu pada tujuh fase tersebut. Meskipun demikian, ketujuh fase tersebut memberi masukan untuk berfikir menganai cara-cara berbeda yang dapat dialami saat pensiun untuk penyesuain yang terlibat di dalamnya.

(18)

27 2.4. Penelitian Terdahulu

Konsep diri orangtua pensiun dapat ditafsirkan dari beberapa hasil penelitian terdahulu yaitu sebagai berikut:

Dalam penelitian Sari (2010) dengan judul “Pengaruh Dukungan Sosial Dan Kepribadian Terhadap Penyesuaian Diri Pada Masa Pensiun”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial dan kepribadian terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling, dengan total responden sebanyak 50 orang di PT. PLN (Persero). Hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dukungan sosial dan kepribadian secara bersama-sama terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun sebesar 57,3%. Secara parsial, dukungan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun sebesar 48,6% dan kepribadian mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun sebesar 8,7%.

Dalam penelitian Putri (2011) dengan judul “Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun (Studi Korelasional Terhadap Karyawan PT Badak Ngl, Bontang, Kalimantan Timur)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang negatif signifikan antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi pensiun. Subjek penelitian ini adalah karyawan yang akan memasuki masa pensiun pada Agustus 2011-Desember 2012 berjumlah 105 dengan sampel sebanyak 63 orang. Besar reliabilitas pada instrumen konsep diri adalah 0,879 sedangkan pada instrumen kecemasan menghadapi pensiun besar reliabilitasnya adalah 0,852. Hasil penelitian pada

(19)

28 karyawan PT Badak NGL, Bontang, menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dan kecemasan menghadapi pensiun (r = -0,601). Artinya semakin tinggi konsep diri,maka semakin rendah kecemasan menghadapi pensiun.

2.5. Kerangka Pemikiran

Pada masa usia lanjut terjadi perubahan yang mudah terlihat, seperti perubahan pada fisik, penurunan indra sensoris, dan penurunan pada kekuatan fisik. Umumnya orangtua pada kesehatan fisik merasa bahwa penurunan kekuatan fisik mulai membatasi aktivitas mereka, dan penurunan kesehatan membuat mereka tidak berdaya. Poerdawadarmita (dalam Munir, 2010) mengatakan bahwa pengertian orang tua dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah “Orang tua artinya Ayah dan Ibu”. Orangtua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya pada masyarakat Indonesia mengartikan orangtua sebagai orang yang telah memiliki anak, orang tua yang terdiri dari Ibu dan Bapak. Orang tua yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah orang tua yang sudah memasuki usia dewasa akhir.

Salah satu perubahan dalam siklus kehidupan pekerjaan adalah pensiun. Kimel (dalam Sari, 2010) mengatakan bahwa pensiun merupakan suatu isyarat sosial bahwa seseorang telah memasuki usia lanjut yang juga berarti berakhirnya masa kerja seseorang dan mulainya periode waktu luang yang panjang tanpa aktivitas rutin. Mangkunegara (2011) menjelaskan bahwa pensiun adalah pemberhentian dengan hormat oleh pihak perusahaan terhadap pegawai yang

(20)

29 usianya telah lanjut dan dianggap sudah tidak produktif lagi atau telah berusia 56 tahun, kecuali tenaga pengajar dan instruktur yang dapat pensiun di usia 65 tahun. Keharusan pensiun memberikan mereka banyak waktu luang dalam beraktivitas. Sehingga dari waktu luang tersebut dapat memberi perubahan pada konsep diri mereka, terutama di dalam masyarakat dimana keberadaan mereka biasanya dinilai dari pengertian ekonomi.

Konsep diri merupakan gambaran diri dan cara pandang seseorang secara menyeluruh terhadap keberadaan diri sendiri, maupun untuk memahami orang lain. Konsep diri dapat dipengaruhi oleh perkembangan, orang lain, kegagalan dan kelompok rujukan. Pada faktor yang mempengaruhi konsep diri, maka konsep diri pada setiap individu akan terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan dari awal dilahirkan yang konsep dirinya belum terbentu, secara bertahap menjadi terbentuk hingga dewasa. Masa lalu yang buruk jika dapat disikapi dengan positif maka akan menghasilkan konsep diri yang berdeda dengan individu yang menyikapi dengan negatif. Juga peran orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman-teman dalam satu kelompok ikut berperan dalam pembentukan konsep diri individu

Menurut Burns (dalam Hutagalung, 2007) konsep diri terbagi menjadi dua yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Konsep diri yang baik (positif) adalah gambaran diri dan cara pandang individu yang mampu menghargai dirinya, optimis, percaya diri, dan mampu memandang dunia sebagai sebuah tempat yang menyenangkan. Sedangkan konsep diri negatif merupakan gambaran diri dan cara

(21)

30 pandang individu yang peka terhadap kritikan, takut kehilangan sesuatu, takut tidak diakui, psimis, tidak diperhatikan, dan merasa tidak disenangi orang lain.

2.5.1. Skema Pemikiran

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Dewasa Akhir

Kelompok pertengahan umur (45-54 tahun)

Kelompok usia lanjut dini (55-64 tahun)

Kelompok usia lanjut (65 tahun ke atas)

Pensiunan

Konsep Diri

Jenis Konsep Diri Faktor-Faktor yang

mempengaruhi konsep diri

Perkembangan

Orang Lain

Kegagalan

Kelompok Rujukan

Gambar

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Pada uji akar unit jalur harga aset menunjukkan bahwa variabel obligasi, nilai tukar, IHK, konsumsi, investasi dan inflasi memiliki pengaruh signifikan (pada taraf nyata

Adalah investor yang apabila dihadapkan pada dua pilihan investasi yang memberikan expected return yang sama dengan risiko yang berbeda, maka ia akan lebih suka

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang berdasar

Berdasarkan hasil analisi data dan pembahasan serta kesimpulan diatas, adapun saran yang diberikan adalah diasarankan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas

Resistensi penggunaan insektisida pinjal tikus (Xenopsylla cheopis) dalam penanggulangan penyakit pes dibahas oleh Dyah mahendra Sukendra dan artikel terakhir adalah

Metode analisis data kuantitatif dilakukan untuk mengkaji kinerja keuangan BRI dengan menggunakan perhitungan nilai EVA, MVA, analisis pengaruh EVA terhadap MVA serta analisis

Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan seperti digambarkan dalam Gambar 1 dimana metode AHP-Indeks Model diterapkan untuk menentukan prioritas dan mengembangkan

Dengan pemeriksaan klinis kadang sulit menegakkan diagnosa tumor otak apalagi membedakan yang benigna dan yang maligna, karena gejala klinis yang ditemukan tergantung dari lokasi