• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Setiap orang dilahirkan dengan keadaan yang berbeda-beda. Tidak semua orang terlahir dengan keadaan yang sempurna. Beberapa orang terlahir dengan keadaan fisik ataupun mental yang kurang dari orang normal biasanya atau memiliki keterbatasan. Hal ini lah yang memicu perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan tersebut. Keadaaan dimana fisik atau mental seseorang yang tidak sempurna ini sering disebut difabel atau penyadang disabilitas. Istilah yang umum digunakan masyarakat sedikit berbeda dan memberikan stigma tersendiri terhadap penyandang disabilitas. Masyarakat sering menggunakan istilah “cacat” untuk menggambarkan keadaan seseorang yang memiliki keterbatasan atau kekurangan. Istilah ini memberikan stigma bahwa penyandang cacat tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari sehingga tidak jarang pula mengakibatkan terhambatnya pemenuhan hak bagi mereka. Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum bagi penyandang cacat, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun, istilah “cacat” sendiri sudah tidak relevan digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang dengan keterbatasannya tersebut.

Pengertian difabel atau penyandang disabilitas menurut Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (The UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UNCRPD) tercantum dalam Pasal 1, dimana yang dimaksud orang dengan disabilitas adalah termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Sedangkan menurut WHO (World Health Organization), orang dengan disabilitas atau disability adalah suatu keadaan dimana individu mengalami kekurangmampuan yang

(2)

dimungkinkan karena adanya impairment seperti kecacatan pada organ tubuh (SAPDA, 2015 : 26).

Menurut Laporan Bank Dunia dan WHO (World Health Organization) pada Tahun 2011 mengenai jumlah difabel di dunia adalah 15 persen dari total populasi dunia. Sedangkan total populasi Indonesia yang saat sensus Tahun 2010 lalu berada di angka 237,6 juta, jika diambil 15 persennya, artinya jumlah difabel di Indonesia berada di kisaran 35,7 juta orang. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Nasional (Kemenkes), penderita difabel pada Tahun 2011 berada di angka 6,7 juta jiwa atau 3,11 persen (Solider, http://solider.or.id/2014/09/15/buka-peluang-kerja-untuk-difabel, akses pada 10 Oktober 2015).

Sementara itu menurut Pusat Data Informasi Nasional (Pusdatin) Kementerian Sosial (2010), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 11.580.117 orang dengan perincian 3.474.035 adalah tuna netra/penyandang disabilitas penglihatan, 3.010.830 adalah tuna daksa/penyandang disabilitas fisik, 2.547.626 adalah tuna rungu/penyandang disabilitas pendengaran, 1.389.614 adalah tuna grahita/penyandang disabilitas mental dan 1.158.012 adalah penyandang disabilitas kronis. Berdasarkan data Pusdatin ini jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia (BKKBN, 2013) (Rahima, http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1 204:minimnya-perlindungan-hukum-bagi-perempuan-disabilitas-akhwatuna-edisi-45-&catid=40:akhwatuna&Itemid=307, akses pada 10 Oktober 2015).

Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas harus mendapat perlakuan yang sama. Selain untuk melaksanakan kehidupan pribadi maupun sosial, bahkan dalam pemberian perlindungan terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan tersebut harus sama dengan manusia pada umumnya. Pada intinya perlakuan yang sama harus diberikan dalam segala hal yang mencakup kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyatakan bahwa negara Indonesia

(3)

merupakan negara hukum, maka semua aktivitas berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi oleh hukum. Segala aktivitas yang dimaksud berarti terkait pula dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara yang memiliki kewajiban melindungi seluruh warga negara dari kepastian hukum. Setiap orang berhak mendapat perlindungan atas haknya sebagai warga negara tanpa diskriminasi.

Menurut Pasal 28D ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perundingan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Bunyi pasal tersebut sudah jelas bahwa setiap orang memiliki hak mendapat perlakuan yang sama di depan hukum, hal ini tidak terkecuali seseorang yang memiliki keterbatasan (penyandang disabilitas). Perlindungan hukum atas orang-orang dengan keterbatasan yang dimiliki adalah tanpa diskriminasi dan sama seperti yang diberikan pada setiap orang pada umumnya. Perlakuan yang sama di depan hukum dikenal pula dengan asas Equality Before the Law (Julita Melissa, Jurnal Lex et Societatis, 2013 : 163). Asas tersebut memperjelas tidak adanya diskriminasi perlakuan hukum terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan baik fisik maupun mental. Ini juga merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat ketika berhadapan dengan hukum.

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Satjipto Rahardjo, 2000 : 53). Perlindungan hukum sangat penting diberikan karena setiap orang memiliki potensi untuk menjadi korban dari tindak pidana. Korban tindak pidana merupakan bagian penting dari pihak yang harus mendapat perlindungan hukum.

Moeljatno mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, dimana yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (Adami Chazawi, 2011 : 71). Sedangkan pengertian korban dikemukakan oleh

(4)

Arif Gosita, bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita (Rena Yulia, 2013 : 49).

Munculnya korban dari tindak pidana sebenarnya tidak lepas dari peranan korban itu sendiri. Peran yang dimaksud baik yang secara sadar atau tidak sadar memicu pelaku untuk melakukan tindak pidana terhadap korban. Keadaan atau situasi tertentu dari korban dapat mengundang pelaku untuk melakukan tindak pidana. Keadaan korban yang lemah dan tidak berdaya merupakan salah satu alasan utama pelaku melakukan tindak pidana. Situasi seperti ini yang bisa saja terjadi pada difabel atau penyandang disabilitas. Keadaan fisik atau mental yang lemah memicu pelaku dengan mudah melakukan tindak pidana. Penyandang disabilitas merupakan salah satu pihak yang rentan menjadi korban dari suatu tindak pidana.

Berbicara mengenai hak yang diperoleh oleh penyandang disabilitas, salah satunya yakni terkait perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas dimaksudkan agar dapat tercapai kepastian hukum yang tanpa diskriminasi, serta menjamin adanya perlakuan yang sama di depan hukum. Penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas sehari-hari memiliki kendala atau hambatan, sehingga hal ini memicu mereka kesulitan mengungkapkan kebenaran dari sebuah peristiwa atau fakta yang terjadi. Terjadinya tindak pidana terhadap penyandang disabilitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lemahnya fisik dan mental penyandang disabilitas sehingga tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari pelaku tindak pidana. Selain itu kurangnya perhatian dan perlindungan terhadap penyandang disabilitas juga memicu adanya kejahatan yang dilakukan terhadap mereka. Selama ini masyarakat masih memandang sebelah mata terhadap penyandang disabilitas. Bahkan keadaan penyandang disabilitas yang lemah justru menjadi peluang untuk melakukan kejahatan.

(5)

Selama ini dalam proses peradilan pidana, korban penyandang disabilitas disamakan dengan korban yang memiliki keadaan normal. Hal itu yang menimbulkan kurangnya perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas. Perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sudah tercantum dalam Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CPRD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Dalam Pasal 12 dan 13 konvensi tersebut dengan tegas menerangkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak atas kesetaraan pengakuan di hadapan hukum serta negara juga memiliki tugas memberikan akses terhadap pemenuhan keadilan.

Penghormatan terhadap hak-hak bagi penyandang disabilitas tercantum jelas dalam Konvensi PBB Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCPRD) bahwa.

The UNCRPD provides a wide range of basic rights to persons with disabilities. It recognises the inherent human dignity of all human beings. Along with equality and non-discrimination as the general principles informing the Convention, Article 3 provides for dignity, individual autonomy, full and active participation and inclusion, respect for difference, and accessibility. (Smitha Nizar, Indian Journal of Medical Ethics, 2011 : 227)

(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau UNCPRD menyediakan berbagai hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas. UNCPRD mengakui martabat yang melekat pada semua manusia. Bersama dengan kesetaraan dan non-diskriminasi sebagai prinsip umum dijelaskan dalam konvensi tersebut, Pasal 3 memberikan martabat, otonomi individu, partisipasi penuh dan aktif, menghormati perbedaan dan aksesibilitas).

Indonesia juga memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang seharusnya dapat menjadi payung hukum guna memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas. Selain Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang telah lama disusun sebagai payung hukum

(6)

untuk melindungi hak-hak penyandang cacat atau penyandang disabilitas. Dalam hal perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana, dapat dilihat pula dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sering pula yang menjadi korban tindak pidana yakni penyandang disabilitas yang masih berusia anak, sehingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga menjadi payung hukum guna memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas masih sulit mendapat keadilan. Hal tersebut dikarenakan dalam proses peradilan pidana korban mengalami kesulitan untuk mengungkapkan kebenaran dari peristiwa yang dialami. Komunikasi yang terbatas tersebut membuat beberapa kasus yang dialami penyandang disabilitas sebagai korban berakhir dengan kasus yang tidak lanjut diproses atau pelaku yang pada akhirnya hanya divonis hukuman yang ringan. Trauma serta ketidaktepatan berfikir pada penyandang disabilitas juga menjadi hambatan korban dalam menjelaskan peristiwa di depan pengadilan. Disinilah pentingnya perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas. Sebagai korban yang kemudian dalam proses peradilan dijadikan sebagai saksi, korban tentu menemui kendala. Keterbatasan korban mengungkapkan peristiwa yang telah terjadi perlu pemahaman lebih. Selain itu ketepatan umur korban dengan psikologisnya berbeda, hal ini juga menyebabkan sulitnya proses pencarian keadilan.

Salah satu kasus yang terjadi di masyarakat dimana penyandang disabilitas menjadi korban dari tindak pidana adalah kasus yang terjadi di Kota Agung, Lampung yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Kota Agung dalam Putusan Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot. Tindak pidana yang terbukti yakni Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa terbukti memaksa korban yang merupakan penyandang cacat mental dan juga masih berusia anak untuk

(7)

melakukan persetubuhan dengannya. Atas perbuatan terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sejumlah Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Korban merupakan anak dan dalam keadaan tidak sempurna yakni mengalami cacat mental sejak usia 3 (tiga) tahun, korban juga merupakan seorang tuna rungu dan tuna wicara. Terdakwa yang telah melakukan perbuatan jahat tersebut bukan orang asing bagi korban, karena terdakwa merupakan tetangga korban. Proses persidangan berjalan tanpa menghadirkan korban, karena korban mengidap penyakit epilepsi. Namun, dengan beberapa alat bukti yang terungkap di persidangan telah membuktikan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan sesuai yang tercantum dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti permasalahan tentang perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang rentan menjadi korban dari suatu tindak pidana, yang kemudian dituangkan dalam bentuk penelitian hukum dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KOTA AGUNG NOMOR: 134/PID.SUS/2014/PN.KOT).

B. Rumusan Masalah

Untuk menegaskan masalah yang akan diteliti, serta memecahkan masalah dengan tepat dan dapat mencapai tujuan semula. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis merumuskan permasalahan yaitu apakah Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot sudah memenuhi rasa keadilan korban berdasarkan pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia?

(8)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah untuk menjelaskan maksud dari penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dikemukakan oleh penulis dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, sebagai beikut:

1. Tujuan Objektif

Tujuan objektif adalah tujuan umum yang mendasari penulis dalam menyusun penulisan ini. Dalam penelitian ini penulis memaparkan tujuan objektif yaitu untuk mengetahui bahwa Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot sudah memberikan keadilan terhadap anak penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia.

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif adalah tujuan pribadi penulis yang mendasari penulis dalam menyusun penulisan ini. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan tujuan subjektif sebagai berikut:

a. Untuk menambah, memperluas serta mengembangkan wawasan dan pengetahuan penulis di bidang ilmu hukum terutama bidang hukum pidana, baik teori maupun praktik dalam ranah hukum.

b. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Untuk menerapkan teori-teori dan ilmu hukum yang telah diperoleh penulis agar dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan pada masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentu sangat diharapkan adanya manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian itu sendiri, baik bagi penulis maupun bagi masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut:

(9)

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis merupakan manfaat yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum itu sendiri. Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan dan pemikiran serta landasan teoritis bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan ilmu hukum mengenai perlindungan hukum yang diberikan pada penyandang disabilitas yang menjadi korban dari tindak pidana. c. Sebagai salah satu sarana menambah referensi atau literatur yang

digunakan atau menjadi acuan terhadap penelitian atau kajian hukum sejenis pada tahap selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis merupakan manfaat yang berkaitan dengan pemecahan masalah dari penelitian hukum ini. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:

a. Guna memberikan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. b. Guna memberikan pemecahan masalah atau memberikan sumbangan

pemikiran bagi pihak-pihak terkait terhadap permasalahan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban dari suatu tindak pidana.

c. Guna meningkatkan pola pikir yang dinamis dan kritis bagi masyarakat dan juga penulis sendiri dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

E. Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 35). Dalam penelitian hukum agar mendapat hasil

(10)

yang tepat dan baik, diperlukan suatu metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyusun penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu penelitian hukum yang bersifat preskriptif bukan deskriptif (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 33). Penelitian ini dikatakan penelitian hukum normatif yakni dilihat dari tinjauan dalam penelitian ini, penulis meninjau dari sisi perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini hanya bersifat sebagai pelengkap untuk memperkuat hasil penelitian bukan sebagai data utama. Wawancara dilakukan dengan narasumber yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Komunitas Peduli Difabel.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat perspektif dan terapan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, sebagai ilmu yang bersifat preskripkitf, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-kosep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 22).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari segala aspek terkait isu hukum yang diteliti untuk menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach), yakni terhadap pengaturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

(11)

masalah pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai bentuk perlindungan hukum. Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 133). Selain itu, dalam penulisan hukum ini digunakan pula pendekatan kasus (case approach), dimana dilakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan erat dengan isu yang dibahas dalam penulisan hukum ini yakni terkait penyandang disabilitas yang menjadi korban dari suatu tindak pidana dan kaitannya pada proses peradilan pidana dalam sistem hukum di Indonesia. Berdasarkan kasus tersebut akan dijabarkan argumentasi yang dapat memecahkan isu hukum yang menjadi permasalahan dalam penulisan hukum.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder atau bahan pustaka. Berdasarkan jenis data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini, yakni sumber data sekunder, yang kemudian sumber penelitian tersebut dibedakan dalam bahan hukum antara lain sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas.

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(12)

6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities. 7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

9) Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar, majalah, makalah, internet dan dokumen-dokumen terkait, yang dalam penelitian ini dapat membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum yang berhubungan dengan perlindungan hukum dan korban tindak pidana terhadap penyandang disabilitas.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang menunjang atau memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ensiklopedia terkait penyandang disabilitas.

5. Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang akan digunakan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang diteliti maka diperlukan adanya teknik pengumpulan data. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan penulis yakni penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data dengan mempelajari, menganalisis, serta mengkaji lebih dalam data-data tersebut yang berkaitan dengan penelitian. Teknik ini dilakukan guna memperoleh landasan teori yang tepat untuk menemukan jawaban atas permasalahan

(13)

yang diteliti. Studi kepustakaan diperoleh dari bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, surat kabar, majalah, makalah, media internet, serta sumber lain yang terkait dengan masalah yang diteliti.

6. Teknis Analisis Data

Teknik analisis data dalam suatu penelitian memiliki peran penting untuk dapat mendapatkan jawaban yang tepat atas penelitian yang dilakukan. Teknis analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini yakni dengan cara mengumpulkan bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau sumber data sekunder lain yang kemudian diuraikan dan dirangkai sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan oleh penulis. Bahan hukum yang diperoleh tersebut diolah dengan logika deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 393).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran yang jelas terkait keseluruhan dari penulisan hukum ini, maka akan dibagi menjadi 4 (empat) bab, sebagai berikut:

BAB I (Pendahuluan) menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis permasalahan yang dikaji.

BAB II (Tinjauan Pustaka) menguraikan mengenai penyandang disabilitas dan hak asasi manusia, kejahatan terhadap kesusilaan dan perlindungan bagi korban kejahatan terhadap kesusilaan, perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia.

BAB III (Hasil Penelitian dan Pembahasan) menguraikan mengenai pengaturan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban

(14)

tindak pidana dan perlindungannya dalam proses peradilan pidana di dalam sistem hukum di Indonesia, atas perlindungan tersebut akan memenuhi rasa keadilan bagi penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana.

BAB IV (Simpulan dan Saran) menguraikan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian saran sebagai masukan atau pertimbangan terhadap pentingnya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, sakralitas pembacaan barzanji dalam tradisi masyarakat Bugis dalam kegiatan Maulid Nabi memiliki perbedaan makna dengan pembacaan pada upacara lainnya seperti khitanan,

[r]

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

Namun sangat disayangkan dari dulu sampai saat ini belum mampu mencapai target yang harapkan karena selalu dihadapkan pada permasalahan yang sama, yaitu penempatan transmigran

Sementara dari budaya Jawa, tradisi kepercayaan ruh dan benda-benda ghaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu- Budha pada

Key ​ ​berbentuk​ ​hardcode​ ​di​ ​aplikasi​ ​sehingga​ ​dengan​ ​mudah​ ​di​ ​lihat​ ​menggunakan tehnik ​ ​reverse​

Hasil pengujian adanya hubungan antara supervisi kepala ruangan dengan kepuasan perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Liunkendage Tahuna, menunjukkan adanya kemiripan

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan