• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bimbingan Konseling pada Siswa Underachiever mengenai Profil Self-Comppasion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bimbingan Konseling pada Siswa Underachiever mengenai Profil Self-Comppasion"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Diterima: September 2020. Disetujui: Oktober 2020. Dipublikasikan: Desember 2020 369 DOI 10.15575/irsyad.v8i4.2464

Bimbingan Konseling pada Siswa Underachiever mengenai

Profil Self-Comppasion

Meilanita Azhari Fauzi*, Anne Hafina, Dadang Sudrajat Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas

Pendidikan Indonesia

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil self-compassion pada siswa underaciever kelas XI di SMAN 11 Bandung dan bentuk layanan bimbingan konseling yang disampaikan. Underachiever menunjukkan kondisi siswa yang kehilangan tujuan dalam berprestasi yang disebabkan oleh kurangnya perencanaan, penetapan tujuan, manejemen waktu untuk kegiatan belajar dan evaluasi diri. Self-compassion berperan penting dalam achievement goal untuk pembentukan emosi dan kognisi diri siswa. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dengan kuisoner, mewawancarai, dan mengobservasi. Subjek penelitian adalah empat orang siswa kelas XI di SMA Negeri 11 Bandung yang teridentifikasi underachiever yang memiliki IQ yaitu 130+ untuk menjadi patisipan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan keempat pertisipan memiliki self-compassion yang rendah yang berarti keempat siswa harus mendapatkan layanan bimbingan dan konseling untuk dapat mengembangkan self-compassion pada diri siswa tersebut.

Kata Kunci : self-compassion, siswa, underachiever ABSTRACT

This research aims to know the profile of self-compassion on underachiever students in the 11th grade of SMAN 11 Bandung and also to know the form of the guidance and counselling given. Underachiever shows the conditions of the students who are missing the objectives in achieving goals caused by a lack of planning, goal setting, time management for learning activities and evaluation. Therefore, self-compassion plays a significant role in the achievement of goals in the school for self emotion and self- cognition. The research approach uses qualitative. Data collection by questionnaire, interviewing, and observing. The subject of the research is four students of 11th-grade students at SMA Negeri 11 Bandung that classified as underachiever students yet have a more than 130 IQ. The findings show that the participants have low self-compassion which means they should get guidance and counseling services to be able to develop self- compassion. Keyword: self-compassion, students, underachiever

(2)

370 Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 bab II Pasal 3 paradigma bimbingan dan konseling dalam Permendikbud No. 111 tahun 2014 tentang Pedoman Bimbingan dan Konseling memandang setiap siswa/konseli memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Fungsi dan tujuan dari bimbingan dan konseling itu salah satunya fasilitasi, yaitu memberikan kemudahan kepada siswa dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek pribadinya untuk membantu mengembangkan potensi. Siswa yang berada pada masa remaja sering mengalami berbagai permasalahan. Maka dari itu, Bimbingan dan Konseling membantu siswa untuk memenuhi tugas perkembangan remaja yang dapat mempengaruhi diri siswa dalam berperilaku sehingga agar menjadi pribadi yang optimal.

Tantangan yang harus dihadapi siswa dalam menjalani tugas perkembangan di usia remaja, salah satunya adalah suasana hati. Menurut Hall (dalam Santrock, 2011) masa remaja adalah masa bergejolak yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati yang lebih sensitif. Perkembangan remaja yang penuh konflik adalah hasil dari proses biologis, proses kognitif, dan proses sosioemosional (Santrock, 2011). Menjalani proses perkembangan di usia remaja terdapat tugas- tugas yang harus dicapai oleh siswa. Jika siswa dapat mencapai tugas-tugas yang telah dijalani, maka siswa mendapatkan kesejahteraan dan pencapaian kepuasan hidup dalam dirinya karena telah berhasil mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalani tugas perkembangan. Namun sebaliknya, jika siswa tidak berhasil mencapai tugas perkembangannya, maka siswa tidak akan merasakan kesejahteraan dan tidak mendapat pencapaian kepuasaan terhadap dirinya yang akhirnya menilai diri negatif karena suatu kegagalan atau kesulitan mengakibatkan terhambatnya tugas-tugas perkembangan selanjutnya (Nurihsan, & Agustin, 2013).

Siswa yang mengalami kegagalan, kesulitan, atau peristiwa buruk tidak dapat mengendalikan diri sendiri saat mengalami peristiwa tersebut memungkinkan siswa memandang negatif diri sendiri dan menyebabkan terhambatnya proses perkembangan yang sedang dialami siswa. Memandang diri sendiri dengan negatif ketika mengalami peristiwa buruk adalah indikasi dari rendahnya self-compassion yang ada dalam diri (Yarnell & Neff, 2012). Self-compassion merupakan sikap memandang positif suatu kegagalan atau kesulitan yang dialami oleh individu dan itu akan membantu siswa dalam meminimalisir terhambatnya pencapaian tugas perkembangan (Hidayati, 2015).

IQ memiliki peranan besar dalam keberhasilan siswa untuk mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program pendidikan, dari berbagai penelitian pun IQ erat kaitannya dengan hasil belajar. Siswa yang memiliki IQ diatas rata-rata namun

(3)

Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 371

prestasi belajar yang diperoleh tidak mendapatkan hasil yang baik atau dapat dikatakan rendah disebut dengan istilah underachiever (Rahmawati, 2013).

Siswa yang memiliki IQ 130 keatas yang menurut Santrock (2009) dapat termasuk siswa gifted. Menurut Idrus (2013) siswa gifted atau berbakat berada dalam tingakatan IQ 130-140 adalah moderate gifted, 140-150 highly gidted, dan +150 jenius. Jika siswa yang memiliki IQ diatas 130 tersebut memiliki prestasi yang rendah dapat dikatakan siswa underachiever gifted (Idrus, 2013).

Perilaku yang ditunjukkan siswa underachiever menurut guru BK yaitu menunjukan rasa malas dalam mengerjakan tugas, saat ulangan siswa tidak mengerjakan dengan maksimal sehingga nilai yang didapat kurang dari kriteria ketuntasan minimal di sekolah, motivasi belajar rendah dengan sering terlambat datang ke sekolah, terdapat siswa yang bolos sekolah dikarenakan tidak sempat mengerjakan tugas menandakan siswa cenderung menunjukkan perilaku yang negatif di lingkungan sekolah, dan banyak melakukan kegiatan di luar sekolah sehingga sampai ke rumah larut malam sehingga tidak dapat belajar karena sudah letih. Dari perilaku yang ditunjukkan termasuk kepada rendahnya sikap self- compassion karena menunjukkan suatu kesulitan, pengalaman pahit, dan emosi negatif yang dialami oleh siswa yang berkaitan dengan rendahnya sikap self- compassion. Diperoleh hasil studi pendahuluan di SMA Negeri 11 Bandung siswa yang teridentifikasi underachiever di kelas XI berjumlah 17 orang kemudian terdapat siswa yang memiliki sikap self- compassion rendah yang berjumlah 4 orang siswa yang akan menjadi subjek studi kasus di dalam penelitian.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tingkat capaian self esteem siswa underachiever sebagian besar masih memerlukan pengembangan self esteem dalam upaya meningkatkan prestasi belajarnya. Selain itu, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara self esteem dengan prestasi belajar siswa underachiever. Hal ini berarti, semakin tinggi self esteem semakin tinggi pula prestasi belajar siswa underachiever (Mahdoni, Syahniar, Bentri, 2017).

Adapun penelitian yang dilakukan Rahmawati (2013) ditemukan bahwa banyak keadaan yang dapat menyebabkan seorang anak menjadi underachiever, di antaranya adalah: pengalaman belajar anak yang tidak menyenangkan ketika berada di kelas, gaya belajar siswa yang berbeda dengan gaya mengajar guru dan guru tidak mentolerir perbedaan itu, tekanan dari orangtua yang mungkin bagi anak menjadi suatu yang membuat mereka frustasi sehingga mengakibatkan prestasi buruk, dan masih banyak lagi hal yang dapat menyebabkan anak menjadi seorang underachiever.

Sejalan dengan Rahmawati (2013), Arfalah, Rosra dan Giyono (2014) mengungkapkan bahwa sampel penelitian dari penelitian yang mereka lakukan, yaitu HT, menunjukkan bahwa perilakunya dalam menghindari remedi dan tidak

(4)

372 Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382

mengerjakan tugas-tugas sekolah yang lebih dikenal dengan istilah academic avoidance behavior atau perilaku menghindari bidang akademik, lebih tertarik pada kegiatan di luar kegiatan sekolah, bergantung pada orang lain dalam mengerjakan tugas-tugasnya dan mudah terkena pengaruh buruk dari orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian terdahulu berfokus pada penyebab atau faktor-faktor yang menyebabkan siswa masuk ke dalam kategori underachiever. Belum ada yang mengungkapkan bentuk layanan bimbingan konseling yang bisa diberikan kepada siswa underachiever, terlebih berkaitan dengan self-compassion mereka.

Subjek penelitian ini ialah 4 orang siswa underachiever yang memiliki prestasi paling rendah yaitu dibawah KKM, didasarkan pada penilaian perbandingan dengan rata-rata hasil nilai penilaian tengah semseter (PTS) semester satu dan dua, penilaian akhir semeseter (PAS) 1. Keempat siswa adalah MZ, IR, JF, RF.

Terdapat 3 proses dalam penelitian di antaranya persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Tahap persiapan yaitu melakukan studi pendahuluan untuk menentukan subjek siswa underachiever dengan mengumpulkan nilai ujian yang dibawah KKM, dan melakukan penyebaran kuisoner dengan menggunakan skala pengukuran compassion dari Neff (Neff, 2012) untuk mengukur aspek self-kindness vs self- judgment, common humanity vs isolation, dan mindfulness vs over identification

pada siswa yang telah teridentifikasi underachiever.

Tahap pelaksanaan yaitu melakukan wawancara dan observasi kepada siswa empat siswa yang teridentifikasi underachiever dan memiliki self- compassion rendah. Tahap pelaopran yaitu melapokan hasil temuan sikap self- compassion yang dimiliki siswa underachiever.

LANDASAN TEORITIS

Beberapa psikolog mencoba memperkenalkan konsep alternatif mengenai sikap dan hubungan yang lebih baik dengan diri sendiri karena beberapa tahun terakhir terdapat literatur yang mengkritik mengenai penggunaan self-esteem adalah sebagai ukuran dalam kesehatan psikologis. Nyatanya terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa tingginya self-esteem yang berkolaborasi positif dengan narsisme, self-absorption, self-centeredness, dan kurang peduli terhadap orang lain (Neff, 2003).

Beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan dialog antara pemikiran filosofis barat, psikologi timur, dan khususnya budhisme untuk memperkenalkan cara-cara ba ru untuk memahami dan memunculkan kesejahteraan mental (Neff, 2003). Menurut Bannet-Goleman, Brown, Hahn, Kornfield dan Salzberg bahwa

(5)

Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 373

salah satu yang penting dalam konsep budhisme dan relevan untuk konsep diri dan sikap diri adalah konstruksi dari compassion yang dapat diartikan sebagai welas asih atau belas kasih sayang (Neff, 2003).

Tokoh yang membahas dan mendalami mengenai konsep self-compassion adalah Kristin Neff. Neff melakukan sebuah pengamatan terhadap konsep compassion dari penjelasan tulisan-tulisan guru Budha yang memberikan wawasan bagi Neff untuk menetapkan bahwa self-compassion merupakan rasa belas kasih sayang yang berkaitan dengan diri individu sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan peristiwa negatif yang dialami (2003).

Menurut Neff (2003) konsep dari self-compassion berasal dari tiga komponen dasar. Setiap komponen self-compassion memiliki dua bagian konstruk yaitu sebuah konstruk dan negasi dari konstruk. Berikut pemaparan Komponen-komponen self kindness vs. self-judgment, common humanity vs. isolation, dan mindfulness vs. over identification.

Menurut Reis dan McCoach (2000) mengatakan underachiever terdapat ketidak sesuaian antara kemampuan siswa dengan prestasi yang didapatkan. Davis dan Rimm pun menjelaskan hal yang hampir serupa dengan Reis dan McCoach underachiever terjadi jika terdapat ketidak sesuaian antara prestasi sekolah siswa dan indeks potensi dari hasil tes intelegensi, kreativitas, atau dari data observasi, di mana tingkat prestasi sekolah lebih rendah dari pada potensi yang dimiliki oleh siswa (dalam Rahmawati, 2013).

Adapun Makmun (2001) menjelaskan siswa underachiever adalah siswa yang memiliki prestasi rendah dari pada perkiraan hasil tes intelektual mereka. Dan siswa underachiever memiliki prestasi belajar yang rendah dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki diatas rata-rata (Gustian, 2002).

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan siswa yang teridentifikasi underachiever adalah siswa yang memiliki kemampuan intelektual dan potensi yang tinggi namun prestasi belajar yang dihasilkan rendah karena memiliki masalah belajar dan kurangnya usaha belajar yang baik di sekolah.

Dowdall dan Whitmore (1980) menjelaskan karaketristik dari underachiever pada umumnya berkaitan dengan prestasi akademik yang rendah. Selain prestasi akademik yang rendah, sikap persepsi diri yang rendah, sikap negatif pada sekolah, sikap negatif pada guru, sikap negatif pada kelas, motivasi yang rendah, rendahnya self-regulation, dan rendahnya menentukan tujuan (dalam Seigel dan McCoach, 2003).

Faktor-faktor penyebab underachiever yaitu siswa yang mengalami kondisi fisik seperti salah satunya mengalami gangguan pendengaran (Rahmawati, 2013);

(6)

374 Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382

kondisi psikis seperti yang dijelaskan oleh Clark (1992); kondisi pribadi seseorang yang dapat menyebabkan underachiever yaitu seseorang yang berada dalam tekanan untuk mencapai kesempurnaan, memiliki sensitivitas yang tinggi dan kurangnya kemampuan sosial; selanjutnya keluarga pun bisa menjadi penyebab siswa menjadi underachiever sepertipsikap otoriter orangtua yang berpeluang untuk menjadi penyebab underachiever (Munandar, 2002) lalu faktor lingkungansekolah, menurut Clark (1992) terdapat beberapa kondisi lingkungan sekolah yang dapat menyebebkan siswa underachiever di antaranya adalah lingkungan sekolah yang tidak mendukung terpenuhinya anak berbakat dan prestasi akademik siswa kurang diperhatikan oleh sekolah; yang terakhir adalah faktor lingkungan masyarakat seperti anak merasa terbebani oleh harapan dari lingkungan sekitar yang menekan supaya dapat menjadi anak yang berprestasi disegala bidang (Hawadi, 2004).

Siswa underachiever yang memiliki sikap self-compassion yang rendah harus segera dibantu agar tidak menghambat tugas perkembangan yang sedang dijalani, salah satunya dengan melakukan layanan konseling untuk meningkatkan atau mengembangkan compassion. Untuk membantu meningkatkan sikap self-compassion, Neff dan Gemer (2010) telah mengembangkan delapan self-compassion exercise untuk membantu individu atau siswa yang teridentifikasi memiliki rendahnya self-compassion yang dimiliki.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil yang ditemukan SMA Negeri 11 Bandung memiliki 17 orang siswa underachiever di kelas XII. Ke-17 siswa memiliki sikap self-compassion diantaranya 10 siswa berada dikategori sedang, 4 siswa berada dikategori rendah, dan 3 siswa berada dikategori tinggi. Ditarik kesimpulan siswa SMA Negeri 11 Bandung yng teridentifikasi underachiever berada dikategori sedang.

Empat siswa yang memiliki self- compassion rendah yaitu MZ, IR, JF, dan RF. Keempat siswa diteliti secara mendalam dengan wawancara dan observasi. Sikap self-compassion pada diri MZ dilihat dari seluruh siswa yang teridentifikasi underachiever termasuk ke dalam katerogi yang rendah dari pada yang lain. MZ memiliki rendahnya sikap self-compassion pada aspek mindfulness. Jika dilihat dari hasil wawancara MZ kurang memiliki sikap dalam aspek self-kindness dan mindfuless yang mana MZ cenderung menunjukkan sikap self-judgment dan over identifiation yang mana MZ memang kurang dalam memiliki rasa peduli terhadap diri sendiri, cenderung untuk menghakimi diri sendiri dan kurang dapat merasakan perasaan yang sebenarnya ketika sedang mengalami situasi yang buruk dengan melebih-lebihkan perasaan yang dirasakan.

(7)

Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 375

judgment dan konstruk negatif dari aspek mindfulness yaitu over identification. Self-judgment yaitu dalam indikator “siswa cenderungan memiliki tindakan menghakimi diri sendiri atas kekurangan dalam diri” (A2-I2) ditunjukkan pada pernyataan “ketika dihadapkan pada masa yang benar-benar sulit, saya cenderung bersikap keras terhadap diri sendiri” (P-11) dan MZ menjawab sering melakukannya, hal tersebut ditunjukkan pada wawancara ketika menanyakan hal yang benar-benar sulit adalah ketika dia tidak dapat mengontrol emosi nya, lalu ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika dia tahu tidak dapat mengontrol emosi dan itu adalah kekuranagn yang dimilikinya MZ cenderung bersikap keras pada diri “Ya sedih aja sih bu kenapa gabisa ditahan bodo banget suka ga mikir panjang padahal kadang kalau dipikir lagi mah ngapain marah sampe kaya gitu cuman ya mikirnya setelah marah jadi yaudah” (W1-MZ-01082019).

Hasil dari observasi MZ pun menunjukkan MZ melakukan sikap yang tidak baik kepada dirinya sendiri dengan tidak mengerjakan tugas bahasa inggris sampai beberapa kali sehingga dirinya diperintahkan oleh guru mata pelajaran untuk menghadap guru BK dan pada jam B.inggris pun MZ sempat memainkan HP lalu ditegur, setelah ditegur MZ tertidur hingga akhir pelajaran ini menunjukkan bahwa MZ tidak peduli akan dirinya sendiri setelah mengalami kegagal dalam mengerjakan tugas yang beberapa kali tidak dikerjakan karena alasannya adalah ketiduran.

Hasil yang didapatkan dalam melakukan studi kasus terhadap MZ adalah teridentifikasi underachiever karena terdapat ketidak sesuaian antara prestasi sekolah siswa dan indeks potensi dari hasil tes intelegensi (dalam Rahmawati, 2013, hlm.2). Memiliki rendahnya sikap self- compassion yang ditunjukkan pada hasil keselurahan gambaran sikap self- compassion pada siswa underachiever di SMA Negeri 11 Bandung dan memiliki rendahnya pada aspek self-kindness dan mindfulness ditunjukkan dengan hal-hal yang sudah dijelaskan diatas yaitu kurangnya sikap peduli pada diri sendiri dengan menunjukkan perilaku menghakimi secara negatif kedalam diri dan yang paling sering dilakukan MZ adalah dan melebih- lebihkan perasaan yang dialami itu termasuk kepada indikasi rendahnya self-compassion (Neff, 2011).

Sikap self-compassion pada IR dilihat dari seluruh siswa teridentifikasi underachiever termasuk ke dalam kategori rendah. Dari gambaran umum IR memiliki rendahnya sikap self-compassion pada aspek self- kindness dan common humanity. Dalam hasil wawancara IR kurang memiliki sikap dalam aspek self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Dalam hasil observasi yang ditemukan rendahnya sikap self-kindness yang di tunjukkan ketika tidak peduli pada saat ditegur oleh guru mata pelajaran karena tidak memperhatikan hingga beberapa kali terkena teguran.

(8)

376 Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 judgment dalam indikator “siswa cenderungan memiliki tindakan menghakimi diri sendiri atas kekurangan dalam diri” (A2-I2) ditunjukkan pada pernyataan “ketika dihadapkan pada masa sulit, saya cenderung bersikap keras terhadap diri sendiri” (P-11) dan dijawab sering oleh IR, begitu pula pada saat wawancara menunjukkan bahwa memang IR cenderung bersikap keras ketika mengalami kegagalan dalam berkompetisi untuk menjadi ketua osis yaitu dengan bentuk belum menerima kekelahan IR tidak dapat menjadi ketua osis sehingga dia mengundurkan diri dari osis dan menarik diri dari teman-temannnya lalu sering tidak fokus pada saat pembelajaran sedang berlangsung ditunjukkan dengan ucapannya yaitu “Kecewa bu sampe sekarang juga masih kaya gimana gitu cuman aku alihin aja ke eskur debat sekolah sama karib bu. Jadi ga terlalu kepikiran teuing.” (W2-IR- 02082019) dan “Iya bu jadi males gitu jadi sempet kan nilai nya jelek-jelek terus kan malu juga sama temen-temen bu jadi minder juga aku” (W2-IR-02082019).

IR sangatlah rendah dalam self-kindness karena belum menerima dirinya yang kalah dalam mencalonkan diri menjadi ketua osis sehingga perasaan kecewannya menjadi tidak baik karena dilebih-lebihkan sehingga merembet kepada permasalahan belajar di kelas dan sempat menarik diri dari teman- temannya karena perasaan malu. Terdapat penelitian menurut Kristin Neff yang menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki self-compassion yang tinggi akan dapat merasakan kenyamanan dalam kehidupan sosial karena dapat membangun keterampilan sosial yang baik dan dapat menerima diri apa adanya (dalam Neff, Rude & Kirkpatrick, 2007) dan terbukti karena IR memiliki rendahnya self-kindnes dan merempbet kepada rendahnya common humanity dan mindfulness IR menjadi tidak merasa nyaman dalam kehidupan sosial dan menurut segrin (2000) siswa yang mengalami depresi akibat buruknya keterampilan sosial yang dimiliki maka dapat mengakibatkan siswa menjadi underachiever.

Sikap self-compassion pada diri JF dilihat dari gambaran seluruh siswa yang teridentifikasi underachever termasuk ke dalam kategori yang rendah dari pada teman-temannya. JF memiliki rendahnya sikap self-compassion pada aspek common humanity dan cenderung dapat berpotensi self-judgment dalam gambaran seluruh siswa yang teridentifikasi underachiever. Jika dilihat dalam hasil wawancara JF menunjukkan rendahnya aspek self- kindness, common humanity, dan mindfulness. JF menunjukkan sikap kecewa pada saat tidak memenangkan pertandingan dan berakhir dengan selalu menyalahkan dirinya dan merasa malas karena masalah yang di alami seperti ucapannya “Iya bu tapi kalahnya teh gara-gara aku karena aku gabisa masukin bola disaat pas penalti bu jadi we kalah padahal kan bisa menang” (W2-JF-07082019) perilaku ini menandakan JF memiliki kecenderungan self-judgment karena dalam hal ini JF sangat menyesali apa yang terjadi “Iya minta maaf cuman ya tetep aja bu kecewa sama diri sendiri” (W2-JF- 07082019).

(9)

Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 377

karena JF suka memperhatikan guru namun memang ketika ditanya atau ditunjuk untuk mengerjakan tugas di depan kelas, presentasi di depan kelas JF cenderung menghindar dan tidak bisa menjawab pertanyaaan karena menurut penuturannya dia pernah mengalami pengalaman buruk sehingga tidak merasa percaya diri ketika harus berdiri depan kelas atau menjawab pertanyaan dari guru “Karena waktu itu teh pernah tampil ke depan tapi apa yang diomongin teh salah ternyata bu akhirnya malu di depan kelas tuh” (W1-JF-06082019) ini adalah bentu kecemasan yang dialami oleh JF. Dalam observasi pada pelajaran ekonomi pun ketika ditanya dia cenderung gugup dan tidak menjawab pertanyaan dari guru tersebut. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi sikap self-compassion lingkungan sekolah dalam pertemanan maupun prestasi yang dicapai sehingga JF mengabaikan belajar dan bersikap tidak peduli pada diri sendiri karena masalah di sekolah yang dihadapi oleh JF.

Hasil yang di dapatkan dalam melakukan studi kasus terhadap JF adalah dia siswa yang teridentifikasi underachiever dan memiliki sikap self-compassion yang rendah ditunjukkan dengan hasil keseluruhan gambaran sikap self-compassion pada siswa di SMA Negeri 11 Bandung yang rendah pada aspek common humanity dan cenderung berpotensi melakukan self- judgment dan di dukung oleh hasil wawancara yang menunjukkan bahwa JF memiliki compassion yang rendah pada aspek self-kindness, common humanity, dan mindfuless.

Sikap self-compassion pada diri RF dilihat dari seluruh siswa yang teridentifikasi underachiever termasuk ke dalam katerogi yang rendah dari pada teman-temannya yang lain. RF memiliki rendahnya sikap self- compassion dilihat dari gambaran umum pada aspek self-kindness dan common humanity. Dilihat dari hasil wawancara RF memiliki sikap self-judgment, isolation, dan over identification yang berarti menunjukkan RF memiliki kecenderungan rendah dalam aspek self-kindness, common humanity, dan mindfulness.

Terdapat kesamaan dalam menjawab penyataan pada konstruk negatif dari aspek self-kindness yaitu self-judgment di dalam angket, RF menjawab selalu pada indikator “siswa cenderung memiliki tindakan menghakimi diri sendiri atas kekurangan dalam diri” (A2-I2) pada penyataan “Ketika dihadapkan pada masa yang benar-benar sulit, saya cenderung bersikap keras terhadap diri sendiri.” (P-11) dalam hasil wawancara ditujukan dengan RF sering menghakimi kekurangan yang dimilikinya ketika menceritakan masalah nya ketika berada dimasa yang sulit “Karena saya gendut bu” (W123-08082019) dan RF berpikir bahwa dirinya jelek “Kalau misalkan mikiran masalah yang dibully teh suka mikir salah aku apa aku teh sejelek itu gitu ya apa gimana gitu bu. Terus kenapa juga aku bodoh banget diem aja diejek kaya gitu terus disuruh-suruh kata gitu cuman ya udah kelewat juga jadi yaudah makannya mikir kalau banyak temen mungkin aku bakal makin dibully makannya aku milih untuk ga temenan makannya dibawa ke psikolog sama orangtua karena ya gitu efeknya jadi kemana-mana.” (W123- 08082019).

(10)

378 Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382

Hasil yang didapatkan dalam melakukan studi kasus pada RF adalah teridentifikasi underachiever karena terdapat ketidak sesuaian antara prestasi sekolah siswa dan indeks potensi dari hasil tes intelegensi (dalam Rahmawati, 2013, hlm.2). Memiliki rendahnya sikap compassion dari ketiga aspek yang ada yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness ditunjukkan dengan hal-hal yang sudah dijelaskan diatas yaitu kurangnya sikap peduli pada diri sendiri dengan menunjukkan perilaku menghakimi secara negatif kedalam diri, memiliki pemikiran semua orang tidak mengalami pengalaman sulit yang dia hadapi dan cenderung berpikir bahwa dia sesorang yang kurang bahagia sehingga cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya, dan melebih-lebihkan perasaan yang dialami itu termasuk kepada indikasi rendahnya self-compassion (Neff, 2011).

Kesimpulan yang didapatkan dari keempat kasus terdapat masalah yang sama dari keempat siswa ini yaitu kurangnya sikap self-kindnesss karena menghakimi diri sendiri ketika mengalami suatu kegagalan yang dialami sehingga mereka menjadi rendah diri. berikut tabel untuk memperjelas sikap self-compassion yang dimiliki keempat siswa:

Tabel 1.1. Profil self-compassion pada Siswa Underachiever

Aspek Self-compassion Masalah dari Kasus Siswa Underachiever

Self-kindness Keempat siswa kurang memiliki kebaikan pada diri sendiri dengan menghakimi diri sebagaimana konstruk self-kindness yaitu self- judgment dan keempat siswa menunjukkan perilaku menghakimi diri sendiri ketika menghadapi kegagalan dan kesulitan dalam hidupnya.

Common humanity Keempat siswa lebih sering berpikiran kegagalan yang dialami tidak dialami oleh semua orang dan saat mengalami kegagalan atau kesulitan dalam hidup cenderung menjauh dari lingkungan sekitar sehingga menunjukan konstruk negatif yaitu isolation. Mindfulness Keempat siswa kurang memiliki perasaan

dalam mengontrol emosi sehingga yang dikeluarkan terkesan dilebih-lebihkan dan termasuk kepada konstruk negatifnya yaitu overidentification.

Keempat siswa yang telah digambarkan membutuhkan layanan responsif dari guru bimbingan dan konseling. Terdapat delapan self-compassion exercise yang

(11)

Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 379

dapat membantu siswa dalam emngembangkan self-compassion (Neff, 2011) yaitu (1) How would you treat a friend?; (2) Self- compassion Break; (3) exploring self- compassion through writing; (4) Supportive touch; (5) Changing your critical self-talk; (6) Self-compassion journal; (7) Identifying what we really want; (8) Taking care of the caregiver. Self-compassion exercise tidak hanya digunakan untuk meningkatkan individu atau siswa yang memiliki self- compassion yang rendah namun, dapat mengembangkan individu atau siswa yang sudah memiliki sikap self-compassion yang sedang maupun tinggi.

PENUTUP

Analisis hasil penelitin mengenai profil self-compassion pada siswa underachiever di SMA Negeri 11 Bandung tahun ajaran 2019/2020, menghasilkan kesimpulan yang dijabarkan. Berikut pemaparannya. Secara umum self-compassion yang dimiliki siswa underachiever di SMA Negeri 11 Bandung di kelas XI dapat dikategorkan sedang yaitu menunjukkan siswa underachiever mampu memahami perilaku self-compassion dalam aspek rasa kebaikan terhadap diri (self kindness) dengan memahami kekuragan diri, penderitaan diri dengan tidak menghakimi diri sendiri, rasa kemanusiaan terhadap diri (common humanity) dengan mengartikan kegagalan yang dialami adalah sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia dan tidak mengisolasi diri, dan penuh kesadaran diri (mindfulness) dalam menerima peristiwa buruk yang di alami dengan dapat mengkontrol emosi dan tidak melebih- lebihkan yang sedang dirasakan. Dari keempat siswa yang telah dipilih karena memiliki IQ tinggi sedangkan prestasi belajar yang rendah untuk dapat di teliti lebih dalam mengenai perilaku self- compassionnya rata-rata keempat dari hasil angket, hasil wawancara, dan hasil observasi menunjukkan rendahnya sikap self- compassion yang dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA

Arfallah, S., Rosra, M., dan Giyono, G. (2014). Studi Kasus Siswa Underachiever di SMP Negeri I Kotabumi Lampung Utara. ALIBKIN (Jurnal Bimbingan Konseling). 3(3), 1-14.

Creswell, J. W. (2010). Research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogjakarta: PT Pustaka Pelajar.

Hidayati, F. (2013). Self-compassion (Welas Asih); Sebuah Alternatif Konsep Transpersonal Tentang Sehat Spiritual Menuju Diri yang Utuh. Jurnal Spiritualitas dan Psikologi Kesehatan. Universitas Katolik Sugiyapranata Semarang.

(12)

380 Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382

Hidayati, F.& Maharani, R. (2003). Self- compassion (Welas Asih) : Sebuah Altenatif Konsep Transpersonal tentang Sehat Spriritual Menuju Diri yang Utuh. Psikologi Universitas Diponegoro.

Hidayati, S. D. (2015). Self-compassion dan Loneliness. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 3(1), 154-164.

Idrus, M. (2013). Layanan Pendidikan Bagi Anak Gifted. Jurnal Bimbbingan dan Konseling “PSIKOPEDAGOGIA”. 2(2), 116-131.

Linnenbrink, E. A., & Pintrich, P. R. (2002). Achievement Goal Theory and Affect: An Asymmetrical Bidirectional Model. Educational Psychologist, 37, 69 – 78.

Mahdoni, M., Syahniar, S., dan Bentri, A. (2017). Hubungan Self Esteem dengan Prestasi Belajar Siswa Underachiever serta Implikasinya dalam Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam proceedings International Counseling and Education Seminar, 80-87.

Neff, K. D. (2003). Self-compassion: an alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity.

Neff, K. D. (2011). Self Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave insecurity behind. Texas ; Harper Collins Publishers

Neff, K. D., Hsieh, Y., Dejitterat, K. (2005). Self-compassion Goals, and Coping with Academic Failure. Journal Psychology Press. 4, 263-287.

Neff, K. D., Kirkpatrick, K. & Rude, S. S. (2007). Self-compassion and its link to adaptive psychological functioning. Journal of Research in Personality, 41, 139-154.

Neff, K.D, Pisitsungkagarn, K., & Hsieh, Y. P. (2008). Self-compassion and selfconstrual in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of CrossCultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, K.D. (2009). Self compassion in M.R. Leary & R. H Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Difference in Social Behavior. New York: Guilford Press, 561-573.

Neff, K.D. (2012). The Science of self compassion. In C. Germer & R. Siegel (Eds.), Compassion and wisdom in psychotherapy, 79-92. New York : Guildford Press.

Neff, K.D., & Germer, C. (2010). The Mindful Self-compassion Wokbook A proven Way to Accept Yorself, build Inner Strength, and Thrive. New York: The Guildford Press.

(13)

Irsyad: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam Vol. 8 No. 4 (2020) 369-382 381

Permendikbud. 2014. Pedoman Bimbingan dan Konseling Nomor 111

Rahmawati, R. (2013). Bimbingan dan Konseling untuk Anak Underachiever. Jurnal Pendidikan Luar Biasa, VIII (15).

Rimm, S. (2000) .Why Bright Kids Get Poor Grade. Mengapa Anak Pintar Memperoleh Nilai Buruk. alih bahasa A. Mangunhardjana. Jakarta: PT. Grasindo.

Santrock, J. W. (2009). Perkembangan Anak. Edisi 11. Jakarta: Erlangga. Santrock. J. W. (2002). Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini merupakan penelitian kelas dengan menggunakan metode kuasi eksperimen, data yang penulis kumpulkan berupa informasi tentang proses pembelajaran siswa

Skor 3: Jika siswa mampu menyalin kalimat sederhana dengan benar proporsi huruf sesuai dengan tempat, jarak antar kata jelas dengan bantuan verbal. Skor 2: Jika siswa mampu

Hasil optimal yang didapat pada fermentasi satu fasa adalah ;.. Pembentukan biomassa berasosiasi dengan

tampil yang lebih menarik dengan tubuh yang ideal yaitu kurus maka remaja akan memilih untuk melakukan perilaku yang tidak sehat, diet sembarangan seperti minum obat pencahar,

o fungsi utama dari LAPD adalah mengontrol kesalahan dan pesan yang mengalir menuju abis Interface. o Protokol RR antara MS dan

Pada jurnal Hasan dan Putra (2019), Sharon dan Santoso (2017) dan Aminah dkk (2017) menuliskan metode SERVQUAL sebagai ldanasan digunakan dalam mengukur kualitas

Variabel dalam penelitian ini adalah pengaruh return on asset dan program penilaian peringkat terhadap pengungkapan islamic social reporting dengan ukuran