1 I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Pemanfaatan potensi sumber daya alam di Indonesia perlu diarahkan agar memenuhi prinsip bangunan berkelanjutan. Salah satu usaha pemerintah untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan adalah dengan melakukan penataan ruang sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan pentingnya penataan ruang yang terpadu dan berkelanjutan melalui kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pelaksanaan penataan ruang diatur dalam BAB IV UU No. 26 Tahun 2007 sebagai kewenangan pemerintah di setiap tingkat administrasi, yaitu tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketiga kegiatan dalam penataan ruang di setiap tingkat administrasi membutuhkan data geospasial dan non-geospasial yang beragam dari berbagai lembaga pemerintahan. Berdasarkan peraturan yang terkait dengan penataan ruang, diantaranya UU No. 26 Tahun 2007, Permen PU No. 16 dan 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Kota, Permen PU No. 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, dan PP No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, dibutuhkan partisipasi dari beberapa pihak, diantaranya lembaga pemerintah, masyarakat, dan pakar ahli.
Kompleksitas penataan ruang yang ditunjukkan oleh banyaknya data dan pihak yang terlibat memerlukan dukungan sistem atau aplikasi yang dapat membantu mempermudah pengelolaan data penataan ruang. Pengelolaan data dapat dipermudah diantaranya melalui dukungan kemampuan untuk menyediakan serta menyebarluaskan data dan informasi geospasial. Sistem tersebut dapat dibangun
dengan mengorganisasi data dan informasi geospasial yang dimiliki pemerintah dalam sebuah katalog data sehingga dapat ditukargunakan dengan pihak lain.
Organisasi data geospasial yang baik akan mendukung penggunaan data geospasial secara efektif dan optimal melalui mekanisme berbagi pakai data dan informasi geospasial antar penyedia data (Rajabifard dkk., 2000; Rajabifard dan Williamson, 2001), termasuk dalam konteks penataan ruang. Konsep berbagi pakai data dan informasi geospasial dikenal dengan istilah Infrastruktur Data Geospasial (IDS). Sarana berbagi pakai dan penyebarluasan informasi geospasial di Indonesia diatur dalam Perpres No. 27 Tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).
Berdasarkan Perpres No. 27 Tahun 2014, IDS di Indonesia terdiri atas Jaringan Informasi Geospasial (JIG) pusat dan JIG daerah. Rajabifard dan Williamson (2001) mengklasifikasikan IDS menjadi beberapa tingkatan, yaitu tingkat global, regional, nasional, lokal, dan tematik. Geoportal yang dibangun untuk mewujudkan IDS juga dikelompokkan berdasarkan klasifikasi IDS (Beaumont dkk., 2005; Salinas dkk., 2005; Aditya, 2007) menjadi geoportal tingkat regional, nasional, lokal atau daerah, dan tematik.
JIG daerah yang didukung dengan geoportal diharapkan mampu memfasilitasi pertukaran data dan informasi geospasial untuk memenuhi kebutuhan informasi di tingkat daerah. Salah satu kegiatan di tingkat daerah yang membutuhkan data dan informasi geospasial adalah kegiatan penataan ruang.
Agar geoportal dalam JIG daerah dapat mendukung penataan ruang, kebutuhan geoportal harus didefinisikan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna. Pengguna geoportal terdiri atas pemerintah dan masyarakat yang terlibat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Melalui proses desain yang dilakukan dalam penelitian ini, diharapkan diperoleh desain geoportal yang mampu mengakomodasi sebagian kebutuhan pengguna dalam penataan ruang di tingkat kabupaten/kota, baik kebutuhan terkait aktivitas maupun informasi yang disediakan melalui geoportal tersebut.
Kebutuhan yang telah didefinisikan selanjutnya digunakan untuk membuat purwarupa geoportal sebagai produk dari desain konseptual. Purwarupa yang
dibangun dalam penelitian difokuskan pada purwarupa untuk mendukung pencarian dan penyebarluasan data dan informasi geospasial mengenai penataan ruang.
Purwarupa tersebut dibangun dengan menggunakan data sebuah kabupaten/kota untuk uji coba. Kabupaten yang dipilih untuk uji coba purwarupa geoportal untuk mendukung penataan ruang adalah Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman merupakan kabupaten memiliki perkembangan yang dinamis yang ditunjukkan dengan alih fungsi lahan yang cepat (Suherman, 2004; Sulistyani, 2013; Serikat Petani Indonesia, 2014). Geoportal dapat mendukung pengelolaan data untuk penanganan bencana. Sulistyani (2013) menambahkan bahwa Gunung Merapi yang memiliki siklus erupsi periodik membuat urgensi kebutuhan geoportal di Kabupaten Sleman lebih tinggi daripada kabupaten/kota lain.
Purwarupa geoportal dirancang menggunakan perangkat lunak yang bersifat bebas (open source) sebagai salah satu usaha yang coba diterapkan untuk menyiasati tingginya alokasi biaya perangkat lunak berbayar dalam pembangunan geoportal di tingkat kabupaten/kota. Proses desain geoportal dalam penelitian ini juga sekaligus digunakan untuk mengetahui potensi serta kemanfaatan geoportal dalam penataan ruang.
I.2. Perumusan Masalah
Pelaksanaan penataan ruang membutuhkan data geospasial yang beragam dari berbagai penyedia data. Kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten Sleman dilakukan secara terpadu oleh berbagai dinas pemerintah dan melibatkan masyarakat. JIG Kabupaten Sleman yang didukung geoportal diharapkan mampu menciptakan efisiensi dan keefektifan penataan ruang di Kabupaten Sleman.
Geoportal yang memfasilitasi berbagi pakai data dan informasi geospasial di Kabupaten Sleman membutuhkan desain yang sesuai kebutuhan dan efektif. Namun demikian, spesifikasi desain yang merujuk pada kebutuhan pengguna dalam menggunakan geoportal untuk mendukung penataan ruang di Kabupaten Sleman belum diketahui wujud dan usabilitasnya, sehingga menjadi fokus dalam penelitian ini.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja kebutuhan aktivitas dan informasi dalam geoportal untuk mendukung proses penataan ruang di Kabupaten Sleman?
2. Bagaimana wujud desain konseptual dan purwarupa geoportal yang memfasilitasi pencarian dan penyebarluasan data dan informasi geospasial untuk mendukung penataan ruang di Kabupaten Sleman?
I.4. Tujuan Penelitian
I.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat desain geoportal yang mampu mendukung penataan ruang di tingkat kabupaten dengan data Kabupaten Sleman sebagai data untuk pembuatan purwarupa geoportal.
I.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kebutuhan terkait aktivitas dan informasi yang harus disediakan pada antarmuka geoportal untuk mendukung penataan ruang di Kabupaten Sleman.
2. Membuat desain geoportal Kabupaten Sleman untuk mendukung pencarian dan penyebarluasan data dan informasi geospasial dalam penataan ruang.
3. Membangun purwarupa geoportal Kabupaten Sleman berdasarkan hasil desain geoportal untuk mendukung penataan ruang guna mengevaluasi hasil desain geoportal.
I.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan desain geoportal yang memfasilitasi penyebarluasan data dan informasi geospasial dalam penataan ruang di Kabupaten Sleman. Manfaat penelitian ini dari segi praktis adalah menghasilkan purwarupa geoportal dari desain konseptual yang dirancang. Purwarupa geoportal diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kegunaan dan kemudahan yang dihasilkan IDS tingkat kabupaten/kota yang dilengkapi dengan geoportal.
Manfaat penelitian ini dari segi akademis adalah untuk mengetahui potensi kemanfaatan geoportal dalam mendukung perencanaan tata ruang. Penggunaan perangkat lunak open source dalam penelitian ini mampu menjembatani kebutuhan investasi biaya yang besar yang menjadi tantangan dalam implementasi IDS di Indonesia khususnya di Kabupaten Sleman.
I.6. Cakupan Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai pembuatan desain geoportal JIG daerah untuk mendukung penataan ruang di Kabupaten Sleman. Cakupan yang dibahas dalam penelitian ini terdiri atas:
1. JIG daerah yang dibahas adalah JIG Kabupaten Sleman.
2. Skenario pemanfaatan geoportal yang dipilih untuk pembuatan purwarupa adalah pemanfaatan geoportal untuk:
a. Pencarian data geospasial di bidang penataan ruang di Kabupaten Sleman.
b. Penyebarluasan informasi tata ruang kepada masyarakat.
3. Data rencana tata ruang yang digunakan untuk pembuatan purwarupa merupakan data RDTR Kecamatan Minggir tahun 2014 dengan skala 1:5.000. 4. Evaluasi desain yang dihasilkan dilakukan menggunakan metode skenario yang
terdiri atas perwakilan instansi pemerintah dan peneliti di bidang tata ruang. Evaluasi dilakukan dengan tidak melibatkan masyarakat dengan pertimbangan saran dari instansi pemerintah pemberi data.
5. Penelitian tidak mencakup perbaruan (updating) data geospasial secara langsung (online).
I.7. Tinjauan Pustaka
I.7.1. Teknologi Sistem Informasi Penataan Ruang di Indonesia
Penataan ruang terdiri atas serangkaian kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dengan melibatkan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007. Pemerintah menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan infomasi rencana tata ruang dan peraturan zonasi melalui sistem informasi tata ruang. Sistem informasi tersebut merupakan investasi awal pembangunan geoportal tematik mengenai penataan ruang di Indonesia. Portal tematik merupakan salah satu jenis geoportal. Geoportal dikelompokkan menjadi geoportal tingkat regional, nasional, lokal atau daerah, dan tematik (Salinas dkk., 2005; Aditya, 2007).
Data disebarluaskan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum melalui website dengan alamat http://www.penataanruang.net/ pada menu “info spasial”. Menu “info spasial” mengarahkan pengunjung web untuk melihat dan melakukan pencarian data geospasial dan non-geospasial terkait RTRW pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Data non-geospasial yang tersedia adalah dokumen peraturan daerah mengenai RTRW berikut lampirannya. Data geospasial yang disediakan meliputi peta struktur ruang, peta pola ruang, dan peta kawasan strategis untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota yang ditampilkan sebagai image yang belum dapat diunduh. Untuk beberapa wilayah yang sudah dilengkapi dengan layer-layer data, pengunjung dapat melakukan tumpang-susun beberapa data geospasial tematik RTRW dengan data geospasial dasar. Gambar I.1 menyajikan tampilan data geospasial dasar dan tematik mengenai RTRW Kabupaten Kulon Progo.
Gambar I.1. Tampilan data geospasial mengenai RTRW Kulon Progo Sumber: http://sigperda.penataanruang.net/
Selain pemerintah nasional, pemerintah tingkat daerah juga menyediakan layanan sistem informasi berbasis internet untuk mendukung penyebarluasan informasi penataan ruang. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) mengembangkan sistem informasi penataan ruang (SIPR) dengan alamat http://www.sipr.jogjaprov.go.id. Web SIPR DIY mampu menyediakan data perencanaan berupa data peta-peta dasar dan tematik serta informasi statistik untuk mendukung pengambilan keputusan. Namun demikian, pengguna belum dapat mengunduh data tersebut.
Pengguna web SIPR DIY dikelompokkan menjadi pengunjung biasa dan administrator (admin). Pengunjung biasa dapat langsung melihat data dan membuat peta baru, sedangkan admin harus masuk dengan login terlebih dahulu. Admin memiliki kemampuan yang lebih leluasa daripada pengunjung biasa, misalnya melakukan tumpang susun layer untuk menganalisis kesesuaian antara RTRW Provinsi DIY dengan RTRW kabupaten/kota di Provinsi DIY. Hanya admin yang dapat menambah data atau memberikan komentar terhadap data dan informasi penataan ruang yang tersedia. Dengan demikian, potensi pemanfaatan web SIPR DIY untuk masyarakat adalah untuk memperoleh informasi berupa data spasial dan statistik mengenai penataan ruang tingkat provinsi.
I.7.2. Perkembangan SIG Berbasis Internet untuk Penataan Ruang
Beragam data dan informasi geospasial untuk penataan ruang dapat dikelola melalui Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG yang meliputi pemasukan, pengelolaan, manipulasi, analisis, dan penyajian data geospasial (Aronoff, 1989) dikembangkan sehingga mampu disajikan melalui web untuk mendukung penyelenggaraan penataan ruang. Sebagian besar SIG berbasis internet yang dibangun untuk mendukung penataan ruang memiliki tema-tema yang spesifik sesuai kebutuhan pengembang aplikasi. Situs SIG berbasis internet tersebut biasanya dibangun untuk tujuan perencanaan kawasan dan penyebarluasan informasi penataan ruang (Ghaemi dkk., 2009; Simão dkk., 2009; Brown dan Weber, 2011). Namun demikian, terdapat situs SIG berbasis internet yang diperkaya dengan fungsi layanan selain untuk kebutuhan penataan ruang (Gudes dkk., 2004).
Brown dan Weber (2011) mengembangkan sekaligus mengevaluasi SIG berbasis internet yang melibatkan partisipasi maysarakat (Public Participation Geographic Information System atau PPGIS) untuk perencanaan pengembangan Taman Nasional Greater Alpine di Victoria, Australia. Ghaemi dkk. (2009) merancang dan membangun aplikasi SIG berbasis internet yang terdiri atas web interface, web server, application server, dan spatial database server guna mendukung analisis yang interaktif dalam perencanaan lingkungan. Simão dkk. (2009) mengembangkan SIG berbasis internet untuk memfasilitasi perencanaan kolaboratif mengenai lokasi pembangkit listrik tenaga angin dengan ikut melibatkan masyarakat.
Sedikit berbeda dengan Brown dan Weber (2011), Ghaemi dkk. (2009), dan Simão dkk. (2009), SIG berbasis internet yang dikembangkan oleh Gudes dkk. (2004) menerapkan konsep PPGIS dan cenderung bersifat lebih umum. Layanan yang disediakan tidak terbatas untuk perencanaan tata ruang. Sistem tersebut terdiri atas halaman web biasa dan web SIG yang menampilkan layer-layer data geospasial berupa vektor dengan latar foto udara. Pengguna dapat memberikan komentar terhadap rencana tata ruang yang disusun pemerintah. Gudes dkk. (2004) menambahkan fungsi lebih dari sekedar untuk perencanaan tata ruang sehingga
pengguna dapat melakukan queri dan analisis statistik yang disediakan untuk pengguna melalui antarmuka sistem.
Beberapa contoh aplikasi SIG berbasis internet yang dikembangkan untuk mendukung penataan ruang tersebut bersifat khusus untuk tema atau tujuan tertentu. Pemfokusan tema dan pembatasan data membuat sistem bersifat parsial dari keseluruhan kegiatan penyelenggaraan penataan ruang sebuah wilayah. Data geospasial yang digunakan dalam aplikasi sudah disediakan dalam satu basisdata penyimpanan yang terdiri atas data geospasial dasar dan tematik sesuai tujuan aplikasi. Data geospasial tersebut bersifat statis karena tidak terjadi penambahan jumlah layer data maupun pembaruan data ketika sistem telah dijalankan.
Meskipun bersifat parsial, pengelolaan data geospasial melalui aplikasi SIG berbasis internet memberikan kemudahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Simão dkk. (2009) menyatakan bahwa aplikasi SIG berbasis internet dapat mendukung fungsi peta sebagai alat komunikasi yang terpusat (map-centred commnunication tools). Fungsi tersebut diimplementasikan melalui diskusi antara pemerintah dan masyarakat, manipulasi (perbesaran, pergeseran, pemilihan layer) terhadap peta yang tersedia, serta perubahan data geospasial sederhana pada layer yang difasilitasi dalam aplikasi seperti ditunjukkan dalam Gambar I.2.
Gambar I.2. Tampilan model diskusi perencanaan lokasi pembangkit listrik tenaga angin melalui aplikasi SIG berbasis internet
Salah satu kegiatan dalam penataan ruang, yaitu perencanaan tata ruang, baik pada tingkat nasional maupun daerah, memerlukan data geospasial yang sistematis dan mencakup seluruh data yang terpisah di berbagai instansi (UN-Habitat, 2009). Perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten/kota bersifat menyeluruh pada semua bidang, baik ekonomi, sosial, budaya, infrastruktur, dan lingkungan. Kebutuhan data untuk penyelenggaraan penataan ruang sejatinya lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan data dalam aplikasi SIG berbasis internet untuk penataan ruang yang telah dikembangkan.
Pelaksanaan penataan ruang yang terpadu, berkelanjutan, dan berhasil guna membutuhkan dukungan data dan informasi geospasial serta non-geospasial yang lengkap dan berkualitas dari berbagai instansi penyedia data. Data untuk membangun sistem informasi yang mendukung penaataan ruang membutuhkan pengelolaan agar dapat bersifat lebih dinamis dibandingkan data untuk membangun SIG berbasis internet yang sifatnya statis. Dinamisnya data ditunjukkan dengan adanya kebutuhan untuk dapat menukargunakan data, menambah data baru, dan mengunduh data untuk kepentingan terkait penataan ruang, misalnya kegiatan perencanaan tata ruang wilayah atau kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Data yang dinamis dapat dimungkinkan untuk dikelola melalui geoportal IDS. IDS di tingkat daerah (IDSD) dapat mendukung penyelenggaraan penataan ruang melalui kemudahan dalam berbagi pakai data, reduksi data yang duplikasi, dan efisiensi pengumpulan data (Olfat dkk., 2009). Namun demikian, kemampuan dasar geoportal untuk memfasilitasi tukar-guna data perlu difusikan dengan fungsi layanan pada SIG berbasis internet sebagai alat komunikasi terpusat untuk mengakomodasi partisipasi antar pihak yang terlibat, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan tujuan penataan ruang.
I.7.3. Geoportal IDSD untuk Penyelenggaraan Penataan Ruang
Zhigang dkk. (2008) menyatakan bahwa IDSD mampu membantu pengembangan kota karena IDSD melengkapi teknologi penginderaan jauh dan SIG dalam perencanaan wilayah. IDSD mampu menyediakan data untuk perencanaan tata ruang di tingkat daerah, seperti perencanaan pembagian zona, perencanaan pengembangan ekonomi kota, perencanaan sarana dan prasarana, perencanaan
transportasi, serta manajemen kebencanaan (Kelly, 2007). IDSD dapat meningkatkan distribusi data geospasial terstandar dan mempermudah akses data tematik untuk mendukung perencanaan tata ruang (Hickel dan Blankenbach, 2012). Müller dan Würriehausen (2012) menyatakan bahwa kemudahan akses data geospasial melalui IDSD dapat mendukung pengambilan keputusan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Salah satu dari lima komponen untuk mewujudkan IDS adalah jaringan akses atau access network (Rajabifard, 2007), yang dapat diwujudkan melalui pembangunan geoportal. Geoportal dapat menjadi salah satu komponen yang mendukung penyediaan data geospasial dalam penataan ruang sekaligus mendukung kesuksesan IDSD. McDougall dkk. (2009) melakukan penilaian terhadap 100 pemerintah daerah di Australia dan menemukan bahwa kebijakan yang sesuai, pemahaman terhadap kebutuhan, serta kesepakatan untuk akses data secara layak dengan dukungan instansi merupakan faktor yang penting dalam pembangunan dan pengembangan IDSD. Oleh karena itu, perlu didefinisikan kebutuhan apa yang difasilitasi melalui geoportal untuk mendukung penataan ruang sehingga geoportal yang dihasilkan dapat menjadi salah satu pilar penyusun IDSD.
Geoportal memberikan kemudahan bagi sejumlah pihak dalam penataan ruang. Beberapa kemudahan tersebut antara lain kemudahan surveyor dalam mendesain kerangka geodetik, perencana tata ruang dalam pemanfaatan kartografi ketika proses perencanaan, serta ahli lingkungan dan pengembang properti dalam menjalankan peran masing-masing (Iwanaik dkk., 2011). Kebutuhan dalam penataan ruang yang dapat didukung dengan geoportal menurut Iwanaik dkk. (2011) antara lain perhitungan indikator demografi, estimasi indikator kualitas permukiman, analisis fungsi pemanfaatan lahan, serta analisis perubahan penggunaan lahan.
Geoportal juga dapat membantu integrasi data kebencanaan dalam penyusunan rencana tata ruang. Batuk dkk. (2008) memanfaatkan geoportal untuk mengintegrasikan data kebencanaan dalam perencanaan tata ruang. Putra (2010) mengembangkan geoportal sebagai bagian dari IDSD untuk manajemen bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DIY.
Beberapa negara sudah berhasil mengimplementasikan geoportal pada IDSD, untuk berbagai kepentingan terkait pengelolaan daerah. Negara tersebut antara lain
China (Li dkk., 2008), Australia, Spanyol, Amerika Serikat (Global Spatial Data Infrastructure, 2013), dan India (Pemerintah India, 2008). Berikut ini dipaparkan gambaran kondisi geoportal tingkat daerah di beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, dan India.
1. Australia.
Australia memiliki geoportal di empat pemerintah daerah yang meliputi wilayah Teritorial Australia Utara, Quensland, Victoria, dan Australia Barat. Geoportal Geoportal di Australia yang paling lengkap adalah Vicmap (http://services.land.vic.gov.au/landchannel/content/productCatalogue).
Vicmap merupakan geoportal negara bagian Victoria yang memiliki beberapa tema data, seperti transportasi, perairan, properti, vegetasi, administrasi, elevasi, dan perencanaan tata ruang.
Tema perencanaan tata ruang memungkinkan pengguna untuk mengunduh data, melihat peta zona perencanaan wilayah, memilih dan melakukan tumpang-susun beberapa layer, serta membuat dan mencetak peta dalam format PDF. Gambar I.3 menyajikan contoh tampilan peta perencanaan wilayah yang ditumpangsusunkan secara online. Namun demikian, pengguna belum dapat melakukan perubahan atau menambah data.
Gambar I.3. Tampilan tumpan gsusun peta perencanaan wilayah secara online Sumber: http://services.land.vic.gov.au/maps/pmo.jsp
Pengguna dapat mengunduh data geospasial dengan memilih nama wilayah (tingkat lokal), sistem koordinat, dan format data. Format data yang disediakan antara lain format SHP (ESRI), MID/MIF (MapInfo), DXF (Data Exchange File), TAB (MapInfo), dan DWG (Autocad drawing). Data yang dipilih dan diunduh pengguna belum dilengkapi dengan metadata karena metadata untuk semua dataset mengenai perencanaan wilayah yang ada dibuat menjadi satu. Gambar I.4 menyajikan tampilan pengunduhan data geospasial pada Vicmap.
Gambar I.4. Tampilan untuk pengunduhan data geospasial melalui Vicmap Sumber: http://services.land.vic.gov.au/landchannel/content/vicmapdata?productID=19
2. Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki 47 geoportal pemerintah negara bagian (Global Spatial Data Infrastructure, 2013). Geoportal tersebut menyediakan berbagai tema data geospasial dalam format raster maupun vektor, yang dilengkapi dengan metadata. Pengguna dapat melihat metadata, melihat data, dan mengunduh data. Belum ditemukan layanan yang secara khusus mendukung penyelenggaraan penataan ruang melalui geoportal pemerintah daerah di Amerika Serikat.
3. India
India memiliki dua geoportal pemerintah daerah di negara bagian Kerala (http://ksdi.kerala.gov.in/KSDI/welcome.do) dan negara bagian Karnataka (http://www.karnatakageoportal.in/#). Geoportal tersebut
menjelaskan adanya layanan untuk mengunduh data geospasial yang difasilitasi di dalamnya. Namun demikian, layanan data geospasial dalam geoportal tersebut belum dapat diakses karena tidak tersedia antarmuka untuk mengunduh data geospasial.
Beberapa provinsi di Indonesia mulai membangun dan mengembangkan geoportal untuk mendukung IDSD. Sebagai contoh geoportal Kabupaten Sleman (http://gis.slemankab.go.id/geoportal) dan geoportal Provinsi Jawa Tengah (http://jatengjdsd.web.id/#).
Data geospasial disediakan dalam geoportal Kabupaten Sleman masih dalam format PDF dengan skala peta 1:50.000. Aplikasi penampil peta secara online sedang dikembangkan dalam geoportal tersebut. Namun demikian, geoportal Kabupaten Sleman memiliki kendala kondisi koneksi data di server data sehingga sulit diakses (Wulandari, 2014).
Geoportal Provinsi Jawa Tengah menyediakan peta tematik yang dihasilkan berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang disajikan sebagai image, serta beberapa peta tersedia dalam format KML yang divisualisasikan melalui Google Earth seperti pada Gambar I.5. Geoportal Provinsi Jawa Tengah terhubung dengan inageoportal BIG sehingga memungkinkan pengguna melakukan pembuatan peta baru. Namun demikian, pengguna belum dapat melihat metadata atau mengunduh data geospasial yang secara khusus disediakan geoportal Provinsi Jawa Tengah.
Gambar I.5. Contoh peta pada geoportal Provinsi Jawa Tengah: Peta Jenis Tanah Sumber: http://jatengjdsd.web.id/gunalahan.php
Selain bermanfaat untuk pemerintah daerah, IDSD juga bermanfaat untuk pemerintah pusat (Li dkk., 2008), khususnya IDSD yang dilengkapi dengan geoportal. Meskipun IDSD memiliki peran yang penting bagi pembangunan daerah dan nasional, Zhigang dkk. (2008) menyatakan bahwa pembangunan IDSD yang dilengkapi geoportal membutuhkan investasi dana yang besar. Pembiayaan tersebut digunakan untuk pembuatan infrastruktur, pengumpulan data, dan peningkatan SDM staf pengelola. Pembangunan geoportal menggunakan perangkat lunak open source diharapkan mampu menjembatani tingginya investasi yang dibutuhkan.
Contoh perangkat lunak open source yang dapat digunakan untuk pembuatan geoportal adalah Open GeoSuite (http://boundlessgeo.com/) dan GeoNode (geonode.org/ ). GeoNode sudah banyak digunakan untuk pembangunan geoportal di beberapa negara, seperti Haiti (http://haitidata.org/), Malawi (http://23.22.63.123/), dan Kenya (http://maps.virtualkenya.org/). Geoportal Malawi bernama MASDAP memfasilitasi pengunggahan (upload), pengunduhan (download), pencarian (search), penjelajahan (browse), dan penyebarluasan (share) data geospasial. Gambar I.6 menyajikan tampilan map viewer geoportal Malawi dengan tumpang-susun data geospasial yang dipilih dari data yang disediakan maupun data dari server lain.
Gambar I.6. Tampilan map viewer geoportal Malawi Sumber: http://23.22.63.123/maps/new
I.8. Dasar Teori
I.8.1. Penataan Ruang
I.8.1.1. Pengertian dan Komponen Penataan Ruang
Penataan ruang didefinisikan dalam pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2007 yang sama sebagai “suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Penataan ruang merupakan kegiatan yang menjadi bagian dari penyelenggaraan penataan ruang bersama dengan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang di Indoensia dilaksanakan secara berjenjang oleh pemerintah pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Tabel I.1 menyajikan beberapa peraturan dan pedoman di bidang penataan ruang.
Tabel I.1. Peraturan dan pedoman di bidang penataan ruang
No. Nama Peraturan Topik
1. UU No. 26 Tahun 2007 Penataan Ruang 2. PP No. 26 Tahun 2008 RTRW Nasional
3. PP No. 68 Tahun 2010 Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
4. PP No. 15 Tahun 2010 Penyelenggaraan Penataan Ruang 5. PP No. 8 Tahun 2013 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
6. Permen PU No. 20 Tahun 2007 Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang 7. Permen PU No. 41 Tahun 2007 Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi
Daya
8. Permen PU No. 15 Tahun 2009 Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi 9. Permen PU No. 16 Tahun 2009 Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten 10. Permen PU No. 17 Tahun 2009 Pedoman Penyusunan RTRW Kota
11. Permen PU No. 20 Tahun 2011 Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
12. Permen PU No. 1 Tahun 2014 Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Penataan ruang memiliki tiga kegiatan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota melakukan tiga komponen kegiatan tersebut, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengertian setiap kegiatan dalam penataan ruang dijelaskan dalam pasal 1 angka 13 sampai 15 UU No. 26 Tahun 2007 sebagai berikut:
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Struktur ruang dan pola ruang didefinisikan dalam pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 26 Tahun 2007 sebagai berikut:
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
I.8.1.2. Penataan ruang tingkat kabupaten/kota
Setiap kegiatan dalam penataan ruang harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan. Pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki tiga kewenangan dalam melaksanakan penataan ruang sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2007 meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Selain melaksanakan penataan ruang, pemerintah kabupaten/kota juga melakukan tiga kegiatan sebagai bagian dari penyelenggaraan penataan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang terdiri atas pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. Berikut pengertian setiap kegiatan dalam penyelenggaraan penataan ruang dijelaskan dalam pasal 1 angka 9 sampai 12 UU No. 26 Tahun 2007 sebagai berikut:
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan pasal 11 ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007, dalam melaksanakan kewenangan mengenai penyelenggaraan penataan ruang, terdapat dua kegiatan yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan tersebut terdiri atas penyebarluasan rencana umum dan rencana rinci tata ruang serta pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Rencana umum dan rencana rinci tata ruang merupakan dasar atau pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di tingkat kabupaten/kota. Rencana umum tata ruang pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan RTRW Kota. Rencana rinci tata ruang tingkat kabupaten/kota terdiri atas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota.
Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang diatur dalam Permen PU No. 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang menggantikan Permen PU No. 14 Tahun 2010. Pelayanan dasar yang bidang penataan ruang yang wajib dipenuhi oleh pemerintah tingkat kabupaten/kota dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1) huruf e, yang meliputi penyediaan informasi mengenai RTRW Kabupaten/Kota beserta rencana rincinya melalui peta analog dan peta digital serta penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 20% dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan.
I.8.2. Geoportal
I.8.2.1. Pengertian geoportal
Geoportal merupakan halaman web yang berfungsi sebagai pintu gerbang untuk melakukan pencarian dan akses data geospasial menggunakan sebuah layanan katalog yang menyajikan kumpulan metadata yang menggambarkan data (Tait, 2004; Longley dan Maguire, 2005). Melalui metadata tersebut pengguna dapat mengetahui kesesuaian antara data yang tersedia dengan kebutuhan mereka. Selain memungkinkan pengguna mencari dan mengakses data yang mereka butuhkan, geoportal dapat digunakan untuk mengelola data dan informasi geospasial yang dimiliki oleh sebuah instansi atau organisasi yang memproduksi data geospasial (Maguire & Longley, 2005).
Menurut Tellez-Arenas (2009), geoportal adalah web yang memungkinkan pengguna untuk mencari, menemukan, serta mengakses informasi geospasial dengan cara melihat, menganalisis, membuat laporan, atau mengunduh informasi geospasial sesuai dengan layanan yang disediakan. Tellez-Arenas (2009) mengelompokkan geoportal berdasarkan beberapa sudut pandang, sebagai berikut:
a. Berdasarkan cakupan wilayah, terdapat geoportal lokal, regional, nasional, dan benua.
b. Berdasarkan jenis pengguna, terdapat geoportal dengan pengguna anak-anak, akademisi, professional nonscientis, konsultan lingkungan, dan geoscientis. c. Berdasarkan tingkat dan domain aplikasi, terdapat geoportal untuk penelitian,
konservasi lingkungan, serta eksplorasi enersi dan sumber daya mineral. d. Berdasarkan ketersediaan data, ada geoportal yang hanya memiliki data
tunggal, beberapa data, dan banyak data yang terhimpun dalam katalog data spasial.
e. Berdasarkan tingkat layanan, ada geoportal yang memfasilitasi pencarian, visualisasi, pelaporan, analisis, dan pengunduhan data geospasial.
I.8.2.2. Hubungan Geoportal dengan IDS
Geoportal merupakan salah satu aplikasi untuk mewujudkan interoperabilitas data geospasial dalam IDS. IDS adalah suatu sistem untuk memfasilitasi
pengumpulan, pengelolaan, akses, pendistribusian, hingga pemanfaatan data spasial secara optimal dengan memberikan kemudahan dalam pertukaran dan penyebarluasan data spasial untuk pengguna dan penyedia data pada semua tingkatan pemerintahan, sektor provit dan sektor non-provit, akademisi, serta masyarakat umum (Tuladhar dkk., 2006; Global Spatial Data Infrastructure, 2013).
Interoperabilitas data geospasial tercermin dalam kemudahan koordinasi, pertukaran, dan berbagi pakai data geospasial. Dalam mewujudkan interoperabilitas data geospasial, IDS didukung oleh beberapa komponen. Komponen IDS menurut Rajabifard dan Williamson (2001) terdiri atas sumber daya manusia atau SDM (people), jaringan internet (access networkpolicy), kebijakan (people), standar (standard), dan data. Jaringan internet diwujudkan melalui pembangunan geoportal. Gambar I.7 menyajikan hubungan antar komponen IDS.
Gambar I.7. Komponen IDS
Sumber: Rajabifard dan Williamson (2001)
Geoportal mendukung terwujudnya IDS dengan menciptakan akses terhadap data yang efektif dan efisien. Namun demikian, pembangunan geoportal untuk menciptakan akses yang baik tersebut membutuhkan kontribusi seluruh komponen IDS pada Gambar I.7, baik SDM, jaringan akses, kebijakan, standar, maupun data.
Kebijakan mengenai geoportal di Indonesia diatur dalam Perpres No. 27 Tahun 2014. Perpres tersebut menjelaskan fungsi JIGN sebagai sarana berbagi pakai dan penyebarluasan informasi geospasial yang diselenggarakan melalui jaringan informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Perpres No. 27 Tahun 2014 mengamanatkan pembentukan simpul jaringan atau geoportal pada pemerintah pusat dan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Dinamis Data Jaringan akses Kebijakan Standar SDM
I.8.2.3. Arsitektur geoportal
Geoportal dibangun melalui tiga komponen SIG yang terdistribusi (Tait, 2004) meliputi portal web, layanan web, dan unit administrasi data. Portal web merupakan situs web yang menyediakan aplikasi geografis. Layanan web akan mengirimkan fungsi geografis untuk akses data oleh pengguna secara online. Unit administrasi data bertugas mengelola data geospasial, baik data dengan format raster maupun vektor. Tabel I.2 menyajikan arsitektur geoportal yang dibangun oleh tiga komponen tersebut.
Tabel I.2. Arsitektur geoportal
Komponen Penyusun Standar Fungsi
Portal web a. Web site b. Web control a. Hypertext Markup Language (HTML) b. Hypertext Transfer Protocol (HTTP) c. eXtensible Markup Language (XML) d. Javascript a. Pencarian b. Penyajian peta c. Pengiriman peta d. Administrasi data
Layanan web Geographic Web Services
a. Web Service Description Language (WSDL) b. Universal Description, Discovery, and Integration (UDDI) a. Queri data b. Permintaan akses data
a. Simple Object Access Protocol (SOAP)
b. eXtensible Markup Language (XML)
c. Web Map Service (WMS) d. Web Feature Service
(WFS) e. Geographic Markup Language (GML) a. Transaksi data b. Geocoding Unit administrasi data a. Sistem Basis-data Spasial b. Data geospasial dan tabular
Structured Query Language (SQL) Pengelolaan dan pemeliharaan data raster, vektor, tabular Sumber: Tait (2004)
Geo web services merupakan layanan yang memungkinkan terjadinya transaksi atau pertukaran data geospasial antara produsen dan konsumen data geospasial
melalui geoportal (Tait, 2004). Proses komunikasi data dilakukan pada geo web services disajikan dalam Gambar I.8 yang terdiri dari empat tahapan sebagi berikut:
1) Produsen data mendaftarkan data geospasial yang dimiliki ke unit registrasi data dalam geoportal menggunakan Web Service Description Language (WSDL). 2) Konsumen data melakukan pencarian data geospasial ke unit registrasi data
menggunakan Web Service Description Language (WSDL).
3) Unit registrasi data menjawab pencarian data oleh konsumen dengan memberitahukan lokasi produsen data geospasial yang menyimpanan data yang dicari konsumen. Jawaban data disampaikan menggunakan Universal Description, Discovery, and Integration (UDDI) yang merupakan standar katalog dalam layanan web.
4) Konsumen mengirimkan permintaan data geospasial yang dicari pada produsen data geospasial menggunakan protokol yang disebut Simple Object Access Protocol (SOAP) dalam format eXtensible Markup Language (XML).
Gambar I.8. Komunikasi data pada geo web services Sumber: Tait (2004)
Komunikasi data antara tiga komponen dalam Gambar I.8. dapat terjadi apabila terdapat kerjasama (partnership) antar penyedia data geospasial untuk saling berbagi-pakai data. Secara teknis, kerjasama tersebut perlu didukung melalui pendaftaran metadata spasial oleh produsen data ke unit registrasi data (Longley dkk., 2011). Unit registrasi data tersebut membangun sebuah clearinghouse.
Unit registrasi data geospasial Konsumen data geospasial Produsen data geospasial UDDI WSDL 2 3 WSDL 1 SOAP 4
Clearinghouse memfasilitasi pencarian data geospasial, penelusuran suatu data, serta penyebarluasan informasi ketersediaan suatu data kepada seluruh konsumen data geospasial melalui jaringan internet dengan disajikan dalam antarmuka tertentu sesuai standar yang ditetapkan, misalnya oleh Open Geospatial Consortium atau OGC (Swift, 2014). Clearinghouse memfasilitasi pencarian dan penjelajahan data geospasial melalui metadata geospasial yang didaftarkan. Pencarian data geospasial melalui penelusuran terhadap metadata yang didaftarkan membuat clearinghouse dapat disebut sebagai mesin pencari data geospasial atau geospatial data search engine (Swift, 2014). Melalui fungsi pencarian tersebut, clearinghouse membantu pertukaran dan penyebarluasan data geospasial antara produsen dan konsumen data (Global Spatial Data Infrastructure, 2004).
I.8.2.4. Regulasi geoportal di Indonesia
Pembentukan geoportal sudah diinisiasi oleh pemerintah sejak awal dekade 2000. Sebelum Perpres No. 27 Tahun 2014 ditetapkan, Badan Koordinasi Pemetaan dan Survei Nasional (sekarang bernama BIG) telah menetapkan beberapa pedoman untuk pembangunan dan pemeliharaan geoportal. Pedoman tersebut adalah Pedoman Pembangunan Clearinghouse Data Spasial (Pusat Sistem Jaringan dan Standardisasi Data Spasial Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Nasional BAKOSURTANAL, 2003) dan Pedoman Pelaksanaan Kekustodianan Data dan Informasi Spasial (Pusat Sistem Jaringan dan Standardisasi Data Spasial Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Nasional BAKOSURTANAL, 2005).
Undang-Undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UUIG) menegaskan kembali perlunya penyebarluasan informasi geospasial melalui jaringan elektronik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang berdasarkan Perpres No. 27 Tahun 2014 dijelaskan penyelenggaraannya oleh simpul jaringan-simpul jaringan. Berdasarkan pasal 4 Perpres No. 27 Tahun 2014, simpul jaringan-simpul jaringan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah dan diintegrasikan oleh penghubung simpul jaringan.
Khusus untuk simpul jaringan di pemerintah daerah, pasal 5 ayat (3) Perpres No. 27 Tahun 2014 menjelaskan bahwa unit kerja pelaksana simpul jaringan merupakan SKPD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Simpul jaringan
memiliki dua unit kerja yang diatur dalam pasal 5 ayat (2) Perpres No. 27 Tahun 2014, yaitu:
a. Pelaksana pengumpulan, pengolahan, penyimpanan (hasil pengumpulan dan pengolahan), dan penggunaan data geospasial dan informasi geospasial.
b. Pelaksana penyimpanan (informasi geospasial yang siap disebarluaskan), pengamanan, dan penyebarluasan data geospasial dan informasi geospasial.
I.8.3. Metadata
Dalam implementasi geoportal, metadata merupakan komponen yang perlu diperhatikan. Metadata adalah informasi terstruktur yang menjelaskan data untuk mempermudah pengambilan, penggunaan, dan pengelolaan data (Arlis dan Saputra, 2014). Metadata dibutuhkan ketika data didaftarkan ke unit registrasi data geospasial dalam geoportal (Tait, 2004). Metadata akan membantu mempermudah pengguna dalam menemukan data geospasial yang sesuai dengan kebutuhan (Ahonen-Rainio, 2005; Tellez-Arenas, 2009). Metadata spasial di Indonesia mengacu pada ISO 19115:2003 mengenai metadata spasial.
ISO 19115 memiliki 409 elemen dengan 22 elemen inti dan memiliki elemen compound (role) yang terbagi menjadi 11 elemen utama (Arlis dan Saputra, 2014). Elemen utama terdiri atas identifikasi, batasan, kualitas data, representasi spasial, sistem referensi, informasi data, referensi portal katalog, distribusi, informasi tambahan, dan informasi skema aplikasi (ISO, 2003). ISO 19139 mengatur mengenai skema implementasi metadata, berupa XML untuk mendeskripsikan, melakukan validasi, dan pertukaran metadata spasial (Arlis dan Saputra, 2014).
Setiap elemen metadata memiliki sub elemen yang berisi informasi terkait atribut atau keterangan data. Sub elemen ada yang bersifat wajib (mandatory) yang harus dicantumkan dalam setiap data spasial, dan ada yang bersifat pilihan (optional) yang tidak wajib dicantumkan namun dapat melengkapi informasi mengenai data spasial apabila dicantumkan. Tabel I.3 menyajikan beberapa contoh sub elemen metadata yang bersifat wajib dan pilihan.
Tabel I.3. Contoh sub elemen metadata yang bersifat wajib dan pilihan
Wajib Pilihan
1. Dataset title
2. Dataset reference date
3. Geographic location of the dataset 4. Dataset language
5. Dataset character set 6. Dataset topic category 7. Metadata language 8. Metadata character set 9. Metadata point of contact 10. Metadata date stamp
1. Spatial Resolution
2. Abstract describing dataset 3. Dataset responsible party 4. Distribution format
5. Spatial representation type 6. Reference system
7. On-line resource
8. Metadata standard version
Sumber: ISO 19115:2003 I.8.4. Desain
I.8.4.1. Pengertian desain
Desain memiliki dua pengertian, yaitu kegiatan membuat rancangan sekaligus hasil rancangan yang diperoleh. Untuk menghindari bias dalam penelitian ini, desain diartikan sebagai hasil rancangan. Desain yang dilakukan dalam konteks geoportal merupakan desain interaksi atau interaction design. Desain interaksi adalah “kegiatan merancang produk yang interaktif guna mendukung aktivitas dan pekerjaan manusia sehari-hari” (Preece dkk., 2002). Desain interaksi bersifat umum dan banyak diterapkan dalam penelitian dan desain sistem berbasis komputer sehingga desain interaksi memiliki keterkaitan yang erat dengan Human Computer Interaction (HCI).
HCI merupakan bidang interdisiplin yang membahas mengenai desain, evaluasi, dan implementasi dari sistem komputer yang interaktif melalui tugas-tugas (tasks) untuk membantu menyelesaikan berbagai pekerjaan manusia (Preece dkk., 2002; Dix dkk., 2004). Tugas-tugas yang ditanamkan ke dalam sistem harus didesain sehingga memenuhi tiga kriteria yaitu useful (mampu menyelesaikan kebutuhan), usable (dapat digunakan), dan used (membuat pengguna ingin menggunakan) (Dix dkk., 2004).
I.8.4.2. Karakteristik dan tujuan desain
Agar diperoleh desain yang baik, maka proses desain dilakukan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan tema produk yang akan dirancang. Pihak yang terlibat dalam proses desain terdiri atas pakar ahli dari berbagai disiplin ilmu serta masyarakat yang menjadi pengguna produk yang didesain. Proses desain tersebut terdiri atas empat aktivitas (Preece dkk., 2002) yaitu identifikasi dan penetapan kebutuhan, pengembangan desain alternatif sesuai kebutuhan, pembangunan purwarupa berdasarkan desain, dan evaluasi hasil desain.
Keempat aktivitas dalam desain tersebut dijelaskan lebih lanjut pada sub bab I.8.4.3. Tujuan desain merupakan acuan yang dijadikan sebagai target dalam proses desain. Preece dkk. (2002) mengkasifikasikan tujuan desain menjadi dua, yaitu usabilitas (usability goals) dan pengalaman pengguna (user experience goal). Tujuan usabilitas merupakan tujuan desain yang menargetkan produk yang memenuhi karakteristik usabilitas, misalnya efektif, efisien, aman digunakan, fasilitas lengkap, mudah dipelajari, dan mudah diingat.
Nielsen (1992) menekankan usabilitas pada antarmuka sebuah sistem atau aplikasi agar dapat dijalankan oleh pengguna dengan mudah. Untuk mewujudkan usabilitas yang baik, perlu diperhatikan lima sifat yang karakteristik usabilitas yaitu learnability, efficiency, memorability, errors, dan satisfaction (Nielsen, 1992). Berdasarkan ISO 9241, usabilitas memiliki tiga karakteristik yang meliputi efficiency, effectiveness, dan satisfaction. Preece dkk. (2002) mengelompokkan karakteristik usabilitas menjadi efectiviveness, efficiency, safety, utility, learnability, dan memorability. Berikut disajikan beberapa penjelasan mengenai karakteristik usabilitas berdasarkan Nielsen (1992), ISO 9241, dan Preece dkk. (2002):
1. Learnability adalah kemudahan antarmuka sistem dipelajari oleh pengguna. 2. Efficiency adalah kebutuhan sumberdaya sistem untuk menjalankan tugas. 3. Memorability adalah kemampuan agar pengguna mampu mempelajari sistem
secara cepat dengan beberapa kali saja menjalankan sistem.
4. Satisfaction ialah kepuasan pengguna terhadap kemampuan dan kinerja sistem. 5. Effectiveness adalah kemampuan pengguna menjalankan tugas pada sistem
Tujuan desain berupa pengalaman pengguna merupakan tujuan desain yang menargetkan jenis perasaan yang diharapkan dirasakan oleh pengguna melalui produk hasil desain.
I.8.4.3. Aktivitas dalam desain
Berikut ini dijelaskan empat aktivitas yang dilaksanakan dalam proses desain menurut Preece dkk. (2002).
1. Identifikasi dan penetapan kebutuhan
Pihak calon pengguna sebagai target pemakai produk yang dirancang harus diketahui oleh desainer sehingga desainer mengetahui dengan jelas mengapa produk perlu dibuat dan produk seperti apa yang dirancang. Pada aktivitas ini, desainer mengumpulkan data dan melakukan identifikasi mengenai permasalahan dan kebutuhan yang diperlukan oleh calon pengguna.
Teknik pengumpulan data untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dilakukan antara lain menggunakan kuesioner, wawancara, focus group and workshop, naturalistic observation, dan mempelajari dokumen. Teknik pengumpulan data untuk identifikasi kebutuhan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab I.8.5.
2. Pengembangan desain alternatif sesuai kebutuhan
Aktivitas pengembangan desain merupakan inti proses desain untuk meng-implementasikan gagasan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi. Pengembangan desain dibagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap desain koseptual dan desain fisik. Berikut adalah penjelasan mengenai kedua tahapan desain tersebut:
a. Desain konseptual meliputi pembuatan model konseptual produk, berupa apa yang dikerjakan, bagaimana perilaku, dan seperti apa wujud produk. Pembuatan desain konseptual dapat dilakukan dengan pembuatan skenario atau dengan pembuatan purwarupa sederhana (low fidelity prototype) pada kertas. b. Desain fisik merupakan perancangan produk dan komponen penyusunnya
secara detail, misalnya warna, gambar, menu, dan ikon dalam produk. 3. Pembangunan purwarupa berdasarkan desain
Purwarupa merupakan wujud instan yang dibangun setelah desain konseptual dan desain fisik dihasilkan. Purwarupa tersebut dapat berupa purwarupa sederhana
(low fidelity prototype) pada kertas atau berupa purwarupa yang lebih kompleks (high fidelity prototype) melalui pembangunan aplikasi atau software (Preece dkk., 2002).
4. Evaluasi desain
Proses evaluasi desain dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap usabilitas dan penerimaan produk hasil didesain, misalnya sebuah aplikasi. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kelayakan dan kesesuaian produk dalam memenuhi kebutuhan pengguna, mengetahui tingkat dan jumlah kesalahan (error) yang terjadi, serta sebagai uji untuk penjaminan kualitas dari produk. Hasil evaluasi digunakan sebagai pertimbangan untuk menolak, menerima, atau memperbaiki produk hasil desain.
Dix dkk. (2004) membagi metode evaluasi usabilitas menjadi dua, yaitu evaluasi melalui usability inspections dan evaluasi dengan melibatkan partisipasi pengguna, misalnya antara lain think aloud, cooperative evaluation, protocol analysis, post-task walkthroughs, wawancara, kuesioner, dan tes psikologi. Metode evaluasi usability inspections merupakan metode evaluasi berdasarkan analisis pakar ahli, misalnya dengan heuristic evaluation, cognitive walkthrough, dan guidelines and checklists (Nielsen, 1992; Conte dkk., 2007). Fernandez dkk. (2011) menemukan bahwa mayoritas metode yang digunakan untuk mengevaluasi usabilitas aplikasi web adalah dengan melibatkan partisipasi pengguna (user testing).
I.8.5. Identifikasi Kebutuhan
Kebutuhan yang perlu difasilitasi melalui produk perlu diketahui oleh desainer sehingga produk yang dihasilkan dapat sesuai dan bermanfaat bagi pengguna. Identifikasi kebutuhan dilakukan melalui pengumpulan data. Preece dkk. (2002) menjelaskan lima metode pengumpulan data untuk mengidentifikasi kebutuhan, yaitu menggunakan kuesioner, wawancara, focus group and workshop, naturalistic observation, dan mempelajari dokumentasi.
Pemilihan metode pengumpulan data dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain waktu yang tersedia, alokasi biaya, cakupan lokasi penelitian, serta jenis data yang dibutuhkan, apakah data kualitatif atau data kuantitatif (Preece dkk., 2002).
Tabel I.4 menyajikan perbandingan antara kelima metode pengumpulan data untuk identifikasi kebutuhan. Data hasil identifikasi kebutuhan kemudian diinterpretasi dan dianalisis untuk mendefinisikan kebutuhan yang menjadi masalah yang akan dibantu melalui pembuatan sistem.
Tabel I.4. Perbandingan metode pengumpulan data
Metode Kegunaan Jenis Data Kelebihan Kekurangan
Kuesioner Menjawab pertanyaan yang spesifik Kuantitatif dan kualitatif Banyak responden dengan sedikit sumber daya Respon mungkin rendah atau tidak sesuai harapan
Wawancara Mengeksplorasi
isu dan gagasan
Sebagian data kuantitatif, umunya data kualitatif Pewawancara mengarahkan responden, mendukung kontak antara pengembang - pengguna Membutuhkan banyak waktu, kondisi ketika wawancara dapat mempengaruhi responden Focus Group and Workshop Mengumpulkan berbagai sudut pandang Sebagian data kuantitatif, umunya data kualitatif Menyoroti kesepakatan dan konflik, mendukung kontak antara pengembang -pengguna Kemungkinan adanya peserta yang mendominasi diskusi Naturalistic Observation Memahami konteks aktivitas pengguna Kualitatif Memberikan kejelasan dan pengetahuan baru Sangat menyita waktu, data yang dihaslkan sangat banyak Mempelajari Dokumentasi Mempelajari prosedur, peraturan, dan standar
Kuantitatif Tidak menyita waktu responden (pengguna) Aktivitas kerja dalam catatan mungkin berbeda dengan peraturan dan prosedur Sumber: Preece dkk (2002)
I.8.6. Pembuatan Desain Menggunakan Skenario
Data hasil identifikasi kebutuhan dianalisis untuk membuat rumusan tugas yang dilaksanakan dalam sistem. Perumusan tugas dilakukan dalam pembuatan desain konseptual. Perumusan tugas dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain skenario, use case, dan essential use case (Preece dkk., 2002). Penelitian ini hanya membahas pembuatan desain berdasarkan metode skenario.
Skenario merupakan deskripsi naratif mengenai gambaran keinginan penggunaan sistem untuk menyelesaikan sebuah aktivitas sebagai bagian dari pengembangan sebuah sistem (Rosson dan Carroll, 2002). Menurut Preece dkk. (2002) skenario merupakan deskripsi kegiatan atau tugas-tugas yang dilakukan manusia yang dapat menggambarkan konteks dan kebutuhan, tanpa menyebutkan penggunaan perangkat lunak atau teknologi untuk melaksanakan tugas tersebut, sebagai bagian dari desain konseptual sebuah produk.
Rosson dan Carroll (2002) membagi pembuatan desain menggunakan skenario menjadi tiga skenario yang terdiri atas skenario aktivitas, informasi, dan interaksi. Skenario aktivitas menggambarkan kegiatan apa yang dilakukan dalam sistem untuk mencapai suatu tujuan tertentu; skenario informasi menjelaskan informasi atau data apa yang ditampilkan dalam sistem; skenario interaksi menggambarkan interaksi yang terjadi antara pengguna dan sistem ketika menjalankan sebuah tugas (Aditya, 2007). Tahapan desain pada desain menggunakan skenario disajikan dalam Gambar I.9.
Gambar I.9. Tahapan desain dalam desain menggunakan skenario Sumber: Rosson dan Carroll (2001)
Masalah atau kebutuhan yang telah diidentifikasi diterjemahkan dan dijelaskan pada beberapa skenario desain. Pembuatan skenario dilakukan berdasarkan metafora, teknologi yang tersedia, pengetahuan desainer mengenai desain interaksi, serta standar atau pedoman yang ada (Rosson dan Carroll, 2002). Setiap pembuatan skenario dilengkapi dengan klaim mengenai analisis kelebihan dan kekurangan dalam desain serta desain ulang hingga diperoleh desain yang ideal berdasarkan kondisi ketika pembuatan desain (Rosson dan Carroll, 2001).
Skenario aktivitas Skenario informasi Skenario interaksi Iterasi analisis kelebihan/ kekurangan dan desain ulang Metafora, informasi teknologi, teori HCI, pedoman DESAIN
Skenario yang dibuat dalam skenario aktivitas, skenario informasi, dan skenario interaksi dapat diibaratkan sebagai sebuah cerita mengenai sesuatu yang ingin dilakukan oleh pengguna (Carroll, 1999). Tingkat kedetilan skenario dapat berbeda-beda karena tidak ada batasan mengenai deskripsi minimal yang harus ada dalam skenario (Preece dkk., 2002). Skenario merupakan gambaran dari perspektif sesorang sehingga tidak bertujuan untuk menggambarkan kebutuhan secara menyeluruh. Berikut adalah contoh skenario aktivitas dalam Prece dkk (2000) mengenai layanan katalog perpustakaan:
Saya ingin menemukan buku karangan George Jeffries. Saya tidak ingat judulnya, tapi saya tahu buku itu dipublikasikan sebelum tahun 1995. Saya pergi ke katalog dan memasukkan password saya. Saya tidak mengerti mengapa saya harus melakukan hal ini, karena saya tidak dapat pergi ke perpustakaan untuk menggunakan katalog tanpa melewati prosedur keamanan. Sekali password saya dikonfirmasi, saya diberi pilihan pencarian menggunakan pengarang atau tanggal, namun tidak ada pilihan kombinasi penggunaan pengarang atau tanggal. Setelah sekitar 30 detik, katalog melaporkan bahwa tidak ada buku karangan George Jeffries dan memberikan informasi mengenai buku-buku yang mirip dengan buku yang saya cari. Ketika saya melihat daftar tersebut, saya menyadari bahwa saya salah mengetik nama depan pengarang yang seharusnya Gregory bukan George. Saya memilih buku yang saya inginkan dan sistem menunjukkan lokasi dimana saya dapat menemukan buku tersebut.
I.8.7. Perangkat Lunak Pembuatan Geoportal
Geoportal dapat dibangun menggunakan perangkat lunak berlisensi atau perangkat lunak bersifat bebas atau terbuka. Perangkat lunak yang digunakan dalam pembuatan geoportal dalam penelitian ini difokuskan pada perangkat lunak yang bersifat bebas atau terbuka. Perangkat lunak tersebut membangun katalog data spasial dan aplikasi visualisasi data. Perangkat lunak tersebut terdiri atas Geonetwork dan Geoserver.
I.8.7.1. Geonetwork
Geonetwork adalah sistem pengelolaan informasi geospasial terdistribusi yang terstandar untuk meningkatkan pertukaran dan berbagi pakai data antar organisasi dan pengguna data dengan memungkinkan akses terhadap basisdata yang bereferensi kebumian dan produk kartografi dari berbagai penyedia data menggunakan metadata melalui internet (Geonetwork Developers, 2008). Pembangunan dan pengembangan
Geonetwork dilakukan berdasarkan prinsip Free and Open Source Software (FOSS) dan spesifikasi OGC.
Arsitektur Geonetwork fokus pada pembuatan dan penyajian katalog data spasial. Katalog tersebut meliputi tiga hal, yaitu data spasial, metadata, dan visualisasi peta yang interaktif. Geonetwork menerapkan spesifikasi OGC mengenai Web Catalogues (CSW) untuk perolehan informasi, ISO 19139 dan FGDC untuk menangani metadata spasial, serta OGS WMS untuk visualisasi peta melalui internet. Gambar I.10 menyajikan geoportal Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Gorontalo yang dibangun menggunakan Geonetwork.
Gambar I.10. Contoh geoportal yang dibangun menggunakan Geonetwork Sumber: http://93.188.161.241:8000/geonetwork/srv/idn/main.home
Fitur yang disediakan oleh Geonetwork (Geonetwork Developers, 2008) antara lain:
1. pencarian pada katalog data geospasial lokal atau yang terdistribusi; 2. pengunggahan dan pengunduhan data;
3. visualisasi interaktif data geospasial menggunakan Web Map Services (WMS) dari berbagai server;
4. pembuatan dan pencetakan layout secara online menggunakan format PDF; 5. pengubahan metadata secara online menggunakan template yang tersedia; 6. manajemen kelompok dan pengguna geoportal.
I.8.8.2. Geoserver
Geoserver adalah perangkat lunak berbasis Java yang bersifat bebas dan terbuka (open source) yang berfungsi mengelola dan menyajikan data geospasial berdasarkan spesifikasi OGC melalui WMS dan WFS (Lacovella dan Youngblood, 2013). Geoserver memungkinkan pengguna melihat dan mengedit data geospasial sehingga fleksibel digunakan dalam pembuatan peta dan berbagi pakai data geospasial (Open Source Geospatial Foundation, 2014). Layanan WMS, WFS, dan WCS yang merupakan implementasi standar OGC membuat Geoserver mampu membangun komponen utama untuk pembuatan web geospasial. Gambar I.11 menyajikan antarmuka Geoserver setelah dilakukan login oleh pengguna.
Gambar I.11. Antarmuka Geoserver setelah pengguna melakukan login
WMS adalah layanan geografis berbasis web yang menyajikan informasi geospasial sebagai gambar (image) digital pada layar komputer yang umumnya diterjemahkan dalam format gambar seperti PNG, GIF, JPEG, atau SVG (Open Geospatial Consortium Inc., 2006). Pengguna dapat melakukan tumpang susun beberapa data geospasial yang disajikan sebagai layer-layer gambar dalam sebuah tampilan. Pengembang web dapat mengatur simbol setiap data melalui pengaturan style dalam Geoserver. Pengaturan style dilakukan dengan mendefinisikan Styled Layer Descriptor (SLD) yang ketentuannya telah diatur dalam spesifikasi OGC.
Format luaran WMS yang difasilitasi Geoserver antara lain AtomPub, GIF, GeoRSS, GeoTIFF, TIFF, JPEG, PNG, KML, KMZ, PDF dan SVG.
Berdasarkan ISO 19119, WFS merupakan sebuah layanan akses fitur geospasial yang dalam layanannya mengikutsertakan elemen fitur, melayani transformasi koordinat, dan konversi format data geospasial (Open Geospatial Consortium Inc., 2014). Seperti dalam WMS, pengguna juga dapat melakukan tumpang susun beberapa data geospasial yang dikodekan dalam Geography Markup Language atau GML (Open Geospatial Consortium Inc., 2005). WFS dalam Geoserver dapat ditampilkan dalam beberapa format, antara lain CSV, GeoJSON, GML dan Shapefile. Pengaturan simbol untuk WFS tidak dilakukan dalam Geoserver melainkan didefinisikan melalui javascript sebagai symbolizer.