• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kepatuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kepatuhan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepatuhan

Menurut Hartono (2006) kepatuhan adalah perubahan sikap dan tingkah-laku seseorang untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain. Seseorang dikatakan patuh terhadap orang lain apabila orang tersebut dapat: (1) mempercayai (belief), (2) menerima (accept), dan (3) melakukan (act) sesuatu atas permintaan atau perintah orang lain. “Belief” dan “accept” merupakan dimensi kepatuhan yang terkait aspek tingkah-laku patuh seseorang.

McKendry (2009) menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan kecenderungan dan kerelaan seseorang untuk memenuhi dan menerima permintaan, baik yang berasal dari seorang pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau perintah. Ada dua macam istilah kepatuhan yaitu kepatuhan baik yang biasa disebut kepatuhan bermanfaat dan kepatuhan yang kurang baik atau merusak.

Kepatuhan bermanfaat ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari seperti seorang anak yang patuh kepada orangtua dan guru atau karyawan yang harus secara rutin menjalankan instruksi yang diberikan oleh pemimpin atau bos mereka. Sedangkan kepatuhan yang kurang baik atau kepatuhan yang merusak terlihat pada suatu kelompok yang mempengaruhi orang lain serta perilaku orang tersebut. Selain itu, jika ada seseorang yang patuh kepada orang lain dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut yang sebenarnya tidak ingin ia sakiti ketika berada dibawah suatu ancaman maka hal itu bisa dikatakan sebagai kepatuhan yang merusak.

Hartono (2006) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan dan kemandirian dalam tradisi pesantren meskipun hanya pada tingkat sedang atau dapat juga dikatakan bukan suatu hubungan yang saling tergantung karena hanya menggambarkan fakta yang memang demikian adanya. Kepatuhan dalam kehidupan pesantren merupakan suatu kecenderungan untuk memenuhi dan mengikuti semua aturan berdasarkan kesadaran diri santri atas manfaat yang akan diperoleh kelak. Para santri diharapkan melakukan semua kegiatan tanpa adanya tekanan akan hukuman, baik yang bersifat fisik seperti hukuman wajib piket kebersihan maupun psikologis seperti skorsing dan dikeluarkan dari pesantren.

(2)

Harrison (2009) menjelaskan cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kepatuhan yang merusak :

1. Memberikan dukungan atas perselisihan atau perbedaan di depan umum Banyak sekali individu yang memiliki kelemahan dalam mengutarakan pendapat karena tidak yakin bahwa orang lain memiliki pendapat yang sama dengan dirinya. Jika seseorang dalam suatu forum diberi dukungan untuk mengutarakan pendapat tanpa tekanan akan adanya tindakan balasan terhadap tindakannya tersebut maka ada banyak anggota lain yang akan ikut mengutarakan pendapat mereka. Jika sudah banyak anggota, dalam forum, yang mengutarakan perhatian-perhatian mereka, maka cara tersebut akan mengurangi kekuatan suatu forum atau kelompok dalam menarik anggota untuk sekedar mengikuti tanpa adanya pemahaman dan penjelasan (Baron & Byrne 2004, diacu dalam Harrison 2009).

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya kepatuhan yang merusak

Pengetahuan terbukti dapat menjadikan individu memiliki cara dalam melawan tekanan buruk yang berasal dari lingkungan sekitar (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Ketakutan akan hukuman, biasanya membuat individu merasakan efek psikologis yang ternyata dapat menguatkan hubungannya dengan suatu kelompok tertentu. Pada umumnya individu, yang termasuk dalam kelompok tertentu, sungguh dibatasi pengetahuannya terlebih yang berasal dari luar sehingga individu semakin kesulitan dalam membuat keputusan-keputusan yang bijaksana (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Mendidik masyarakat dengan baik sebelum mereka menjadi korban dari lingkungan yang tidak baik adalah kunci dalam menghindari kepatuhan yang merusak.

Kemandirian

Kemandirian dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah autonomy yaitu satu kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan atau kemampuan untuk menguasai konflik internal dan perasaan yang berkaitan dengan ketergantungan, rasa malu, rasa bersalah dan dapat melepaskan diri dari ikatan dan kehidupan orangtuanya (Frank et al. 1988). Sedangkan menurut Monks (2001) diacu dalam Musdalifah (2007) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau

(3)

masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

Harter (1999) diacu dalam Zimmer-Gembeck (2001) menyatakan bahwa rata-rata laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam mengeluarkan pendapat ketika mereka berada di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada kenyataannya, remaja laki-laki mempunyai cara yang berbeda dengan remaja perempuan ketika mengeluarkan pendapat tentang apa yang dipikirkan dan ketika berinteraksi dengan berbagai orang seperti teman, orangtua ataupun guru. Remaja perempuan memiliki kepercayaan yang rendah ketika harus mengekspresikan pendapat didepan khalayak banyak dibanding laki-laki, meskipun perempuan terbukti memiliki kualitas hubungan yang lebih baik dibanding laki-laki.

Steinberg (2001) menjelaskan bahwa kemandirian terbagi menjadi tiga dimensi yaitu :

1. Kemandirian emosi (emotional autonomy)

Dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan hubungan emosional antara anak dengan orangtua. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dengan orang tua.

Hubungan antara orangtua dan anak akan mengalami perubahan dengan sangat cepat, terutama sekali pada saat anak memasuki usia remaja dimana pada usia ini anak sudah dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga waktu yang diluangkan orang tua untuk anak remajanya akan semakin berkurang disamping menyusul semakin tingginya kemandirian emosi remaja, meskipun tidak dapat diputuskan secara sempurna (Berk 1994; Rice 1996).

Kemandirian emosi harus dicapai oleh para remaja dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, belajar mengontrol diri sendiri dan mengidentifikasi orang tua sebagai teman yang dapat dipercaya, bukan lagi sebagai model (Beyers & Goosens 1999).

Indikator kemandirian emosi pada remaja dapat dilihat dari beberapa karakteristik yaitu : (1) remaja tidak begitu saja datang kepada orang tua jika mendapat kesulitan, kesedihan, kekecewaan dan kekhawatiran ataupun meminta bantuan; (2) remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui dan menguasai segalanya; (3) remaja pada umumnya memiliki kekuatan emosi yang hebat untuk dapat menyelesaikan berbagai

(4)

permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa lebih dekat dengan teman dibanding orangtua; dan (4) remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orang tua sesungguhnya maupun sebagai teman dalam mendiskusikan berbagai hal (Steinberg 2001).

Steinberg (2001) menyatakan bahwa ada empat komponen kemandirian emosi antara lain :

a. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk tidak terlalu mengidealkan (“de-idealized”) orang tua

b. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk memandang orang tua sebagai orang dewasa atau orang lain pada umumnya (parent as people)

c. Suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap no dependency artinya remaja lebih bersandar kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan kepada orang tua

d. Suatu tingkat dimana remaja menampilkan perilaku bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang tua (individuated)

2. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy)

Kemandirian perilaku merupakan dimensi kemandirian dalam bentuk fungsi individu yang aktif dan nyata, dimana individu memiliki kebebasan untuk berbuat dan bertindak tanpa harus bergantung pada orang lain (Sprinthal & Collins 1995). Steinberg (2001) menjelaskan individu yang mandiri secara perilaku memiliki kemampuan untuk membuat suatu keputusan sendiri dan dapat melaksanakan keputusannya tersebut. Ada tiga karakteristik remaja yang memiliki kemandirian perilaku yaitu : (1) Memiliki kemampuan mengambil keputusan; (2) Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain; dan (3) Memiliki rasa percaya diri (self-reliance).

3. Kemandirian nilai (values autonomy)

Individu telah memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting dalam memandang sesuatu yang dilihat dari sisi nilai (Sprinthall & Collins 1995). Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan pada konsep remaja tentang moral, ideologi, politik dan agama. Steinberg (2001) juga menjelaskan terdapat tiga perubahan kemandirian nilai pada remaja yaitu : (a) keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief); (b) keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang bersifat

(5)

prinsip (principle belief); dan (c) keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri, bukan hanya dalam sistem nilai yang diajarkan oleh orang tua melainkan juga orang dewasa disekitarnya (independent belief). Dari ketiga dimensi kemandirian di atas, kemandirian nilailah yang paling kompleks karena terjadi melalui proses internal yang biasanya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir serta paling sulit dicapai (Karma 2002).

Moore (1987) dan Smolak (1993) menjelaskan kemandirian sebagai ketidaktergantungan (independence) yang terdiri dari 4 bentuk yaitu :

1. Ketidaktergantungan secara fungsional (functional independence) yaitu kemampuan seorang remaja untuk mengatur dan mengarahkan diri sendiri tanpa bantuan dari ayah dan ibu

2. Ketidaktergantungan dalam sikap (attitudinal independence) artinya remaja mampu menjadi diri yang unik yaitu memiliki keyakinan, nilai-nilai dan pendapat sendiri

3. Ketidaktergantungan dalam hal emosi (emotional independence) artinya seseorang bebas dari kebutuhan yang berlebihan akan penerimaan, keakraban dan dukungan emosi dari orangtua

4. Ketidaktergantungan konfliktual (conflictual independence) artinya bebas dari rasa bersalah dan cemas yang berlebihan.

Ali dan Asrori (2009) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian remaja yaitu:

1. Gen atau keturunan orangtua

Orangtua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orangtua yang menurun kepada anak melainkan sifat orangtua yang muncul berdasarkan cara orangtua dalam mendidik anak.

2. Pola asuh orangtua

Cara orangtua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remaja. Orangtua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarga akan dapat mendorong kelancaran perkembangan bagi seorang anak.

3. Sistem pendidikan di sekolah

Proses pendidikan yang dapat memperlancar perkembangan kemandirian remaja adalah proses yang lebih menekankan pentingnya penghargaan

(6)

terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi yang positif.

4. Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan yang dapat merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja adalah lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis.

Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999).

Emosi ternyata banyak mempengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif pula. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai oleh emosi yang negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009).

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008).

Model six seconds yang dijelaskan oleh Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada sebelas indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat EQ seorang anak yaitu (1) memiliki kemampuan mengekspresikan emosi dan

(7)

memahami emosi orang lain; (2) kemampuan mengelola emosi; (3) kemampuan memberikan empati pada orang lain; (4) bersikap mandiri; (5) mudah beradaptasi dengan beragam situasi dan kondisi; (6) disukai lingkungannya; (7) memiliki orientasi untuk mencari solusi; (8) mudah berteman dan berbagi; (9) bersikap gigih; (10) bersikap penolong; dan (11) menghormati orang lain.

Lima dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman 1999) :

1. Kesadaran diri : mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat

2. Pengaturan diri : menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi

3. Motivasi : menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi 4. Empati : merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami

perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang

5. Keterampilan sosial : menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.

Menurut Goleman (2007) IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan sisanya yaitu 80 persen diperoleh dari EQ. Ia juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat dari kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.

Daengsari (2009) menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan emosi dipengaruhi perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif,

(8)

maupun sosial. Sifat bawaan atau temperamen anak, serta pola asuh dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya.

Hasil penelitian Ktyal dan Awasthi (2005) menjelaskan bahwa 61.33 persen remaja laki-laki dan 64.00 persen perempuan memiliki kecerdasan emosional yang termasuk kategori baik. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih emosi dan lebih ingin mengenal baik dalam suatu hubungan dibanding laki-laki sehingga perempuan diharuskan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Selain itu, ada fakta yang juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengekspresikan emosi yang dimiliki sebagai kemampaun sosial.

Tapia (1999) dan Dunn (2002) diacu dalam Katyal dan Awasthi (2005) menyatakan bahwa perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan juga lebih sensitif terhadap hubungan dengan orangtua, teman, dan saudara kandung.

Pola asuh

Hastuti (2008) menjelaskan gaya pengasuhan adalah cara berinteraksi orangtua-anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak. Gaya pengasuhan terbagi menjadi dua yaitu gaya pelatihan emosi dan gaya pendisiplinan. Gaya pelatihan emosi terdiri atas :

1. Coaching (pelatih emosi)

Gaya ini merupakan cara terbaik untuk mengajarkan anak-anak tentang apa yang mereka rasakan dan bagaimana mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang positif (Gottman 2004). Ciri-ciri orangtua atau pengasuh yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) adalah :

a. Orangtua menghargai emosi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab

b. Orangtua sabar dan bersedia menghabiskankan waktu bersama anak yang sedang sedih, marah dan takut

(9)

d. Orangtua sadar dan peka terhadap keadaan emosi anak bahkan bila emosi tersebut tidak terlalu kelihatan

e. Orangtua tidak merasa bingung ataupun cemas menghadapi ungkapan emosi anak serta mengetahui apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi emosi tersebut

f. Orangtua menghormati emosi yang dialami anak

g. Orangtua tidak meremehkan perasaan atau emosi negatif anak h. Orangtua tidak memerintahkan apa yang harus dirasakan oleh anak

i. Orangtua tidak merasa bahwa ia harus menyelesaikan segala masalah bagi anak

j. Orangtua menggunakan saat emosi anak sebagai saat mendengarkan anak, berempati dengan kata-kata yang menyejukkan dan penuh kemesraan, menolong anak memberikan nama pada emosi yang dirasakannya, memberikan petunjuk untuk mengatur emosi, menentukan batas dan mengajarkan cara mengungkapkan emosi yang dapat diterima orang lain dan mengajarkan keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Akibat dari penerapan pola asuh pelatih emosi terhadap anak-anak antara lain mereka belajar mempercayai perasaan-perasaan mereka, mengatur emosi-emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Selain itu, mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi, dapat belajar dengan baik, dan bergaul dengan orang lain secara baik-baik.

2. Dismissing parenting style (gaya pengabai emosi)

Menurut Gottman (2004) para orangtua, pengasuh dan guru meyakini bahwa cara terbaik untuk mengatasi emosi seorang anak adalah dengan mengatakan kalimat “sudah lupakan saja” kepada anak. Mereka cenderung tidak peduli terhadap apa yang dirasakan oleh seorang anak karena mereka menganggap bahwa perasaan itu tidak penting atau mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka. Mereka sering merasa tidak nyaman jika anak-anak sedih atau marah. Mereka sangat yakin bahwa emosi negatif merupakan sesuatu yang berbahaya atau tidak penting, dan sebaiknya dihindari.

Ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan pengasuhan perilaku pengabai emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) yaitu :

a. Orangtua memperlakukan perasaan-perasaan anak sebagai hal yang tidak penting

(10)

b. Orangtua melepaskan diri atau mengabaikan perasaan-perasaan anak c. Orangtua menginginkan agar emosi-emosi negatif anak hilang dengan

cepat

d. Orangtua menggunakan pengalih perhatian untuk menutup emosi anak e. Orangtua memperlihatkan sedikit minat pada apa yang ingin disampaikan

oleh anak

f. Orangtua barangkali tidak mempunyai kesadaran akan emosi-emosinya sendiri dan orang lain

g. Orangtua merasa tidak nyaman, penuh rasa takut, cemas, terganggu, sakit hati, atau kewalahan dengan emosi-emosi anak

h. Orangtua takut lepas kendali secara emosional

i. Orangtua memusatkan perhatian lebih pada bagaimana mengatasi emosi-emosi dan bukan pada makna emosi-emosi itu sendiri

j. Orangtua berpendapat bahwa emosi-emosi itu merugikan atau beracun k. Orangtua berpendapat bahwa jika memusatkan perhatian pada emosi

negatif maka hanya akan memperburuk keadaan

l. Orangtua tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi emosi anak

m. Orangtua percaya bahwa emosi negatif berarti bahwa seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik

n. Orangtua berpendapat emosi negatif anak secara buruk mencerminkan orangtua mereka

o. Orangtua menganggap kecil perasaan-perasaan anak dan meremehkan peristiwa yang menimbulkan emosi tersebut

p. Orangtua tidak menyelesaikan masalah bersama dengan anak melainkan membiarkannya karena seiring berjalannya waktu maka sebagian besar masalah akan selesai dengan sendirinya

3. Disapproving style (gaya tidak menyetujui)

Menurut Gottman (2004) gaya tidak menyetujui menganggap bahwa kemarahan dan tangisan seorang anak hanyalah karena menginginkan perhatian dari orangtua, pengasuh atau guru. Sikap penolakan dari orangtua, pengasuh dan guru menjelaskan bahwa emosi merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima sehingga mereka mencoba untuk memahami emosi anak dengan mendisiplinkan atau menghukum anak terkait dengan apa yang mereka rasakan.

(11)

Ciri dari orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan tidak menyetujui :

a. Orangtua memeragakan banyak tingkah laku orangtua yang meremehkan tetapi dengan cara yang lebih negatif

b. Orangtua menilai dan mengecam ungkapan emosional anak

c. Orangtua terlampau sadar akan perlunya menentukan batas-batas terhadap anak-anak mereka

d. Orangtua menekankan kepatuhan terhadap pedoman-pedoman ang baik atau tingkah laku yang baik

e. Orangtua menghardik, menertibkan, atau menghukum anak karena mengungkapkan emosi, entah anak itu nakal atau tidak

f. Orangtua percaya bahwa ungkapan emosi negatif harus dibatasi waktunya g. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif harus dikendalikan

h. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif mencerminkan perangai buruk i. Orangtua berpendapat bahwa anak menggunakan emosi negatif untuk

memanfaatkan orangtua; kepercayaan ini menghasilkan perebutan kekuasaan

j. Orangtua berpendapat bahwa emosi membuat orang lemah; anak-anak harus melawan emosinya supaya dapat bertahan hidup

k. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif tidak produktif dan merupakan pemborosan waktu

l. Orangtua menganggap emosi negatif (terutama kesedihan) sebagai sebuah komoditas yang tidak boleh diboroskan

m. Orangtua memprihatinkan ketaatan anak terhadap orangtua atau guru Akibat dari penerapan pola asuh mengabaikan dan tidak menyetujui terhadap anak antara lain mereka belajar bahwa perasaan-perasaan yang mereka rasa keliru, tidak tepat, atau tidak sah. Hal ini dikarenakan menurut pemahaman mereka bahwa “dari sananya” ada sesuatu yang salah dengan mereka karena cara mereka dan mereka menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi-emosi mereka sendiri.

4. Gaya pengasuhan Laissez-faire

Menurut Gottman (2004) gaya Laissez-faire merupakan suatu kebebasan bagi seorang anak dalam mengekspresikan apa yang mereka rasa, baik kebahagiaan, kemarahan atau kesedihan. Akan tetapi Laissez-faire tidak memberikan batasan terhadap kebebasan tersebut dan hanya ada sedikit

(12)

bimbingan agar anak dapat memahami bahwa emosi mereka baik dan tidak diajarkan bagaimana mengatasi emosi tersebut. Sedangkan menurut Gottman dan De Claire (1997) ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan laissez-faireantara lain :

a. Orangtua dengan bebas menerima semua ungkapan emosi anak

b. Orangtua menawarkan hiburan kepada anak yang sedang mengalami kesedihan dan perasaan negatif lainnya

c. Orangtua tidak mampu mengajarkan cara mengenal emosi

d. Orangtua sedikit memberikan arahan tentang tingkah laku tertentu

e. Orangtua tidak menentukan batasan sehingga terlalu mudah memberikan ijin

f. Orangtua tidak dapat membantu anak dalam menyelesaikan masalah ataupun meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah

g. Orangtua percaya bahwa hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk emosi-emosi negatif selain bertahan dari emosi-emosi tersebut

h. Orangtua berpendapat bahwa mengelola emosi negatif merupakan masalah ilmu hidrolika; lepaskanlah emosi, maka masalahnya akan selesai Akibat dari penerapan pola asuh Laissez-Faire terhadap anak antara lain mereka tidak belajar cara mengatur emosi mereka sendiri; mereka menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, menjalin persahabatan, dan bergaul dengan anak lain.

Pondok Pesantren

Kata pesantren, secara etimologis, berasal dari kata pesantrian yang berarti ’tempat santri’ (Dhofier 1982, diacu dalam Ma’arif 2008). Sementara menurut Clifford Geertz (1983) diacu dalam Ma’arif (2008) istilah pesantren yang lazim disebut pondok memiliki kata dasar ’santri’ yang berarti seorang murid atau sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Lalu kata itu mendapat imbuhan berupa prefiks ’pe’ dan sufiks ’an’ yang kemudian berarti tempat tinggal para santri.

Secara terminologis, Abdurrahman Mas’ud (2004) diacu dalam Ma’arif (2008) mendefinisikan pesantren adalah ”the word pesantren stems from ”santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge.” Daulay (2004) menjelaskan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional“ untuk mendalami

(13)

ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Mastuhu (1994) diacu dalam Ma’arif (2008) menambahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Berdasarkan kenyataan di lapangan terdapat lima unsur pokok pesantren yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran ilmu-ilmu agama, dan kiai (Daulay 2004). Adapun ciri-ciri pesantren menurut pendapat Ziemek (1986) diacu dalam Ma’arif (2008) terbagi menjadi tiga yaitu (1) kiai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; (2) pelajar (santri) secara pribadi diajari berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, paham, dan akidah keislaman; (3) kiai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, tempat mereka sering disebut ’pondok.’

Tujuan dasar didirikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Ma’arif 2008). Selain itu, Dhofier (1982) diacu dalam Ma’arif (2008) juga menjelaskan bahwa pesantren bertujuan untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang juga ditanamkan pada setiap santri (Bruinessen 1995, diacu dalam Ma’arif 2008).

Nilai-nilai khas kepesantrenan yang dikembangkan oleh pondok pesantren, sebagaimana telah ditunjukkan Fakih (2004) diacu dalam Ma’arif (2008) adalah (1) nilai teosentris; (2) sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama dan (11) restu kiai.

Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan (sistem individual) dan sistem bandongan atau wetonan (kolektif). Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau pembantu kiai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan

(14)

Al-Quran dan kenyataannya merupakan bagian yang paling sulit karena menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Lalu selanjutnya adalah sistem bandongan atau wetonan yang merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kelompok kelas dari sistem bandongan disebut halaqah atau sekelompok santri yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Murid-murid mendengarkan guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Sistem soroganbiasanya hanya digunakan untuk santri baru yang memerlukan bantuan secara individual (Dhofier 1985).

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pesantren tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah) (Walsh 2002).

Remaja

Kata adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980). Orang-orang Barat menyebut remaja dengan istilah ”puber” sedangkan orang Amerika menyebutnya ”adolesensi” dan keduanya merupakan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa (Zulkifli 1995).

Menurut Zulkifli (1995), anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun berada dalam masa pertumbuhan remaja sehingga tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Sedangkan Monks (2001) menjelaskan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Piaget (1969) diacu dalam Hurlock (1980) menjelaskan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa atau usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih

(15)

tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Steinberg (1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih mudah terkena pengaruh orang lain atau figur otoritas, apabila dibandingkan dengan remaja laki-laki.

Ali dan Asrori (2009) membagi masa remaja menjadi empat periode yaitu: 1. Periode praremaja

Selama periode ini remaja perempuan dan laki-laki mengalami gejala yang hampir sama. Para remaja lebih mudah tersinggung dan cengeng tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak.

2. Periode remaja awal

Selama periode ini remaja merasa cemas terhadap dirinya sendiri karena merasa kurang mendapat perhatian dari orang lain atau bahkan merasa tidak ada orang yang mempedulikannya sehingga mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar.

3. Periode remaja tengah

Pada periode ini remaja harus meningkatkan rasa tanggung jawab agar mampu memikul sendiri masalah yang sedang mereka hadapi. Tuntutan tanggung jawab tersebut tidak hanya datang dari orangtua atau anggota keluarga tetapi juga dari masyarakat sekitar. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orangtua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka.

4. Periode remaja akhir

Pada periode ini, remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Oleh karena itu, orangtua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orangtua juga menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah

(16)

semakin jelas dan mulai mampu mengambil pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana meskipun belum bisa secara penuh. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap dirinya sendiri, orangtua, dan masyarakat.

Ciri-ciri masa remaja menurut Zulkifli (1995) antara lain :

1. Pertumbuhan fisik terjadi dengan cepat bahkan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa yang jelas terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, dan otot-otot tubuh sehingga anak kelihatan bertubuh tinggi tetapi kepalanya masih mirip dengan anak-anak. 2. Perkembangan seksual kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi

penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya alat produksi sperma mulai beroperasi, mengalami mimpi pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma (biasanya terjadi ketika usia 13 tahun yang merupakan awal dari masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 21 tahun), pada leher menonjol buah jakun yang membuat nada suara menjadi pecah, dan di atas bibir serta di sekitar kemaluannya mulai tumbuh bulu-bulu (rambut). Sedangkan pada anak perempuan antara lain mendapatkan menstruasi (datang bulan) yang pertama sehingga rahim sudah bisa dibuahi (biasanya terjadi ketika usia 12 tahun yang merupakan awal masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 19 tahun), tumbuhnya jerawat di permukaan wajah dan terjadi penimbunan lemak yang membuat buah dada tumbuh, pinggul melebar dan paha membesar.

3. Cara berpikir kausalitas yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil.

4. Emosi yang meluap-luap atau keadaan emosi yang masih labil sangat erat kaitannya dengan keadaan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis.

5. Mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran. Secara biologis anak perempuan lebih cepat matang daripada anak laki-laki.

Tabel 1 Perbedaan sikap antara anak laki-laki dan perempuan

No Sikap Anak Laki-Laki Sikap Anak Perempuan 1 Aktif memberi, melindungi, dan

(17)

Tabel 1 (Lanjutan)

No Sikap Anak Laki-Laki Sikap Anak Perempuan 2 Ingin memberontak dan mengeritik Dorongan itu dilunakkan oleh perasaan

terikat kepada aturan-aturan dan tradisi 3 Ingin mencari kemerdekaan berpikir,

bertindak, dan memperoleh hak-hak turut berbicara

Ingin dicintai dan menyenangkan hati orang lain

4 Suka meniru perbuatan orang-orang yang dipujanya

Tidak ingin meniru, lebih suka bersikap pasif

5 Minatnya tertuju kepada hal-hal yang

abstrak Minatnya ditujukan kepada hal-hal yang nyata 6 Lebih memuja kepandaian yang

dimiliki seseorang daripada orangnya Langsung memuja orangnya

6. Menarik perhatian lingkungan dengan berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampung-kampung yang diberi peranan 7. Terikat dengan kelompok sehingga tidak jarang orangtua dinomorduakan

sedangkan kelompoknya dinomorsatukan. Kelompok atau gang sebenarnya tidak berbahaya asal saja kita bisa mengarahkannya.

Tugas-tugas perkembangan bagi seorang remaja menurut Havighurst (1972) diacu dalam Hurlock (1980) antara lain :

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

6. Mempersiapkan karier ekonomi

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

Urutan kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga bisa dijadikan pertimbangan untuk menggambarkan perilaku dari anak tersebut. Contohnya adalah anak pertama yang digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya (Santrock 2003).

Sedangkan menurut Hurlock (1978) anak pertama lebih merasa tidak pasti, tidak mudah percaya, tidak merasa aman, lihai, bakhil, bergantung, bertanggung jawab, berkuasa, iri hati, konservatif, kurang adanya dominasi dan

(18)

agresivitas, mudah dipengaruhi, mudah merasa senang, sensitif, murung, introvert, sangat terdorong berprestasi, membutuhkan afiliasi, pemarah, manja, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Lalu ciri anak kedua antara lain mandiri, agresif, ekstrovert, suka melucu, suka berteman, suka berpetualang, dapat dipercaya, dan mudah menyesuaikan diri. Anak tengah memiliki ciri agresif, mudah dialihkan perhatiannya, sangat membutuhkan pernyataan kasih sayang, iri hati, terganggu oleh perasaan ditolak orangtua, rendah diri, merasa tidak mampu, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Selain itu, anak bungsu memiliki ciri aman, percaya diri, spontan, bersifat baik, murah hati, manja, tidak matang, ekstrovert, kemampuan berempati, merasa tidak mampu dan rendah diri, memusuhi saudaranya yang lebih tua, iri hati, tidak bertanggung jawab, dan bahagia.

Karakteristik Keluarga Usia orangtua

Menurut Hurlock (1991) usia orangtua dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Usia orangtua sangat berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Ketidakstabilan ekonomi dan emosi, tekanan rasa malu, dan ketidaksiapan menjadi orangtua adalah faktor utama yang menentukan kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anaknya (Hastuti 2008).

Pendidikan orangtua

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Orangtua berpenidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat, dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah. Selain itu, para orangtua berpendidikan tinggi juga sanggup memberikan rangsangan-rangsangan fisik maupun mental sejak dini, mereka juga akan melatih anak-anaknya untuk memiliki sikap sosial yang baik, dan membiasakan untuk hidup disiplin, sehingga anak-anak memiliki sikap atau nilai sosial yang tinggi (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan ayah dapat mempengaruhi hubungan keluarga dalam empat hal antara lain prestise pekerjaan ayah berpengaruh langsung pada perilaku remaja

(19)

terhadap ayah dan secara tidak langsung terhadap dirinya sendiri. Kedua, pekerjaan ayah mempengaruhi status sosial ekonomi keluarga. Ketiga, pekerjaan ayah mempengaruhi hubungan ayah dengan anak remaja laki-laki, menjadi kurang luas, dan anak remaja perempuan sepanjang pengaruhnya terhadap aspirasi dan standar yang diberikan kepada mereka misalnya dalam dunia kerja. Keempat, jika pekerjaan ayah mengharuskan dirinya untuk absen dari rumah dalam waktu yang cukup lama, maka akan ada keretakan sementara dalam keluarga dan perubahan dalam lingkungan rumah. Ketika ayah kembali ke rumah maka penyesuaian ulang mungkin membuat semua anggota keluarga menjadi cukup stres (Hurlock 1973).

Status pekerjaan ibu mempengaruhi anggota keluarga dengan cara yang berbeda. Ketika ibu bekerja, anak laki-laki memiliki waktu senggang yang lebih karena ia tidak perlu bekerja setelah pulang sekolah untuk mencari uang atau berkontribusi dalam pendapatan keluarga. Sedangkan bagi anak perempuan diharapkan untuk menerima tanggung jawab yang lebih di rumah. Sejauh ini, anak perempuan yang memiliki ibu bekerja seringkali merasa bahwa ia dibatasi secara sosial (Hurlock 1973).

Besar keluarga

Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Hal ini dapat menimbulkan kepatuhan yang kurang baik karena tidak adanya kontrol yang intens yang dilakukan orangtua kepada anak-anak mereka.

Semakin kecil sebuah keluarga, maka semakin sedikit hubungan interpersonal yang terjadi dan kemungkinan untuk berselisih. Orangtua dengan satu anak lebih suka memperlakukan anak secara demokratis dan menjadi sangat baik terhadap anak. Sedangkan keluarga dengan dua atau tiga orang anak, dikatakan kecil jika dibandingkan dengan generasi yang lalu, cenderung menjadi sangat mudah berselisih. Keluarga besar atau keluarga yang memiliki enam atau lebih anak cenderung memiliki tingkat perselisihan yang lebih rendah dibanding keluarga kecil karena jarang mendapat perlindungan dan lebih sering dibatasi oleh kondisi ekonomi untuk mengembangkan kemandirian mereka dalam berkontribusi terhadap pendapatan keluarga (Hurlock 1973).

(20)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kehidupan pondok pesantren sangat terkenal dengan kepatuhan dan kemandirian para santrinya (Hartono 2006). Kepatuhan dan kemandirian merupakan dua dari beberapa tugas perkembangan yang harus dicapai oleh para santri. Berdasarkan hasil penelitian Hartono (2006) dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan dan kemandirian, akan tetapi hanya hubungan yang saling tergantung atau hubungan yang berada pada taraf sedang.

Tuntutan banyaknya kegiatan dan aturan yang terdapat di pondok pesantren terpaksa mengharuskan para santri untuk menjalankan semua kegiatan dan rutinitas sesuai aturan dengan baik. Kepatuhan dan kemandirian diduga ditentukan oleh tingkat kecerdasan emosionalnya. Jika seseorang sudah memiliki emosi yang baik maka diharapkan dapat melakukan pengamatan dan pemahaman terhadap suatu hal dengan baik sehingga nantinya dapat memberikan tanggapan yang positif terhadap hal tersebut (Ali & Asrori 2009).

Daengsari (2009) menyatakan bahwa perkembangan emosi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, dan sosial. Selain itu, sifat bawaan atau temperamen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosi. Sifat bawaan atau temperamen anak dapat dilihat dari karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran dalam keluarga. Lalu lingkungan sosial juga dapat dilihat dari karakteristik keluarga santri yaitu usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga dan besar keluarga. Sedangkan untuk pola asuh dilihat dari persepsi santri terhadap pola asuh emosi yang diterapkan oleh pihak pondok pesantren dengan mengaitkan peraturan, jumlah santri, dan sistem pendidikan.

Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk melihat dugaan adanya hubungan antara karakteristik anak dan keluarga dengan kecerdasan emosional. Hubungan antara kecerdasan emosional dan pola asuh emosi yang diterapkan di pondok pesantren dengan kepatuhan dan kemandirian anak.

(21)

Keterangan :

= variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren Karakteristik anak :  Usia anak  Jenis kelamin  Urutan kelahiran Karakteristik keluarga :  Usia orangtua  Pendidikan orangtua  Pekerjaan orangtua  Pendapatan keluarga  Besar keluarga Karakteristik pondok:  Sistem pendidikan  Jumlah santri  Peraturan dan sanksi

 Peran Kiai atau Ustad/ustadzah Persepsi anak terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren Kecerdasan Emosional :  Kesadaran diri  Pengaturan diri  Motivasi  Empati  Keterampilan sosial Kepatuhan :  Aturan pondok pesantren Kemandirian :  Emosi  Tingkah laku  Nilai

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Emosional dengan  Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok PesantrenKarakteristik anak :Usia anakJenis kelaminUrutan kelahiranKarakteristik keluarga :Usia orangtuaPendidikan orangtuaPekerjaan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mebobo Pada acara adat perkawinan suku Kluet sudah dilaksanakan semenjak abad ke-13 Masehi.Mebobo dilaksanakan oleh laki-laki pemuda desa

Dalam layanan perpustakaan terdapat beberapa pola, dalam bukunya Mathar (2012:161) membagi model layanan menjadi 3 (tiga), yang pertama yaitu.. layanan terbuka yang

Sinyal CH 1 pada osiloskop menampilkan hasil pengukuran sinyal tegangan pada tahanan 50 kΩ , dimana tegangan pada tahanan ini digunakan untuk mengukur arus maka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Persentase ketuntasan secara individual meningkat pada siklus I terdapat 21 siswa yang tuntas, pada siklus II terdapat 26 tuntas,

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang tgelah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat

Lihat pasal 57 UU Mahkamah konstitusi 2004 (1)Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang

Kelecakan beton menjadi lebih baik untuk campuran yang menggunakan CBS dengan waterproofing treatment dan dari pengujian kuat tekan beton, didapatkan adanya pengaruh bahan

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa instrumen yaitu observasi dan interview yang kemudian di analisis menggunakan teori pendekatan berpikir kritis oleh