• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Definisi LAPORAN PENDAHULUAN ELIMINASI URINE DAN FEKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Definisi LAPORAN PENDAHULUAN ELIMINASI URINE DAN FEKAL"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN ELIMINASI URINE DAN FEKAL

A.

Definisi

Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : eliminasi urine dan eliminasi fekal.

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006).

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau alvi (buang air besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni eliminasi urine (kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan tersebut dapat melalui urin ataupun bowel.

Eliminasi materi sampah merupakan salah satu dari proses metabolic tubuh. Produk sampah dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan.

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik yan berupa urin maupun fekal.

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses).

1. Eliminasi urine

Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan. Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemoh, dan uretra. Proses pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu : filtrasi , reabsorpsi dan sekresi .

Proses filtrasi berlangsung di glomelurus. Proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen.

(2)

Proses reabsorpsi terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorpsi diteruskan keluar.

2. Eliminasi fekal

Eliminasi fekal sangat erat kaitannya dengan saluran pencernaan. Saluran pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan proses penernaan (pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair dari mulut sampai anus. Organ utama yang berperan dalam eliminasi fekal adla usus besar. Usus besar memiliki beberapa fungsi utama yaitu mengabsorpsi cairan dan elektrolit, proteksi atau perlindungan dengan mensekresikan mukus yang akan melindungi dinding usus dari trauma oleh feses dan aktivitas bakteri, mengantarkan sisa makanan sampai ke anus dengan berkontraksi.

Proses eliminasi fekal adalah suatu upaya pengosongan intestin. Pusat refleks ini terdapat pada medula dan spinal cord. Refleks defekasi timbul karena adanya feses dalam rektum.

B.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi 1. Eliminasi Urine

a. Diet dan intake

Jumlah dan tipe makanana mempengaruhi output urine, seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar.

b. Respon keinginan awal untuk berkemih

Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan yang mengabaikan respon awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan dalam kandung kemih. Masyarakat ini mempunyai kapasitas kamdung kemih yang lebih dari normal.

c. Gaya hidup

Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.

(3)

d. Stress psikologi

Meningkatnya stres seseorang dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.

e. Tingkat aktivitas

Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus spingter internal dan eksternal.

f. Tingkat perkembangan

Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya

g. Kondisi patologis

Saat seseorang dalam keadaan sakit,produksi urinnya sedikit hal ini disebabkan oleh keinginan untuk minum sedikit.

2. Eliminasi Fekal

a. Tingkat perkembangan

Pada bayi sistem pencernaannya belum sempurna. Sedangkan pada lansia proses mekaniknya berkurang karena berkurangnya kemampuan fisiologis sejumlah organ.

b. Diet

Ini bergantung pada kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Sebagai contoh, makanan berserat akan mempercepat produksi feses. Secara fisiologis, banyaknya makanan yang masuk kedalam tubuh juga berpengaruh terhadap keinginan defekasi.

c. Asupan Cairan

Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras. Ini karena jumlah absorpsi cairan dikolon meningkat.

(4)

d. Tonus Otot

Tonus otot terutama abdomen yang ditunjang dengan aktivitas yang cukup akan membantu defekasi. Gerakan peristaltik akan memudahkan materi feses bergerak disepanjang kolon.

e. Faktor psikologis

Perasaan cemas atau takut akan mempengaruhi peristaltik atau motilitas usus sehingga dapat menyebabkan diare.

f. Pengobatan

Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan katartik dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik. Akan tetapi, jika digunakan dalam waktu lama, kedua obat tersebut dapat menurunkan tonus usus sehingga usus menjadi kurang responsif terhadap stimulus laksatif. Obat-obat lain yang dapat mengganggu pola defekasi antara lain: analgesik narkotik,opiat, dan anti kolinergik.

g. Penyakit

Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare atau konstipasi. h. Gaya hidup

Aktivitas harian yang biasa dilakukan, bowel training pada saat kanak-kanak, atau kebiasaan menahan buang air besar.

i. Aktivitas fisik

Orang yang banyakn bergerak akan mempengaruhi mortilitas usus. j. Posisi selama defekasi

Posisi jongkok merupakan posisi paling sesuai untuk defekasi. Posisi tersebut memungkinkan individu mengerahkan tekanan yang terabdomen dan mengerutkan otot pahanya sehingga memudahkan proses defekasi.

k. Kehamilan

Konstipasi adalah masalah umum ditemui pada trimester akhir kehamilan . seiring bertambahnya usia kehamilan , ukuran janin dapat menyebabkan obstruksi yang akan menghambat pengeluaran feses . Akibatnya , ibu hamil sering kali mengalami hemoroid permanen karena seringnya mengedan saat defekasi .

(5)

C.

KLASIFIKASI 1. Eleminasi urine

a. Retensi urine

Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih .

b. Dysuria

Adanya rasa setidaksakit atau kesulitan dalam berkemih . c. Polyuria

Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml / hari , tanpa adanya intake cairan .

d. Inkontinensi urine

Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih .

e. Urinari suppresi

Adalah berhenti mendadak produksi urine.

2. Fekal

a. Konstipasi

Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering .

(6)

Imfaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi . Imfaksi adalah kumpulan feses yang mengeras , mengendap di dalam rektum , yang tidak dapat dikeluarkan.

c. Diare

Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses yang cair dan tidak berbentuk . Diare adalah gejala gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan , absorpsi , dan sekresi di dalam saluran GI .

d. Inkontinensia

Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan gas dari anus .

e. Flatulen

Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh , terasa nyeri , dan kram.

f. Hemoroid adalah vena – vena yang berdilatasi , membengkak dilapisan rektum .

D.

GEJALA KLINIS 1. Eleminasi urine Retensi urine

 Ketidaknyamanan daerah pubis.  Distensi kandung kemih.

 Ketidaksanggupan untuk berkemih.

 Sering berkemih dalam kandung kemih yang sedikit ( 25 – 50 ml ).

2. Eleminasi Fekal Diare

 Nyeri atau kejang abdomen.  Kadang disertai darah atau mukus.  Kadang vomitus atau nausea.

(7)

E.

PATOFISIOLOGI

1. Gangguan Eliminasi Urin

Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.

Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris

(8)

pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.

(9)

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

F.

PEMERIKSAAN FISIK 1. Eleminasi urine

a. Abdomen, kaji dengan cermat adanya pembesaran , distensi kandung kemih , pembesaran ginjal , nyeri tekan pada kandung kemih .

b. Genitalia. Kaji kebersihan daerah genetalia . Amati adanya bengkak , rabas , atau radang pada meatus uretra .

c. Urine, kaji karakteristik urine klien bandingkan dengan karakteristik urine normal.

2. Eleminasi fekal

a. Abdomen, pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang , hanya pada bagian yang tampak saja

 Inspeksi. Amati abdomen untuk melihat bentuknya , simetrisitas , adanya distensi atau gerak peristaltik .

 Auskultasi , dengarkan bising usus , lalu perhatikan intensitas , frekuensi dan kualitasnya.

 Perkusi , lakukan perkusi pada abdomen untuk mengetahui adanya distensi berupa cairan , massa , atau udara . mulailah pada bagian kanan atas dan seterusnya .

 Palpasi , lakukan palpasi untuk mengetahui konstitensi abdomen serta adanya nyeri tekan atau massa di permukaan abdomen .

(10)

b. Rektum dan anus , pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi atau sims. a. Feses , amati feses klien dan catat konstitensi, bentuk , bau , warna , dan

jumlahnnya.

Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan USG

2) Pemeriksaan foto rontgen

3) Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

G.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian keperawatan

1. Pola defekasidan keluhan selama defekasi

Pengkajian ini antara lain : bagaimana pola defekasi dan keluhannya selama defekasi, secara normal, frekuensi buang air besar pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari, sedangkan orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari adalah 150 g.

2. Keadan feses, meliputi:

No Keadaan Normal Abnormal Penyebab

1. warna Bayi, kuning. Putih, hitam/tar, atau merah

Kurang kadar empedu, perdarahan saluaran saluaran cerna bagian atas, atau peradangan saluran cerna bagian bawah

Dewasa: coklat Pucat berlemak Malabsorpsi lemak 2. Bau Khas feses dan

dipengaruhi oleh makanan

Amis dan perubahan bau

Darah dan infeksi

3. konsistensi Lunak dan berbentuk.

(11)

4. bentuk Sesuai diameter rektum

Kecil, bentuknya sesperti pensil.

Obstruksi dan peristaltik yang cepat

5. konsituen Makanan yang dicerna, bakteri yang maati, lemak, pigmen, empedu, mukosa usus, air

Darah, pus, benda asing, mukus, atau cacing.

Internal belding, infeksi, trtelan bendam iritasi, atau inflamasi.

3. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal: Faktor yang meningkatkan Eliminasi :

1. Lingkungan yang bebas

2. Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi. 3. Diet tinggi serat

4. Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat) 5. Olahraga

6. Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok 7. Laksatif atau katartik secara tepat

Faktor yang merusak eliminasi : 1. Stress emosional

2. Gagal mencetuskan refleks defekasi, kurang waktu atau kurang privasi 3. Diet tinggi lemak, tinggi KH

4. Asupan cairan berkurang 5. Imobilitas atau tidak aktif

6. Tidak mampu jongkok, mis : usila, deformitas muskulo, nyeri defekasi 4. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaaan fisik yang meliputi keadaan abdomen seperti ada atau tidaknya distensi, simetris atau tidak, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut, dan tenderness. B. Diagnosa Keperawatan

(12)

1. Konstipasi berhubungan dengan:  Tidak adekuatnya diet berserat

 Immobilisasi/ tidak adekuatnya aktifitas fisik  Tidak adekuatnya intake cairan

 Nyeri saat defekasi

 Perubahan kebiasaan rutin (pemasukan diet)  Penyalahgunaan laksatif

 Menunda defekasi

 Penggunaan obat yang menyebabkan konstipasi (anti analgesic, antacid dan antikolinergal)

2. Diare sehubungan dengan:  Stress emosinal, cemas

 Tidak toleransi terhadap makanan (makanan busuk, beracun)  Gangguan diet

 Inflamasi (radang) bowel  Efek samping obat  Alergi

 Tindakan huknah

3. Inkontinensia bowel sehubungan dengan:  Gangguan system syaraf sentral

 Injuri spinal cord

 Ketidakmampuan menahan defekasi  Diare

 Impaktion fekal

(13)

 Kelemahan

4. Potensial kekurangan volume cairan sehubungan dengan diare C. Perencanaan Keperawatan

Tujuan:

a. Mengenal eliminasi normal.

b. Kembali kekebiasaan defekasi yang regular c. Cairan dan makanan yang sesuai

d. Olah raga teratur e. Rasa nyaman terpenuhi

f. Integritas kulit dapat dipertahankan g. Konsep diri baik

Rencana tindakan:

1. Kaji perubahan fakor yang memengaruhi maslah eliminasi fekal. 2. Kurang faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah seperti: a. Konstipasi secara umum

- Membiasakan pasien untuk buang air secara teratur, misalnya pergi ke kamar mandi satu jam setelah makan pagi dan tinggal di sana sampai ada keinginan untuk buang air.

- Meningkatkan asupan cairan dengan banyak minum.

- Diet yang seimbang dan makan bahan makanan yang banyak mengandung serat. - Melakukan latihan fisik, misalnya melatih otot perut.

- Mengaturposisi yang baik untuk buang air besar, sebaiknya posisi duduk dengan lutut melentur agar otot punggung dan perut dapat membantu prosesnya.

- Anjurkan untuk tidak memaksakan diri dalam buang air besar.

(14)

- Lakukan enema (huknah) b. Konstipasi akibat nyeri - Tingkatkan asupan cairan. - Diet tingkat serat

- Tingkatkan latihan setiap hari

- Berikan pelumas disekitar anus untuk mengurangi nyeri - Kompres dingin sekitar anus mengurangi rasa gatal.

- Rendamduduk atau mandi di bak dengan air hangat (43-46 derjat celcius, selama 15 menit) jika nyeri hebat.

- Berikan pelunak feses.

- Cegah duduk lama apabila hemoroid, dengan cara berdiri tiap 1 jam kurang lebih 5-10 menit untuk menurunkan tekanan.

c. Konstipasi kolonik akibat perubahan gaya hidup

- Berikan stimulus untuk defekasi, seperti minum kopi atau jus - Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila memungkinkan. - Gunakan kamar mandi daripada pispot bila memungkinkan.

- Ajarkan latihan fisik dengan memberikan ambulasi, latihan rentang gerak, dan lain-lain.

- Tingkatkan diet tinggi serat buah dan sayuran. d. Inkontinensia usus

- Pada waktu tertentu setiap 2 atau 3 jam, letakkan pot di bawah pasien.

- Berikan latihan buang air besar dan anjurkan pasien untuk selalu berusaha latihan. - Kalau inkon tinensia hebat, diperlukan adanya pakaian dalam yang tahan lembab, supaya pasien dan sprei tidak begitu kotor.

(15)

- Untuk mengurangi rasa malu pasien, perlu didukung semangat pengertian perawatan khusus.

3. Jelaskan mengenai eliminasi yang normal kepada pasien. 4. Pertahankan asupan makanan dan minuman.

5. Bantu defekasi secara manual.

6. Bantu latihan buang air besar, dengan cara:

- Kaji pola eliminasi normal dan cacatwaktu ketika inkontinensia terjadi. - Pilih waktu defekasi untuk mengukur kontrolnya.

- Berikan pelunak feses (oral) setiap hari atau katartik supostoria setengah jam sebelum waktu defekasi ditentukan.

- Anjurkan pasien untuk minum air hangat atau jus buah ( minuman yang merangsang peristaltik) sebelum waktu defekasi.

- Bantu pasien ke toilet (program ini kurang efektif jika pasien mengggunakan pispot).

- Jaga privasi pasien dan batasi waktu defekasi (15-20 menit).

- Instruksikan pasien untuk duduk di toilet, gunakan tangan untuk menekan perut terus ke bawah dan jangan mengendan untuk merangsang pengeluaran feses.

D. Pelaksanaan Keperawatan

Menyiapkan Fases Untuk Bahan Pemeriksaan

Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan merupakan cara yang dilakukan untuk mengambil fases sebagai bahan pemeriksaan, yaitu pemeriksaan lengkap dan pemeriksaan kultur (pembiakan)

1. Pemeriksaan fases lengkap merupakaan pemeriksaan fases yang terdiriatas pemeriksaan warna, bau konsistensi, lendir, darah, dan lain-lain.

2. Pemeriksaaan fases kultur merupakan pemeriksaan fases melalui biakan dengna cara taoucher (prosedur pengambilan fases melalui tangan).

Alat:

(16)

 Etiket khusus.

 Dua batang lidi kapas sebagai alat untuk mengambil fases. Prosedur kerja:

1. Cuci tangan.

2. Jelas prosedur yang dilakukan.

3. Anjurkan pasien untuk buang air besar lalau ambil fases melalui lidi kapas yang elah di keluarkan, setelah selesai anjurkan pasien untuk membersihkan daerah sekitar anusnya.

4. Masukkan bahan pemeriksaan kedalam botolyang telah disediakan.. 5. Catat nama pasien dan tanggal pengambilan bahan pemeriksaan. 6. Cuci tangan.

E. Evaluasi keperawatan

Evaluasi terhadap masalah kebutuhan eliminasi fekal dapat dinilai dengan adanya kemampuan dalam.

1. Memahami cara eliminasi yang normal.

2. Melakukan latihan secara teratur, seperti rentang gerak atau lain (jalan, berdiri, dan lain-lain).

3. Mempertahankan defekasi secara normal yang ditunjukkan ddenga keampuan pasien dalam pengontrol pasien dalam mengontrol defekasi tanpa bantuan obat/enema, berpatisipasi dalam program latihansecara teratur,defekasi tanpa harus mengedan.

4. Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukkan dengan kenyamanan dalam kemampuan defekasi, tidak terjadi bleeding,tidak terjadi imflamasi, dan lain-lain.

5. Mempertahankan integrasi kulit yang ditunjukkan keringnya area perianal, tidak adainflamasi atau ekskoriasi, keringnya kulit sekitar stoma, dan lain-lain.

1. Pengkajian

(17)

Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi

berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu malam hari. b. Pola berkemih

• Frekuensi berkemih : frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam waktu 24 jam

• Urgensi : Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut megalami inkotinensia jika tidak berkemih

• Disuria : Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada striktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.

• Poliuria : Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa adanya peingkata asupa caira. Keadaan ini dapat terjadi pada penyekit diabetes, defisiensi ADH, da pen yakit kronis ginjal.

• Urinaria supresi : Keadaan produksi urine yang berhenti secara medadak. Bila produksi urine kurag dari 100 ml/hari dapat dikataka anuria, tetapi bila produksiya atara 100 – 500 ml/hari dapat dikataka sebagai oliguria.

c. Volume urine

Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarka dalam waktu 24 jam.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan pola eliminasi urine berdasarkan :

• Ketidakmampuan salurab kemih akibat anomali saluran urinaria • Penurunan kapsitas atau iritasi kandung kemih akibat penyakit • Kerusakan pada saluran kemih

• Efek pembedahan pada saluran kemih b. Inkontinensia fungsional berdasarkan :

• Penurunan isyarat kandung kemih dan kerusakan kemampuan untuk mengenl isyarat akibat cedera atau kerusakan k. Kemih

• Kerusakan mobilitas

(18)

c. Inkontinensia refleks berdasarkan gagalnya fungsi rangsang di atas tingkatan arkus refleks akibat cedera pada m. spinalis

d. Inkontinensia stress berdasarkan :

• Tingginya tek. Intraabdimibal dan lemahnya otor peviks akibat kehamilan • Penurunan tonus otot

e. Inkontinensia total berdasarkan defisit komnikasi atau persepsi

f. Inkontinensia dorongan berdasarkan penurunan kapasitas k. Kemih akibat penyakit infeksi, trauma, tindakan pembedahan, faktor penuaan

g. Retesi urine berdasarkan adanya hambatan pada sfingter akibat penyakit struktur, BHP h. Perubahan body image berdasarkan inkontinensia dan enuresis

i. Resiko terjadinya infeksi salura kemih berdasarkan pemasangan kateter, kebersihan perineum yang kurang

j. Resiko perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d gangguan drainase ureterostomi.

3. Perencanaan Keperawatan Tujuan :

a. Memahami arti eliminasi urine

b. Membantu mengosongkan kandung kemih secara penuh c. Mencegah infeksi

d. Mempertahankan integritas kulit e. Memberikan rasa nyaman

f. Mengembalikan fungsi kandung kemih g. Memberikan asupan secara tepat h. Mencegah kerusakan kulit

i. Memulihkan self sistem atau mencegah tekanan emosional Rencanakan Tindakan :

a. Monitor/obervasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah perubahan eliminasi urine, retensi dan urgensia

(19)

b. Kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah c. Monitor terus perubahan retensi urine

d. Lakukan kateterisasi urine Inkontinensia dorongan

a. Pertahankan hidrasi secara optimal

b. Ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan cara

c. Ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung kemih yang tidak biasa)

d. Anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan fisik, mandi e. Anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih

f. lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi kandung kemih Inkontinensia total

a. Pertahankan jumlah cairan dan berkemih

b. Rencanakan program kateterisasi intermiten apabila ada indikasi

c. Apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan untuk pemasangan kateter indweeling

Inkontinensia stress, kurangi faktor penyebab seperti : a. ehilangan jaringan atau tonus otot, dengan cara :

• Ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan kelemahannya saat melakukan latihan

• Untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba menghentikan aliran urine, kencangkan otot-otot belakang dan depan dalam waktu 10 detik, kemudian lepaskan atau rileks, ulangi hingga 10 kalidan lakukan 4 kali sehari

b. Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara : • Latih untuk menghindari duduk lama

• Latih untk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam.

Inkontinensia fungsional, Ajarkan teknik merangsang refleks berkemih, dengan berkemih seperti : mekanisme supra pubis kutaneus

(20)

b. Anjurkan pasien untuk • Posisi setengah duduk

• Mengetuk kandung kemih secara langsug denga rata-rata 7-8 kali / detik • Gunakan sarung tangan

• Pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk menentukan posisi saling berhasil • Lakukan hingga aliran baik

• Tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih kosong

• Apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti sudah tidak ada lagi yang dikeluarkan.

c. Apabila belum berhasil, lakukan hal berikut ini selama 2- 3 menit dan berikan jeda waktu 1 menit di antara setiap kegiatan

• Tekan gland penis

• Pukul perut di atas ligamen inguinalis • Tekan paha bagian dalam

d. Catat jumlah asupan dan pengeluaran

e. Jadwalkan program kateterisasi pada saat tertentu

4. Tindakan Keperawatan

Pengumpulan Urine untuk bahan pemeriksaan

Mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga dibeda-bedakan sesuai dengan tujuannya. Cara pengambilan urine tersebut atara lain : pegambilan urine biasa, pegambila urine steril dan pengumpulan selama 24 jam.

a. Pengambilan urine biasa merupaka pengambilan urine dengan cara mengeluarkan urine seperti biasa, yaitu buang air kecil. Biasanya untuk memeriksa gula atau kehamilan.

b. Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan cara dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan keteterisasi atau pungsi supra pubis. Pengambilan urine steril bertujuan mengetahui adanya infeksi pada uretra, ginjal atau saluran kemih lainnya.

c. Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang dikumpulkan dalam 24 jam, bertujuan untuk mengeetahui jumlah urine selama 24 jam dan mnegukur berat jenis urine, asupan dan pengeluaran serta mengetahui fungsi ginjal.

(21)

Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal

Menolong BAK dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan membantu pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan menggunakan alat penampung dengan tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine (warna dan jumlah)

Melakukan kateterisasi Indikasi :

a. Tipe Intermitten

• Tidak mampu berkemih 8 – 12 jam setelah operasi • Retensi akut setelah trauma uretra

• Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesic • Cedera pada tulang belakang

• Degenerasi neuromuskular secara progresif • Pengeluaran urine residual

b. Tipe Indwelling • Obstruksi aliran urine

• Pasca operasi saluran uretra dan struktur disekitarnya • Obstruksi uretra

• Inkontinensia dan disorientasi berat Menggunakan kondom kateter

Menggunakan kondom kateter merupakan tindakan keperawata dengan cara memeberikan kondom kateter pada pasine yang tidak mampu mengontrol berkemih. Cara ini bertujuan agar pasine dapat berkemih dan mempertahankannya.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum dapat dinilai dari adanya kemampuan dalam :

a. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter.

(22)

b. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurannya distensi, volume urine residu, dan lancarnya kepatenan drainase

c. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya infeksi, tidak ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar

d. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering tanpa inflamasi an kulit di sekitar uterostomi kering.

e. Memberikan pasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.

f. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

DAFTAR PUSTAKA

 Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal. Terdapat pada:

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/

(23)

Hidayat Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.

 http://xsumertax.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-kebutuhan-eliminasi.html

 Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC  Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:

www.kiva.org

 Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC: Jakarta.  Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan

Tarwoto & Wartonah. 2004. Kebutuhan Dasar manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: salemba medika

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dapat mengembangkan wawasan peneliti tentang pemeriksaan ultrasonografi transabdominal untuk mendeteksi kemungkinan adanya obstruksi outlet kandung kemih pada

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia.Unit fungsional dasar dari