• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF. Skripsi"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF

Skripsi

Oleh :

RIZKI DWI NUGROHO NIM : 11160480000066

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RIZKI DWI NUGROHO NIM: 11160480000066

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. M. Ishar Helmi, S.H.I., S.H., M.H

NIP. 19670203 201411 1 001 NIDN. 150013194

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:

Nama : Rizki Dwi Nugroho

NIM : 11160480000066

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Perumahan Bukit Sawangan Indah Blok A.7 No.1 Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.

Nomor HP : 081232077992

Email : Rizkidwinugroho1616@gmail.com Dengan ini Saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penelitian ini telah Saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli Saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Depok, 3 Mei 2021

(5)

v

ABSTRAK

RIZKI DWI NUGROHO, NIM 11160480000066, “PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF”. Konsentrasi Praktisi Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mekanisme mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi terlalu fokus pada pencarian subjek atau pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Peraturan mengenai perampasan aset sekarang ini mengalami kekosongan hukum dan tidak mengakomodir pergerakan hukum dimana korupsi semakin berkembang dan masif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan regulasi atau peraturan perundang-undangan tentang perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia dan mencoba mengaitkan dengan keadilan restoratif.

Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach) yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan membandingkan paradigma retributif yang terkandung dalam undang-undang tersebut dengan paradigma keadilan restoratif sebagai paradigma baru yang berkembang dengan menggunakan pendekatan filosofis (philosophy approach).

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perampasan aset dari tindak pidana korupsi sudah tidak ideal lagi karena paradigma yang digunakan adalah retributif (pembalasan secara fisik), sehingga tidak dapat mengembalikan kerugian negara yang dilarikan oleh para koruptor, karena fakta di lapangan menunjukan kerugian negara akibat perbuatan para koruptor, hanya sebagian kecil yang bisa dikembalikan.

Kata Kunci : Korupsi, Perampasan Aset, Keadilan Restoratif

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. 2. Muhammad Ishar Helmi, S.Sy.,M.H.

(6)

vi

KATA PENGANTAR ميحرلا نمحرلا للاه مسب

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF”. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H dan Muhammad Ishar Helmi S.Sy., M.H. Pembimbing Skripsi. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung S.H., M.H. Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan

(7)

vii

meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.

5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Sarjono Agus Santoro S.H dan Ibu Siti Juwaedah yang selalu mendukung baik segi materil maupun imateriil, mendoakan, dan memberikan kepercayaan kepada saya agar saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan titik hadiahnya adalah gelar sarjana ini.

6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Depok, 3 Mei 2021

Rizki Dwi Nugroho NIM. 11160480000066

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………...ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ………..iii

LEMBAR PERNYATAAN………....iv

ABSTRAK………...v

KATA PENGANTAR………vi

DAFTAR ISI ... .viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian... 12

E. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II PERKEMBANGAN PERATURAN PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ... 17

A.Kerangka Teori ... 16 B.Kerangka Konseptual ... 18 1.Perampasan ... 18 2. Aset ... 19 3. Perampasan Aset ... 19 4. Tindak Pidana ... 20 5. Korupsi ... 21

6. Tindak Pidana Korupsi ... 22

C.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 25

BAB III PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI ... 28

A. Perampasan Aset secara Pidana ... 28

(9)

ix

BAB IV PERAMPASAN ASET DITINJAU DARI TEORI KEADILAN

RESTORATIF ... 36

A. Perampasan Aset dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 36

B. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai Keadilan Restoratif ... 55

BAB V PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Rekomendasi ... 68

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Percepatan globalisasi dan seiring perkembangan zaman dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi menjadikan tindak pidana korupsi yang sederhana menjadi kompleks dengan pencurian uang dengan motif perniagaan, seperti korupsi, pencucian uang, peredaran narkotika merupakan jenis tindak pidana dengan motif ekonomi lebih kompleks dari tindak pidana konvensional. Kompleksitas dari tindak pidana tersebut dapat dilihat dari berkembangnya modus yang digunakan para pelaku dalam menjalankan kejahatan extraordinary crime, seperti mudahnya mendapatkan lalu melarikan uang hasil tindak pidana, hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan internet, tanpa harus pergi ke luar negeri dan hanya membutuhkan waktu yang sebentar.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) selama tahun 2018, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp. 9,29 triliun. Kondisi itu merujuk pada 1.053 putusan yang dikeluarkan pengadilan terhadap 1.162 terdakwa korupsi. Dari kerugian negara tersebut pada tahun 2018 ICW mencatat vonis pembayaran uang pengganti yang diputuskan oleh majelis hakim kepada terdakwa kasus korupsi hanya sekitar Rp 805 miliar, maka hanya sekitar 8,7 persen kerugian negara yang diganti melalui pidana tambahan uang pengganti.1 Berdasarkan data tersebut maka upaya pemberantasan korupsi nyatanya tidak mampu mengembalikan sepenuhnya

1 Dylan Aprialdo Rachman, “ICW: Kerugian Negara Akibat Korupsi Pada Tahun 2018 Capai

Rp 9,29 Triliun”, <https://nasional.kompas.com/read/2019/04/28/15294381/icw-kerugian-negara- akibat korupsi-pada-2018-capai-rp-929-triliun>, [diakses pada 10/03/2020].

(11)

kerugian keuangan negara. Kendati, sasaran dari pemberantasan korupsi ialah untuk mengembalikan kerugian negara yang dilakukan oleh koruptor.

Sistem hukum pidana di Indonesia masih menganut paradigma retributif, yaitu penjatuhan hukuman oleh negara terhadap pelaku harus menderita atas perbuatannya.2 Faktanya paradigma retibutive ini tidak dapat mencapai tujuannya dalam rangka memunculkan efek jera pelaku tindak pidana korupsi dan tidak dapat menyelesaikan kerugian yang dialami oleh negara. Hal tersebut disebabkan karena menurut laporan ICW di dalam catatan akhir tahun agenda pemberantasan korupsi 2019 masih maraknya lembaga peradilan yang memberikan vonis ringan terhadap para koruptor, dan tidak bisa dipungkiri terdapat beberapa lembaga permasyarakatan yang masih memberikan perlakuan berbeda untuk sel narapidana tindak pidana korupsi. Bagi koruptor, hukuman penjara badan selama bertahun-tahun tidak menjadi masalah. Pasca keluar dari penjara, para koruptor kerap kali menggunakan harta dan tahtanya untuk mengulangi maupun menyebunyikan aset negara yang disembunyikan. Hal ini menunjukan tujuan pemidanaan yang berkembang di Indonesia selama ini dinilai tidak evolutif, yakni dari penegakannya yang lamban, aset yang dimiliki oleh koruptor hilang, sehingga akibat yang ditimbulkan para koruptor melakukan kejahatan sistemik yang dibiarkan mengakar dan menyuap siapa pun. Hal ini disebabkan dari peraturan perundang-undangan yang belum memadai.

Sebagaimana halnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengembalian kerugian negara dinilai belum maksimal. Kendati negara Indonesia ikut berunding dalam dunia Internasional dan perkembangan

2 Harifin A. Tumpa, Sistem Peradilan Pidana di Negara Hukum Indonesia, dalam: Kumpulan

(12)

3

hukum, yang menunjukkan bahwa perampasan aset negara yang dicuri oleh para koruptor harus memiliki perhatian lebih demi menekan kejahatan. Bahkan perampasan aset diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab V United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 sebagai penegasan akan pentingnya perampasan hasil tindak pidana dalam penyelesaian perkara.

Hukum pidana di Indonesia semakin berkembang pasca meratifikasi UNCAC melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia merupakan negara yang wajib mengikuti mandat dari UNCAC. Di dalam UNCAC mengatur setiap negara proaktif dalam rangka kerja sama penanganan tindak pidana korupsi di dunia, sebagaimana isinya mengupayakan perampasan aset hasil kejahatan. Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC Tahun 2003 setiap negara sejatinya melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan maksimal meskipun pelanggar dalam suatu kasus tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan. 3 Namun sering kali yang menjadi kendala adalah penerapan tradisi atau sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara, sehingga menjadi kesulitan untuk menjerat para koruptor tersebut. Karena itu, pemerhati perampasan aset dalam kancah internasional mengusulkan agar setiap negara dapat menggunakan mekanisme perampasan tanpa tuntutan pidana (Non-Conviction Based NCB), konsep ini pada intinya adalah perampasan aset dari pelaku tindak pidana tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu. Sehingga perampasan dilakukan pada aset pelaku tanpa melalui proses pidana. Konsep ini akan membuka aset para koruptor dari lintas

3 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

(13)

negara dan diberikan akses untuk merampas aset hasil korupsi di negara yang bersangkutan.

Hasil ratifikasi UNCAC tersebut belum berjalan optimal di Indonesia, karena prosedur perihal perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia belum diatur secara komprehensif di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 j.o Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, undang-undang tersebut masih dilematis karena terbagi ganda yakni perampasan aset melalui jalur pidana di mana sifat pembuktiannya sulit dan perampasan aset dengan jalur perdata.

Perampasan aset melalui jalur pidana menurut Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ini mengatur hukum acara pidana mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap perolehan harta kekayaan. Berdasarkan Pasal 37 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 j.o Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwasanya jika terdakwa tidak dapat membuktikan sumber penghasilannya seimbang dengan kekayaan yang dimiliki seluruhnya kepada hakim pengadilan, maka keterangan tersebut dapat memperkuat keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Prosedur pembalikan beban pembuktian ini berdiri sendiri sebagai proses acara pidana. Dikotomi dari sisi jalur perdata terdapat di dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi mengatur adanya kemungkinan perampasan aset melalui jalur perdata. Namun, jalur perdata baru bisa diterapkan apabila upaya pidana sudah dilakukan sampai akhir. Artinya, perampasan aset tidak berhasil dilakukan pada saat proses pidana, baru beralih pada jalur perdata. Dengan demikian, jalur perdata hanya bersifat fakultatif dan merupakan proses hukum yang akan melengkapi proses hukum pidana. Kekurangan selanjutnya, bahwa

(14)

5

proses hukum perampasan aset melalui jalur perdata tidak dapat menerapkan beban pembuktian pada terdakwa, di mana terdakwa yang melakukan pembuktian terhadap asetnya. Melainkan jaksa pengacara atau instansi yang dirugikan yang harus membuktikan adanya kerugian yang dilakukan oleh terdakwa.

Pidana yang diharapkan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat bagi pelaku tindak pidana korupsi ialah dengan hukuman penjara, namun hal tersebut belum cukup untuk menuntaskan masalah yang ditimbulkan, namun berupa pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagai pengembalian hasil tindak pidana korupsi merupakan sesuatu proses hukum yang idealnya diterapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dinyatakan bahwa: "Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan adalah : (a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; dan (b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Penegakan kasus korupsi ini pada kenyataannya sangat terkendala ketika hukum acara pidana menyiratkan bahwa pembuktian koruptor telah melakukan korupsi sulit diungkap. Hal ini disebabkan terhalang oleh sebuah karakteristik acara pidana di mana dalam pembuktian praktik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa sangat sulit dilacak oleh penegak hukum dan menghabiskan waktu yang lama. Dalam rentang waktu yang lama, kerap kali para terdakwa sudah menyediakan wadah harta hasil korupsi secara

(15)

kompleks dan rahasia sejak pertama menjalankan misi melakukan korupsi. Ketentuan tindak pidana korupsi memiliki problematika yang timbul akibat subtitusi dari membayar uang pengganti tidak diwajibkan asal kurungan tetap diberlakukan bagi terdakwa. Hal ini melahirkan ide serta peluang bagi pelaku untuk tetap menyimpan aset negara yang dicuri dan memilih memperpanjang masa hukuman dari pada harus membayar uang pengganti.4

Dari uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana yang dilakukan berdasarkan atas KUHP dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki kelemahan yang signifikan bahwasanya perampasan aset merupakan pidana tambahan, dan pelaksanaannya yang dinilai terlambat sejak aset negara itu dilarikan tetap saja perampasan aset harus dilakukan sampai putusan hakim telah berkekuatan tetap. Prosedur dari perampasan aset secara perdata di mana lebih mengutamakan melacak asetnya, kian dipersulit karena hanya menjadi pilihan kedua atau alternatif. Hal ini menunjukan bahwa daya kekuatan perampasan aset ini masih dinilai lemah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Efektifitas penangkapan koruptor inilah yang semakin mencederai rasa keadilan masyarakat.

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia belum mengakomodir secara khusus mengenai regulasi yang ada, dan mengatur lebih lanjut apabila keadaan-keadaan tertentu seperti tersangka yang tidak ditemukan keberadaannya, tersangka memiliki gangguan jiwa, maupun tidak adanya garis keturunan yang menyebabkan tidak adanya yang bertanggung jawab secara perdata. Problematika inilah yang masih belum maksimal diterapkan

4 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI 2015,

Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, h. 183.

(16)

7

dan kunjung tidak mampu dituntaskan melalui proses pidana, dikarenakan titik beratnya ada pada pertanggungjawaban pidana oleh seorang terdakwa.5

Pertanggungjawaban pada seseorang sudah tidak dapat dikatakan sebagai mekanisme yang ideal dalam penangkapan korupsi. Terdapat konsep baru yakni, konsep Non-Convitction Based Asset Forfeiture adalah perampasan aset yang dilakukan dengan prioritas utama bukan melalui proses hukum yang panjang. Sehingga perampasan dilakukan secara perdata (in rem) di mana menitikberatkan pada aset tanpa melalui proses pidana yang fokus pada pengejaran in persona. Konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture sangat menjawab tantangan penanganan kejahatan korupsi di berbagai negara yang telah menerapkannya. Perampasan yang dilakukan ialah dengan cara mengejar aset negara yang dilarikan, NCB Asset Forfeiture pihak utamanya bukan individu untuk mempertanggungkan pidananya, melainkan kepentingan objek atas aset yang dicuri dari negara.

Konsep utama dari perwujudan keadilan restoratif adalah dilihat dari segi tujuannya yakni untuk memulihkan keadaan seperti semula akibat timbulnya tindak pidana di mana dalam konteks ini adalah tindak pidana korupsi, sehingga perampasan aset ialah proses hukum yang tepat untuk memulihkan kerugian negara yang lahir karena keserakahan koruptor. Seperti yang disampaikan oleh pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa paradigma restoratif dalam kasus tindak pidana korupsi dengan mekanisme pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu tujuan pemulihan keadaan yang bermasalah dan mengalami

5 Yusuf Husein, Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dalam

Perkara Tindak Pidana Korupsi, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia), h.7.

(17)

ketidakseimbangan untuk mencapai harmoni dalam kehidupan masyarakat dan memberikan kemaslahatan bagi negara dan masyarakat.6

Gagasan yang layak untuk dipertimbangkan dalam rangka memberikan keadilan dan kemaslahatan bagi negara dan masyarakat adalah perampasan aset yang sejalan dengan paradigma keadilan restoratif yakni pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi oleh penegak hukum dan mengembalikan keadaan seperti semula. Teori keadilan restoratif menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi tindak pidana. Dalam konteks ini, korban dari tindak pidana korupsi ini adalah negara, karena negara dapat menderita kerugian yang besar dan memperlambat laju perekonomian dan politik dari adanya tindak pidana korupsi.

Penerapan Non-Conviction Based Asset Forfeiture dinilai oleh pakar hukum pidana UNS Sudarto dan Hari Purwadi sangat penting dikarenakan Indonesia memberlakukan penerapan perampasan aset baru dapat dilakukan ketika pelaku kejahatan atau koruptor dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan kerugian negara menurut keputusan hakim.7 Perampasan aset secara pidana mengalami banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.

Ketidakseimbangan antara beberapa kasus korupsi besar dengan peraturan yang terlampau lama sangat menimbulkan permasalahan. Perampasan aset terhambat dikarenakan koruptor telah meninggal dunia,

6 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme

(Bandung: Bina Cipta: 2011), h.75.

7 Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset dengan Menggunakan Non-Conviction Based Aset

Forfeiture sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V Nomor I (Januari-Juni 2017), h.111.

(18)

9

terdakwa bebas, batas yurisdiksi di luar negara Indonesia, serta nama pemilik aset tidak jelas keberadaannya. Kasus yang dihapus karena meninggalnya terpidana seperti kasus yang menyeret Yusuf Setiawan seorang terpidana kasus korupsi pengadaan alat berat dan mobil pemadam kebakaran Provinsi Jawa Barat tahun 2003-2004, yang telah merugikan negara sebesar 28 Miliar.

Dalam kejahatan korupsi pelaku selalu mencari cara agar tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Bahkan para koruptor mempunyai cara untuk mengalihkan atau melarikan hasil kejahatan maupun instrumen kejahatan ke luar negeri dan bahkan pelakunya bisa saja melarikan diri ke luar negeri dan tidak dapat diekstradisi kembali ke Indonesia.8 Sejumlah koruptor yang melarikan diri saat proses hukum berlangsung, diantaranya mega korupsi dan belum dapat ditangani dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu kasus korupsi Edy Tansil. Hasil korupsi yang dikembalikan hanya dibawah 5% dari total korupsi sebesar Rp. 1,3 Triliun.9 Namun sampai sekarang, koruptor tersebut masih menjadi buronan dan belum dapat mengembalikan kerugian negara. Ada pun kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dikatakan oleh Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan, sering kali koruptor Indonesia menyimpan duit hasil korupsi di negara Swiss. Di mana sistem perbankan negara Swiss adalah tertutup, maka aset negara sulit untuk dilacak.10

8 Sudarto dan Hari Purwadi, “Mekanisme Perampasan Aset dengan Menggunakan

Non-Conviction Based Asset Forfeiture sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Volume 5 Nomor 1, Juni 2017, h.110.

9 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Seminar Independent Report”, Makalah seminar

Corruption Assessment and complience United Nation Convention Against Corruption, 2003 in Indonesian Law, Bali 28 Januari – 1 Februari 2008, h.14.

10 Ridwan Arifin, Upaya Pengembalian Aset Korupsi yang Berada di Luar Negeri (Asset

Recovery) dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Indonesian Journal Of Criminal Law Studies (ICJLS), 2016, h.3.

(19)

Konsep NCB ini telah diterapkan di berbagai negara, seperti halnya negara Amerika Serikat telah memberlakukan Civil Asset Forfeiture Reform Act yang memperbolehkan pengadilan diberikan kewenangan mengeluarkan perintah penyitaan aset dengan pembekuan rekening di bank luar negeri, bisa mengakses data informasi yang dibutuhkan, serta aturan mengenai pra penyitaan yang tidak menghilangkan hak asasi dari terdakwa. Negara Australia juga telah menerapkan NCB dan tertuang dalam Criminal Property Confication Act (CPCA) yang mengatur penyitaan aset bisa dilakukan tanpa kehadiran tergugat, dan prosesnya terpisah dari gugatan pidana. Kedua negara ini telah berhasil merampas aset dengan mekanisme NCB.

Mekanisme ini menegaskan bahwa penyitaan harta benda tindak pidana adalah "value for money", bukan penyitaan orangnya. Oleh karena itu, putusan yang berkekuatan hukum terhadap pelaku bukan merupakan syarat untuk penyitaan aset, tetapi dapat mempercepat penghentian aliran dana korupsi.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, peneliti memberi judul skripsi ini, yaitu: “PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF” B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat masalah yang dapat di indentifikasikan yang terkait dengan tema yang diteliti,

a. Kompleksitas tindak pidana dengan motif ekonomi di Indonesia. b. Perpindahan/transfer aset negara ke luar negeri.

c. Masih lemahnya ketentuan perampasan aset di Indonesia. d. Kerja sama internasional terkait perampasan aset.

(20)

11

2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan masalah dalam penelitian ini lebih terfokus dan tidak meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Peneliti hanya membahas mengenai masih lemahnya ketentuan perampasan aset di Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, permasalahan penelitian yang diangkat adalah urgensi penerapan perampasan aset tanpa pemidanaan di dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti menjabarkan permasalahan penelitian yang dituangkan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme perampasan aset dalam tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia?

b. Bagaimana penerapan perampasan aset di Indonesia dalam perspektif keadilan restoratif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada dua pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan dan diuraikan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Untuk mengetahui dan menganalisa penegakan hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi secara ideal menurut teori dan undang-undang. b. Untuk menganalisa lebih dalam mengenai teori hukum pidana dalam

hal ini keadilan restoratif dalam tindak pidana korupsi. 2. Manfaat Penelitian

(21)

1) Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memperluas keilmuan dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih spesifik terkait dengan berbagai konsep perampasan aset.

2) Sebagai kajian lebih lanjut terhadap mekanisme perampasan aset di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktisnya yaitu dapat dijadikan bahan referensi dan bahan kajian untuk pertimbangan bagi pembentuk undang-undang terkait bagaimana perampasan aset tanpa pidana yang tepat untuk diaplikasikan dan diundangkan di Indonesia.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan, digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian hukum Normative Yuridis, yang menjadikan undang-undang sebagai objek kajian yang kemudian ditinjau dari aspek teoritis maupun berbagai instrument hukum internasional terkait perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.11

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute-approach),12 yakni mengingat

peneliti berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan

11 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h. 35-37.

12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Penerbit

(22)

13

sebagai fokus penelitian, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 j.o Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomoe 7 tahun 2006 Pengesahan United Nation Convention Againt Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), dan menghubungkannya dengan aturan penerapan perampasan aset tanpa pemidanaan dalam tindak pidana korupsi (philosophy approach) dengan membedahnya dengan teori keadilan restoratif.

3. Sumber Bahan Hukum

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (primary data), data sekunder (secondary data), dan data tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. yaitu bahan-bahan hukum seperti norma, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, hukum adat. Dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, UNCAC 2003 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian lainnya yang berwujud laporan. Buku yang menjelaskan tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi, serta pendekatan keadilan restoratif dalam tindak pidana korupsi dan pendapat-pendapat para ahli mengenai pengembalian kerugian negara sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat sekarang.

(23)

c. Bahan Data Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis, dan peraturan perundang-undangan di berbagai perpustakaan umum dan universitas.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan dari suatu analisis, klasifikasi, disimpulkan lalu di interpretasi. Penelitian ini melakukan pengolahan bahan hukum dengan menginterpretasi apa yang tertulis dalam literatur dan sumber tertulis lainnya.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang bersifat deskriptif kualitatif yang berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang bersifat khusus dan berdasarkan kepada data yang bersifat umum. Dan karenanya penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statutory approach) maka dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Teknis analisis dengan pendekatan undang-undang untuk penelitian kegiatan praktis, membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan undang-undang

(24)

15

Dasar atau antara regulasi dan undang-undang hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.13

6. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti mengacu kepada sistematika penulisan dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

E. Sistematika Pembahasan

Berdasarkan berbagai uraian di atas, Peneliti merumuskan rancangan sistematika penelitian yang terdiri dari lima bab. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab terdiri atas:

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar Belakang, Pembatasan masalah dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

BAB II : Bab ini menyajikan kerangka teori yang didahului dengan konsep dasar dan kerangka teori serta kerangka konseptual mengenai tinjauan teori perampasan aset hasil tindakan korupsi. Pada bab ini juga dibahas review kajian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian dengan menganalisis persamaan dan perbedaan studi-studi terdahulu.

BAB III : Bab ini berisikan data penelitian yang merupakan data yang berkenaan dengan objek yang diteliti yaitu bagaimana

(25)

penerapan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi baik segi pidana maupun perdata.

BAB IV : Bab ini merupakan analisis yuridis yang akan membahas dan menjawab permasalahan pada penelitian ini diantaranya mengenai bagaimana peraturan perundang-undangan korupsi yang berlaku di Indonesia yang ditinjau dari teori keadilan restoratif.

BAB V : Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah diterapkan dan pertanyaan penelitian.

(26)

17

BAB II

PERKEMBANGAN PERATURAN PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Kerangka Teori

1. Teori Keadilan Restoratif

Keadilan Restoratif adalah pengadilan yang fokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana antara kedua belah pihak demi terciptanya keadilan atau kesepakatan bersama.1 Perhatian utama dari konsep keadilan restoratif adalah mengembalikan keadaan akibat tindak pidana sebelum tindak pidana terjadi, jika dikaitkan dengan korupsi maka pengembalian aset merupakan cara untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

Menurut Muladi, keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggung jawab, keterbukaan, kepercayaan, dan berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum di seluruh dunia. Keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, dan menciptakan dialog antara pelaku dan korban serta melibatkan masyarakat.2

2. Teori Penemuan Hukum

Mengutip tulisan Sudikno Mertokusumo bahwasanya penemuan hukum, “lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum yang diberi tugas dari kewenanganya

1 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan

Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 270.

2 Muladi, Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah disampaikan dalam

seminar nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalitas Menuju Paradigma Yang Agung”, diselenggarakan IKAHI HUT Ke-59 tanggal 25 April 2012, h.1.

(27)

dalam menerapkan peraturan perundang-undangan pada peristiwa tertentu.3 Perlunya menemukan undang-undang baru ketika aturan tidak hanya tidak jelas tetapi juga terjadi kekosongan hukum, maka perlu dibentuk suatu pemikiran konstruktif dan progresif untuk memberikan solusi, yang hasilnya dituangkan dalam suatu putusan yang disebut putusan hakim.4

Tugas penting seorang hakim adalah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, maka hakim harus menafsirkan sehingga dapat membuat suatu keputusan yang adil sesuai dengan maksud hukum yaitu tercapainya kepastian hukum.

B. Kerangka Konseptual 1. Perampasan

Perampasan dapat dipersamakan dengan confiscation dan forfeiture. Di dalam UNCAC terdapat definisi dari confiscation di dalam article 2 huruf g, yaitu “confiscation” which includes forfeiture where applicable, shall mean the permanent deprivation of property by order of a court or other competent authority, article 2 huruf g tersebut diterjemahkan oleh UNODC sebagai berikut: “Perampasan” yang meliputi pengenaan denda bilamana dapat diberlakukan, berarti pencabutan kekayaan untuk selama-lamanya berdasarkan perintah pengadilan atau badan berwenang lainnya.

Perampasan berbeda dengan penyitaan, definisi penyitaan adalah mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda yaitu untuk

3 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma

Pustaka, 2014), h.49.

4 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Cet. I Yogyakarta:

(28)

19

kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian. Penyitaan hanya memindahkan penguasaan barang dan belum terdapat pemindahan kepemilikan, sedangkan perampasan mencabut hak dari kepemilikan seseorang atas suatu benda.

2. Aset

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian aset adalah yang memiliki nilai tukar. Modal; kekayaan. Yang dimaksud dengan aset adalah komoditas / benda atau komoditas / benda yang dapat dimiliki atau digunakan oleh suatu badan usaha, lembaga atau perseorangan yang memiliki nilai ekonomis, nilai komersial, atau nilai tukar. Aset adalah komoditas atau objek (konsep hukum) yang terdiri dari properti dan hewan nyata.5

Aset adalah bagian dari sesuatu yang dimiliki, dikuasai dan bernilai, yang dibagi menjadi : pertama, barang berwujud yang dimiliki dalam hak milik, termasuk uang, perlengkapan, peralatan, perumahan, piutang dan barang tidak berwujud seperti itikad baik. Kedua, semua harta kekayaan milik orang tersebut (terutama yang telah bangkrut atau sudah meninggal dunia) yang dapat digunakan untuk melunasi hutang.

3. Perampasan Aset

Pengertian perampasan aset merupakan gabungan dari perampasan dan aset. Apabila digabung maka definisi perampasan aset berarti sudah terdapat putusan yang menyatakan mengambil properti dari pemilik tanpa membayar kompensasi yang terjadi karena pelanggaran hukum.

5 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

(29)

Perampasan aset merupakan suatu perbuatan yang permanen sehingga berbeda dengan penyitaan yang merupakan perbuatan sementara, karena barang yang disita akan ditentukan oleh putusan apakah dikembalikan kepada yang berhak, dirampas untuk negara,dimusnahkan atau tetap berada di bawah kekuasaan jaksa.6

Pembagian jenis perampasan aset secara internasional terdapat 2 jenis tindakan perampasan aset dalam upaya pengembalian aset dalam melakukan pemberantasan tindak pidana yaitu, perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata (civil forfeiture, non-conviction based forfeiture atau in rem forfeiture) dan perampasan aset secara pidana (criminal forfeiture atau in personam forfeiture). Kedua jenis perampasan tersebut mempunyai beberapa perbedaan yang mendasar dalam hal prosedur dan penerapannya dalam melakukan upaya perampasan aset yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana.

4. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan definisi dasar dalam hukum pidana (normatif dan hukum) yang menyangkut perbuatan yang melanggar hukum pidana. Tindak pidana adalah perbuatan tidak senonoh di bawah ancaman ketentuan undang-undang, yaitu perbuatan yang pada umumnya dilarang di bawah ancaman hukuman.7

Dalam berbagai literatur dan referensi hukum, maka sering kali sebuah perbuatan pidana dipakai dengan istilah delik. Istilah delik diterjemahkan menjadi 'strafbaarfeit', tidak ada penjelasan dalam KUHP tentang apa arti strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya kejahatan diidentikkan dengan kejahatan

6 Rihantoro Bayuaji, Hukum Pidana Korupsi Prinsip Hukum Perampasan Aset Koruptor Dalam

Perspektif Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: LaksBang Justitia,2019), h.65.

(30)

21

yang berasal dari bahasa belanda yaitu misdriff. Kamus hukum yang membatasi kejahatan menyatakan bahwa kejahatan tersebut merupakan delik yang dapat dihukum karena merupakan pelanggaran hukum (punishable offense). Tindak pidana adalah perilaku manusia yang diatur dalam undang-undang, ilegal, yang pantas mendapatkan hukuman dan pelanggaran ringan. Pelaku kejahatan akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilarang tersebut, jika dia melakukan kesalahan, jika dia memiliki pandangan normatif tentang kesalahan tersebut pada saat melakukan perbuatan tersebut, dari sudut pandang masyarakat.

5. Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa belanda yaitu corruptie yang berarti korupsi atau korupsi yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya, jika disalin dalam bahasa Inggris sebagai tindakan korup, atau disalin dalam bahasa Prancis sebagai tindakan korup, dan disalin sebagai kata "korup" dalam bahasa Belanda, maka dari kata ini dalam bahasa Belanda dikurangi menjadi bahasa Indonesia menjadi kata "korup" . Kata korupsi secara harfiah berarti busuk, jelek, bejat, ketidakjujuran, penyuapan, amoralitas, kesucian, bahasa yang menyinggung atau fitnah.

Korupsi menurut Black Law Dictionary adalah “Illegality; a vicious and fraudulent intention to evade the prohibitions of the law. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others.” tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghindari larangan hukum. Perbuatan pejabat yang salah

(31)

menggunakan kedudukan atau karakternya untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.8

6. Tindak Pidana Korupsi

Di Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang No. 20 Tahun 2001. Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diharapkan tujuan dari pemberantasan korupsi sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan-pertimbangannya adalah untuk merespon dan mengantisipasi perubahan dan kebutuhan hukum masyarakat agar dapat lebih efektif mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, khususnya perekonomian secara holistik yakni negara dan kembali untuk bisa dirasakan masyarakat.

Dari sudut tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:9

1). Penyalahgunaan kekuasaan, peluang, dan sarana. 2). Perkaya diri sendiri, orang lain, atau perusahaan.

3). Membahayakan keuangan nasional atau ekonomi nasional.

Secara garis besar korupsi adalah tindakan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri untuk kepentingan individu dan kelompok.10 Untuk memperkaya seseorang dengan menggunakan suatu jabatan, orang

8 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 11th Edition, (West, 2014), h.300.

9 Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Cet. Ke-20, (Jakarta: Bumi Aksara,

1999), h.50.

10 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional,

(32)

23

tersebut adalah orang yang menduduki jabatan di sektor swasta atau pemerintahan. Korupsi sendiri ada di mana-mana dan tidak terbatas pada hal tersebut, oleh karena itu untuk meneliti dan mengembangkan solusinya, kita harus bisa membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tindak pidana dalam KUHP dapat dijabarkan menjadi dua jenis, yaitu unsur subjektif dan unsur obyektif. Elemen "subyektif" mengacu pada elemen yang dilampirkan atau terkait dengan pemain, dan mencakup semua konten yang ada di hatinya, dan elemen "objektif" mengacu pada elemen yang terkait dengan kondisi, yaitu kondisi di mana tindakan aktor harus dilaksanakan. Unsur-unsur adanya tindak pidana korupsi terbagi menjadi: 11

1). Setiap orang

Hal ini terlihat dari bunyi Pasal 1 ayat 3 dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perseorangan atau perusahaan, bahwa setiap orang merupakan subyek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi. Menurut definisi tersebut, pelaku tindak pidana korupsi dapat berupa perorangan, perseorangan maupun perusahaan. Perusahaan di sini mengacu pada sekelompok orang dan / atau kekayaan yang terdiri dari badan hukum dan bukan badan hukum sesuai dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2). Secara Melawan Hukum

Menurut definisi ini, jika semua elemen yang disebutkan dalam klausul kejahatan telah terpenuhi, maka perilaku tersebut adalah ilegal. Oleh karena itu, jika semua elemen tersebut telah tercapai, maka tidak perlu lagi dilakukan penelitian apakah tindakan yang

(33)

diambil sesuai dengan masyarakat dianggap tindakan yang tidak tepat. Mengatakan bahwa perilaku tertentu pada hakikatnya merupakan parameter yang melanggar hukum tidak didasarkan pada adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi didasarkan pada rasa kesesuaian sosial.

3). Unsur Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Literal dalam kata "memperkaya" artinya membuat lebih kaya. Sementara "kaya" artinya "mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya)”. Dapat disimpulkan bahwa menjadi kaya berarti membuat orang yang tidak kaya menjadi kaya, atau yang sudah kaya menjadi lebih kaya.12

4). Merugikan keuntungan negara atau perekonomian negara

Keberadaan tindak pidana korupsi sudah cukup untuk mewujudkan unsur-unsur perilaku yang telah ditetapkan tanpa menimbulkan akibat. Dalam pengertian tindak pidana tersebut di atas, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah segala bentuk kekayaan negara yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk seluruh bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a) Pengendalian, pengarahan dan pertanggungjawaban aparatur lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;

b) Dalam BUMN / BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang memasukkan modal negara atau perusahaan yang memasukkan modal pihak ketiga berdasarkan kesepakatan yang

12 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.

(34)

25

dicapai dengan negara, dalam penguasaan, pengelolaan dan tanggung jawab.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Peneliti menemukan beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan Penerapan Perampasan Aset tanpa pemidanaan di dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.

1. Skripsi ditulis olehSiti Nurhalimah 13 dengan skripsi peneliti, sama-sama menggunakan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture atau civil forfeiture. Namun perbedaan yang signifikan dari tulisan Siti Nurhalimah dengan isi skripsi ini, Siti Nurhalimah lebih menekankan kepada teori keadilan sosial. Teori yang digunakan oleh Siti Nurhalimah disatukan dengan membahas tinjauan yuridis NCB dari Negara Amerika,Australia dan Indonesia. Sedangkan skripsi peneliti membahas secara filosofis pidana dari peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya di Indonesia serta apabila NCB diterapkan di Indonesia dan mengupasnya dengan teori keadilan restoratif Serta menambahkan Mutual Legal Assistance sebagai solusi dari perampasan aset yang berkembang.

2. Skripsi ditulis oleh Taufik Kemas 14 dengan skripsi peneliti ialah sama-sama membahas analisis yuridis dari perampasan aset tindak pidana korupsi yanga ada di Indonesia. Taufik Kemas lebih menekankan kepada suatu pendekatan kasus (case approach) dengan menggunakan putusan Studi Putusan No. 7/Pid.Sus-Tpk/2017/Pn.Mdn. Sedangkan skripsi ini hanya

13 Siti Nurhalimah: “Non Conviction Based Asset Forfeiture sebagai Alternatif Pengembalian

Kerugian Keuangan dan Perekonomian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi” (Jakarta: UIN Jakarta,2019).

14 Taufik Kemas: “Analisis Yuridis Perampasan Aset yang Berasal dari Tindak Pidana Korupsi

(35)

menjadi kan kasus – kasus sebagai data pendukung dan fokus kepada teori keadilan restoratif.

3. Skripsi ditulis oleh Shinta Bellina Vionita 15 dengan skripsi yang ditulis oleh

peneliti sama-sama memiliki solusi perampasan aset merupakan jalan utama dalam rangka pengembalian kerugian negara. Namun perbedaan skripsi yang ditulis oleh Shinta dan skripsi penulis adalah penelitiannya hanya berfokus pada penyitaan aset yang dilakukan oleh satu instansi yakni kejaksaan.

4. Artikel Jurnal ditulis oleh Sudarto16 memiliki persamaan dengan penelitian ini, yakni permasalahan yang akan dibahas yakni perampasan aset dan artikel ini menggunakan studi komperative normatif dari perkembangan di negara lain. Sedangkan Sudarto menulis perampasan aset tanpa pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi sehingga menghilangkan unsur pemidanaan. Sedangkan peneliti menggunakan studi pendekatan filosofis (phyloshopy approach) yakni pisau bedah peneliti adalah teori keadilan restoratif dan tantangannya kedepannya yang tidak akan menghilangkan unsur pidana.

5. Artikel Jurnal ditulis oleh Jamillah17 memiliki persamaan dengan penelitian ini yakni pertanggungjawaban hukum dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun perbedaan yang signifikan adalah, artikel ini meninjau undang-undang hukum administrasi negara yang mana mengatur pejabat harus bertanggung jawab untuk mengembalikan aset. Sedangkan

15 Shinta Bellinda Vionita, “Pelaksanaan Penyitaan Aset Tersangka Korupsi sebagai Upaya

Pengembalian Kerugian Negara” (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2018).

16 Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset dengan Menggunakan Non-Conviction Based Asset

Forfeiture sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi” Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-Juni 2017).

17 Jamillah, “Pertanggungjawaban Hukum dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi di

(36)

27

skripsi yang peneliti buat, menggunakan tinjauan undang-undang hukum pidana, perdata dan tantangannya dengan peraturan MLA yang mengedepankan solusi dari permasalahan globalisasi dan memperlambat pergerakan koruptor sekarang.

(37)

28

BAB III

PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perampasan Aset secara Pidana

Kasus tindak pidana korupsi di Indonesia sering kali terjadi setiap tahunnya, kerugian yang dihasilkan jumlahnya menggerogoti Anggaran Pembelanjaan Negara.1 Hal tersebut dikarenakan jumlah kerugian negara yang dihasilkan dari

adanya tindak pidana korupsi, tidak dapat dikembalikan. Pengembalian kerugian negara butuh bertahun-tahun bahkan sama sekali tidak dikembalikan. Hal tersebut sering kali terjadi pada kasus korupsi bidang pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pemerintah. Kasus korupsi seperti itu dapat dilihat dari kasus yang menjerat Budi Susanto yang terlibat dalam kasus pengadaan alat driving simulator untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Kasus ini merugikan keuangan negara sangat besar yakni berjumlah 121.830.768.863,59 (seratus dua puluh satu miliar delapan ratus tiga puluh juta tujuh ratus enam puluh delapan ribu delapan ratus enam puluh tiga rupiah lima puluh sembilan sen).

Latar belakang korupsi ini terjadi adalah adanya praktik kolusi dalam sebuah pengadaan barang di pemerintahan yakni Korps Lalu Lintas Polri. Hal ini melibatkan petinggi negara Irjen Pol Djoko Susilo dengan Budi Susanto sebagai direktur utama pada PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi. Dalam pengadaan atau tender tersebut, pemenang yang ditunjuk adalah PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi. Tender tersebut dinilai sangat besar dan PT. Citra Mandiri Metalindo tidak layak sebagai pemenang karena tidak memenuhi kualifikasi.

(38)

29

Kasus penyalahgunaan pengadaan/tender ini akhirnya menyeret Budi Susanto sebagai direktur utama perusahaan PT. Citra Mandiri Metalindo dihadapan sidang pengadilan. Sidang pertama berlangsung pertama kali pada tahun 2013 dan sudah ditahan sejak tahun 2012. Putusan dengan Nomor 48/Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST merupakan putusan pertama dari kasus ini, putusan ini menyatakan bahwa Budi Susanto telah dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara singkatnya, pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi maka pidana penjara paling singkat 4 tahun sampai 20 tahun.

Pertimbangan yang diambil diantaranya adalah Budi Susanto sebagai unsur subjek meyakinkan bahwa nama dan identitasnya sebagai Pemilik dan Direktur PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT. CMMA) harus mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang didakwakan. Perbuatannya juga yang menyertakan Surat Perintah Kerja atas tender tersebut demi untuk meminjam Kredit Modal Kerja pada Bank BNI sebesar Rp.100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) untuk pengadaan. Kendati Pagu anggaran dari tender itu belum sah sehingga tidak mungkin adanya SPK jika belum ada kesepakatan pagu anggaran antara dua belah pihak. Selain itu, hal yang memberatkannya bahwa Budi Susanto meminta proses pencairan dana barang tersebut sebesar 100 persen dimana pengadaan tersebut masih proses pembuatan. Hal ini melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa, pada dasarnya proses pencairan dana hanya boleh dilakukan per termin.

Unsur-unsur dan pertimbangan akhirnya diputus dalam putusan pertama yang menyatakan bahwa terdakwa Budi Susanto dipidana penjara selama 8 tahun dengan pidana sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp.

(39)

17.136.912.198 (tujuh belas milyar serratus tiga puluh enam juta Sembilan ratus dua belas ribu serratus Sembilan puluh delapan rupiah). Jika tidak dapat membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan, maka harta bendanya akan disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Atas putusan tersebut Budi Susanto melakukan banding untuk mendapatkan keadilan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan Nomor 20/PID/TPK/2014/PT.DKI menyatakan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat putusan Pengadilan Tipikor dengan menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dan menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp. 17.136.912.198 (tujuh belas milyar serratus tiga puluh enam juta Sembilan ratus dua belas ribu serratus sembilan puluh delapan rupiah). Jika tidak dapat membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan, maka harta bendanya akan disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Persidangan tetap lanjut sampai kasasi, dengan nomor Putusan 1452 K/Pid.Sus/2014 Budi Susanto terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Gabungan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama. Putusan tersebut justru memperberat hukuman pidana penjara menjadi 14 tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan jika tidak diganti maka kurungan selama 6 (enam bulan). Terdakwa dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 88.446.926.695.00,- (delapan puluh delapan miliar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus dua puluh enam ribu enam ratus sembilan puluh lima rupiah).

Adapun perampasan aset dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan dalam hal ini adalah penuntut umum. Sesuai dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam pasal 30 ayat (1) huruf b

(40)

31

menyatakan bahwa jaksa melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Serta dalam penjelasannya pasal tersebut memandatkan jaksa bertugas untuk melaksanakan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. Pengaturan tersebut juga mengatur dalam hal ini penuntut umum KPK diberikan tugas dan wewenang selaku penuntut umum yang memiliki kewenangan eksekutorial.

Perintah perampasan baru dilakukan ketika uang pengganti tersebut tidak dapat dilunasi dalam kurun waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, barulah harta-harta yang dimiliki oleh terdakwa yang disebutkan dalam putusan kasasi, berupa harta kekayaan dari Budi Susanto dirampas untuk negara berupa 13 lokasi rumah tempat tinggal yang berbeda-beda di daerah Jakarta dan daerah Bandung, serta mobil yang digunakannya.

Berkaitan dengan kasus ini, 2 aset Budi Susanto dilelang dengan harga Rp.28.411.084.000,- dari total uang yang dikorupsi oleh terpidana sebesar Rp. 88.446.926.00,. Artinya, masih ada sebesar Rp. 60.035.842,00- yang tidak dapat kembali ke kas negara melalui lelang aset yang dilakukan oleh KPK.

Kendala tersebut dihadapi oleh Pusat Pemulihan Aset sebagai unit dibawah instansi Kejaksaan ini, yang berwenang dalam kegiatan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan dan pengembalian aset yang mencakup penghapusan dan pemusnahan aset. Sehingga balik atau tidaknya kerugian negara ke dalam kas negara, bukan hanya terkendala pada saat perampasan semata, melainkan proses panjang yang dapat menghilangkan aset yang tidak dapat dilacak.

Problematika yang dihadapi dalam kasus ini adalah terkendalanya perampasan aset pada pertama kali, hal ini dikarenakan adanya pasal 39 ayat

(41)

(1) KUHAP yang mewajibkan bahwa barang-barang terdakwa hanya boleh untuk disita terlebih dahulu, dan apabila ada kesalahan penyitaan maka Kejaksaan atau KPK harus menelan kerugian yang harus dibayar pada terdakwa. Sehingga dalam kasus ini dapat dilihat, aset-aset yang sudah diselidiki oleh Pusat Pemulihan Aset dibawah instansi kejaksaan tidak berbuah hasil, karena tidak ada keberanian penegak hukum untuk pembekuan atau pemblokiran aset tertentu baik itu berwujud maupun tidak berwujud.

Setelah adanya penyitaan, proses yang membuat aset dapat diperjual belikan dan tidak dapat dilacak adalah pembuktian dalam proses peradilan. Proses peradilan ini membutuhkan waktu yang lama dalam pembuktian pelacakan aset. Ketika pembuktian itu benar yang dibuktikan oleh data-data Pusat Pemulihan Aset dengan bukti-bukti hasil sitaan yang ada serta bekerja sama dengan PPATK, maka barulah barang-barang sitaan dapat berubah statusnya menjadi barang rampasan ketika ada putusan hukum yang mengikat dan dikeluarkannya surat perintah perampasan terhadap aset tertentu.

Eksekusi dari putusan tersebut hanya mengikuti perintah pengadilan yang sesuai dengan pemenuhan hak asasi manusia dan tidak mencederai hak-hak dari terdakwa. Namun, proses tersebut berdampak pada kekayaan negara menghilang sejak penyitaan dilakukan. Karena proses pelacakan tidak segera mengambil tindakan pada saat kerugian negara terjadi, sehingga kedua waktu pada saat penyitaan dan proses peradilan yang dilakukan penegak hukum membuka ruang besar untuk kerugian negara yang tidak dapat dikembalikan. B. Perampasan Aset secara Perdata

Perampasan aset secara perdata juga pernah terjadi pada kasus-kasus tindak pidana korupsi di negeri ini. Tidak semua perkara tindak pidana korupsi dapat diajukan melalui gugatan perdata. Tahun 2008 silam, KPK mendapatkan temuan korupsi pengadaan alat berat dan mobil pemadam kebakaran Provinsi

(42)

33

Jawa Barat tahun 2003-2004 oleh Yusuf Setiawan. Pengadaan ini sukses karena adanya kerja sama Pemerintah Jawa Barat dengan Yusuf Setiawan. Perjalanan kasus tersebut bermula melalui gugatan pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang. Namun pada tahun yang sama, Yusuf Setiawan belum dapat menggantikan kerugian negara dan sudah meninggal dunia. Dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 05/PID.B/TPK/2009/PN.JKT.PST tanggal 27 Mei 2009. Yang pada intinya berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHP dinyatakan penuntutan perkara atas nama alm.Yusuf Setiawan gugur dan tidak dapat dilanjutkan demi hukum, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia pada tahap persidangan di Pengadilan Negeri TIPIKOR.

Kasus pengadaan ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 44.595.065.247, sebagaimana hasil perhitungan ahli dari BPKP. Dalam perkara tersebut telah disita sejumlah uang sebesar Rp 16.187.271.000 yang berasal dari pengembalian tergugat dan berasal dari pengembalian saksi-saksi yang pernah diterimanya dari Yusuf Setiawan. Untuk kekurangan pengembalian keuangan negara sebesar Rp 28.407.794.247 (dua puluh delapan milyar empat ratus tujuh juta tujuh ratus sembilan puluh empat ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Berikutnya, kasus tersebut berlanjut melalui gugatan perdata dengan menggunakan seorang ahli waris terdakwa wajib membayar segala kerugian negara yang dibebankannya. Kasus tersebut sudah diputus dalam putusan Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK menyatakan bahwa ahli waris dari alm.Yusuf Setiawan harus mengembalikan kerugian negara.Selain itu, majelis memutuskan barang bukti berupa tanah seluas 3.625 meter persegi dan 600 meter persegi di Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji, Kota Depok, sah dan berharga untuk sita jaminan..

Perampasan secara perdata dinilai sangat fokus pada perhitungan kerugian negara, namun sayangnya secara positivistik, gugatan perdata dan

(43)

perampasan perdata (in rem) harus melalui keadaan tertentu yang tercantum dalam Pasal 32, 33, 34, 38C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi. Terdapat empat cakupan yang patut dipenuhi jika ingin merampas aset dalam tindak pidana korupsi, yakni: 2

1. Tidak terdapat cukup bukti/putusan bebas namun dapat membuktikan unsur-unsur pidana korupsi (Pasal 32 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).

2. Tersangka meninggal dunia dan menggugat ke ahli warisnya (Pasal 33 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).

3. Terdakwa meninggal dunia dan menggugat ke ahli warisnya (Pasal 34 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).

4. Adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 38C Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).

Undang-Undang inilah yang membuat mekanisme pengembalian kerugian negara terbilang lama. Karena harus melalui gugatan pidana, dan berlangsung sampai 2 tahun lebih untuk membuktikan adanya kerugian secara nyata oleh subjek yang berkenaan.

Mekanisme perampasan aset tidak jauh berbeda dengan mekanisme gugatan pidana. Prosesnya yang hanya membedakannya adalah penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara. Proses perdata yang merupakan lanjutan dari proses pidana juga tetap membutuhkan adanya pembuktian.

2 Aliyth Prakarsa, “Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan

Kerugian Negara dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol.6 Nomor 1 Tahun 2017, h.41-43.

(44)

35

Setelah adanya pembuktian, ketika benar adanya kerugian negara maka ahli waris diwajibkan membayar sisa yang belum dapat dibayar ketika proses peradilan pidana usai. Berdasarkan kasus ini, ahli waris harus wajib membayar sebesar Rp 28.407.794.247.

Kendala yang ditemukan sering kali dalam gugatan perdata adalah tingkat eksekusi yang rendah. Hal tersebut juga tidak didukung dengan adanya jangka waktu penyelesaian hutang dalam proses perampasan. Begitu banyak kasus-kasus korupsi pidana maupun perdata yang menumpuk menjadi tunggakan.3 Padahal hal tersebut dapat disebabkan dari mekanisme yang salah. Perampasan aset dari kejadian suatu tindak pidana korupsi oleh seseorang tidak boleh terhenti meskipun sudah bertahun-tahun belum dapat dibayarkan.

3 Kejaksaan Agung (Pusat Penelitian dan Pengembangan), Optimalisasi Penyelesaian

(45)

36

BAB IV

PERAMPASAN ASET DITINJAU DARI TEORI KEADILAN RESTORATIF

A. Perampasan Aset dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi dalam Black’s Law Dictionary disebutkan adalah “Illegality; a vicious and fraudulent intention to evade the prohibitions of the law. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others.” Dari hal di atas dapat dipahami korupsi adalah tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghindari larangan hukum. Perbuatan pejabat yang salah menggunakan kedudukan atau karakternya untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.1

Kejahatan korupsi di Indonesia semakin lama semakin berkembang setiap tahunnya. Peningkatan kasus korupsi di Indonesia semakin spesifik, pembongkaran modus yang digunakan oleh setiap pelaku bebeda-beda pula. Ibarat penyakit, gejala korupsi di Indonesia dimulai dari tahap elitis di mana mega korupsi terjadi di pemerintahan. Lalu kedua endemik ialah korupsi menjadi wabah di mana masyarakat mencontoh dari perilaku atasnya. Lalu di tahap kritis, ketika korupsi menjadi suatu yang berkesatuan, setiap individu menganggap hal ini menjadi biasa kendati hal itu merupakan sebuah kejahatan.2

Korupsi sudah terjadi di berbagai lembaga negara di Indonesia, mulai dari eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Budaya korupsi sudah mengakar dan terjadi disetiap lini kehidupan pemerintahan baik dari administratif,

1 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 11th Edition (West.2014), h.300.

2 Ashinta Sekar Bidari, “Fenomena Korupsi Sebagai Patologi Sosial di Indonesia”, Jurnal UNSA,

(46)

37

penyusunan peraturan di Indonesia, pembangunan Indonesia sampai penegakan hukum di Indonesia dinilai sudah dipenuhi budaya-budaya korupsi yang mengakar. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan sangat rendah.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch, para koruptor menggunakan berbagai modus dalam melakukan korupsi tersebut, diantaranya penyalahgunaan anggaran, mark up, modus suap, pungutan liar, penggelapan, laporan fiktif, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang. Hal ini terjadi merambat dari lini terkecil dari sektor desa sampai sektor pusat.3

Aliran dana yang disalahgunakan oleh para koruptor tidak menetap di Indonesia, karena pelacakan sistem keuangan di Indonesia dapat dengan mudah ditemukan. Kerap kali modus operandi yang digunakan oleh para koruptor untuk melindungi aset negara yang dicurinya ialah melarikan dana ke luar negeri dengan menyimpannya di bank. Bank yang akan dipilih merupakan bank yang memiliki tingkat kerahasiaan maupun akses yang tinggi.4 Dana tersebut ada yang disimpan dan ada juga yang ditransformasikan menjadi sebuah barang. Hal ini bisa dikenal dengan corpora delicti yang berupa kendaraan, sejumlah uang, sebidang tanah, properti, dan hal lainnya yang memiliki nilai ekonomis.

Kasus korupsi seperti itu dapat dilihat dari kasus yang menjerat Budi Susanto yang terlibat dalam kasus pengadaan alat driving simulator untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Kasus ini merugikan keuangan negara sangat besar yakni berjumlah Rp. 121.830.768.863,59 (seratus dua puluh satu

3 Bambang Widjojanto, Reformasi Penegakan Hukum, Artikel Indonesia Corruption Watch,

h.12.

4 Puteri Hikmawati, “Implikasi Penandatanganan Perjanjian Bantuan Timbal Balik Antara

Indonesia dan Swiss Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal DPR RI, Vol.XI No.05/I/Puslit/Maret/2019, h.5.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil: Pertama, KPK dalam melakukan penyitaan aset terhadap tersangka tindak pidana pencucian uang dianggap tidak

Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu menguraikan tentang pengaturan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri berdasarkan Perjanjian Bantuan Timbal

Yang dimaksud dengan “harta bendanya” dalam pasal 18 ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau

UU Tipikor mengatur bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga

Analisa bahan hukum digunakan untuk menyusun secara sistematis bahan yang telah diperoleh. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer terlebih dahulu dengan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengembalian

Ketentuan- ketentuan tersebut mengatur untuk dilakukannya perampasan aset melalui instrumen perdata jika upaya pemidanaan sudah tidak dimungkinkan untuk dilakukan dalam hal

Penelitian ini berjudul “Fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penyitaan Aset Tindak Pidana Korupsi Terkait Dengan Pencucian Uang”. Tindak pidana korupsi yang terjadi