• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESUME. Al-Ahkam, Al-amru, An-Nahyu. Disusun Oleh : Sifa Dwi Rahmawati ( ) Sultan Maulana Alif ( ) Aminah (

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESUME. Al-Ahkam, Al-amru, An-Nahyu. Disusun Oleh : Sifa Dwi Rahmawati ( ) Sultan Maulana Alif ( ) Aminah ("

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME

Al-Ahkam, Al-amru, An-Nahyu”

Disusun Oleh :

Kelompok : 1 (Satu)

Sifa Dwi Rahmawati (161410189) Sultan Maulana Alif (161410162) Aminah (161410160

MATA KULIAH : Ushul Fiqh

KELAS : Ekonomi Syariah (E) SEMESTER : 3 (Tiga)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SULTAN MAULANA HASANUDIN

BANTEN 2017

(2)

A. Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih

Al-ahkam (ىكحلأا) maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun ) مٌىكح( yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu زييختًأ ٍةهط ني نيِفَّهَكًُنا لاعْفَأِت قِّهعتًُنا عزشناا ُباط ِخ ُهاضتقْا اي

عضًًأ"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" . Dalam hal ini yang dimaksud dengan عزشناا باطِخ (seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah. Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam

1. Tuntunan ٍةَهَط .

Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib) ataupun hanya keutamaan.

2. Pilihan زْيِيخت .

Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan syara‟ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah.

3. Peletakan عضً

Wadh‟i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”.

Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara‟ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

(3)

B. Pembagian Al-Ahkam

Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)

2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh‟iyah)

1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah

Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.

1. Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan

makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah:

وازن ِلإا ِوجً َهع ُعراشنا ِوِتزيأ اي "Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan"

Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:

1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu:

a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.

b) Wajib muwassa‟, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.

c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.

d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.

2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.

a) Wajib „Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.

(4)

b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).

Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.

3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini:

a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.

Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.

b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.

Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.

4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini:

a) Wajib mu‟ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.

Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.

b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.

Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin

2. Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan

makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah:

وازنلإا وجً َهع لا عزشنا ِوِتزيأاي "Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan”.

Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu‟, mustahab, dan ihsan. Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu:

1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting).

(5)

2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

3. Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan

makna haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah:

كزَّتناِت وازنلإا وجً َهع عر اشنا ُونع َين اي "sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".

4. Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang dimurkai" dan

makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah:

كزَّتناِت وازنلإا وجً َهع لا عراشنا ُونع َين اي "sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan

untuk ditinggalkan".

5. Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang diumumkan dan

dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih adalah:

مٌزيأ وت قَّهعت لا اي ,

ِوتاذِن مٌيين لاً

"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya".

2. Al-Ahkam al-Wadh‟iyyah

1) Sebab. yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum,

sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.

2) Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya

hukum bergantung kepadanya

3) Azimah, yaitu hukum syara‟ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh

mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.

(6)

4) Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai

keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.

Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam, yaitu:

a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.

b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar‟i.

c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).

d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid.

5) Mani‟ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya

hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani‟ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan. Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani‟ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.

6) Sah

اًذقع ًجداثع ويهع ِوهْعف ُراثا تثّتزت اي "Apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."

(7)

7) Fasid

اًذقع ًجداثع ويهع ِوهْعف ُراثا تثّتزت لااي "Apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau akad."

C. Unsur-Unsur Hukum Islam

1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (ِ وْيِف وٌُكْحَي \ ِوِت وٌُكْحَي)

a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi

ِوْيِف ُوٌُكْحًَنا :

ِ ُىْكُح ِوِت َقَّهَعَت ٍِذَّنا ِ َّهَكًُنا ُمْعِفنا ٌَُى

“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara‟).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:

1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.

2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat

3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram

4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh

5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.

b. Syarat-syarat Mahkum bihi

Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.

a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara‟.

b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.

(8)

c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.

d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

2. Mahkum „Alaih

a. Pengertian Mafkum „Alaih ( ِوْيَهَع و ٌُْكْحَي)

Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara‟. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

b. Syarat-syarat mahkum „alaih (mukallaf).

Syarat-syarat mahkum „alaih (mukallaf) adalah :

1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur‟an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.

2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.

3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh

(9)

juga dalam keadaan sehat akalnya. Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

A. Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut „awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan „awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.

Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.

Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.

B. Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.

C. Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).

3. Hakim.

Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah6

(10)

AL AMRU DAN AN NAHYU

A. Pengertian Al Amr

Pengertian al-Amr secara bahasa berarti menuntut untuk mengerjakan sesuatu atau membuatnya. Adapun menurut istilah berarti suatu lafal yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut dan membebankan kepada orang yang lebih rendah derajatnya untuk melakukan suatu perbuatan. Lafal al-Amr adalah lafal yang menunjukkan pengertian wajib selama al-Amr itu berada dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi implikasi arti lain, hal ini sesuai dengan kaedah هذ ير ٍلاا ةىجىي ى

Lafal al-Amr itu, bila di dalamnya terkandung qarinah lain mengalihkan arti makna haqiqi kepada makna lain, maka hukum yang terkandung dalam shigat al-Amr bisa berubah menjadi : al-nadb, al-irsyad, al-do‟a, al-iltimas, al-tamanni, al-takhyir, al-tausiyah, al-ta‟jiz, al-tahdid dan al-ibahah

B. Bentuk dan Macam- macam Al Amr

Bentuk Amr( Perintah)

Bentuk Al Amr dapat dibagi lima yakni :

a. Dengan menggunakan Fi‟il Amr

Siyagh al-Amr yang menggunakan fi‟il amr, seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah(2),43

اىَُيِقَأ َو َح َلََّصىا اىُراَء َو َحبَم َّسىا اىُعَم ْرا َو َعٍَ ِيِعِما َّرىا “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku” . Lafal َىَُيِقَأ dan ىُراَء dalam ayat tersebut berbentuk fi‟il amr dari fi‟il madhi ًب قأ dan ي رأ

b. Dengan Fi‟il mudhari‟ yang dimasuki lam al-Amr, seperti firman Allah, QS. Al-Imran(4):104

(11)

“Dan hendaklah ada diantara kemu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan”. Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa lafal ُِْنَزْى َو adalah fi‟il mudhari yang dimasuki lam al-Amr.

c. Dengan menggunakan Isim mashdar sebagai pengganti dari fi‟il al-Amr Lafal mashdar yang bermakna sebagai al-amr, seperti firman Allah, QS. Al Isra‟(15):23:

ىَضَق َو َلُّث َر َّهَأا اوُذُجْعَر َّلاِإ ُٓبَّيِإ ِِْيَذِىا َىْىبِث َو بًّبَسْحِإ…

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…”

Lafal بًّبَسْحِإ pada ayat di atas adalah bentuk mashdar dari kata ِس حا- ِس ح ي yang berarti berbuat baiklah.

d. Dengan menggunakan Isim fi‟il al-Amr

Maksudnya adalah lafal yang berbentuk isim, namun diartikan dengan fi‟il, misalnya :

يح يي ع حلَ ص ىا, يح يي ع حلَ ف ىا

e. Dengan menggunakan kalimat berita/khabar misalnya: دبق ي طَ ىاو ِص ثرز ي ِهص ف ّأ ث خ ثلَ ث ءور ق

Perempuan perempuan yang telah dicerai itu menunggu tiga kali suci dari haid Maksudnya adalah lafadz ِص ثرز ي menunggu dalam ayat diatas, bentuknya sebagai khabar dan memakai fi‟il mudlorek tetapi maksudnya memerintah untuk beriddah tiga kali suci dari haid.

Macam macam Amr

Macam-macam Amr ada 11 antara lain: 1. Untuk menunjukkan sunnah(ةوذْ َي ى) 2. Untuk pelajaran (دبش رلَ ى) 3. Untuk memperbolehkan (خحب ثلإ ى) 4. Untuk mengancam (ذ يذهز ي ى) 5. Untuk menghormati (ًار ملإ ى) 6. Untuk melemahkan (سي جع ز ي ى) 7. Untuk doa (ءبعذي ى) 8. Untuk menyerah(ط يىف ز ي ى) 9. Agar menyesal (في هي ز ي ى)

(12)

10. Menyuruh memilih(ري ي خز ي ى) 11. Untuk mempersamakan(خ يىس ز ي ى)

C. Pelaksanaan Al Amr

1. al-Amr tidak menghendaki pengulangan dan tidak pula menunjukkan atas kewajiban mengerjakan seketika.Jadi apabila sudah dikerjakan, berarti sudah memenuhi perintah Allah Swt, seperti firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 196. kewajiban haji atau umrah hanya sekali seumur hidup. Sesungguhnya kata al-Amr sendiri tidak menyatakan sekali atau berulang-ulang, hanya karena sekali itu adalah suatu perbuatan yang dituntut.

2. al-Amr menghendaki pengulangan (يض ز ق ي رارن ز ىا)

Jumhur ulama berpendapat, bahwa adanya pengulangan atau tidak adanya pengulangan tergantung kepada qarinah yang berlaku pada siyagh al-Amr. A. Hanafi menegaskan bahwa qarinah tersebut meliputi illat, sifat, dan syarat, apabila al-Amr tersebut disertai dengan salah satu hal tersebut, maka keadaanya adalah sebagai berikut:

1. Apabila al-Amr dihubungkan dengan illat, maka harus mengikuti illat tersebut, bila ada illat maka ada hukum, bila berulang-ulang illat, maka berulang-ulang pula hukum, sebagaimana kaidah ushul fiqih. “Hukum itu selalu mengikuti ilat, baik dikala ada ilat maupun tidak ada”

2. Apabila al-Amr dihubungkan dengan syarat atau sifat, maka berulang-ulang pula pekerjaan yang dituntut bila sifat dan syarat tersebut berlaku sebagai illat. Sebagai contoh sifat dapat kita perhatikan firman Allah QS.al-Nur ayat 2 tentang hak zina

خي ّاس ىاا ى ّاس ىاو اوذي جب ف و م ذحاو بَهْ ٍ خ ئبٍ حذي ج dan contoh syarat surah al-Maidah ayat 6 tentang perintah bersuci bila dalam keadaan junub.

ُاو ٌز ْ م بج ْ ج اورهطب ف Kesegeraan dalam al-Amr (يض ز ق ي رىف ىا )

Sesuatu suruhan adakalanya dihubungkan dengan waktu dan adakalanya tidak. Apabila dihubungkan dengan waktu tertentu, seperti shalat wajib, maka pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan. Tapi bila al-Amr tidak

(13)

dihubungkan dengan waktu seperti perintah kifarat mengqadha puasa dan yang lainnya, maka diantara ulama ushul ada yang berpendapat, bahwa al-Amr tidak menghendaki berlaku segera.

D. Perintah sesudah larangan

ر ٍلاا ذع ث ىهْ ىا ذي ف ي خحب ثلإا “Perintah sesudah larangan, berarti menunjukkan untuk membolehkannya”. Artinya, apabila sesuatu perbuatan yang semula telah dilarang, kemudian dating perintah untuk mengerjakan, perintah yang kemudian ini berarti hanya membolehkan( bukan mewajibkan).

Misalnya: ذْ م ٌن ز ي ه ّ ِع رب يزح رج ق ىا ُ لأا بهوروس ف

Perintah ziarah kubur disini bukan berarti wajib dan bukan pula haram, perintah ini diberikan setelah adanya larangan, tetapi hanya untuk menunjukkan ibahah (dibolehkan).

Larangan (Al-Nahyu) A. Pengertian Al-Nahyu

Pengertian Al-Nahyu menurut bahasa berarti mencegah atau melarang. Adapun Al-Nahyu menurut Syara‟ ialah تي ط كرز ىا ٍِ ىي علاا ى ىا ى ّدلأا

“Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebuh tinggi kepada orang yang lebih rendah tingkatannya “sedangkan dasar arti larangan adalah

ٌ يرحز ي ى وص لأب ىف ىهْ ىا “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram(haromnya perbuatan yang dilarang)”

Berangkat dari beberapa pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Al-Nahyu adalah, kalimat pernyataan yang menunjukkan adanya suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Seperti larangan Allah kepada hambaNya, larangan pimpinan kepada bawahannya.

(14)

B. Macam macam Arti Nahi

Macam macam arti nahi dapat dibagi menjadi 6 yaitu: 1.Untuk menunjukkan makruh(خهارن ي ى)

2.Untuk Do‟a(ءبعذي ى)

3.Untuk memberikan pelajaran(دبش رلإ ى) 4.Untuk memutus asakan(صي ئ ي ز ي ى) 5.Untuk menghibur(شبْ ز ئلإ ى) 6. Untuk ancaman(ذ يذهز ي ى)

C. Hukum yang terkandung dalam suatu larangan

Di dalam pembahasan Nahyu, para ulama ushul telah mendapati nash-nash Al-Nahyu itu mengandung ketentuan hukum. Imam syafi‟i dalam kitabnya al-Umm menyatakan, bahwa apa yang dilarang Allah dan rasulNya adalah haram hukumnya, kecuali melalui dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dilarang itu tidak haram. Dalam ilmu ushul fiqih, pendapat imam Syafi‟i tersebut dikenal dengan kaidah وـص لأا ي ف يهْ ىا ٌـ يرحز ىا (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram). Dan karena yang dilarang itu haram hukumnya, maka sifat larangan itu harus berulang-ulang (al-Tikrar), dan tuntutan untuk meninggalkannya harus segera dilaksanakan (al-Faur).

Dalam konteks ini, apabila lafal Al-Nahyu tersebut dituturkan secara mutlak. Artinya bahwa dalam nash itu tidak terdapat qarinah yang mengalihkan makna Al-Nahyu kepada makna.

1. al-Amr adalah bentuk yang mengandung tuntutan dari atas ke bawah untuk melaksanakan suatu perbuatan. Al-Amr jika tidak ada qarinah lain yang mengalihkan kandungan makna hukum maka ia bersifat yang wajib mutlak, tetapi bila ada qarinah lain maka kandungan makna dan hukhumnya bisa berubah.

2. Al-Nahyu adalah tuntutan meninggalkan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Hakikatnya adalah larangan yang menunjukkan haram. Dengan adanya qarinah-qarinah yang bermacam-macam di dalamnya, maka Al-Nahyu dapar mengarah kepada beberapa pengertian.

(15)

D. Larangan memerintahkan kebalikannya

يهْ ىا ِع ئي ش ىا رٍإ ٓذض ث “Melarang sesuatu bereati memerintahkan yang menjadi kebalikannya (salah satu dari beberapa yang menjadi kebalikannya). Misalnya, jika ada larangan yang mengatakan” Janganlah duduk” berarti memerintahkan mengrjakan kebalikannya yaitu berdiri. Contoh yang lain kita dilarang berjalan dengan lagak sombomg, sebagaimana dalam Al Qur‟an

لا و شَ ر ى ف ض رلأا بحرٍ

Larangan tersebut memberikan pengertian bahwa kuta diperintahkan untuk berjalan dengan sikap sopan dan tawadhu‟. Artinya kita diperintahkan mengerjakan sesuatu yang menjadi kebalikan larangan itu

http://dewebolo.blogspot.co.id/2013/01/al-ahkam-hukum-hukum-dalam-konteks_18.html

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat validitas, tingat kesukaran, daya pembeda, pengecoh/disstractor serta reliabilitas soal ulangan akhir semester genap

Lebih jauh, perubahan-perubahan cepat yang terjadi di masyarakat perlu disikapi secara tepat dengan melakukan refleksi mendalam tentang apa peran Perguruan Tinggi

Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan dari sumber daya manusia pada suatu perusahaan, akan memiliki dampak kurang optimalnya kinerja perusahaan dalam mencapai

Selain berdasarkan bentangnya, jembatan juga dikategorikan berdasarkan fungsinya, diantaranya adalah jembatan jalan raya yang difungsikan untuk memikul beban lalu

Pertama alasan yuridis, berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4, ayat 20, ayat 24 dan ayat 25, dalam Al-Hadis juga ada beberapa hadis yang menyebutkan kewajiban pembayaran

#engan mengatur perbandingan keepatan rotasi benda kerja dan keepatan translasi pahat maka akan diperoleh berbagai maam ulir dengan ukuran kisar yang berbeda. Hal ini dapat

Melalui representasi ini, Croteau (2000:196), berpendapat bahwa film berusaha bercerita dan memukau khalayak dengan bahasa khusus film sebagai suatu pesan

Bagi perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi sistem pengendalian akuntansi atas siklus produksi yang sedang diterapkan oleh