• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Hak Ulayat

1. Pengertian Hak Ulayat

Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya.Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban. Dalam pengertian “tanah dalam lingkungan wilayahnya” itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat yang berkenaa dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni perairan tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayah yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharianya. Pemahaman ini penting karena pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya di fokuskan pada hubungan hukum dengan tanahnya1

Pengertian terhadap hak ulayat di tegaskan dalam Pasal 1 huruf (s) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengatakan bahwa:

Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (salanjutnya disebut Permen Agraria Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 1 memberikan pengertian bahwa:

Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat

1 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Presfektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Kompas, Jakarta, 2009.

(2)

13

dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan lahiriah dan batiniah2

Menurut Boedi Harsono “

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.Wewenang dan kewajiban tersebut yang termasuk bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut.Ada juga termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya

.

3

Hak Ulayat merupakan sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat sedangkan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Hak Ulayat adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.Hak ulayat bersifat Magis Religius artinya hak ulayat merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur kepada masyarakat adat sebagai unsur terpenting bagi kehidupan mereka sepanjang masa.4

Dari penjelasan di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa hak ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat yang pada hakikatnya merupakan kewenangan yang di miliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu untuk dapat mengambil

2 Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan

Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2003., h.185.

4 Boedi Haarsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dan Hubungan Dengan TAP MPR RI

(3)

14

manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut demi kelangsungan hidup dan kehidupan yang secara khas timbul dari hubungan secara lahiria dan batinia, secara turun-temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya. Dalam hal ini, hak ulayat atas tanah menunjukan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat sebagai subjek hak dan sebagai objek haknya dimana hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan menguasai.

2. Subjek Hak Ulayat

Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan orang-perorangan dan bukan kepala persekutuan adat.Kepala persekutuan adat adalah pelaksana kewenangan masyarakat hukum adat, dalam kedudukanya selaku petugas masyarakat hukum adat yang bersangkutan.Dengan demikian, subjek hak ulayat di jabarkan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat, baik secara geneologis (persamaan garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat tinggal).Masyarakat hukum adat memiliki ikatan sosial (geneologis dan teritorial). Persamaan Genealogis (persamaan garis keturunan) merupakan orang-orang yang memiliki satu nenek moyang atau memiliki hubungan darah yang sama. Sementara persamaan teritorial (persamaan wilayah) merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang menempati wilayah yang sama dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan memimpin semua aspek kehidupanya.5

3. Objek Hak Ulayat

Objek hak ulayat adalah wilayah berupa lingkungan hukum tempat masyarakat hukum adat hidup, mengusahakan dan mengambil hasil untuk kehidupan sehari-hari. Kewenangan mengatur hubungan hukum pada masyarakat hukum adat dengan wilayah di dasarkan pada hukum adat yaitu norma-norma yang hidup di dalam masyarakat hukum

(4)

15

adat yang di patuhi dan mempunyai sanksi. Mengenai objek hak ulayat dapat di bedakan menjadi 3 bagian yaitu :

a. Tanah

b. Air (perairan seperti: kali, danau, pantai serta perairanya) tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya.

c. Binatang liar yang hidup di alam bebas.6

4. Ciri-Ciri Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Dalam kehidupan persekutuan hukum adat merupakan suatu kehidupan masyarakat di dalam badan–badan persekutuan bersifat kekeluargaan.Berikut ini akan di uraikan beberapa ciri-ciri mengenai hak ulayatmasyarakat hukum adat yang di kemukakan oleh van vollenhoven:7

1. Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warganya yang dapat dengan bebas mempergunakan tanah liar atau tanah yang belum di kuasai oleh masyarakat setempat yang terletak dalam wilayahnya.

2. Hak individu di liputi juga oleh hak persekutuan

3. Orang asing (luar masyarakat hukum adat) boleh mempergunakan tanah itu dengan izin. Penggunaan tanah tanpa izin dipandang sebagai suatu delik. Untuk penggunaan tanah tersebut, kadang-kadang bagi warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar masyarakat hukum adat selalu dipungut recognisi.

4. Pemimpin persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperbolehkan hak perseorangan.

6Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta:Pradnya Paramita, 1983, h. 109.

(5)

16

5. Masyarakat hukum adat tidak dapat melepaskan, memindahtangankan, ataupun mengasingkan hak ulayatnya secara menetap.

6. Masyarakat hukum adat masih mempunyai campur tangan (baik inisiatif maupun kurang inisatif) terhadap tanah-tanah yang sudah diolah.

7. Persekutuan bertanggung jawab atas segalah hal yang terjadi di atas lingkungan ulayat,

8. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat,baik persekutuan maupun para anggotanya tidak bisa di putuskan bidang tanah ulayat jadi persekutuan hilang sama swewenangnya atas tanah tersebut.

B. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA

Pengakuan terhadap eksistensi/keberadaan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat dalam kerangka hukum tanah nasional secara yuridis telah diakui sebagaimana di tuangkan dalam Pasal 3 UUPA bahwa :

”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi8.

Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat dan Para Tetua Adat yang dalam kenyataannya masih di akui sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain mengakui, Hukum Tanah Nasional membatasi pelaksanaannya, dalam arti pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga

(6)

17

sesuai dengan Kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Pengakuan terhadap keberadaan Hak Ulayat dapat terlihat dalam hal, jika dalam usaha memperoleh sebagian tanah ulayat untuk kepentingan pembangunan, dilakukan melalui pendekatan dengan para penguasa adat serta warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut adat istiadat setempat.

Dalam rangka Hukum Tanah Nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur Hak Ulayat, telah menjadi tugas kewenangan Negara Republik Indonesia sebagai kuasa dan petugas bangsa.Dalam perkembangannya, pada kenyataannya kekuatan Hak Ulayat cenderung/melemah, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga dan anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah ulayat yang di kuasainya.9

C. Tanah Ulayat

Hukum tanah nasional (UUPA) tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Namun, dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu"ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht”10

Mengenai pengertian tanah adat baru di temukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 yang menyatakan bahwa:

9G.Kertasapoetra, A.Setiadi.et, al, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi

Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT.Bina Aksara, Jakarta.,1985. h.88.

10 Boedi Haarsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dan Hubungan dengan TAP MPR RI

(7)

18

Bidang tanah di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat di kelola oleh masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Menurut Putu Oka Ngakan mendefinisikan tanah ulayat (hak kolektif/beschikkingsrecht) sebagai;

“Tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat hukum adat, di mana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar”.

Tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat di istilahkan dengan berbagai istilah dan nama. Hal ini di sesuaikan dengan geografis dan kebiasaan adat setempat, Tanah ulayat mempunyai batas-batas sesuai dengan situasi alam dan sekitarnya, seperti puncak, bukit atau sungai.Tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat adalah kepunyaan bersama yang di yakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat. Tanah ulayat juga sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok hukum adat sepanjang masa.11

D. Penyelesaian Sengketa Pertanahan

1.Pengertian Sengketa tanah

Pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap

11Boedi Haarsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dan Hubungan dengan TAP MPR RI

(8)

19

status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.12

2. Jenis Sengketa Tanah

Sengketa pertanahan ialah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan13. Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain14:

1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.

2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.

3. Kekeliruan/ kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.

4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.

Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan. Diakui bahwa permasalahan tanah makin kompleks dari hari kehari sebagai akibat meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah.15

Oleh karena itu pelaksanaan dan implementasi UUPA di lapangan menjadi makin tidak sederhana.Persaingan mendapatkan ruang (tanah) telah memicu konflik baik secara

12https://www.scribd.com/doc/67524616/Pengertian-Sengketa-Tanah di kunjungi pada tanggal 15

Desember 2017 pukul 13.45.

13Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah,Bandung , Mandar Maju, 1991,. h. 57 14Ibid.,h.65.

(9)

20

vertikal maupun horizontal yang makin menajam. Secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan 5 yaitu :16

1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.

2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform 3. Akses-akses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah

5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat17.

Sedangkan sengketa yang sering terjadi saat ini adalah: 1. Sengketa tradisional tentang warisan, keluarga dan tanah

2. Sengketa bisnis yang serta berat dengan unsur keuangan, perbankan, peraturan Perundang-Undangan, etika dan sebagainya

3. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah

4. Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi, Negara dan perhatian masyarakat tradisional.

Meski demikian perlu di sadari bahwa sengketa pertanahan bukanlah hal baru. Namun dimensi sengketa merasa makin meluas di masa kini.Tanah dalam perkembanganya juga telah memiliki nilai baru, bila mana tidak saja di pandang sebagai alat produksi semata melainkan sebagai alat untuk berekpekulasi (ekonomi) tanah telah menjadi barang dagangan di mana transaksi ekonomi berlangsung dengan pengarapan akan margin pandangan komoditas yang di pertukarkan itu.

16Sayud Margono, Hukum Adat Dahulu Kini dan Akan Datang, Mandar maju., 2010. h. 46

17Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perespetif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,Buku Kompas,

(10)

21

3.Macam-Macam Upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan Menurut Hukum Nasional

Dalam rangka membangun kepercayaan publik (trust building), salah satu upaya yang dilakukan oleh BPN adalah melakukan percepatan penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan sebagaimana diamantkan dalam Tap MPR IX/MPR/2001 yang juga merupakan bagian dari 11 Agenda Prioritas BPN RI dengan berlandaskan 4 (4mpat) prinsip kebijakan pertanahan. Peyelesaian konflik pertanahan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan terdiri dari 18:

1. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan untuk melaksanakan putusan pengadilan; BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya, yaitu :

- Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;

- Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan; - Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;

- Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.

2. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di luar pengadilan; dapat berupa perbuatan hukum administrasi pertanahan meliputi :

- Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi;

18 Sumarto., Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan dengan Prinsip Win-Win Solution Oleh

BPN RI, 11 Oktober 2012, http://mas-marto.blogspot.co.id/2012/10/penanganan-dan-penyelesaian-konflik.html, di kunjungi pada tanggal 9 Mei 2018 pukul 12.53

(11)

22

- Pencatatan dalam Sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya;

- Penerbitan surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya. Dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertenahan, BPN RI menetapkan beberapa keriteria terhadap kasus pertanahan yang dinyatakan selesai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolahan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan yaitu:

a) Kriteria Satu (K-1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa; b) Kriteria Dua (K-2) berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan;

c) Kriteria Tiga (K-3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para pihak;

d) Kriteria Empat (K-4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai;

e) Kriteria Lima (K-5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang

(12)

23

telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

Seiring dengan berjalanya waktu, penyelesaian sengketa pertanahan semakin banyak di lakukan dengan cara musyawarah. Sengketa pertanahan yang lebih banyak berkaitan dengan masalah kepentingan atau interes para pihak, relatif lebih mudah dapat di selesaikan melalui cara musyawarah sepanjang kedua belah pihak saling terbuka dan menginginkan jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak.

Misalnya ada anggota masyarakat yang terlibat pertikaian diupayakan dapat selesai secara musyawarah atau dibantu penyelesaiannya oleh para orang tua atau yang dituakan, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk mencari jalan keluar dengan menekankan nilai-nilai luhur yang di anut oleh masyarakat setempat. Kendatipun cara-cara demikian sedikit demi sedikit mengalami erosi akan tetapi cara-cara demikian masih ada yang tetap berlangsung hingga sekarang. Bentuk suatu penyelesaian sengketa merupakan serangkaian aktivitas yang diperlukan oleh para pihak yang bersengketa dengan menggunakan strategi untuk menyelesaikannya.Mekanisme penyelesaian sengketa dapat muncul dalam berbagai bentuk.Secara umum media penyelesaian sengketa yang tersedia dapat digolongkan dalam dua bentuk yaitu melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau sering disebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution). Berdasarkan pengalaman penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui jalur di luar pengadilan yang pada umumnya di tempuh melalui cara perundingan yang di pimpin atau di prakarsai oleh pihak ke tiga yang netral atau tidak memihak. Pilihan penyelesaian sengketa dengan cara perundingan mempunyai kelebihan bila di bandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik di lihat dari segi waktu, biaya, dan tenaga/ pikiran.Disamping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga pengadilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat pengadilan

(13)

24

merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Dengan demikian, penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat di tempuh dengan berbagai bentuk. Berikut penulis akan menguraikan beberapa bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi, negosiasi, arbitrasi .

a. Mediasi

Keberadaan mediasi sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution/ADR) bukan suatu hal yang asing, karena cara penyelesaian konflik itu merupakan bagian dari norma sosial yang hidup, atau paling tidak, pernah hidup dalam masyarakat. Hal ini, di telusuri dari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat lebih berorientasi pada keseimbangan dan keharmonisan, yang intinya, adalah bahwa semua orang merasa di hormati, di hargai, dan tidak ada yang di kalahkan kepentinganya.19 Mediator adalah pihak ketiga atau penengah yang netral dan independen yang tugasnya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan baik ditunjuk secara bersama oleh para pihak atau ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak. Fungsi mediator antara lain adalah membantu para pihak menyelesaikan sengketa, membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perluh dihadapi bersama serta merumuskan berbagai pilihan penyelesaiansengketanya itu.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui mediasi memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut20

19Maria S.W. Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Kompas, Jakart., 2008, h . 9.

20Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Gama Media, Yogyakarta,

(14)

25

1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan perundingan

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

4. Mediator bersifat pasif dan hanya dan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa, sehingga tidak terlibat dalam menyusun dan merumuskan rancangan atau proposal kesepakatan.

5. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.

6. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Peran mediator dalam penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:

1. memanggil para pihak yang bersengketa 2. menyediakan tempat

3. membuat notulen pertemuan

4. merumuskan titik temu atau kesempatan dari para pihak 5. menyusun dan mengusulkan alternative pemecahan masalah

6. membantu para pihak menganalisis alternative memecakan masalah 7. membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu

Proses penyelesaian sengketa dengan cara mediasi memilik beberapa kelebihan dan juga kelemahan21.

(15)

26 Kelebihan mediasi

a) penyelesaian bersifat informal

b) yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri c) jangka waktu penyelesaian singkat

d) biaya ringan

e) tidak perluh aturan pembuktian f) hasil yang di tuju sama-sama puas Kekurangan mediasi

a) dari pihak mediatornya sendiri, mediasi ini merupakan tugas yang melelahkan dan sering tidak memberikan penghargaan yang cukup, serta memerlukan kesabaran ekstra untuk menghadapi para pihak yang bersengketa.

b) mediasi tidak dapat dipaksakan jika para pihak atau salah satu pihak tidak mau melakukannya.

c) dengan melakukan mediasi maka telah mengakui masalah tersebut adalah masalah sengketa internasional sehingga jika ada perselisihan mengenai pertanggungjawaban internasional, pihak yang bersengketa tidak akan mau dilakukan mediasi.

d) jika salah satu pihak merasa yakin untuk memenangkan persengketaan maka tidak akan mau untuk dilakukan mediasi, sebab dalam mediasi selalu dicari jalan win-win solution.

b. Negosiasi

Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa menempatkan negosiasi sebagai cara penyelesaian tersendiri. Dalam Pasal 6 ayat (2) dinyatakan : "Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

(16)

27

alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung para pihak"

Negosiasi adalah bentuk interaksi sosial yang berfungsi untuk menetapkan keputusan di antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda.Kedua belah pihak dalam negosiasi ini memiliki hak atas hasil akhir.Hasil akhir dalam negosiasi ini memerlukan persetujuan kedua belah pihak sehingga terjadi proses saling memberi dan menerima sesuatu untuk mencapai kesepakatan bersama. Negosiasi bertujuan untuk mendapatkan atau mencapai kata sepakat yang mengandung kesamaan persepsi, saling pengertian dan persetujuan untuk mencapai kondisi saling menguntungkan dimana masing-masing pihak merasa menang (win-win solution). Upaya penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi tentu memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan.22

Kelebihan Negosiasi

a) mengetahui pandanga pihak lawan

b) kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan; c) memungkinkan sengketa secara bersama-sama

d) mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak; e) tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum;

f) dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu. Kelemahan Negoisasi :

a) tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;

b) tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan;

c) sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;

(17)

28

d) memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan;

e) dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak; f) dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

Dari uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman, masyarakat lebih memilih menyelesaikan sengketa di luar pengadilan di banding berperkara di pengadilan.Hal ini di karenakan, penyelesaian sengketa di pengadilan sangat berbelit-belit artinya membutuhkan waktu yang lama, biaya yang banyak, serta menguras tenaga/pikiran sehingga para pihak yang bersengketa lebih memilih menyelesaiakan di luar pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa dengan bentuk mediasi, negoisasi, konsiliasi, dan arbitrase seperti yang telah dijelaskan di atas, tentunya masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Walaupun demikian, upaya penyelesaian di luar pengadilan tersebut lebih berorientasi pada keseimbangan dan keharmonisan, yang intinya adalah bahwa semua orang merasa di hormati, di hargai, dan tidak ada yang di kalahkan kepentingannya.Penyelesaian sengketa seperti ini, memberikan kepada para pihak kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang di capai menurut kesepakatan bersama tanpa ada tekanan atau paksaan.Dengan demikian, solusi yang di hasilkan mengarah kepada win-win solution23.

23 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung,

(18)

29

E. Penyelesaian Sengketa Tanah Di Papua

Dalam prespektif hukum adat di Provinsi Papua, segala sengketa yang terjadi di lingkungan masyarakat dapat di selesaikan melalui mekanisme musyawarah dan mufakat dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan24. Mekanisme penyelesaian sengketa yang di

lakukan tentunya dengan cara mediasiatau melibatkan pihak ke tiga sebagai penenga. Dalam hal, menentukan pihak ke tiga masing-masing pihak yang bersengketa bersepakat untuk menujukan orang yang di percayai di lingkungan masyarakat adatnya sehingga kesepakatan yang di ambil oleh kedua bela pihak saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain. Pihak-pihak yang menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa biasanya seperti Kepala suku, Ondoafi25 dan tetua-tetua adat yang di anggap paling memahami mengenai sengketa tersebut. Kedudukan hukum adat di Provinsi Papua lebih dominan di banding hukum positf sehingga semua sengketa yang terjadi di masyarakat dapat di selesaiakan melalui mediasi misalanya perebutan lahan perkebunan di antara masyarakat dan terjadi konflik maka dapat di selesaiakan melalui mediasi. Hal ini bukan berarti hukum adat lebih tinggi di banding hukum positif tetapi dalam hukum positif telah mengakui eksistensi hukum adat sehingga keputusan yang di ambil menurut hukum adat setempat di anggap telah selesai. Pengakuan akan hukum adat ini terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

24 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perespetif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Kompas,

Jakarta., 2009.h. 185.

(19)

30

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Pemerintah Provinsi Papua telah mengakui hak-hak masyarakat hukum adat. Hal tersebut di tuangkan dalam Pasal 43Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengatakan:

Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

Untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat Pemerintah Provinsi Papua mengakui penyelenggaraan Peradilan Adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 ayat (2) yang mengatakan :

Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Kewenangan peradilan adat dalam memeriksa mengadili sengketa perdata dan pidana di atur dalam Pasal 51 Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang menyatakan:

(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atasputusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksudpada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.

(20)

31

(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.

(6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakanpemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir danberkekuatan hukum tetap.

(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidanayang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua PengadilanNegeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yangbersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat(3).

(8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilanadat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusanpengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukumPengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana di maksud pada Pasal 50 Ayat (2) dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang telah di sebutkan di atas maka Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat Papua (selanjutnya di sebut Perdasus Papua Nomor 20 Tahun 2008 ). Tujuan di terbitkanya Peraturan Daerah Khusus tersebut adalah sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua dan bukan Papua26, memperkokoh kedudukan peradilan adat, menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, menjaga harmonisasi, keseimbangan kosmos, dan membantu pemerintah dalam penegakan hukum27.Secara teknis mengenai mekanisme penyelesaian sengketa di tuangkan dalam Pasal 10 Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat Papua yang menyatakan:

26 Masyarakat adat Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari

suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua;

Masyarakat bukan Papua adalah orang yang berasal dari pulau lain yang datang menetap di Papua selama kurang lebih 10 tahun atau lahir dan besar di pulauPapua.

(21)

32

(1) Mekanisme untuk menerima, mengurus, mengadili, dan pengambilan putusandilaksanakan menurut hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diatur melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berkaitan dengan Penyelesaian sengketa tanah adat, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (selanjutnya di sebut Perdasus No 23 Tahun 2008). Mengenai penyelesaian sengketa tanah adat secara eksplisit tertuang dalam Pasal 14 yang menyatakan;

(1) Sengketa yang terjadi antara masyarakat hukum adat atau perorangan warga masyarakat hukum adat yang tunduk pada hukum adat yang sama dapat diselesaikan menurut hukum adat setempat.

(2) Jika masing-masing pihak yang bersengketa tunduk pada hukum adat yang berlainan dan memilih hukum adat sebagai mekanisme penyelesaian sengketa, maka penyelesaiannya dapat dilakukan oleh forum penyelesaian sengketa antar masyarakat hukum adat dan atau melibatkan para ahli mengenai hukum-hukum adat kedua belah pihak.

(3) Penyelesaian sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan (lembaga arbitrase, negosiasi maupun mediasi) berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Berdasarkan uraian di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa dalam peradilan adat telah diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah kasus dapat di selesaiakan melalui peradilan adat maka kasus itu sudah dianggap selesai. Jika tidak dapat di selesaiakan melalui peradilan Adat maka kasus tersebut di selesaiakan melalui peradilan nasional28

28Ibid, h. 189.

Referensi

Dokumen terkait

Perlu dilakukan usuha-usaha untuk lebih meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bencana alam melalui pelatihan dan sosialisasi serta dapat juga dengan

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

E:alua%i pa%(a mengalami n&eri terma%uk  ri4a&at in$i:i$u $an keluarga mengalami n&eri kronik atau &ang menimbulkan keti$akmampuan pa%ka n&eri &ang

Tahap-tahap penelitian meliputi: (1) isolasi fungi endofit dari kulit buah kakao, (2) seleksi fungi endofit penghasil polifenol oksidase, (3) optimasi produksi

LAPORAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BUKIT KACAPI RESORT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu!.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh pengetahuan kepala sekolah tentang rokok dan kawasan tanpa rokok terhadap dukungan penerapan wilayah kawasan tanpa

Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan dari gurunya terutama guru Bimbingan Konseling yang profesional, karena dengan adanya guru Bimbingan