Oleh :
MILLATI HANIFAH WARDANI NIM : 1117048000022
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh :
MILLATI HANIFAH WARDANI NIM : 1117048000022
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MILLATI HANIFAH WARDANI NIM: 1117048000002
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. NIP. 19540303 197611 1001
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 19 November 1999 NIM : 11170480000022 Program Studi Alamat Email : Ilmu Hukum : Jalan Almubarok 2 No 52 Rt 014 Rw 02 : [email protected]
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Mei 2021
Materai 10 ribu
Millati Hanifah Wardani NIM. 11170480000022
5
ABSTRAK
MILLATI HANIFAH WARDANI. NIM 11170480000022.
PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN TANAH PADA
PEMBANGUNAN NEW YOGYAKARTA INTERNATIONAL AIRPORT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Jakarta, 1442 H/2021 M. Isi viii+ 74 halaman + 7 halaman daftar pustaka.
Tujuan penelitian ini ialah untuk memecahkan permasalahan penelitian terkait ketentuan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan implementasi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dalam pembangunan New Yogyakarta International Airport. Proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan dalam tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Pelaksanaan pengadaan tanah ditujukan sebagai instrumen program pembangunan infrastruktur untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-doktriner dengan menemukan jawaban yang benar terkait pengadaan tanah dari preskripsi hukum yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil penelitian ini menunjukkan implementasi pengadaan tanah yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, terjadinya maladministrasi dan kesalahan implementasi seperti kurangnya sosialisasi, tidak dilibatkannya seluruh pemegang hak atas tanah, dan tidak terdapat proses dialogis diantara para pihak sebelum penetapan lokasi pembangunan, ganti kerugian yang tidak mengakomodir seluruh kebutuhan non-fisik masyarakat. Kesalahan tersebut menyebabkan sengketa dalam proses pembangunan infrastruktur karena tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Kata Kunci : Penyelesaian Sengketa Pembangunan Infrastruktur, Pengadaan Tanah.
Pembimbing Skripsi : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M. H. Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2021.
6
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dan telah memberikan kemudahan sehingga peneliti mampu menyelasaikan skripsi ini dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA KONSULTASI PUBIK PADA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA (Studi Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).” Shalawat dan salam tidak lupa peneliti curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, dan para sahabatnya.
Selanjutnya, dalam penyusunan skripsi ini peneliti banyak mendapatkan bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Jakarta.
3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia dengan sabar meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dukungan dan masukan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. Noryamin M.A. Dosen Penasehat Akademik yang selalu menasehati dan membimbing peneliti.
5. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7
6. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta Ayah dan Ibu yang sudah menjadi orang tua terhebat dalam hidupku, yang tiada henti memberikan dukungan moril maupun materil juga memberikan kasih sayang, nasihat, semangat, dan doa yang tak pernah putus untuk kebahagiaan dan kesuksesanku.
7. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan terima kasih.
Jakarta, ... 2021
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN ii
PEMBIMBINGAN ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5
E. Metode Penelitian 6
F. Rancangan Sistematika Pembahasan 8
BAB II PERSPEKTIF TEORITIK DAN KONSEPTUAL PENGADAAN TANAH10
A. Kerangka Teori 10
B. Kerangka Konseptual 15
C. Tinjauan 21
BAB III TAHAPAN PELAKSANAAN KONSULTASI PUBLIK PADA PENGADAAN TANAH24
A. Asas-asas Umum Pengadaan Tanah 24
B. Kewenangan Pengadaan Tanah 34
C. Pembangunan Nasional 36
D. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (40
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PADA PEMBANGUNAN NEW
YOGYAKARTA INTERNATIONAL AIRPORT 49
A. Ketentuan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum 49
B. Penyelesaian Sengketa Pengadaan Tanah New Yogyakarta International Airport Demi Kepentingan Umum 60
9
BAB V PENUTUP70
A. Kesimpulan 70
B. Rekomendasi 70
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadaan tanah merupakan perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang diperlukan, dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, fasilitas atau lainnya, melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat antara empunya tanah dan pihak yang memerlukan. Permasalahan pengadaan tanah di Indonesia masih banyak terjadi dan masyarakat menilai pembebasan tanah untuk kepentingan umum senantiasa menimbulkan polemik.
Tanah sebagai ruang hidup bersama seluruh rakyat memiliki fungsi sosial yang harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan sosial dan kepentingan negara. Pembangunan infrastruktur dalam bingkai kepentingan publik, berkaitan erat dengan tanah sebagai medianya. Sehingga antara tanah dan kegiatan pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Konsekuensi dari hal tersebut, berimplikasi pada adanya suatu pengadaan tanah demi kepentingan umum (land procurement for public interest) dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan warganya yang adil dan makmur secara merata sebagaimana tujuan berenegara Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Dalam tahap persiapan sering terhambat oleh keberatannya pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak keberatan atas penetapan lokasi yang dikeluarkan oleh Gubernur.2
1 Triana Rejekiningsih, “Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu
Tinjauan Dari Teori, Yuridis Dan Penerapannya Di Indonesia)”, Yustisia, Vol. 5 No. 2 (2016), h. 299.
2 Djoni Sumandi Gozali, “Hukum Pengadaan Tanah di Indonesia”, (Bandung: PT Citra
Pada kenyataannya, harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Secara implementatif, proses pengadaan tanah tidak terlepas dari problematika yang terjadi di masyarakat. Dimana paradigma yang tercipta, pengadaan tanah selalu dikaitkan dengan konotasi negatif berupa penggusuran tanah bahkan perampasan tanah (land grabing) yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memperdulikan rasa keadilan bagi masyarakat yang memicu terjadinya konflik antara masyarakat dan pemerintah.
Tindakan pemerintah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur selalu dikaitkan dengan penguasaan negara terhadap kekayaan alam termasuk pula tanah. Padahal sejatinya, konsep penguasaan negara tidaklah boleh dilakukan secara absolut melainkan harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tetap memperhatikan keseimbangan antara kemanfaatan, berkeadilan, berkelanjutan dan profesionalitas. Keadaan demikian tidak jarang menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu bentuk konflik tersebut terjadi pada proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang mendapatkan penolakan secara keras dari masyarakat Kulon Progo, karena menurut masyarakat tidak sesuainya pemberian kompensasi dan konsultasi publik yang dilakukan pemerintah daerah. Menurut masyarakat tim persiapan pembangunan, tidak pernah mengajak, mengundang atau memberi ruang pada masyarakat (social participate) terdampak untuk turut serta dalam rencana teknis persiapan pembangunan tersebut.
Konsultasi Publik dalam pengadaan tanah bagi pembangunan dilakukan melalui beberapa proses yaitu sosialisasi, penetapan lokasi, serta kesepakatan dalam lokasi rencana pembangunan. Konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dengan masyarakat yang terkena dampak 4 serta dilakukan ditempat rencana pembangunan atau ditempat yang disepakati. Konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, dan apabila terdapat pihak yang keberatan
dalam lokasi rencana pembangunan, maka akan dilakukan konsultasi publik ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Konsultasi publik sangat penting untuk membangun partisipasi publik.
Transparansi dan akuntabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan yang mengacu pada Undang-Undang akan menjadi prasyarat bagi partisipasi publik akan peran dan tanggung jawabanya dalam penentuan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sinergi tersebut didasarkan pada prinsip kesetaraan, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, demokratis saling menghormati sehingga pembangunan sistem pemerintahan yang lebih baik di daerah dapat segera diwujudkan. Selain itu, terdapat pula pada kasus pembangunan Tol Batang-Semarang yang dalam pembebasan lahannya, 3 masyarakat pun merasa pemerintah melakukan keputusan secara sepihak dalam pembayaran ganti rugi atas tanah pada warga setempat. Kasus-kasus di atas menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur.
Di sisi lain, terjadinya konflik atas tanah dalam pembangunan infrastruktur tidak selalu disebabkan oleh pemerintah semata. Dalam proses pengadaan tanah dalam pembangunan infrastruktur seringkali tidak mendapatkan konsensus bersama dalam proses musyawarah (deadlock), di mana masyarakat cenderung tidak menginginkan tempat tinggalnya untuk digunakan dalam pembangunan infrastruktur dengan alasan-alasan tertentu. Padahal sejatinya, pembangunan infrastruktur tersebut akan kembali kepada manfaat terhadap masyarakat luas. Selain itu, pembangunan infrastruktur harus tetap dilakukan sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk memenuhi segala aktivitas publik. Terlihat dari tujuan pembangunan infrastruktur dalam pembangunan nasional antara lain : 1. Mencapai perkembangan ekonomi yang kuat yang berujung pada pertumbuhan ekonomi positif. 2. Meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. 3.
3 Abdillah Arief dan Muhammad Al-Jabbar Putra, “Perwujudan Prinsip Keadilan Dalam
Land Acquisition Untuk Pembangunan Infrastruktur Melalui Penerapan Compulsory Rehabilitation and Resettlement”, STAATSRECHT: Indonesian Constitutional Law Journal, Vol. 2 No. 1, (2018), h. 3.
Strukturisasi perekonomian 4. Meningkatkan kesempatan kerja. 5. Pemerataan pembangunan. Semua tujuan-tujuan tersebut akan tercapai bilamana tetap memperhatikan asas-asas perencanaan pembangunan nasional yang baik.4
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas mengenai hambatan-hambatan pembangunan infrastruktur baik dari tahapan awal hingga tahapan akhir, peneliti akan membahas tentang bagaimana konsep pembangunan infrastuktur Indonesia yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah serta peraturan turunan lainnya dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA KONSULTASI PUBLIK PADA
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Pemberian kompensasi pada pembangunan infrastruktur di Indonesia
b. Konsultasi yang dilakukan pemerintah pada warga dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
c. Pembangunan nasional yang berkeadilan. d. Prosedur pengadaan tanah dan konsultasi publik
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada pembangunan infrastruktur di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang No 2 Tahun 2012 dan peraturan terkait lainnya.
3. Perumusan Masalah
4 Suriyati Hasan, “Sistem Perencanaan Pembangunan Dalam Penataan Hukum Nasional”,
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah, peneliti mengkaji tentang implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembagunan Untuk Kepentingan Umum pada proses pembangunan New Yogyakarta International Airport maka peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
a. Apa ketentuan pengadaan tanah menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012?
b. Bagaimana penyelesaian sengketa pengadaan tanah pada pembangunan New Yogyakarta International Airport?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan sebelumnya, dapat peneliti simpulkan tujuan dari penelitian skripsi ini ke dalam dua hal, yaitu:
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan tahapan pengadaan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 2) Untuk mengetahui dan menjelaskan penyelesaian sengketa
pengadaan tanah pada pembangunan New Yogyakarta International Airport.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang ingin dihadirkan peneliti sebagai berikut:
1) Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum, sekaligus sebagai bahan penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti yang akan mengkaji persoalan yang serupa.
2) Secara Praktis
Dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai kontribusi pemikiran bagi pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yakni pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi, dan pendekatan konsep (conceptual approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Penelitian tersebut memberikan penjelasan mengenai aturan pengadaan tanah untuk kepentingan publik, dan konsep pengadaan tanah yang digunakan dalam penelitian.
3. Data penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi tentang pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum untuk menjawab penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti gunakan untuk menjawab semua permasalah yang ada dalam penlitian ini sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan5. Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai bahan hukum primer ialah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
5 Ronny Hanitijo Soemitro, “Metode Penelitian Hukum Jurimetri”, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.
b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian, artikel, jurnal, makalah yang membahas tentang pengadaan tanah. c. Bahan hukum Tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai
bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa pendapat para ahli. 4. Metode pengumpulan data
Metode Pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah studi dokumen yaitu bentuk pengumpulan data yang dilakukan dengan mengumpulkan, mencari bahan-bahan hukum yang berisi tentang aturan pengadaan tanah, membaca artikel dan dokumen yang berhubungan dengan penelitian, mencari pasal-pasal yang memberikan informasi tentang pengadaam tanah. Metode dokumenter merupakan salah satu jenis metode yang sering digunakan dalam metodologi penelitian sosial, berkaitan dengan teknik pengumpulan datanya. Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, iktisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya.
5. Teknik pengolahan data
Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa hasil studi literatur (kepustakaan) berupa data sekunder, yang berasal dari bahan hukum primer. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analis. 6. Metode Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis deksriptif. Metode ini berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
7. Teknik penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada metode penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang dibahas. Adapun urutan masing-masing bab serta pokok pembahasanya sebagai berikut:
Bab Kesatu, Pada bab ini membahas mengenai latar belakang masalah,
dilanjutkan dengan identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan Dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan rancangan sistematika penelitian.
Bab Kedua, Dalam bab ini akan dibahas dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait kerangka teoritis dan kernagka konseptual dan tinjauan (review) kajian terdahulu yang terkait dengan pengadaan tanah.
Bab Ketiga, dalam bab ini akan menyajikan data yang berkaitan dengan
asas dan mekanisme pengadaan tanah.
Bab keempat, Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan implementasi pengadaan tanah dalam pembangunan New Yogyakarta International Airport.
Bab Kelima, Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan yang dapat
ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah ditetapkan dan rekomendasi yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.
10
BAB II
PERSPEKTIF TEORITIK DAN KONSEPTUAL PENGADAAN TANAH
A. Kerangka Teori
1. Kesejahteraan
Kesejahteraan perekonomian didasarkan kepada proporsi moral. Secara khusus, standar evaluasi dalam kegiatan ekonomi sosial didasarkan kepada manfaat dari kegiatan yang dilakukan dan kepuasan individu yang tercapai. Para ahli ekonomi kerap kali memisahkan analisis yang mereka lakukan kepada efisiensi, dampak distributif, dan yang akan terjadi. 6
O’ Donnell menyatakan bahwa para ahli ekonomi dapat mempelajari konsep dalm pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh kalangan non-ahli ekonomi. Gagasan keadilan, kesempatan, kebebasan, dan hak yang jauh lebih penting dalam pembuatan kebijakan. Hahn menyatakan bahwa kesejahteraan dan preferensi individu disebabkan oleh kebijakan pejabat publik.
Pendekatan utilitarian dari kesejahteraan ialah kepuasan individu. Setiap individu melakukan interaksi dengan individu lainnya semata-mata untuk merealisasikan tujuannya. Disaat utilitarianisme yang digagas oleh Bentham dan Mill dipahami sebagai kebahagiaan, utilitarianisme yang digagas oleh ekonom ialah indeks preferensi individu yang terpenuhi.
2. Keadilan
Roscoe Pound merefleksikan keadilan sebagai hasil konkrit yang dalam kehidupan bermasyarakat. Pound menilai bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
6 Daniel M. Hausman dan Michael S. McPherson, “Taking Ethics Seriously: Economics and Contemporary Moral Philosophy”, Journal of Economic Literature, Vol. 31 No. 2, (1993), h. 675.
Pound sendiri mengatakan bahwa keadilan ialah semakin meluasnya pengakuan dan pemenuhan terhadap kebutuhan, tuntutan atau keinginan manusia melalui pengendalian sosial, semakin meluas dan efektifnya jaminan terhadap kepentingan sosial, dan suatu usaha untuk menghapuskan pemborosan yang terus-menerus dan semakin efektif dan menghindari perbenturan antara manusia dalam menikmati sumber daya yang tersedia, singkatnya keadilan direfleksikan sebagai social engineering yang efektif.7
Di sisi lain Hans Kelsen memiliki pendapat yang berbeda terkait konsep keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Kelsen menyatakan bahwa keadilan merupakan tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran dapat berkembang dan subur di tengah masyarakan. Karena keadilan menurut Kelsen ialah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi, serta keadilan toleransi.8
Lebih lanjut, Thomas Hobbes menyatakan bahwa keadilan ialah suatu perbuatan berdasakan perjanjian yang telah disepakati. Atas landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan dapat tercapai saat terdapat kesepakatan antara dua belah pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian disini didefinisikan dalam wujud yang luas dan tidak hanya sebatas perjanjian bisnis di antara dua pihak, sewa-menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian disini juga berarti penjatuhan putusan antara hakim dan terdakwa, peraturan perundang- undangan yang tidak memihak tetapi mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan publik.9
3. Hak Atas Tanah
7 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), h. 174. 8 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”,…, h. 175.
9 Muhammad Syukri Albani Nasution, “Hukum dalam Pendekatan Filsafat”, (Jakarta:
Hak atas tanah merupakan serangkaian hak formal dan informal untuk memanfaatkan sumber daya dari tanah yang dimilikinya.10 Hak kepemilikan tersebut, secara general merupakan hasil dari pengaruh kekuatan politik dan ekonomi. Landasan utama dari hak kepemilikan ialah karena hak tersebut memberikan keuntungan dalam pengelolaan tanah dan sumber daya yang berkelanjutan.
Secara umum, pengaruh dari perubahan teknis eksternal dan/atau perluasan pedagangan mengakibatkan pertumbuhan investasi yang setara dengan hasil peningkatan investasi akibat penambahan jumlah penduduk. Meningkatkan arus pendapatan yang dapat diperoleh dari satu bidang tanah menjadi salah satu tolak ukur, perubahan teknis, dan perluasan perdagangan menambah insentif bagi pemilik tanah sehingga keuntungan ekonomis tersebut menjadi unsur atas hak atas tanah. Dengan demikian, hak atas tanah mempengaruhi basis dari sistem keuntungan ekonomi atas alokasi sumber daya pada tanah.11 Libecap menyatakan bahwa terdapat dua alasan hak kepemilikan berdampak secara fundamental kepada kinerja ekonomi, yaitu:12
“First, by assigning ownership to valuable resources and by designating who bears the economic rewards and costs of resource-use decisions, property rights institutions structure incentives for economic behaviour within the society. Second, by allocating decision-making authority, the prevailing property rights arrangement determines who the key actors are in the economic system.”
Libecap menyatakan alasan pertama, karena dengan menetapkan kepemilikan atas sumber daya yang berharga, penerima keuntungan ekonomi dan biaya dari pengambilan keputusan atas penggunaan sumber daya, serta menetapkan institusi terkait hak atas tanah yang
10 Lee J. Alston dan Bernando Mueller, “Property Rights and The State”, Handbook of New
Institutional Economics, (1991), h. 573–590.
11 Coase R.H, “The Problem Of Social Costs”, Journal of Law and Economics, (!960), h.
1-44.
12 Libecap G.D., “Contracting For Property Rights”, (Arizona: Cambridge University Press,
memberikan dorongan kepada iklim ekonomi di tengah masyarakat. Kedua, alokasi kewenangan pengambilan kebijakan atas tanah menentukan siapa yang menjadi penentu dalam berjalannya sistem ekonomi.
Lebih lanjut, pengaruh entitas politik, konflik kepentingan, dan negosiasi dari para pihak yang terdampak dalam proses pembentukan hak atas tanah dalam pembentukan struktur institusi kepemilikan. Karena pengaturan dari kepemilikan atas tanah dapat mengurangi biaya transaksi atas sumber daya, mendorong investasi, dan melibatkan kepentingan publik.13 Seperti kepentingan publik lainnya, proses pendaftaran atau pengalihan hak atas tanah selalu memiliki konflik dan negosiasi antara para pihak yang terdampak.
Oleh karena itu, hak atas tanah ditentukan berdasarkan proses politik, melibatkan negosiasi diantara masyarakat atau tingkatan lebih tinggi dalam pemerintahan. Dalam proses negosiasi politik, posisi yang diambil oleh berbagai pihak, termasuk swasta, pemerintah, dan masyarakat akan ditentukan dari keuntungan yang diharapkan masing-masing pihak. Keuntungan tersebut ditentukan oleh prediksi bagian atau manfaat sosial bagi masing-masing pihak dalam hak kepemilikan atas tanah.
Libecap menyatakan hak atas tanah di sisi lain dapat mengandung hak-hak spesifik lainnya seperti hak untuk tidak memberikan akses kepada non-pemilik, hak atas keuntungan ekonomis dalam penggunaan tanah, dan hak untuk menjual serta memindah tangankan kepada orang lain. 14 Di sisi lain, De Alessi memisahkan secara spesifik hak atas tanah menjadi tiga hak, yaitu:15
a) Usus (hak untuk menggunakan)
13 Libecap, G.D., “Contracting For Property Rights”, (Arizona: Cambridge University
Press, 1989), h. 132.
14 Libecap, G.D., “Contracting For Property Rights”, …, h. 134.
15 Louis De Alessi, “Development Of The Property Right Approach”, The American
b) Usus Fructus (hak untuk mendapatkan keuntungan) c) Abusus (hak untuk memindahtangankan)
Pembagian dari ketiga hak di atas merupakan konstruksi dasar atas hak kepemilikan atas tanah. Disamping kepemilikan pribadi, negara juga memiliki hak untuk melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diadasarkan pada asas bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA yang menentukan: “Semua hak atas tanah berfungsi sosial”. Penjelasan Pasal tersebut menggariskan bahwa:
”...Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara, tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.”
Berdasarkan landasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hak milik pribadi seseorang atas tanah terkandung hak dari masyarakat.16 Konstruksi konsep kepemilikan atas tanah
menghantarkan kepada diskursus keseimbangan hak atas tanah, hubungan antara hak kepemilikan pribadi dan negara menjadi pokok permasalahan utama. Webster berpendapat bahwa menyeimbangkan
16 AP. Parlindungan, “Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Land Reform”, (Bandung: CV
hak secara menyeluruh sulit untuk diterapkan karena berada dalam garis batas rencana kerja pemerintah dan kekuatan ekonomi yang dinamis.
B. Kerangka Konseptual
1. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara definitif ialah proses penyelesaian konflik antara para pihak dalam suatu hubungan hukum.17 Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui jalur pengadilan atau melalui jalur “litigasi”, ialah penyelesaian sengketa melalui proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskan berada di tangan hakim, hasil akhir dari penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan hakim yang menyatakan win-lose solution.
Selain penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, juga terdapat penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi (alternative dispute resolution). Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, alternative penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) didefinisikan sebagai pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
2. Pengadaan Tanah
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki fungsi yang sangat penting dalam membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Atas landasan tersebut, dalam pelaksanaan pembangunan nasional dalam bidang pertanahan, sebagaimana termaktub di dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
17 Dewi Tuti Muryati dan B. Rini Heryanti, “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Non-litigasi di Bidang Perdagangan”, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol. 13 No. 1, (2011), h. 49.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi kepada negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya secara sekuensial menghadirkan kewajiban bagi negara untuk mengatur kepemilikan dan penggunaannya, sehingga penggunaan tanah diseluruh wilayah Indonesia mencapai tujuan yang dicita-citakan.18
Pengadaan Tanah (land procurement) secara terminologi adalah Perbuatan hukum berupa melepaskan hubungan antara pemegang hak dan tanahnya dengan pemberian kompensasi baik uang, fasilitas atau lainnya dan bisa dikatakan sebagai perbuatan melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang diperlukan melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat.19 Di Indonesia pengadaan tanah dilaksanakan dengan metode pencabutan hak atas tanah.
Regulasi pemerintah terkait pengadaan tanah sejak tahun 1961 telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah yang dimanifestasikan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, kemudian Peraturan Menteri tersebut dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Sejak 1993, seluruh pengambilalihan tanah
18 Tri Hayati, “Hak Penguasaan Negara Terhadap Sumber Daya Alam dan Implikasinya
Terhadap Bentuk Pengusahaan Pertambangan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 49 No. 3, (2019), h. 780.
19 Rahayu Subekti, “Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Bagi
untuk kepentingan umum dilakukan dengan peraturan ini yang aturan pelaksanaannya ditunjang dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat sehingga keberadaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dikaji ulang.
Secara ius constitutum Indonesia dalam pengadaan tanah dimanifestasikan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai aturan pelaksana undang-undang a quo. Sedangkan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mendefinisikan kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui ganti rugi kepada pihak yang berhak.20 Secara luas, pengadaan tanah mengandung 3 unsur, yakni:
1) Kegiatan untuk mendapatkan tanah, sebagai pemenuhan kebutuhan lahan untuk memenuhi pembangunan kepentingan umum
2) Pemberian ganti rugi kepada yang terkena kegiatan
3) Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak lain. Pengadaan tanah dapat dartikan sebagai aktivitas pemerintah untuk memperoleh tanah bagi bermacam aktivitas pembangunan, khususnya untuk pembangunan infrastruktur bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan metode musyawarah antara pihak yang membutuhkan tanah serta pemegang hak atas tanah yang tanahnya dibutuhkan untuk kegiatan pembangunan.
20 Mukmin Zakie, “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, Jurnal Hukum, Vol. 18
Pengadaan tanah implementasinya wajib memperhatikan prinsip (asas) yang_diatur dalam_peraturan perundang-undangan_dan aturan hukum_lainnya yang terkait.21 Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum harus terdiri dari asas yang ditetapkan berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi_Pembangunan_Untuk Kepentingan Umum: “Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas: 1) Kemanusiaan
Pengadaan tanah wajib memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga Negara Indonesia secara proporsional.
2) Keadilan
Memberikan jaminan ganti rugi yang layak kepada pihak yang memiliki hak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang baik.
3) Kemanfaatan
Hasil pengadaan tanah dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara secara luas.
4) Kepastian
Kepastian diartikan dengan pemberian kepastian hukum atas tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak. 5) Keterbukaan
Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan pemberian akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.
21 Setiyo Utomo, “Problematika Proses Pengadaan Tanah”, Jurnal Justisia, Vol. 5 No.2,
6) Kesepakatan
Bahwa_dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan_apapun (juga untuk proyek kepentingan umum) pengadaan tanah yang_menjadi_hak_milik_seseorang harus dilakukan melalui proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara para pihak, baik mengenai_penyerahan tanahnya kepada_pihak yang memerlukan maupun_mengenai imbalan yang merupakan_hak_pemilik tanah yang bersangkutan untuk_menerimanya. __
3. Pembangunan Infrastruktur
Terminologi mengenai pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha_pertumbuhan_oleh suatu negara menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Sedangkan menurut Ginanjar Kartasasmita berpendapat bahwa pembangunan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana. pembangunan Infrastruktur memang diperlukan secara mendalam dan aktif antar institusi terkait agar kemanfaatannya dapat berfungsi secara maksimal dan berdayaguna tinggi serta nyaman bagi masyarakat.22
Adapun Infrastruktur menurut Stone didefinisikan berbagai macam fasilitas fisik yang diperlukan dan dikembangkan yang memiliki tujuan untuk bisa memenuhi tujuan ekonomi dan sosial serta fungsi pemerintahan dalam hal tenaga listrik, penyediaan air, transportasi, pembuangan limbah dan pelayanan-pelayanan lainnya.23
Sehingga pembangunan infrastruktur merupakan suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang dilakukan secara
22 Yuanita Berlin, Irwan noor, Siswidiyanto, “Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Pada
Lokasi Dampak Semburan Lumpur Lapindo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo”, Jurnal
Administrasi Publik, Vol. 3 No. 1, h. 69.
23 Rindang Bangun Prasetyo dan Muhammad Firdaus, “Pengaruh Infrastruktur Pada
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Vol. 2 No.2, (2009), h. 225.
terencana untuk membangun prasarana atau segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses pembangunan.
Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Sarana dan prasarana fisik, atau sering disebut dengan infrastruktur merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Keberadaan infrastruktur memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang pemenuhan hak masyarakat seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Infrastruktur yang memadai dapat mempercepat distribusi barang produksi dan mengurangi ketimpangan pendapatan antarwilayah, sehingga berdampak kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Berkenaan dengan hal tersebut investasi pemerintah dalam bentuk infrastruktur sangat dibutuhkan sebagai penopang perekonomian masyarakat dalam bentuk public capital (modal publik) melalui investasi yang dijalankan oleh pemerintah. Setidaknya terdapat sejumlah manfaat infrastruktur, yaitu:24
a. Meningkatkan konektivitas antar wilayah atau antar negara; b. Meningkatkan produktivitas suatu wilayah atau negara; c. Meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya;
d. Mempercepat pemerataan pembangunan suatu wilayah atau negara; e. Mendorong investasi baru yang masuk ke wilayah atau negara
tersebut.
Pengaruh pembangunan infrastuktur publik memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi makro nasional dan regional. Dengan
24 Imam Sumardjoko dan Muhammad Heru Akhmadi, “Pengembangan Infrastruktur
Konektifitas Sebagai Daya Ungkit Ekonomi dan Pemangkas Kemiskinan Jawa Timur”, Jurnal
demikian, pertumbuhan ekonomi di Indonesia berkaitan erat dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik.
Jenis infrastruktur publik diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur, yaitu infrastruktur transportasi, jalan, pengairan, air minum dan sanitasi, telematika, ketenagalistrikan, serta infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi.
4. Kepentingan umum
Kepentingan umum didefinisikan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai “Kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.25
Makna kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat, kemakmuran rakyat, didefinisikan lebih lanjut dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum seperti pembangunan jalan raya, pelabuhan, waduk, air bersih, bandara, listrik, perumahan, dan lain-lain. Sehubungan dengan berbagai pelaksanaan pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta.
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari adanya kesamaan antara proposal skripsi ini dengan penelitian lain yang juga membahas tentang pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, maka peneliti menyertakan beberapa review kajian terdahulu beserta dengan pembedaannya dengan skripsi yang peneliti buat. Penelitian ilmiah lain yang menjadi bahan pembanding bagi tulisan peneliti di antaranya adalah:
25 Reli Jevon Laike, "Konsep Kepentingan Umum Dalam Perspektif Pengadaan Tanah oleh
1. Skripsi ditulis oleh Mohammad Paurindra Ekasetya26
Pada skripsi tersebut membahas tentang pelaksanaan pengadaan tanah yang dilakukan pada pembangunan jalan tol trans jawa di kabupaten Brebes. Persamaan skripsi ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah sama-sama membahas mengenai pengadaan tanah. Namun pada skripsi ini perbedaanya terletak pada inti pembahasannya, dimana pada penelitian ini membahas mengenai studi kasus pada pembangunan tol. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti memfokuskan pada ketentuan hukum Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 yang mengatur tentang pengadaan tanah.
2. Skripsi ditulis oleh Purnawanti27
Pada skripsi tersebut membahas tentang pembangunan fly over di kabupaten Slaman Daerah Istimewa Yogyakarta fokus pada studi kasus, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti memfokuskan pada penyebab tidak terpenuhinya konsultasi publik dan ketentuan hukum Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 yang mengatur tentang pengadaan tanah.
3. Skripsi ditulis oleh Rohman Syah Putra28
Pada skripsi tersebut membahas tentang penyelesaian ganti rugi pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti memfokuskan pada konsultasi publik ketentuan hukum Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 yang mengatur tentang pengadaan tanah. Hal yang membedakan skripsi peneliti dengan skripsi ini ialah studi kasus yang digunakan berbeda. Peneliti
26 Mohammad Paurindra Ekasetya, “Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum (Studi Analisis Pada Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa di Kabupaten Brebes)”, (skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, 2015), h. 1.
27 Purnawanti, “Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi
Kasus Terhadap Pembangunan Fly Over Jombor Kabupaten Slaman Daerah Istimewa Yogyakarta)”, (skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 1.
28 Rohman Syah Putra, “Penyelesaian Ganti Rugi Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum Apabila Pemilik Tanah Tidak Sepakat Dengan Besarnya Ganti Rugi Yang Telah Ditetapkan Menurut Perpres Nomor 71 Tahun 2012”, (skripsi S1 Fakultas Hukum, Muhammadiyah Palembang, 2020), h. 1.
berfokus pada aturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan publik sedangkan skripsi Purnawanti studi kasusnnya berfokus pada kasus ganti rugi.
4. Artikel Jurnal ditulis oleh Nia Kurniati dan Maret Priyanta29
Artikel Jurnal ini membahas mengenai pada pengadaan tanah untuk pembangunan prasarana jalan pada kawasan perbatasan negara Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Sebagai bahan pembeda serta pembanding antara permasalahan aturan hukum pengadaan tanah yang diangkat oleh peneliti dalam kasus ini, sedangkan dalam artikel ini menjelaskan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan jalan yang ada pada perbatasan Kalimantan-Malaysia.
5. Artikel Jurnal ditulis oleh Urip Santoso30
Artikel Jurnal ini membahas mengenai penyelesaian sengketa pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sebagai bahan pembeda serta pembanding antara permasalahan aturan hukum pengadaan tanah yang diangkat oleh peneliti dalam kasus ini, sedangkan dalam artikel ini menjelaskan tentang penyelesaian sengketa.
29 Nia Kurniati, Maret Priyanta, “Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Prasarana Jalan
Pada Kawasan Perbatasan Negara Indonesia-Malaysia di Kalimantan”, Bina Hukum Lingkungan, Vol. 2 No. 1, (2017), h. 1.
30 Urip Santoso, Penyelesaian Sengketa Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Publik,
24
BAB III
PRINSIP PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Asas-asas Umum Pengadaan Tanah
Negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki wewenang untuk mengeluarkan peraturan yang berisikan nilai, asas hukum dan norma. Asas hukum pada hakikatnya memperoleh kekuaan dari etika, sosiologi dan selain dari hukum itu sendiri. Dengan kata lain asas hukum memperoleh landasan dalam etika, sosiologi, maupun aturan hukum.31 Dalam hal pencabutan hak atau pelepasan hak atas tanah milik masyarakat harus diatur asas yang mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Tanah sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian pengadaan tanah harus dilakukan melalui prosedur yang menjamin tidak adanya pemaksaaan kehendak kepada pemegang hak atas tanah. Mengingat pemilik hak harus melepaskan kepemilikan atas tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum, maka pemerintah sebagai pelaksana pembangunan harus memberi jaminan bahwa kesejahteraan sosial ekonomi pemegang hak atas tanah tidak akan menjadi lebih buruk dari keadaan semula, paling tidak harus setara dengan keadaan sebelum tanahnya digunakan oleh pihak lain.
Pembangunan untuk kepentingan umum menjadi dasar bagi pemerintah untuk melegitimasi dalam rangka melaksanakan pengadaan tanah, karena pemerintah memerlukan tanah untuk mewujudkan pembangunan di segala bidang. Dalam rangka pengadaan tanah tersangkut dua kepentingan pihak, ialah lembaga pemerintah yang membutuhkan tanah serta warga sebagai pemilik hak katas tanah yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan. Prinsip dasar dalam pengadaan tanah yakni demokratis, adil,
31Meuwissen, “Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum”,
transparan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan mengedepankan asas musyawarah.
Prinsip pengadaan tanah telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum: “Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas : kemanusian, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan”.
1. Asas kesepakatan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menetapkan salah satu asas yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah asas kesepakatan, yang dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas kesepakatan” adalah proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah antara para pihak tanpa adanya unsur paksaan demi mendapatkan kesepakatan bersama. Dasar kesepakatan para pihak tersebut terdapat dalam tahap persiapan maupun dalam tahap pelaksanaan penyelenggaraan pengadaan tanah. Pada tahap persiapan kesepakatan, pengejawantahan dari asas kesepakatan dilakukan melalui kegiatan konsultasi publik.
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan yang dimaksud dengan konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pada tahap pelaksanan pengadaan tanah, pada kegiatan penetapan lokasi dan ganti kerugian ditentukan kegiatan musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian yang diterima bagi pihak yang dilepaskan hak atas tanahnya. Hasil
kesepakatan dalam musyawarah inilah yang menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah. Pengertian asas kesepakatan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dan penggunaan istilah kesepakatan yang diikuti dengan istilah musyawarah menjadi penting untuk diperhatikan dan untuk itu diperlukan pemahaman mengenai musyawarah untuk memahami makna kesepakatan. Dalam konteks hukum islam, kesepakatan merupakan persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang mengindikasikan persesuaian kehendak antara para pihak sehingga terwujud kata sepakat. Asas kesepakatan sesuai dengan Surah Al-Maidah ayat 1 yang menyatakan:
ُأ ۚ ِدوُقُعْلاِب اوُف ْوَأ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأ اَي
َّلِّإ ِماَعْنَ ْلْا ُةَميِهَب ْمُكَل ْتَّل ِح
ٰىَلْتُي اَم
ۗ ٌم ُرُح ْمُتْنَأ َو ِدْيَّصلا يِ ل ِحُم َرْيَغ ْمُكْيَلَع
َّنِإ
ُدي ِرُي اَم ُمُكْحَي َ َّاللَّ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Pemenuhan akad yang diamanatkan dalam Surah Al-Maidah ayat 1 mengindikasikan bahwa setiap tindakan manusia termasuk dalam pengambilan kebijakan pembangunan untuk kepentingan umum harus sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian yang telah dibuat diantara para pihak yang terlibat. Beranjak dari pengertian asas kesepakatan sebagaimana diakomodir dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pada dasarnya pengadaan tanah dilakukan dengan proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak atau instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.32 Dari pengertian
32 Rahayu Subekti, “Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Bagi
musyawarah tersebut dapat ditarik unsur kesetaraan, kesukarelaan dari para pihak, sikap saling mendengar, memberi, dan menerima pendapat, dan unsur keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengadaan tanah.33
2. Asas kemanfaatan
Pembebasan tanah diharapkan mampu menghasilkan dan mendapatkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang hak atas tanahnya dicabut dan memiliki manfaat bagi kepentingan umum.34 Di samping itu pengadaan tanah bagi kepentingan umum juga diharapkan untuk memberikan kemanfaatan melalui fasilitas publik yang dibangun di atas tanah tersebut. Kemanfaatan dalam proses pengadaan tanah sesuai dengan kaidah fiqh:
َحَلْصَمْـل اِـب ٌط ْوُنَم ِةَّيِع َّرلا ىَـلَع ِماَملّا ُف ُّرَصَـت
ة
Artinya: “Kebijakan pemimpin, harus dikaitkan dengan kepentingan rakyat”
3. Asas keadilan
Dalam proses pengadaan tanah, pemerintah menjamin penggantian yang layak bagi masyarakat yang terkena dampak dimana hal tersebut dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya menjadi lebih baik, minimal ganti rugi yang diberikan ialah setara dengan keadaan semula atau keadaan sebelumnya dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik. Asas keadilan selaras dengan Surah An-Nisa ayat 58 yang berbunyi:
33 Djoni Sumardi, “Penerapan Asas Kesepakatan Dalam Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, Jurnal Yuridika, Vol. 32 No.3, (2017), h. 394.
34 Agung Basuki Prasetyo, “Prinsip Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum”,
َلِإ ِتاَناَمَ ْلْا اوُّدَؤُت ْنَأ ْمُك ُرُمْأَي َ َّاللَّ َّنِإ
ْمُتْمَكَح اَذِإ َو اَهِلْهَأ ٰى
اَّنلا َنْيَب
ْنَأ ِس
ِب ْمُكُظِعَي اَّمِعِن َ َّاللَّ َّنِإ ۚ ِلْدَعْلاِب اوُمُكْحَت
ا ًري ِصَب اًعيِمَس َناَك َ َّاللَّ َّنِإ ۗ ِه
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
4. Asas kepastian
Pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana pihak yang memerlukan tanah kepastian hukum dijamin melalui ketersediaan atas tanah dan masyarakat pemegang hak atas tanah berhak untuk menerima ganti kerugian yang layak.35 Asas kepastian untuk mendapatkan ganti kerugian selaras dengan Surah Al-Israa ayat 35 yang menyatakan:
ِساَطْسِقْلاِب ا ْوُن ِز َو ْمُتْلِك اَذِا َلْيَكْلا اوُف ْوَا َو
ُنَسْحَا َّو ٌرْيَخ َكِلٰذ ِۗمْيِقَتْسُمْلا
ًلْيِوْأَت
Artinya: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Penyempurnaan takaran dalam konteks pengadaan tanah dapat diimplementasikan melalui penerapan nominal ganti kerugian yang sesuai dengan harga dan luas tanah yang dimilliki oleh masyarakat dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah.
5. Asas keterbukaan
Asas keterbukaan didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sebagai mekanisme membuka diri terhadap hak
35 Hasan Basri, “Keadilan dan Kepastian Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Dalam
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dan tetap memperhatikan perlindungan terhadap hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Dalam hal pengadaan tanah, asas keterbukaan adalah mekanisme pembangunan dengan pemberian akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi terkait pengadaan tanah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 huruf e. Berdasarkan hal tersebut, keterbukaan informasi dalam pengadaan tanah merupakan suatu upaya memberikan informasi dan pemahaman tentang agenda pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Informasi yang disampaikan atas pengadaan tanah ialah informasi yang sangat jelas berkaitan dengan apa, bagaimana, dan mengapa kegiatan itu dilaksanakan.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan utama dibentuknya prinsip keterbukaan informasi yakni memastikan bahwa lembaga negara akan lebih akuntabel dengan menyediakan informasi dan dokumen sesuai permintaan publik.36 Selain itu, membuka akses informasi merupakan kewajiban bagi pemerintah. Karena secara fundamental, suatu informasi merupakan hak asasi yang dimiliki publik secara luas, bukan milik pemerintah atau badan publik.37
Di sisi lain, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan pembatasan informasi. Namun, kepentingan publik tetap harus didahulukan. Sumardjono menyatakan bahwa asas keterbukaan dalam proses pengadaan tanah ialah masyarakat yang terdampak memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang kegiatan pembangunan dan dampak yang akan terjadi; kebijakan ganti kerugian; jadwal pembangunan; rencana
36 Retno Wulandari, “Keterbukaan Informasi Publik dan Good Governance (Antara Das
Sein dan Das Sollen)”, Perspektif, Vol. 17 No. 1, (2012), h. 55.
37 Faizin, “Keberpihakan Pengaturan Hak Atas Informasi Publik dalam Undang-Undang
pemukiman kembali; relokasi (bila ada); dan hak masyarakat untuk menyampaikan keberatan.38 Hal ini sejalan dengan kaidah:
Artinya: Syariat itu dibangun atas dasar kemaslahatan hamba, dengan mempertimbangkan qarinah (konteks) dan memperhatikan keadaan (situasi).
6. Asas keikutsertaan
Peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam
setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi), diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan. Keikutsertaan berbagai elemen masyarakat dalam pengambilan kebijakan sesuai dengan Surah Ali Imran ayat 159:
ْن ِم ۟اوُّضَفنَلَ ِبْلَقْلٱ َظيِلَغ اًّظَف َتنُك ْوَل َو ۖ ْمُهَل َتنِل ِ َّللَّٱ َنِ م ٍةَمْح َر اَمِبَف
ٱ ىِف ْمُه ْرِواَش َو ْمُهَل ْرِفْغَتْسٱ َو ْمُهْنَع ُفْعٱَف ۖ َكِل ْوَح
اَذِإَف ۖ ِرْمَ ْلْ
َتْم َزَع
َنيِلِ ك َوَتُمْلٱ ُّب ِحُي َ َّللَّٱ َّنِإ ۚ ِ َّللَّٱ ىَلَع ْلَّك َوَتَف
Artinya: “Hai Rasulullah, karena rahmat dari Allah yang Dia jadikan dalam hatimu, kamu menjadi lembut dan pemaaf kepada para sahabatmu. Andai kamu adalah orang yang kasar tabiatnya dan keras hatinya niscaya mereka akan menghindar darimu. Maafkanlah kesalahan mereka pada perang Uhud, dan mintakanlah mereka ampunan dari Allah, serta bermusyawarahlah dengan mereka dalam masalah-masalah penting. Jika kamu telah bertekat melakukan sesuatu setelah bermusyawarah, maka lakukanlah itu dengan penuh tawakkal kepada Allah. Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal, Dia akan mencukupkan segala kebutuhan mereka.”7. Asas kemanusiaan
38 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”,
Dalam pengadaan tanah dibutuhkan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara indonesia. Asas kemanusiaan dalam pengadaan tanah sesuai dengan prinsip hifzh an-nafs (memelihara jiwa) sesama manusia dalam proses pembangunan infrastruktur.
8. Asas kesejahteraan
Pengadaan tanah untuk pembangunan seharusnya dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan hidup yang berhak serta masyarakat yang luas. Kesejahteraan tersebut sesuai dengan prinsip maqhasid syariah, yaitu:
Artinya: Kebijakan seorang pemimpin kepada rakyatnya bergantung kepada kesejahteraan.
9. Asas keberlanjutan
Agenda pembangunan dapat dilakukan secara terus menerus dan berkesiambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan akan menghantarkan kepada tercapainya cita-cita bangsa yaitu kesejahteraan umum, hal ini selaras dengan:
ِد ْوُج ُوْلا ِبِناَج ْنِم ُظَفْحُت ُحِلاَصَمْلا َو ُحِلاَصَمْلا َيِه ِد ِصاَقَمْلا ُةَّيِهاَم
ِمَدَعْلا ِبِناَج ْنِم ْوأ
Artinya: Esensi maqashid itu adalah maslahat. Dan maslahat itu di pelihara dari aspek mewujudkannya atau dari aspek meniadakannya.Berdasarkan kaidah maqshid ini, dapat dipahami bahwa maslahat tersebut dipelihara atau dipahami dari dua aspek, yaitu: Pertama, dari aspek mewujudkan dan mempertahankannya. Yakni sesuatu itu harus tetap dipelihara keberadaannya dan kelestariannya, karena ada maslahat yang terkandung. Sehingga melaksanaakan kebijakan yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umum harus terus menerus dipelihara atau dilaksanakan secara keberlanjutan.
10. Asas keselarasan
Pengadaan tanah untuk pembangunan seimbang dan sejalan dengan kepentingan negara dan masyarakat. Keselarasan dalam pengambilan kebijakan akan berdampak kepada terakomodirnya kepentingan seluruh elemen dalam proses pengadaan tanah, hal tersebut sesuai dengan prinsip maqashid syari’ah yaitu:
Artinya: Hukum itu diperuntukkan bagi orang banyak dan mayoritas, bukan untuk orang sedikit dan minoritas.
Sedangkan menurut penjelasan Ahmad Rubaie, terdapat 9 (sembilan) asas hukum yang berlaku dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum yakni:39
1) Asas Kesepakatan
Kesepakatan dilakukan atas dasar terdapat kesesuaian kehendak antara kedua belah pihak yakni pemilik tanah dan pemerintah tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan serta dilakukan dengan itikad baik. Hal ini perlu dilakukan karena hubungan antara kedua belah pihak adalah hubungan keperdataan yang berasal dari perjanjian sehingga semua unsur kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harus terpenuhi.
2) Asas Keadilan
Keadilan merupakan suatu konsep filosofis yang mengandung pengertian yang abstrak bahwa suatu sistem perundang-undangan yang tepat memerlukan tiga keistimewaan, yaitu eksistensi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perilaku sosial dan penyelesaian perselisihan; penerapan umum dari peraturan-peraturan tersebut; penerapan yang tidak berpihak atas peraturan-peraturan tersebut. Dalam rangka pengadaan tanah,
39 Achmad Rubaie, “Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, (Malang:
asas keadilan diletakkan sebagai dasar penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepala pemilik tanah dan orangorang yang terkait dengan tanah yang dicabut atau dibebaskan haknya untuk kepentingan umum.
3) Asas Kemanfaatan
Pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah pada prinsipnya harus dapat memberikan manfaat bagi pihak yangmembutuhkan tanah dan masyarakat yang tanahnya dilepaskan atau dicabut sehingga kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan dapat bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
4) Asas Kepastian Hukum
Pelaksanaan pengadaan tanah harus memenuhi asas kepastian hukum, yakni dilakukan dengan cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam regulasi pengadaan tanah, serta dalam pelaksanaannya memberikan jaminan kepada pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian atas tanah yang dimilikinya.
5) Asas Musyawarah
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum,apabila proses pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah maka akan meminimalisir konflik antara pemilik tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah sehingga dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat
6) Asas Keterbukaan
Penyampaian informasi mengenai rencana, pelaksanaan, sampai dengan ganti kerugian dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum harus dilakukan secara transparan dengan memberikan akses bagi seluruh elemen masyarakat melalui berbagai langkah pemerintah, salah satunya
melalui penyuluhan hukum dan media informasi yang dapat dijangkau oleh masyarakat secara luas.
7) Asas Partisipasi
Peran serta semua pihak yang terkait maupun masyarakat yang terkena dampak akibat pembangunan untuk kepentingan umum dilibatkan secara aktif dalam proses pelepasan hak atau pencabutan hak akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan timbulnya penolakan terhadap kegiatan pencabutan dan atau pelepasan hak atas tanah.
8) Asas Kesetaraan
Asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya akan dilepaskan atau dicabut harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan tanah.
9) Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi
Pengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk meminimalkan dampak negatif atau dampak penting yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan tersebut agar kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan minimal harus sama dengan sebelum terkena pengadaan tanah
Berdasarkan asas–asas sebagaimana disebutkan di atas, adalah dimaksudkan untuk melindungi hak-hak setiap orang atas tanahnya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia jika di butuhkan oleh negara untuk pembangunan infrastruktur demi kepentingan masyarakat banyak atau kepentingan umum.
B. Kewenangan Pengadaan Tanah
Pelaksanaan pengadaan tanah dibentuk berdasarkan produk hukum (peraturan perundang-undangan) dari pemerintah pusat maupun pemerintah