• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Putusan Mahkamah Agung No:2628 K/Pid.Sus/2016 - UNS Institutional Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Putusan Mahkamah Agung No:2628 K/Pid.Sus/2016 - UNS Institutional Repository"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

i

ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

AL – ARTHUR EVAN ADI NUGRAHA NIM. E0014015

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

AL-ARTHUR EVAN ADI NUGRAHA. E00140015. ARGUMENTASI KASASI

PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE

MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM

PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2628 K/Pid.Sus/2016).

Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya Kasasi Penuntut Umum terhadap kelalaian Majelis Hakim dalam menerapkan peraturan hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam tindak pidana perpajakan tentang faktur pajak fiktif. Faktur pajak fiktif merupakan sebuah faktur yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya,atau apabila diterbitkann oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum bersifat preskriptif dan terapan. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan cara studi pustaka/dokumen, teknik analisis bahan hukum menggunakan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif, dari pengajuan premis mayor dan premis minor saling berhubungan untuk ditarik konklusi

Hasil penelitian ini, telah diketahui bahwa alasan pengajuan upaya hukum Kasasi oleh Penuntut Umum telah sesuai, serta mengetahui Bahwa Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi Penuntut Umum dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan peraturan hukum atau tidak diterapkannya sebagaimana mestinya, serta mengetahui bahwa Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan mengadili sendiri perkara tersebut sesuai dengan Pasal 255 ayat (1) KUHAP. Serta memutuskan Terdakwa bersalah telah meembuat faktur pajak fiktif dan wajib untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

(6)

vi ABSTRACT

This study aims to find out the Cassation of the Public Prosecutor against the negligence of the Panel of Judges in applying the statutory rules based on the law applicable in the criminal act of taxation on fictitious tax invoice. A fictitious tax invoice is an invoice that is issued not based on actual transactions, or if it is issued by an unconfirmed entrepreneur as a Taxable Person for VAT purposes.

The research method used is legal research is prescriptive and applied. Sources of legal materials used are primary legal materials and secondary legal materials, by way of literature / document studies, techniques of legal material analysis using the method of syllogism and interpretation by using deductive thinking, from the filing of the major premise and the minor premise are interconnected to be drawn conclusion

The result of this research, it is known that the reason for filing the Cassation lawsuit by the Public Prosecutor has been appropriate, and knowing that the Supreme Court granted the appeal of the Public Prosecutor on the grounds that the South Jakarta District Court did not apply the law or did not implement it properly and knew that the Supreme Court the decision of the South Jakarta District Court and to adjudicate the case in accordance with Article 255 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code. And decided the defendant was guilty of making fictitious tax invoice and obliged to account for his actions in accordance with Article 193 paragraph (1) KUHAP.

(7)

vii MOTTO

“Innallaha ma's sabireen” (Al - Qur'an 8:46)

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Al – Insyirah : 6)

“Bertanggung jawablah atas apa yang telah kamu lakukan dan hadapi itu dengan tegar” (Dhany Koesworo)

“Untuk mendapat sesuatu yang kita inginkan haruslah menikmati setiap proses yang akan membawamu kehasil yang kau inginkan”

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Tugas Akhir Penulisan Hukum ini Penulis persembahkan kepada:

1. Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, karunia, taufik, dan hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi dapat diselesaikan.

2. Ayah saya Dhany Koesworo, S.H yang selalu menjadi motivator saya dalam mengerjakan skripsi saat tidak tahu harus menulis apa.

3. Ibu saya Endang Wahyuningsih dan adik saya Valda Aulia Az-Zahra yang selalu mendukung saya tanpa henti dalam mengerjakan skripsi ini.

4. Sahabat saya Babemania Magelang yang senantiasa mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Sahabat saya Expandables yang selalu menemani saat mengerjakan skripsi di Solo. 6. Sahabat saya Kontrakan MBS Semarang, Kontrakan Tempuran yang telah

memberikan saya tempat untuk mendapatkan ide ide untuk menyelesaikan skripsi ini 7. Teman saya, sahabat saya, saudara saya alm. Hendri Gusti Nugraha terima kasih atas

segala kenangannya semoga tenang di alam sana.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME. Atas limpahan karunia, berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan judul ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016). Argumentasi terhadap alasan pengajuan upaya hukum Kasasi oleh Penuntut Umum serta pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tersebut dikaitkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.

Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelah Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum ini membahasa tentang diabaikannya alat bukti dan fakta hukum dalam persidangan mengakibatkan terdakwa bebas dari Tindak Pidana Perpajakan serta pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus kasus Tindak Pidana Perpajakan tersebut. Oleh karena itu, dengan ikhlas dan tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret yang mendukung penulisan hukum ini.

2. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin dan kesempatan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

3. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum., selaku Kepala Bagian Hukum Acara yang memberikan bantuan dan ijin dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku pembimbing penulisan hukum

yang telah memberikan waktu dan ide, juga memberikan arahan serta motivasi dalam penyusunan skripsi.

5. Bapak Dr. Widodo Tresno Novianto, SH. MHum selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan arahan dan dukungan selama ini.

(10)

x

7. Bapak dan Ibu staf karyawan kampus Fakultas Hukum UNS yang telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum UNS.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena hal tersebut penulis memohon kritik dan saran yang membangun guna perbaikan agar penulisan hukum ini menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap bahwa hasil karya Penulisan Hukum ini dapat berguna dan bermanfaat serta memberikan kontribusi yang positif pada pihak-pihak yang berkepentingan.

Surakarta, 17 Juli 2018 Penulis

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14

A. Kerangka Teori ... 14

1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Kasasi ... 14

a. Pengertian Kasasi... 14

b. Tujuan Kasasi ... 15

c. Alasan Pengajuan Kasasi ... 16

2. Tinjauan tentang Penuntut Umum ... 16

a. Pengertian Penuntut Umum ... 16

b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum... 17

3. Tinjauan tentang Judex Factie ... 18

a. Kewenangan Pengadilan Negeri ... 18

b. Kewenangan Pengadilan Tinggi ... 20

4. Tinjauan tentang Putusan Bebas ... 21

a. Pengertian Putusan Bebas ... 21

(12)

xii

a. Pengertian Terdakwa ... 24

b. Hak-hak Terdakwa... 24

6. Tinjauan tentang Pembuktian Dan Alat Bukti ... 25

a. Pengertian Pembuktian ... 25

b. Prinsip-prinsip Pembuktian ... 26

c. System Pembuktian ... 26

d. Pengertian Alat Bukti ... 28

e. Jenis Alat Bukti ... 28

7. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perpajakan ... 32

a. Ketentuan Kriteria Pelanggaran ... 33

B. Kerangka Pemikiran ... 39

1. Gagasan Kerangka Pemikiran... 39

2. Keterangan. ... 40

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Hasil Penelitian ... 41

1. Identitas Terdakwa ... 41

2. Uraian Fakta Peristiwa ... 41

3. Surat Dakwaan ... 42

4. Tuntutan Penuntut Umum ... 53

5. Putusan Pengadilan Negeri ... 71

6. Alasan-alasan Kasasi Penuntut Umum ... 71

7. Pertimbangan Mahkamah Agung ... 74

8. Amar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016 ... 77

Pembahasan. ... 94

1. Kesesuaian Argumentasi Kasasi Penuntut Umum Terhadap Kesalahan Judex Factie Membebaskan Terdakwa Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP jo Pasal 253 ayat (1) KUHAP ... 94

2. Kesesuaian Pertimbangan Judex Juris Mengabulkan Kasasi Penuntut Umum dan Menyatakan Terdakwa Bersalah Melakukan Tindak Pidana Dibidang Perpajakan telah Sesuai Pasal 255 ayat (1) KUHAP jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP ... 103

BAB IV PENUTUP. ... 110

(13)

xiii

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pajak dipandang sangat penting di dalam Negara yang bersifat

kesejahteraan (welfare state) yaitu sebagi salah satu pendapatan untuk

meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di Negara yang bersangkutan

(Romli Atmasasmita, 2004 : 39). Indonesia termasuk salah satu Negara yang

menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Hal ini

sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan dalam pembukan

Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat yang berbunyi “melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.” Dari uraian

tersebut, tampak bahwa negara memerlukan dana untuk kepentingan

kesejahteran rakyat. Dana yang akan digunakan ini didapat dari rakyat itu

sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak.

Pajak sebagai sumber penerimaaan negara yang paling besar memiliki

kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan

kebutuhan belanja negara dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan

pajak sebagai sumber utamanya. Berbagai kebijakan pokok pemerintah di

bidang penerimaan negara yang telah dan sedang dilakukan diarahkan pada

upaya meningkatkan penerimaan pajak. Peningkatan penerimaan pajak selain

diupayakan melalui pemeriksaan, penyidikan dan penagihan, dapat juga

diperoleh dari tulang punggung self assessment system, yaitu meningkatkan

kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Pembayaran pajak digunakan

untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.

Sejalan dengan pemikiran bahwa salah satu sumber penerimaan negara yang

berupa pajak perlu terus ditingkatkan untuk mendukung pembangunan

(15)

2

dibutuhkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pembangunan yang

tercermin dalam kepatuhan membayar pajak. Dengan menganut sistem self

assesment tersebut khususnya bertujuan untuk membangun keseimbangan

hak dan kewajiban antara Apara Pajak dengan Wajib Pajak, menjaga

keseimbangan penerima pajak sebagai tulang punggung penerimaan APBN

dan membangun citra institusi Direktorat Jenderal Pajak yang lebih baik

(suisno 2016).

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan

peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama

melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan

pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,

membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak

dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta

terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Pajak merupakan

sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan

peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat. Salah satunya penerimaan pajak disektor Pajak

Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang

dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam

Daerah Pabean, Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang

mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikanakan PPN.

Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa

Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

Bukti bahwa bidang pajak merupakan sektor yang penting untuk

mewujudkan kemakmuran rakyat, dibutuhkan pembangunan dalam segala

aspek yang bersumber pada Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN),

APBN bersumber dari pembayaran pajak oleh wajib pajak, perorangan, badan

hukum dan pihak ketiga yang menjadi sumber utama pendapatan penerimaan

keuangan negara sebesar kurang lebih 80%. Saat ini, Pajak Pertambahan

(16)

3

penerimaan Negara dalam sektor perpajakan, namun sangat disayangkan,

potensi pemasukan dari pajak yang dimiliki Indonesia ini belum biasa

dimanfaatkan dengan baik bagi kesejahteraan bangsa dan Negara, pajak

menjadi sumber keuangan negara yang utama untuk pembangunan fisik dan

non fisik dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun

dalam kenyataannya di dalam masyarakat Indonesia secara umum kerap kali

terjadi tindak pidana bidang perpajakan berupa kealpaan dan kesengajaan,

baik oleh wajib pajak, fiskus (petugas/pegawai/pejabat/aparat perpajakan) dan

pihak ketiga (bank, notaris, konsultan pajak, akuntan publik, kantor

administrasi) yang tidak menyetorkan uang pajak kepada kas Negara,

sehingga terjadi kerugian pendapatan penerimaan keuangan Negara yang

bersumber dari pajak.

Kerugian Negara akibat dari tindak pidana PPN sudah terdapat di beberapa

daerah, di Daerah Jakarta Selatan, tersangka DP merupakan pemilik

perusahan bidang barang dan jasa dengan nama PT Virora Cipta Indonusa ,

perkara ini bermula tesangka DP pada 2012 dan 2013 melaporkan SPT (Surat

Pemberitahuan) masa PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang telah direkayasa

olehnya kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Pasar Minggu,

adapun DP dianggap melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a jo Pasal 43 ayat (1)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dengan kerugian negara pada

tahun 2012 sebesar 2M dan pada tahun 2013 sebesar 15,8M dituturkan oleh

Kasi penerangan Hukum Kejaksaan Jakarta Selatan . Dan juga terjadi kasus

lain, terdakwa kasus penggelapan pajak, Djoko Pranggono Direktur PT

Virora Cipta Indonesia dihukum pidana maksimal dua tahun setelah didakwa

melanggar Pasal 39 Ayat (1) Huruf c dan d , Huruf i jo Pasal 43

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara

(17)

4

dituntut secara terpisah, bahwa bersama sama telah melakukan tindak pidana

di bidang perpajakan pada 2012 sampi 2013 di kantor Kantor Pelayanan

Pajak Jakarta Selatan, didakwa melakukan tidak pidana dengan tindakan

menyampaikan surat pemberitahuan SPT PPN dan menyampaikan surat yang

isinya tidak benar, sehingga telah merugikan Negara sekitar Rp17,8 miliar.

Namun dengan sedemikian banyaknya alat bukti yang telah disampaikan

oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

membebaskan terdakwa dari segala tuntutan yang didakwakan oleh Penuntut

Umum menanggapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, Jaksa

Penuntut Umum mengajukan Upaya Hukum Kasasi karena menyatakan tidak

sependapat dengan putusan Nomor 819/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16

Mei 2016 (putusan aquo) dengan alasan bahwa putusan Judex Facti

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Terdakwa dari

tuntutan hukum tidak tepat dan salah menerapkan hukum, putusan Judex

Factie tidak dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar dan tepat

sehingga tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tidak sesuai dengan alat

bukti dan fakta hukum yang terungkap di persidangan.

Perkara ini akhirnya diputus secara Kasasi melalui putusan Mahkamah

Agung nomor 2628 K/Pid.Sus/2016 yang pada intinya mengabulkan

permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan

Negeri Jakarta Selatan. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan Nomor 819/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 16 Mei

2016.menyatakan terdakwa Djoko Pranggono secara sah dan meyakinkan bersalah‟dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran

pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya yang dilakukan secara berlanjut”. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar tiga kali Rp.

17.962.805.756,00 (tujuh belas miliar sembilan ratus enam puluh dua juta

(18)

5

Rp.53.888.417.268,00 (lima puluh tiga miliar delapan ratus enam puluh

delapan juta empat ratus tujuh belas ribu dua ratus enam puluh delapan

rupiah). Apabila denda tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa

disita oleh Jaksa untuk dilelang dan jika tidak mencukupi maka terdakwa

dipidana dengan pidana kurungan 8 (delapan) bulan.

Dengan begitu besarnya pemasukan pajak yang belum tercapai masih ada

juga orang atau badan hukum yang melakukan tindak pidana dibidang

perpajakan. Sehingga untuk mewujutkan fungsi dan tujuan pajak tercapai

setiap warga negara atau badan hukum harus taat, patuh dan memenuhi

kewajibannya sebagai wajib pajak, untuk mewujudkan tujuan dari adanya

pajak perlu adanya penegakan hukum perpajakan harus dibenahi mulai dari

penegak hukumnya, berkaitan proses penegakan tindak pidana perpajakan

penyidik sangat berperan penting, sehingga dari proses penyidikan yang

dilakukan Penyidik pegawai negeri sipil direktorat jenderal pajak harus

progresif dan dapat menegakkan normanorma hukum serta aturan hukum

yang di atur di dalam undang-undang, dalam hal Penyidik Pegawai Negeri

sipil di dalam penegakan hukum pidana di atur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b

dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyidik

adalah: Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang

khusus oleh undang-undang, Sedangkan ketentuan penyidikan dalam

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Ketentuan Umum Dan Tata Cara

Perpajakan di atur dalam Pasal 44 ayat (1) Penyidikan tindak pidana dibidang

perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu

di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus

sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam proses

penegakan hukum perpajakan, dimana hukum tindak pidana pajak termasuk

di dalamnya, maka penyidik sangat berperan penting, sehingga dari proses

penyidikan yang dilakukan Penyidik pegawai negeri sipil direktorat jenderal

pajak harus progresif dan dapat menegakkan norma-norma hukum serta

(19)

6

efek jera pada pelakunya dan sehinga fungsi atau tujuan bisa tercapai. Namun

pada kenyatannya masih banyak masalah tindak pidana perpajakan yang

terjadi di dalam masyarakat.

Berdasarkan paparan uraian, penulis tertarik untuk mendalami

permasalahan ini dalam bentuk tulisan atau disebut skripsi dengan memilih

judul : “ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP

KESALAHAN JUDEX FACTI MEMBEBASKAN TERDAKWA

AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK

PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung nomor 2628 K/pid.Sus/2016)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penulis menyusun sebuah rumusan masalah untuk dapat dikaji lebih jelas,

rinci, dan terarah dalam pembahasannya. Adapun rumusan masalah yang

akan di bahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Apakah argumentasi Kasasi Penuntut Umum terhadap kesalahan Judex

Factie membebaskan terdakwa pelaku tindak pidana di bidang perpajakan

telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP jo Pasal 253 ayat (1)

KUHAP?

2. Apakah pertimbangan Judex Juris mengabulkan Kasasi Penuntut Umum

dan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan telah sesuai Pasal 255 ayat (1) KUHAP jo Pasal 193 ayat (1)

KUHAP?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian mempunyai tujuan untuk mendapatkan hasil yang

hendak dicapai oleh penulis. Ada dua macam tujuan penelitian, yaitu tujuan

objektif dan tujuan subjektif. Adapun yang hendak dicapai dalam penelitian

(20)

7 a. Tujuan Objektif

1) Mengetahui kesesuaian pertimbangan Judex Factie membebaskan

terdakwa dari segala tuntutan hukum dengan ketentuan yang terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan

pengajuan Kasasi .Penuntut Umum dan kesesuaian menjatuhkan

hukuman dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b. Tujuan Subjektif

1) Menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, serta

pemahaman dalam bidang Hukum Acara Pidana khususnya yang

menyangkut pengajuan kasasi judex facti salah menerapkan hukum.

2) Memberikan sumbangan pemikiran dan menerapkan ilmu serta

teori-teori yang telah penulis dapatkan agar dapat memberikan manfaat

bagi penulis sendiri khususnya juga bagi masyarakat pada umumnya.

3) Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana

Hukum dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

Setiap penelitian diharapkan mempunyai suatu manfaat dan kegunaan

yang dapat diambil bukan hanya bagi penulis tetapi juga untuk banyak pihak.

Manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan hukum ini ada dua, yakni

manfaat teoretis dan manfaat praktis . Adapun manfaat tersebut, antara lain:

1 Manfaat Teoretis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu

Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada

khususnya.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

pengembangan kajian hukum pembuktian pidana,

(21)

8

menjatuhkan putusan terhadap pelaku penyelundupan

manusia.

2. Manfaat Praktis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban

atas permasalahan-permasalahan yang diteliti.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana bagi

penulis dalam mengembangkan penalaran, pola pikir

dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan Ilmu Hukum yang diperoleh.

c) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

membantu memberikan tambahan pengetahuan terhadap

pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti, juga untuk

berbagai pihak yang memiliki minat dan tertarik pada

permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian adalah suatu usaha untuk

menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran hipotesa atau ilmu

pengeahuan yang dilakukan dengan metode ilmiah. Penelitian hukum pada

dasarnya adalah suatu proses menemukan kebenaran koherensi, yaitu

apakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa

perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah

tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2014: 47).

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu

hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how,

penelitian hukum digunakan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.

Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum,

melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan

memberikan pemecahan atas masalah tersebut (Peter Mahmud

(22)

9

Penelitian hukum, diperlukan metode penelitian yang nantinya akan

menunjang hasil penelitian tersebut untuk mencapai tujuan dari penelitian.

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum

ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum

normatif atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian

hukum doktrinal adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud

Marzuki, penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research)

sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif (Peter Mahmud

Marzuki, 2014: 55-56).

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian hukum yang digunakan penulis dalam penelitian

hukum ini adalah preskriptif dan terapan. Seperti yang telah kita

ketahui bahwa ilmu hukum bukan termasuk ilmu deskriptif melainkan

ilmu yang bersifat preskriptif (Peter Mahmud marzuki, 2014:59).

Artinya, sebagai ilmu preskriptif, objek ilmu hukum adalah koherensi

antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan

norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku (act), bukan

perilaku (behaviour), individu dengan norma hukum (Marzuki, 2014:

41). Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur,

ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan

hukum.Sehungga dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas

hasil penelitian yang telah dilakukan.

3. Pendekatan Penelitian

Mengenai pendekatan penelitian, Peter Mahmud Marzuki

(23)

10

pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapati

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk

ditemukan jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di

dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),

dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Marzuki, 2013:

133).

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan kasus (case approach). Menurut Peter Mahmud

Marzuki dalam pendekatan kasus (case approach) perlu memahami

ratio-decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim

untuk sampai kepada keputusannya serta dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum (Marzuki, 2013: 134).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan

sekunder. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat

autoritatif, yang artinya bahan hukum tersbeut mempunyai otoritas.

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan

dan putusan-putusan hakim (Marzuki, 2014: 141). Adapun, bahan

hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

(24)

11

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung;

3) Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara

Pidana (KUHAP);

4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perpajakan;

5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas utusan

pengadilan (Marzuki, 2013: 181). Data sekunder berupa data yang

diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, literatur, peraturan

perundang-undangan, jurnal, makalah, artikel, media massa, bahan

dari internet serta sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang

penulis kaji yang mendukung data primer. Sumber data sekunder

dalam penelitian ini antara lain:

1) Buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum;

2) Jurnal-jurnal hukum;

3) Artikel;

4) Bahan-bahan dari media internet dan sumber lain yang

memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk

memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan

bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan

penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi

dokumen adalah suatu cara pengumpulan bahan hukum yang

dilakukan melalui bahan hukum tertulis. Studi dokumen ini berguna

untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari

(25)

12

hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan msalah yang diteliti

(Peter Mahmud Marzuki, 2014;21).

6. Teknik Analisa Bahan Hukum

Teknik analisis penelitian ini menggunakan metode selogisme yang

bersifat deduksi. Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa dalam logika

silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor

adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum.

Dari premis mayor yang berisi tentang aturan hukum yang mengatur

tentang aturan terkait dan premis yan berisi fakta hukum, kemudian

ditarik suatu kesimpulan (conclusion) (Marzuki, 2013: 89-90).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum dilakukan guna memberikan gambaran,

enjabaran maupun pembahasan secara menyeluruh mengenai pembahasan

yang akan dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan

hukum. Adapun sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri dari 4

(empat) bab, tiap bab terbagi dari beberapa sub-bab yang dimaksudkan

untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian

ini. Keseluruhan sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan metode penelitian yang digunakan dalam

penyusunan penulisan hukum ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini penulis menguraikan teori yang menjadi landasan

atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan

literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan

hukum ini. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan

umum tentang upaya hukum , tinjauan umum tentang

kasasi, tinjauan umum tentang pertimbangan hakim dan

(26)

13

tinjauan tentang penuntut umum tinjauan tentang tindak

pidana perpajakan secara berlanjut.

BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan

hasil yang dieroleh dari proses meneliti. Berdasarkan

rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok

permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu:

A. Apakah argumentasi Kasasi Penuntut Umum

terhadap kesalah Judex Factie membebaskan

terdakwa pelaku tindak pidana di bidang perpajakan

telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP jo

Pasal 253 ayat (1) KUHAP?

B. Apakah pertimbangan Judex Juris mengabulkan

argumrntasi Kasasi Penuntut Umum dan menyatakan

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana di

bidang perpajakan telah sesuai dengan Pasal 255 ayat

(1) KUHAP jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP?

BAB IV : PENUTUP

Bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang

dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan

proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis

kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan

bahasan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA

(27)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi

a. Pengertian Kasasi

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan yang dilakukan

pada tingkat peradilan terakhir yang memberikan putusan

terhadap pengadilan-pengadilan di tingkat dibawahnya dan para

Hakim yang memberikan putusan yang bertentangan dengan

hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana

yang mengandung pembebasan Terdakwa dari segala tuduhan,

hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 56 Tahun 1958 jo. Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung.

Menurut J.C.T Simorangkir, bahwa kasasi adalah suatu

alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung

untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari

Pengadilan-pengadilan terdahulu, dan ini merupakan peradilan terakhir

(J.C.T Simorangkir, dkk. 2000: 81). Kasasi merupakan upaya

hukum biasa yang terakhir. Pada KUHAP upaya hukum ini

(28)

15

Pasal 258. Ketentuan Pasal 244 KUHAP, yang berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang dapat diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah

Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan

permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 terdapat frasa „pengecualian putusan bebas‟ dapat dimintakan upaya hukumm Kasasi.

Upaya kasasi adalah hak yang diberikan hukum kepada

terdakwa maupun kepada penuntut umum. Tergantung pada

mereka untuk mempergunakan hak tersebut. Seandainya mereka

menerima putusan yang dijatuhkan, mereka dapat

mengesampingkan hak untuk kasasi. Tetapi apabila mereka

keberatan akan putusan yang dijatuhkan oleh hakim maka

mereka dapat mempergunakan hak untuk mengajukan

permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung (M.

Yahya Harahap, 2010: 537).

b. Tujuan Kasasi

Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan

penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang

bertentangan dengan Undang- Undang atau keliru dalam

menerapkan hukum. Tujuan utama upaya hukum kasasi menurut

M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut:

1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan

Salah satu tujuan kasasi, memperbaiki dan

meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar peraturan

hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta

apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan

menurut peraturan Undang-Undang;

(29)

16

Disamping tindakan koreksi yang dilakukan

Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi adakalanya

tindakan koreksi sekaligus menciptakan kaidah hukum baru

dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan

wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making

law, sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut “hukum kasus”, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan

jiwa ketentuan Undang-Undang sesuai dengan “elastisitas”

pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan

kesadaran masyarakat. Apabila putusan kasasi baik yang

berupa koreksi atas kesalahan penerapan hukum maupun

yang bersifat penciptaan hukum baru telah mantap dan

dijadikan pedoman bagi pengadilan dalam mengambil

keputusan maka Mahkamah Agung akan menjadi

yurisprudensi tetap.

3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum

Tujuan lain pemeriksaan kasasi yaitu untuk mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum. dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan adanya

yurisprudensi, sedikit banyak akan mengarahkan

keseragaman pandangan dan titik tolak dalam penerapan

hukum (M. Yahya Harahap, 2010: 539-542).

c. Alasan Pengajuan Kasasi

Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun

1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa:

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan

atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan

karena:

(30)

17

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

3) Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu

dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

2. Tinjauan tentang Penuntut Umum

a. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa yang

mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut

umum. Pasal 1 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) pengertian jaksa dan penuntut umum sebagai

berikut:

1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putasan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

2) Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan

bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai

penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang

lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut

umum dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Apabila Pasal 1 ayat (6) huruf a Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka dapat disimpulkan tugas

(31)

18

1) Sebagai penuntut umum yaitu melakukan penuntutan,

melaksanakan penetapan pengadilan;

2) Melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 14

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

penuntut umum mempunyai wewenang:

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan

dari penyidik atau penyidik pembantu;

b) Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan

pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan

Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi

pentunjuk dalam rangkapenyempurnaan penyidikan

dari penyidik;

c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau merubah

status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan kepada

penyidik;

d) Membuat surat dakwaan;

e) Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa

tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan

yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa

maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang

telah ditentukan;

g) Melakukan penuntutan;

h) Menutup perkara demi kepentingan umum;

i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab penuntut umum menurut ketentuan

undang-udang ini;

(32)

19 3. Tinjauan tentang Judex Factie

Judex factie dan judex jurist adalah dua tingkatan peradilan di

Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan

Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan

Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi

adalah judex factie, yaitu berwenang memeriksa fakta dan bukti

dari suatu perkara. Judex factie memeriksa bukti-bukti dari suatu

perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut karena

Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu

perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut.

a. Pengadilan Negeri

Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan

Umum, tidak memberikan apa yang disebut dengan Pengadilan

Negeri. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 menyebutkan, bahwa: “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.” Begitu pula dalam Pasal 6 disebutkan:Pengadilan terdiri dari: Pengadilan

Negeri, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;

Pengadilan Tinggi, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding”.

Kedua pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

Pengadilan Negeri yang pertama kali menangani pidana maupun

perkara perdata dimuka sidang pengadilan. Mengenai

dibentuknya Pengadilan Negeri, hal ini dengan Keputusan

Presiden. Dalam penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1986 dijelaskan bahwa usul pembentukan Pengadilan

Negeri diajukan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan

persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Susunan Pengadilan

(33)

20

Sekretaris dan Jurusita. Yang disebut sebagai pimpinan adalah

seorang Ketua dan Wakil Ketua.

Mengenai wewenang Pengadilan Negeri juga telah diatur

dalam Pasal 84,85,86 KUHAP.

1) Pasal 84 KUHAP menyatakan bahwa:

a) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara

mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah

hukumnya.

b) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya

terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat

ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili

perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman

sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada

tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan

pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak

pidana itu dilakukan.

c) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak

pidana dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri,

maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing

berwenang mengadili perkara pidana itu.

d) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain

ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam

daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh

masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan

dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

2) Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa:

Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu

pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka

atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan

negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung

(34)

21

menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain

daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili

perkara yang dimaksud.

3) Pasal 86 KUHAP menyatakan bahwa: “Apabila seorang

melakukan tindak pidana di Luar Negeri yang dapat diadili

menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya”.

b. Pengadilan Tinggi

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Pengadilan Umum menyebutkan: Ayat (1) Pengadilan Tinggi

bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara

perdata di tingkat banding. (2) Pengadilan Tinggi juga bertugas

dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir

sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di

daerah hukumnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bisa disimpulkan

sebagai berikut: Pengadilan Tinggi berwenang mengadili baik

perkara pidana maupun perkara perdata di tingkat banding yakni

mengadili kembali sesuatu perkara pidana maupun perkara

perdata, yang telah diadili atau diputuskan oleh Pengadilan

Negeri pada tingkat pertama. Selain itu Pengadilan Tinggi juga

berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa

tentang kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di

daerah hukumnya yang terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,

dan Sekretaris.

Mengenai wewenang Pengadilan Tinggi juga telah diatur

dalam Pasal 87 KUHAP, yang menyebutkan bahwa Pengadilan

tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh

Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan

(35)

22

4. Tinjauan tentang Putusan Bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang

didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan maka terdakwa di putus bebas”. Selanjutnya dalam

penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbuktinya menurut hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Dari ketentuan tersebut , putusan bebas ditinjau dari segi yuridis

adalah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim tidak memenuhi

asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya

dari pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup

membuktikan kesalahan Terdakwa dan Hakim tidak yakin atas

kesalahan Terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga

tidak memenhi asas batas minimum pembuktian, artinya

kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa hanya didukung

oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183

KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang Terdakwa,

harus dibuktikan dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti

yang sah. (M.Yahya Harahap, 2005 : 348)

Putusan bebas ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang apabila degan sekurang – kurangnya dua alat

bukti yang sah dia memperoleh keyakinann bahwa suatu tindak

(36)

23

a. Asas minimum pembuktian

Asas bahwa untuk membuktikan kesalahan

Terdakwa harus dengan sekurang – kurangnya dua

alat bukti yang sah

b. Asas pembuktian secara negatif

Dalam undang undang disebutkan asas pembuktian

secara negatif yang menyebutkan suatu prinsip

hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan

Terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti

keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan

Terdakwa.

Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183

KUHAP tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1)

KUHAP , maka putusan bebas pada umumnya didasarkan

penilaian dan pendapat Hakim bahwa :

a) Kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat

bukti yang diajukan di persidangan baik berupa

keterangan ahli, keterangan saksi, surat , dan

petunjuk, serta pengakuan Terdakwa sendiri tidak

dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada Terdakwa artinya perbuatan yang

didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian

Hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup

atau tidak memadai.

b) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak

memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya,

alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi.

Dalam hal lini, selain tidak memebuhi asas batas

(37)

24

Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus

testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.

Putusan bebas bisa juga didasarkan atas penilaian,

kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim

jadi sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai

cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan

lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan Hakim. Dalam

keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan

pengadilan membebaskan Terdakwa dari tuntutan Hukum.

(M.Yahya Harahap, 2005 : 348)

5. Tinjauan tentang Terdakwa

Pengertian terdakwa berdasarkan Pasal 1 butir 15 KUHAP

adalah seorang yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang

pengadilan. Terdakwa adalah perubahan status dari tersangka

yang mengalami proses peradilan di pengadilan. Untuk ditetapkan

sebagai terdakwa, harus ada cukup bukti sebagai dasar alasan

pemeriksaan di pengadilan. Dengan kata lain orang yang

menyandang predikat sebagai Terdakwa telah diduga kuat

melakukan tindak pidana.

KUHAP mengatur beberapa hak ang dimiliki oleh

Terdakwa. Seperti yang disebutkan Pasal 50 ayat (3) mengatur bahwa “Terdakwa berhak diadili di Pengadilan”. Kemudian Pasal 51 huruf b menjamin bahwa Terdakwa engetahui dengan jelas dan

bahasa yang mudah dimengerti olehnya tentang apa yang

didangkakan kepadanya. Berikut adalah hak hak yang dimiliki

oleh Terdakwa :

a. Hak segera diadili oleh Pengadilan.

b. Hak memberikan keterangan s.ecara bebas kepada Hakim.

c. Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam pemeriksaan di

(38)

25

d. Hak untuk mendapat bantua nhukum dan memilih sendiri

Penasehat Hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.

e. Hak terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan

penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan

perwakilan.

f. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain

yang serumah dengan Terdakwa ataupun orang lain yang

bantuannya dibutuhkan untuk mendaptkan bantuan hukum

atau jaminan bagi penangguhannnya dan hak untuk

berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama

seperti yang sudah disebut.

g. Hak Terdakwa untuk menghubungi da menerima kunjungan

dari Rohaniawan.

h. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge.

i. Hak untuk mengajukan Banding , Kasasi dan melakukan

Peninjauan Kembali.

j. Hak untuk mengajukan keberatan tentang tidak berwenang

mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapt diterima atau

surat dakwaan harus dibatalkan.

6. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti

a. Pengertian pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

Undang-Undang membuktikan kesalhan yang di dakwakan kepada

Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur

alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan

dipergunakan Hakim membuktikan kelasahan yang di dakwakan

(M. Yahya Harahap, 2002 ; 273)

Dalam konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan

(39)

26

acara pidana adalah kebenaran materiil, yang menjadi tujuan

pembuktian adalah benar bahwa suatu tindak pidana telah terjadi

dan Terdakwa yang bersalah melakukannya. Untuk membuktikan

kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/

ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan

dengan prosedur yang berlaku dalam hukum pembuktian.

Pembuktian bersal dari kata “bukti” yang artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapatkan awalan “pem” dan akhiran “an” dimana keseluruhan mempunyai arti yaitu cara membuktikan sesuatu yang menyatakan

kebenaran suatu peristiwa (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2004 :

230). Dengan kata lain pembuktian sangat penting kedudukannya

dalam proses hukum acara pidana dan oleh karena itu haruslah

dikuasai oleh semua aparat penegak hukum dalam tingkat

pemeriksaan, khususnya Penuntut Umum yang mempunyai

kewajiban membuktikan kesalhan Terdakwa.

b. Prinsip – Prinsip Pembuktian

Dalam pembuktian hukum pidana dikenal beberapa prinsip, antara

lain :

1) Menjadi saksi adalah kewajiban, yang dapat dilihat didalam

Pasal 159 ayat (2) KUHAP

2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan,

yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP

3) Satu saksi bukanlah saksi, yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2)

KUHAP

4) Keterangan Terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri,

yang diatur dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP

c. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui cara

(40)

27

diperiksa. Maka dari itu pembuktian harus dilandaskan pada

teori-teori sebagai berikut :

1) Teori pembuktian berdasarkan Undang – Undang secara positif

(Positive wettelijk bewijstheorie)

Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang sah, dikenal

sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan kepada

alat-alat pembuktian yang disebut Undang-Undang, disebut sistem

atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif

(positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena

hanya didasarkan kepada Undang-Undang. Artinya, jika telah

terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut

oleh undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan.

2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim belaka

(Convintion In Time)

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang

Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”

Hakim. Keyakinan bisa diambil dan disimpulkan Hakim dari

alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga

hasil dari suatu pemeriksaan itu diabaikan oleh hakim dan langsug

menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan Terdakwa.

Kelemahan dari sistem ini adalah besar keyakinan Hakim tanpa

didasari dukungan alat bukti yang cukup. Ada kecendurengan

Hakim untuk menerapkan keyakinannya membebaskan Terdakwa

dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalhannya telah terbukti

(M. Yahya Harahap, 2006 : 277)

3) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan

yang logis (convintion raisonee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut

pembuktian yang berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang

logis (convintion raisonee). Menurut teori ini, Hakim dapat

(41)

28

keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian

disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan

kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Dengan kata lain,

menurut sistem ini keyakinan Hakim tetap memegang peranan

penting dalam menentukan tidaknya Terdakwa (Andi Sofyan dan

Abd. Asis, 2004 : 235)

4) Sistem pembuktian berdasarkann Undang – Undang secara

Negatif (Negatif Wettlijk Bewijk Theory)

Dalam teori ini, putusan Hakim didasarkan pada pembuktian

yang dilakukan berdasarkan Pasal 183 KUHAP yaitu berdasarkan

alat-alat bukti yang ada dan sah, serta ditambah dengan keyakinan

Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti tersebut bisa

dikatakan sistem menurut Undang-Undang positif dan sistem

pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim belaka.

d. Pengertian tentang Alat bukti

Menurut Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh

berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang

pemeriksaan di persidangan di dasarkan atas surat dakwaan yang

dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke pengadilan. Hal

tersebut di atas berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yaitu: “Penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segara mengadili perkara tersebut disertai

dengan surat dakwaan”

Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah

(Leden Marpaung, 1992: 23-24) adalah:

(42)

29 2) Keterangan Ahli;

3) Surat;

4) Petunjuk;

5) Keterangan Terdakwa.

Penjelasan mengenai alat bukti yang sah tersebut adalah sebagai

berikut:

1) Keterangan Saksi

Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali

dikecualikan oleh Undang-Undang. Menghindar sebagai saksi

dapat dikenakan pidana (Penjelasan Pasal 159 Ayat (2)

KUHAP). Semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian

menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yaitu:

a) Keluarga berdarah atau semenda dalam garis lurus ke

atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari atau

yang sama-sama sebagai terdakwa.

b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama

sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak,

juga mereka mempunyai hubungan karena

perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai

derajat ketiga.

c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai

atau yang bersama sebagai terdakwa.

2) Keterangan Ahli

Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal

yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat berupa

keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.

(43)

30

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti,

yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut Pasal 187

KUHAP yang termasuk surat adalah:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang

dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang

kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang

dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas

dan tegas tentang keterangannya itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh

pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

yang menjadi tanggung jawabnya dan yang

diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau

sesuatu keadaan.

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu

hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari

padanya.

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat pembuktian

yang lain.

4) Petunjuk

Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan,

baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak

pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh

dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh

karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung.

(44)

31

keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan

bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan

seksama berdasarkan hati nuraninya. Petunjuk adalah

perbuatan atau kejadian, yang karena persesuaiannya baik

antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak

pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 Ayat (2),

Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa.

Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 KUHAP diketahui

bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti

yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak

dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam

membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk

memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang

berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya

yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan

(lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat

melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan

pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang

yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di

perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan (lie detector)

dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan

pidana.

Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya

sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana melainkan dapat

mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan

(45)

Undang-32

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum

karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik juga mengakui hasil penggunan sistem

elektronik, khususnya mengenai hasil tes penggujian alat

pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti yang

sah, yaitu alat bukti petunjuk.

5) Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan

terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di

muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang

diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa

memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak

selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa

bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk

tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa,

tergantung pada alat bukti lainnya dan hanya dapat digunakan

terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa ialah apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan

sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Leden

Marpaung, 1992: 25).

7. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perpajakan

Pengertian pajak menurut Pasal 23A Undang – Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pajak dan pungutan

lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan

undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang –

(46)

33

Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

bersarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak adalah iuran rakyat

kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra prestasi),

yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum (Wirawan B.Ilyas dan Richard

Burtono, 2013 : 6). Berdasarkan pengertian diatas bahwa pajak

akan digunakan sebagai suatu alat untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran Negara, yaitu pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran-pengeluaran

pembangunan, sehingga bisa menekankan pada unsur pemerataan

dan keadilan dalam masyarakat.

Fungsi Penerimaan sebagai alat (sumber) untuk memasukan

uang sebanyak-banyaknya dalam Kas Negara dengan tujuan untuk

membiayai pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan

pembanguanan. Sebagai sumber pendapatan negara pajak berfungsi

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk

menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan

pembangunan negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat

diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak digunakan untuk

pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,

pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan

pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni

penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rut

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang dibahas di dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah praktek penyalahgunaan izin tinggal kunjungan dan izin tinggal terbatas oleh warga negara asing

POSTMODERN SUPERHERO AS A VIGILANTE IN THE CONTEXT OF MICHAEL FOUCAULT’S SUBJECT AND POWER RELATIONS FROM.. JON FAVREAU‘S IRON

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan Islam, konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang No 23 tahun

Rasio lancar tahun 2002 sebesar 522% mengalami peningkatan yang cukup besar jika dibandingkan tahun 2001 sebesar 147% sebagai tahun dasar. Hal ini terjadi karena hutang lancar

The data of the research are the performance in the frame of Systemic Functional Linguistics including complexity of clause and groups, technicality and

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai penilaian yang dikembangkan oleh guru yang berorientasi pada pendidikan karakter di SMA Negeri 1 Jeruklegi dan SMA

kasus Ferrini dimana pengadilan Italia menyatakan bahwa Italia berhak menjalankan yurisdiksi atas Jerman sehubungan dengan gugatan yang dibawa oleh seseorang yang

1. Visi pembangunan yang kami l~ksanakan didasarkan pada nilai dan filsafat komunitas adat. Visi pembangunan tersebut bertumpu pada filsafat yang merefleksikan setiap