i
ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
AL – ARTHUR EVAN ADI NUGRAHA NIM. E0014015
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
v ABSTRAK
AL-ARTHUR EVAN ADI NUGRAHA. E00140015. ARGUMENTASI KASASI
PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE
MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2628 K/Pid.Sus/2016).
Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya Kasasi Penuntut Umum terhadap kelalaian Majelis Hakim dalam menerapkan peraturan hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam tindak pidana perpajakan tentang faktur pajak fiktif. Faktur pajak fiktif merupakan sebuah faktur yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya,atau apabila diterbitkann oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum bersifat preskriptif dan terapan. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan cara studi pustaka/dokumen, teknik analisis bahan hukum menggunakan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif, dari pengajuan premis mayor dan premis minor saling berhubungan untuk ditarik konklusi
Hasil penelitian ini, telah diketahui bahwa alasan pengajuan upaya hukum Kasasi oleh Penuntut Umum telah sesuai, serta mengetahui Bahwa Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi Penuntut Umum dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan peraturan hukum atau tidak diterapkannya sebagaimana mestinya, serta mengetahui bahwa Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan mengadili sendiri perkara tersebut sesuai dengan Pasal 255 ayat (1) KUHAP. Serta memutuskan Terdakwa bersalah telah meembuat faktur pajak fiktif dan wajib untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
vi ABSTRACT
This study aims to find out the Cassation of the Public Prosecutor against the negligence of the Panel of Judges in applying the statutory rules based on the law applicable in the criminal act of taxation on fictitious tax invoice. A fictitious tax invoice is an invoice that is issued not based on actual transactions, or if it is issued by an unconfirmed entrepreneur as a Taxable Person for VAT purposes.
The research method used is legal research is prescriptive and applied. Sources of legal materials used are primary legal materials and secondary legal materials, by way of literature / document studies, techniques of legal material analysis using the method of syllogism and interpretation by using deductive thinking, from the filing of the major premise and the minor premise are interconnected to be drawn conclusion
The result of this research, it is known that the reason for filing the Cassation lawsuit by the Public Prosecutor has been appropriate, and knowing that the Supreme Court granted the appeal of the Public Prosecutor on the grounds that the South Jakarta District Court did not apply the law or did not implement it properly and knew that the Supreme Court the decision of the South Jakarta District Court and to adjudicate the case in accordance with Article 255 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code. And decided the defendant was guilty of making fictitious tax invoice and obliged to account for his actions in accordance with Article 193 paragraph (1) KUHAP.
vii MOTTO
“Innallaha ma's sabireen” (Al - Qur'an 8:46)
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Al – Insyirah : 6)
“Bertanggung jawablah atas apa yang telah kamu lakukan dan hadapi itu dengan tegar” (Dhany Koesworo)
“Untuk mendapat sesuatu yang kita inginkan haruslah menikmati setiap proses yang akan membawamu kehasil yang kau inginkan”
viii
PERSEMBAHAN
Tugas Akhir Penulisan Hukum ini Penulis persembahkan kepada:
1. Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, karunia, taufik, dan hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi dapat diselesaikan.
2. Ayah saya Dhany Koesworo, S.H yang selalu menjadi motivator saya dalam mengerjakan skripsi saat tidak tahu harus menulis apa.
3. Ibu saya Endang Wahyuningsih dan adik saya Valda Aulia Az-Zahra yang selalu mendukung saya tanpa henti dalam mengerjakan skripsi ini.
4. Sahabat saya Babemania Magelang yang senantiasa mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Sahabat saya Expandables yang selalu menemani saat mengerjakan skripsi di Solo. 6. Sahabat saya Kontrakan MBS Semarang, Kontrakan Tempuran yang telah
memberikan saya tempat untuk mendapatkan ide ide untuk menyelesaikan skripsi ini 7. Teman saya, sahabat saya, saudara saya alm. Hendri Gusti Nugraha terima kasih atas
segala kenangannya semoga tenang di alam sana.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME. Atas limpahan karunia, berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan judul ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN JUDEX FACTIE MEMBEBASKAN TERDAKWA AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016). Argumentasi terhadap alasan pengajuan upaya hukum Kasasi oleh Penuntut Umum serta pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tersebut dikaitkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelah Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum ini membahasa tentang diabaikannya alat bukti dan fakta hukum dalam persidangan mengakibatkan terdakwa bebas dari Tindak Pidana Perpajakan serta pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus kasus Tindak Pidana Perpajakan tersebut. Oleh karena itu, dengan ikhlas dan tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret yang mendukung penulisan hukum ini.
2. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin dan kesempatan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum., selaku Kepala Bagian Hukum Acara yang memberikan bantuan dan ijin dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku pembimbing penulisan hukum
yang telah memberikan waktu dan ide, juga memberikan arahan serta motivasi dalam penyusunan skripsi.
5. Bapak Dr. Widodo Tresno Novianto, SH. MHum selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan arahan dan dukungan selama ini.
x
7. Bapak dan Ibu staf karyawan kampus Fakultas Hukum UNS yang telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum UNS.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena hal tersebut penulis memohon kritik dan saran yang membangun guna perbaikan agar penulisan hukum ini menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap bahwa hasil karya Penulisan Hukum ini dapat berguna dan bermanfaat serta memberikan kontribusi yang positif pada pihak-pihak yang berkepentingan.
Surakarta, 17 Juli 2018 Penulis
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14
A. Kerangka Teori ... 14
1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Kasasi ... 14
a. Pengertian Kasasi... 14
b. Tujuan Kasasi ... 15
c. Alasan Pengajuan Kasasi ... 16
2. Tinjauan tentang Penuntut Umum ... 16
a. Pengertian Penuntut Umum ... 16
b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum... 17
3. Tinjauan tentang Judex Factie ... 18
a. Kewenangan Pengadilan Negeri ... 18
b. Kewenangan Pengadilan Tinggi ... 20
4. Tinjauan tentang Putusan Bebas ... 21
a. Pengertian Putusan Bebas ... 21
xii
a. Pengertian Terdakwa ... 24
b. Hak-hak Terdakwa... 24
6. Tinjauan tentang Pembuktian Dan Alat Bukti ... 25
a. Pengertian Pembuktian ... 25
b. Prinsip-prinsip Pembuktian ... 26
c. System Pembuktian ... 26
d. Pengertian Alat Bukti ... 28
e. Jenis Alat Bukti ... 28
7. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perpajakan ... 32
a. Ketentuan Kriteria Pelanggaran ... 33
B. Kerangka Pemikiran ... 39
1. Gagasan Kerangka Pemikiran... 39
2. Keterangan. ... 40
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Hasil Penelitian ... 41
1. Identitas Terdakwa ... 41
2. Uraian Fakta Peristiwa ... 41
3. Surat Dakwaan ... 42
4. Tuntutan Penuntut Umum ... 53
5. Putusan Pengadilan Negeri ... 71
6. Alasan-alasan Kasasi Penuntut Umum ... 71
7. Pertimbangan Mahkamah Agung ... 74
8. Amar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016 ... 77
Pembahasan. ... 94
1. Kesesuaian Argumentasi Kasasi Penuntut Umum Terhadap Kesalahan Judex Factie Membebaskan Terdakwa Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP jo Pasal 253 ayat (1) KUHAP ... 94
2. Kesesuaian Pertimbangan Judex Juris Mengabulkan Kasasi Penuntut Umum dan Menyatakan Terdakwa Bersalah Melakukan Tindak Pidana Dibidang Perpajakan telah Sesuai Pasal 255 ayat (1) KUHAP jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP ... 103
BAB IV PENUTUP. ... 110
xiii
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak dipandang sangat penting di dalam Negara yang bersifat
kesejahteraan (welfare state) yaitu sebagi salah satu pendapatan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di Negara yang bersangkutan
(Romli Atmasasmita, 2004 : 39). Indonesia termasuk salah satu Negara yang
menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Hal ini
sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan dalam pembukan
Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat yang berbunyi “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.” Dari uraian
tersebut, tampak bahwa negara memerlukan dana untuk kepentingan
kesejahteran rakyat. Dana yang akan digunakan ini didapat dari rakyat itu
sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaaan negara yang paling besar memiliki
kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan
kebutuhan belanja negara dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan
pajak sebagai sumber utamanya. Berbagai kebijakan pokok pemerintah di
bidang penerimaan negara yang telah dan sedang dilakukan diarahkan pada
upaya meningkatkan penerimaan pajak. Peningkatan penerimaan pajak selain
diupayakan melalui pemeriksaan, penyidikan dan penagihan, dapat juga
diperoleh dari tulang punggung self assessment system, yaitu meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Pembayaran pajak digunakan
untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Sejalan dengan pemikiran bahwa salah satu sumber penerimaan negara yang
berupa pajak perlu terus ditingkatkan untuk mendukung pembangunan
2
dibutuhkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pembangunan yang
tercermin dalam kepatuhan membayar pajak. Dengan menganut sistem self
assesment tersebut khususnya bertujuan untuk membangun keseimbangan
hak dan kewajiban antara Apara Pajak dengan Wajib Pajak, menjaga
keseimbangan penerima pajak sebagai tulang punggung penerimaan APBN
dan membangun citra institusi Direktorat Jenderal Pajak yang lebih baik
(suisno 2016).
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan
peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak
dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta
terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Pajak merupakan
sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Salah satunya penerimaan pajak disektor Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean, Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikanakan PPN.
Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
Bukti bahwa bidang pajak merupakan sektor yang penting untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat, dibutuhkan pembangunan dalam segala
aspek yang bersumber pada Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN),
APBN bersumber dari pembayaran pajak oleh wajib pajak, perorangan, badan
hukum dan pihak ketiga yang menjadi sumber utama pendapatan penerimaan
keuangan negara sebesar kurang lebih 80%. Saat ini, Pajak Pertambahan
3
penerimaan Negara dalam sektor perpajakan, namun sangat disayangkan,
potensi pemasukan dari pajak yang dimiliki Indonesia ini belum biasa
dimanfaatkan dengan baik bagi kesejahteraan bangsa dan Negara, pajak
menjadi sumber keuangan negara yang utama untuk pembangunan fisik dan
non fisik dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun
dalam kenyataannya di dalam masyarakat Indonesia secara umum kerap kali
terjadi tindak pidana bidang perpajakan berupa kealpaan dan kesengajaan,
baik oleh wajib pajak, fiskus (petugas/pegawai/pejabat/aparat perpajakan) dan
pihak ketiga (bank, notaris, konsultan pajak, akuntan publik, kantor
administrasi) yang tidak menyetorkan uang pajak kepada kas Negara,
sehingga terjadi kerugian pendapatan penerimaan keuangan Negara yang
bersumber dari pajak.
Kerugian Negara akibat dari tindak pidana PPN sudah terdapat di beberapa
daerah, di Daerah Jakarta Selatan, tersangka DP merupakan pemilik
perusahan bidang barang dan jasa dengan nama PT Virora Cipta Indonusa ,
perkara ini bermula tesangka DP pada 2012 dan 2013 melaporkan SPT (Surat
Pemberitahuan) masa PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang telah direkayasa
olehnya kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Pasar Minggu,
adapun DP dianggap melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a jo Pasal 43 ayat (1)
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dengan kerugian negara pada
tahun 2012 sebesar 2M dan pada tahun 2013 sebesar 15,8M dituturkan oleh
Kasi penerangan Hukum Kejaksaan Jakarta Selatan . Dan juga terjadi kasus
lain, terdakwa kasus penggelapan pajak, Djoko Pranggono Direktur PT
Virora Cipta Indonesia dihukum pidana maksimal dua tahun setelah didakwa
melanggar Pasal 39 Ayat (1) Huruf c dan d , Huruf i jo Pasal 43
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
4
dituntut secara terpisah, bahwa bersama sama telah melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan pada 2012 sampi 2013 di kantor Kantor Pelayanan
Pajak Jakarta Selatan, didakwa melakukan tidak pidana dengan tindakan
menyampaikan surat pemberitahuan SPT PPN dan menyampaikan surat yang
isinya tidak benar, sehingga telah merugikan Negara sekitar Rp17,8 miliar.
Namun dengan sedemikian banyaknya alat bukti yang telah disampaikan
oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan yang didakwakan oleh Penuntut
Umum menanggapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan Upaya Hukum Kasasi karena menyatakan tidak
sependapat dengan putusan Nomor 819/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16
Mei 2016 (putusan aquo) dengan alasan bahwa putusan Judex Facti
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Terdakwa dari
tuntutan hukum tidak tepat dan salah menerapkan hukum, putusan Judex
Factie tidak dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar dan tepat
sehingga tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tidak sesuai dengan alat
bukti dan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Perkara ini akhirnya diputus secara Kasasi melalui putusan Mahkamah
Agung nomor 2628 K/Pid.Sus/2016 yang pada intinya mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 819/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 16 Mei
2016.menyatakan terdakwa Djoko Pranggono secara sah dan meyakinkan bersalah‟dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya yang dilakukan secara berlanjut”. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar tiga kali Rp.
17.962.805.756,00 (tujuh belas miliar sembilan ratus enam puluh dua juta
5
Rp.53.888.417.268,00 (lima puluh tiga miliar delapan ratus enam puluh
delapan juta empat ratus tujuh belas ribu dua ratus enam puluh delapan
rupiah). Apabila denda tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa
disita oleh Jaksa untuk dilelang dan jika tidak mencukupi maka terdakwa
dipidana dengan pidana kurungan 8 (delapan) bulan.
Dengan begitu besarnya pemasukan pajak yang belum tercapai masih ada
juga orang atau badan hukum yang melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan. Sehingga untuk mewujutkan fungsi dan tujuan pajak tercapai
setiap warga negara atau badan hukum harus taat, patuh dan memenuhi
kewajibannya sebagai wajib pajak, untuk mewujudkan tujuan dari adanya
pajak perlu adanya penegakan hukum perpajakan harus dibenahi mulai dari
penegak hukumnya, berkaitan proses penegakan tindak pidana perpajakan
penyidik sangat berperan penting, sehingga dari proses penyidikan yang
dilakukan Penyidik pegawai negeri sipil direktorat jenderal pajak harus
progresif dan dapat menegakkan normanorma hukum serta aturan hukum
yang di atur di dalam undang-undang, dalam hal Penyidik Pegawai Negeri
sipil di dalam penegakan hukum pidana di atur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyidik
adalah: Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang
khusus oleh undang-undang, Sedangkan ketentuan penyidikan dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan di atur dalam Pasal 44 ayat (1) Penyidikan tindak pidana dibidang
perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam proses
penegakan hukum perpajakan, dimana hukum tindak pidana pajak termasuk
di dalamnya, maka penyidik sangat berperan penting, sehingga dari proses
penyidikan yang dilakukan Penyidik pegawai negeri sipil direktorat jenderal
pajak harus progresif dan dapat menegakkan norma-norma hukum serta
6
efek jera pada pelakunya dan sehinga fungsi atau tujuan bisa tercapai. Namun
pada kenyatannya masih banyak masalah tindak pidana perpajakan yang
terjadi di dalam masyarakat.
Berdasarkan paparan uraian, penulis tertarik untuk mendalami
permasalahan ini dalam bentuk tulisan atau disebut skripsi dengan memilih
judul : “ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP
KESALAHAN JUDEX FACTI MEMBEBASKAN TERDAKWA
AKIBAT KESALAHAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK
PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung nomor 2628 K/pid.Sus/2016)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penulis menyusun sebuah rumusan masalah untuk dapat dikaji lebih jelas,
rinci, dan terarah dalam pembahasannya. Adapun rumusan masalah yang
akan di bahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah argumentasi Kasasi Penuntut Umum terhadap kesalahan Judex
Factie membebaskan terdakwa pelaku tindak pidana di bidang perpajakan
telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP jo Pasal 253 ayat (1)
KUHAP?
2. Apakah pertimbangan Judex Juris mengabulkan Kasasi Penuntut Umum
dan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan telah sesuai Pasal 255 ayat (1) KUHAP jo Pasal 193 ayat (1)
KUHAP?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian mempunyai tujuan untuk mendapatkan hasil yang
hendak dicapai oleh penulis. Ada dua macam tujuan penelitian, yaitu tujuan
objektif dan tujuan subjektif. Adapun yang hendak dicapai dalam penelitian
7 a. Tujuan Objektif
1) Mengetahui kesesuaian pertimbangan Judex Factie membebaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum dengan ketentuan yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
2) Mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan
pengajuan Kasasi .Penuntut Umum dan kesesuaian menjatuhkan
hukuman dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Tujuan Subjektif
1) Menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, serta
pemahaman dalam bidang Hukum Acara Pidana khususnya yang
menyangkut pengajuan kasasi judex facti salah menerapkan hukum.
2) Memberikan sumbangan pemikiran dan menerapkan ilmu serta
teori-teori yang telah penulis dapatkan agar dapat memberikan manfaat
bagi penulis sendiri khususnya juga bagi masyarakat pada umumnya.
3) Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian diharapkan mempunyai suatu manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil bukan hanya bagi penulis tetapi juga untuk banyak pihak.
Manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan hukum ini ada dua, yakni
manfaat teoretis dan manfaat praktis . Adapun manfaat tersebut, antara lain:
1 Manfaat Teoretis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu
Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada
khususnya.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan kajian hukum pembuktian pidana,
8
menjatuhkan putusan terhadap pelaku penyelundupan
manusia.
2. Manfaat Praktis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban
atas permasalahan-permasalahan yang diteliti.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana bagi
penulis dalam mengembangkan penalaran, pola pikir
dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan Ilmu Hukum yang diperoleh.
c) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
membantu memberikan tambahan pengetahuan terhadap
pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti, juga untuk
berbagai pihak yang memiliki minat dan tertarik pada
permasalahan yang sama.
E. Metode Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian adalah suatu usaha untuk
menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran hipotesa atau ilmu
pengeahuan yang dilakukan dengan metode ilmiah. Penelitian hukum pada
dasarnya adalah suatu proses menemukan kebenaran koherensi, yaitu
apakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa
perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah
tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2014: 47).
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu
hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how,
penelitian hukum digunakan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.
Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum,
melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan
memberikan pemecahan atas masalah tersebut (Peter Mahmud
9
Penelitian hukum, diperlukan metode penelitian yang nantinya akan
menunjang hasil penelitian tersebut untuk mencapai tujuan dari penelitian.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian
hukum doktrinal adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud
Marzuki, penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research)
sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif (Peter Mahmud
Marzuki, 2014: 55-56).
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
hukum ini adalah preskriptif dan terapan. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa ilmu hukum bukan termasuk ilmu deskriptif melainkan
ilmu yang bersifat preskriptif (Peter Mahmud marzuki, 2014:59).
Artinya, sebagai ilmu preskriptif, objek ilmu hukum adalah koherensi
antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan
norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku (act), bukan
perilaku (behaviour), individu dengan norma hukum (Marzuki, 2014:
41). Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan
hukum.Sehungga dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas
hasil penelitian yang telah dilakukan.
3. Pendekatan Penelitian
Mengenai pendekatan penelitian, Peter Mahmud Marzuki
10
pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapati
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk
ditemukan jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di
dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Marzuki, 2013:
133).
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kasus (case approach). Menurut Peter Mahmud
Marzuki dalam pendekatan kasus (case approach) perlu memahami
ratio-decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim
untuk sampai kepada keputusannya serta dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum (Marzuki, 2013: 134).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan
sekunder. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
autoritatif, yang artinya bahan hukum tersbeut mempunyai otoritas.
Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim (Marzuki, 2014: 141). Adapun, bahan
hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
11
2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung;
3) Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara
Pidana (KUHAP);
4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perpajakan;
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 2628 K/Pid.Sus/2016
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas utusan
pengadilan (Marzuki, 2013: 181). Data sekunder berupa data yang
diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, literatur, peraturan
perundang-undangan, jurnal, makalah, artikel, media massa, bahan
dari internet serta sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang
penulis kaji yang mendukung data primer. Sumber data sekunder
dalam penelitian ini antara lain:
1) Buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum;
2) Jurnal-jurnal hukum;
3) Artikel;
4) Bahan-bahan dari media internet dan sumber lain yang
memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan
bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan
penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi
dokumen adalah suatu cara pengumpulan bahan hukum yang
dilakukan melalui bahan hukum tertulis. Studi dokumen ini berguna
untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari
12
hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan msalah yang diteliti
(Peter Mahmud Marzuki, 2014;21).
6. Teknik Analisa Bahan Hukum
Teknik analisis penelitian ini menggunakan metode selogisme yang
bersifat deduksi. Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa dalam logika
silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor
adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum.
Dari premis mayor yang berisi tentang aturan hukum yang mengatur
tentang aturan terkait dan premis yan berisi fakta hukum, kemudian
ditarik suatu kesimpulan (conclusion) (Marzuki, 2013: 89-90).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum dilakukan guna memberikan gambaran,
enjabaran maupun pembahasan secara menyeluruh mengenai pembahasan
yang akan dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan
hukum. Adapun sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri dari 4
(empat) bab, tiap bab terbagi dari beberapa sub-bab yang dimaksudkan
untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian
ini. Keseluruhan sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan metode penelitian yang digunakan dalam
penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini penulis menguraikan teori yang menjadi landasan
atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan
literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan
hukum ini. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan
umum tentang upaya hukum , tinjauan umum tentang
kasasi, tinjauan umum tentang pertimbangan hakim dan
13
tinjauan tentang penuntut umum tinjauan tentang tindak
pidana perpajakan secara berlanjut.
BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan
hasil yang dieroleh dari proses meneliti. Berdasarkan
rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok
permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu:
A. Apakah argumentasi Kasasi Penuntut Umum
terhadap kesalah Judex Factie membebaskan
terdakwa pelaku tindak pidana di bidang perpajakan
telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP jo
Pasal 253 ayat (1) KUHAP?
B. Apakah pertimbangan Judex Juris mengabulkan
argumrntasi Kasasi Penuntut Umum dan menyatakan
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan telah sesuai dengan Pasal 255 ayat
(1) KUHAP jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP?
BAB IV : PENUTUP
Bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang
dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan
proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis
kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan
bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan yang dilakukan
pada tingkat peradilan terakhir yang memberikan putusan
terhadap pengadilan-pengadilan di tingkat dibawahnya dan para
Hakim yang memberikan putusan yang bertentangan dengan
hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana
yang mengandung pembebasan Terdakwa dari segala tuduhan,
hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 56 Tahun 1958 jo. Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Menurut J.C.T Simorangkir, bahwa kasasi adalah suatu
alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung
untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari
Pengadilan-pengadilan terdahulu, dan ini merupakan peradilan terakhir
(J.C.T Simorangkir, dkk. 2000: 81). Kasasi merupakan upaya
hukum biasa yang terakhir. Pada KUHAP upaya hukum ini
15
Pasal 258. Ketentuan Pasal 244 KUHAP, yang berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang dapat diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 terdapat frasa „pengecualian putusan bebas‟ dapat dimintakan upaya hukumm Kasasi.
Upaya kasasi adalah hak yang diberikan hukum kepada
terdakwa maupun kepada penuntut umum. Tergantung pada
mereka untuk mempergunakan hak tersebut. Seandainya mereka
menerima putusan yang dijatuhkan, mereka dapat
mengesampingkan hak untuk kasasi. Tetapi apabila mereka
keberatan akan putusan yang dijatuhkan oleh hakim maka
mereka dapat mempergunakan hak untuk mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung (M.
Yahya Harahap, 2010: 537).
b. Tujuan Kasasi
Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan dengan Undang- Undang atau keliru dalam
menerapkan hukum. Tujuan utama upaya hukum kasasi menurut
M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut:
1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan
Salah satu tujuan kasasi, memperbaiki dan
meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar peraturan
hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta
apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan
menurut peraturan Undang-Undang;
16
Disamping tindakan koreksi yang dilakukan
Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi adakalanya
tindakan koreksi sekaligus menciptakan kaidah hukum baru
dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan
wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making
law, sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut “hukum kasus”, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan
jiwa ketentuan Undang-Undang sesuai dengan “elastisitas”
pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan
kesadaran masyarakat. Apabila putusan kasasi baik yang
berupa koreksi atas kesalahan penerapan hukum maupun
yang bersifat penciptaan hukum baru telah mantap dan
dijadikan pedoman bagi pengadilan dalam mengambil
keputusan maka Mahkamah Agung akan menjadi
yurisprudensi tetap.
3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum
Tujuan lain pemeriksaan kasasi yaitu untuk mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum. dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan adanya
yurisprudensi, sedikit banyak akan mengarahkan
keseragaman pandangan dan titik tolak dalam penerapan
hukum (M. Yahya Harahap, 2010: 539-542).
c. Alasan Pengajuan Kasasi
Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa:
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan
atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan
karena:
17
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3) Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
2. Tinjauan tentang Penuntut Umum
a. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum
Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa yang
mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut
umum. Pasal 1 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) pengertian jaksa dan penuntut umum sebagai
berikut:
1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putasan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
2) Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan
bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut
umum dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum
Apabila Pasal 1 ayat (6) huruf a Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka dapat disimpulkan tugas
18
1) Sebagai penuntut umum yaitu melakukan penuntutan,
melaksanakan penetapan pengadilan;
2) Melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 14
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
penuntut umum mempunyai wewenang:
a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan
dari penyidik atau penyidik pembantu;
b) Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan
pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi
pentunjuk dalam rangkapenyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau merubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan kepada
penyidik;
d) Membuat surat dakwaan;
e) Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan
yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
g) Melakukan penuntutan;
h) Menutup perkara demi kepentingan umum;
i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab penuntut umum menurut ketentuan
undang-udang ini;
19 3. Tinjauan tentang Judex Factie
Judex factie dan judex jurist adalah dua tingkatan peradilan di
Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan
Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
adalah judex factie, yaitu berwenang memeriksa fakta dan bukti
dari suatu perkara. Judex factie memeriksa bukti-bukti dari suatu
perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut karena
Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu
perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut.
a. Pengadilan Negeri
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, tidak memberikan apa yang disebut dengan Pengadilan
Negeri. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 menyebutkan, bahwa: “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.” Begitu pula dalam Pasal 6 disebutkan:Pengadilan terdiri dari: Pengadilan
Negeri, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
Pengadilan Tinggi, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding”.
Kedua pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pengadilan Negeri yang pertama kali menangani pidana maupun
perkara perdata dimuka sidang pengadilan. Mengenai
dibentuknya Pengadilan Negeri, hal ini dengan Keputusan
Presiden. Dalam penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 dijelaskan bahwa usul pembentukan Pengadilan
Negeri diajukan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Susunan Pengadilan
20
Sekretaris dan Jurusita. Yang disebut sebagai pimpinan adalah
seorang Ketua dan Wakil Ketua.
Mengenai wewenang Pengadilan Negeri juga telah diatur
dalam Pasal 84,85,86 KUHAP.
1) Pasal 84 KUHAP menyatakan bahwa:
a) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara
mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah
hukumnya.
b) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat
ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada
tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan
pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak
pidana itu dilakukan.
c) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak
pidana dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri,
maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing
berwenang mengadili perkara pidana itu.
d) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain
ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam
daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh
masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan
dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
2) Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa:
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu
pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka
atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan
negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung
21
menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain
daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili
perkara yang dimaksud.
3) Pasal 86 KUHAP menyatakan bahwa: “Apabila seorang
melakukan tindak pidana di Luar Negeri yang dapat diadili
menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya”.
b. Pengadilan Tinggi
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Umum menyebutkan: Ayat (1) Pengadilan Tinggi
bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara
perdata di tingkat banding. (2) Pengadilan Tinggi juga bertugas
dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di
daerah hukumnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bisa disimpulkan
sebagai berikut: Pengadilan Tinggi berwenang mengadili baik
perkara pidana maupun perkara perdata di tingkat banding yakni
mengadili kembali sesuatu perkara pidana maupun perkara
perdata, yang telah diadili atau diputuskan oleh Pengadilan
Negeri pada tingkat pertama. Selain itu Pengadilan Tinggi juga
berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa
tentang kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di
daerah hukumnya yang terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
dan Sekretaris.
Mengenai wewenang Pengadilan Tinggi juga telah diatur
dalam Pasal 87 KUHAP, yang menyebutkan bahwa Pengadilan
tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh
Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan
22
4. Tinjauan tentang Putusan Bebas
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan maka terdakwa di putus bebas”. Selanjutnya dalam
penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbuktinya menurut hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Dari ketentuan tersebut , putusan bebas ditinjau dari segi yuridis
adalah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim tidak memenuhi
asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya
dari pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup
membuktikan kesalahan Terdakwa dan Hakim tidak yakin atas
kesalahan Terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga
tidak memenhi asas batas minimum pembuktian, artinya
kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa hanya didukung
oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183
KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang Terdakwa,
harus dibuktikan dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti
yang sah. (M.Yahya Harahap, 2005 : 348)
Putusan bebas ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang apabila degan sekurang – kurangnya dua alat
bukti yang sah dia memperoleh keyakinann bahwa suatu tindak
23
a. Asas minimum pembuktian
Asas bahwa untuk membuktikan kesalahan
Terdakwa harus dengan sekurang – kurangnya dua
alat bukti yang sah
b. Asas pembuktian secara negatif
Dalam undang undang disebutkan asas pembuktian
secara negatif yang menyebutkan suatu prinsip
hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan
Terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti
keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan
Terdakwa.
Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1)
KUHAP , maka putusan bebas pada umumnya didasarkan
penilaian dan pendapat Hakim bahwa :
a) Kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat
bukti yang diajukan di persidangan baik berupa
keterangan ahli, keterangan saksi, surat , dan
petunjuk, serta pengakuan Terdakwa sendiri tidak
dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada Terdakwa artinya perbuatan yang
didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian
Hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup
atau tidak memadai.
b) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak
memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya,
alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi.
Dalam hal lini, selain tidak memebuhi asas batas
24
Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus
testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.
Putusan bebas bisa juga didasarkan atas penilaian,
kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim
jadi sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai
cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan
lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan Hakim. Dalam
keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan
pengadilan membebaskan Terdakwa dari tuntutan Hukum.
(M.Yahya Harahap, 2005 : 348)
5. Tinjauan tentang Terdakwa
Pengertian terdakwa berdasarkan Pasal 1 butir 15 KUHAP
adalah seorang yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
pengadilan. Terdakwa adalah perubahan status dari tersangka
yang mengalami proses peradilan di pengadilan. Untuk ditetapkan
sebagai terdakwa, harus ada cukup bukti sebagai dasar alasan
pemeriksaan di pengadilan. Dengan kata lain orang yang
menyandang predikat sebagai Terdakwa telah diduga kuat
melakukan tindak pidana.
KUHAP mengatur beberapa hak ang dimiliki oleh
Terdakwa. Seperti yang disebutkan Pasal 50 ayat (3) mengatur bahwa “Terdakwa berhak diadili di Pengadilan”. Kemudian Pasal 51 huruf b menjamin bahwa Terdakwa engetahui dengan jelas dan
bahasa yang mudah dimengerti olehnya tentang apa yang
didangkakan kepadanya. Berikut adalah hak hak yang dimiliki
oleh Terdakwa :
a. Hak segera diadili oleh Pengadilan.
b. Hak memberikan keterangan s.ecara bebas kepada Hakim.
c. Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam pemeriksaan di
25
d. Hak untuk mendapat bantua nhukum dan memilih sendiri
Penasehat Hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
e. Hak terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan
perwakilan.
f. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain
yang serumah dengan Terdakwa ataupun orang lain yang
bantuannya dibutuhkan untuk mendaptkan bantuan hukum
atau jaminan bagi penangguhannnya dan hak untuk
berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama
seperti yang sudah disebut.
g. Hak Terdakwa untuk menghubungi da menerima kunjungan
dari Rohaniawan.
h. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge.
i. Hak untuk mengajukan Banding , Kasasi dan melakukan
Peninjauan Kembali.
j. Hak untuk mengajukan keberatan tentang tidak berwenang
mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapt diterima atau
surat dakwaan harus dibatalkan.
6. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti
a. Pengertian pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
Undang-Undang membuktikan kesalhan yang di dakwakan kepada
Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan
dipergunakan Hakim membuktikan kelasahan yang di dakwakan
(M. Yahya Harahap, 2002 ; 273)
Dalam konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan
26
acara pidana adalah kebenaran materiil, yang menjadi tujuan
pembuktian adalah benar bahwa suatu tindak pidana telah terjadi
dan Terdakwa yang bersalah melakukannya. Untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/
ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan
dengan prosedur yang berlaku dalam hukum pembuktian.
Pembuktian bersal dari kata “bukti” yang artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapatkan awalan “pem” dan akhiran “an” dimana keseluruhan mempunyai arti yaitu cara membuktikan sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2004 :
230). Dengan kata lain pembuktian sangat penting kedudukannya
dalam proses hukum acara pidana dan oleh karena itu haruslah
dikuasai oleh semua aparat penegak hukum dalam tingkat
pemeriksaan, khususnya Penuntut Umum yang mempunyai
kewajiban membuktikan kesalhan Terdakwa.
b. Prinsip – Prinsip Pembuktian
Dalam pembuktian hukum pidana dikenal beberapa prinsip, antara
lain :
1) Menjadi saksi adalah kewajiban, yang dapat dilihat didalam
Pasal 159 ayat (2) KUHAP
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan,
yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP
3) Satu saksi bukanlah saksi, yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2)
KUHAP
4) Keterangan Terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri,
yang diatur dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP
c. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui cara
27
diperiksa. Maka dari itu pembuktian harus dilandaskan pada
teori-teori sebagai berikut :
1) Teori pembuktian berdasarkan Undang – Undang secara positif
(Positive wettelijk bewijstheorie)
Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang sah, dikenal
sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan kepada
alat-alat pembuktian yang disebut Undang-Undang, disebut sistem
atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena
hanya didasarkan kepada Undang-Undang. Artinya, jika telah
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut
oleh undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan.
2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim belaka
(Convintion In Time)
Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang
Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”
Hakim. Keyakinan bisa diambil dan disimpulkan Hakim dari
alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga
hasil dari suatu pemeriksaan itu diabaikan oleh hakim dan langsug
menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan Terdakwa.
Kelemahan dari sistem ini adalah besar keyakinan Hakim tanpa
didasari dukungan alat bukti yang cukup. Ada kecendurengan
Hakim untuk menerapkan keyakinannya membebaskan Terdakwa
dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalhannya telah terbukti
(M. Yahya Harahap, 2006 : 277)
3) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan
yang logis (convintion raisonee)
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang
logis (convintion raisonee). Menurut teori ini, Hakim dapat
28
keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan
kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Dengan kata lain,
menurut sistem ini keyakinan Hakim tetap memegang peranan
penting dalam menentukan tidaknya Terdakwa (Andi Sofyan dan
Abd. Asis, 2004 : 235)
4) Sistem pembuktian berdasarkann Undang – Undang secara
Negatif (Negatif Wettlijk Bewijk Theory)
Dalam teori ini, putusan Hakim didasarkan pada pembuktian
yang dilakukan berdasarkan Pasal 183 KUHAP yaitu berdasarkan
alat-alat bukti yang ada dan sah, serta ditambah dengan keyakinan
Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti tersebut bisa
dikatakan sistem menurut Undang-Undang positif dan sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim belaka.
d. Pengertian tentang Alat bukti
Menurut Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh
berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang
pemeriksaan di persidangan di dasarkan atas surat dakwaan yang
dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke pengadilan. Hal
tersebut di atas berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yaitu: “Penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segara mengadili perkara tersebut disertai
dengan surat dakwaan”
Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah
(Leden Marpaung, 1992: 23-24) adalah:
29 2) Keterangan Ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk;
5) Keterangan Terdakwa.
Penjelasan mengenai alat bukti yang sah tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Keterangan Saksi
Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali
dikecualikan oleh Undang-Undang. Menghindar sebagai saksi
dapat dikenakan pidana (Penjelasan Pasal 159 Ayat (2)
KUHAP). Semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian
menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yaitu:
a) Keluarga berdarah atau semenda dalam garis lurus ke
atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari atau
yang sama-sama sebagai terdakwa.
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak,
juga mereka mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga.
c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai
atau yang bersama sebagai terdakwa.
2) Keterangan Ahli
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal
yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat berupa
keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.
30
Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti,
yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut Pasal 187
KUHAP yang termasuk surat adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya.
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.
4) Petunjuk
Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh
karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung.
31
keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan
bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan
seksama berdasarkan hati nuraninya. Petunjuk adalah
perbuatan atau kejadian, yang karena persesuaiannya baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak
pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 Ayat (2),
Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa.
Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 KUHAP diketahui
bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti
yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak
dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam
membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang
berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya
yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan
(lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat
melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan
pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang
yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di
perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan (lie detector)
dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan
pidana.
Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya
sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana melainkan dapat
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan
Undang-32
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum
karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik juga mengakui hasil penggunan sistem
elektronik, khususnya mengenai hasil tes penggujian alat
pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti yang
sah, yaitu alat bukti petunjuk.
5) Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan
terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di
muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang
diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa
memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak
selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa
bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk
tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa,
tergantung pada alat bukti lainnya dan hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan
sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Leden
Marpaung, 1992: 25).
7. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perpajakan
Pengertian pajak menurut Pasal 23A Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan
undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang –
33
Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
bersarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra prestasi),
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum (Wirawan B.Ilyas dan Richard
Burtono, 2013 : 6). Berdasarkan pengertian diatas bahwa pajak
akan digunakan sebagai suatu alat untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran Negara, yaitu pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran-pengeluaran
pembangunan, sehingga bisa menekankan pada unsur pemerataan
dan keadilan dalam masyarakat.
Fungsi Penerimaan sebagai alat (sumber) untuk memasukan
uang sebanyak-banyaknya dalam Kas Negara dengan tujuan untuk
membiayai pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan
pembanguanan. Sebagai sumber pendapatan negara pajak berfungsi
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan
pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rut