• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surveilens Rumahsakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surveilens Rumahsakit"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Surveilens Rumahsakit

 

TUJUAN PEMBELAJARAN:

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu:

1. Memahami prinsip-prinsip dasar surveilens

2. Menjelaskan komponen-komponen dari surveilens

3. Menghitung dan menentukan angka kejadian infeksi nosokomial berdasarkan keparahan penyakit, lama rawat inap, dan lamanya eksposur terhadap suatu alat medik

I.

Pendahuluan

II.

Komponen Surveilens

III.

Metode Surveilens

IV.

Surveilens untuk Infeksi Nosocomial

(2)

Surveilens Rumahsakit

PENDAHULUAN

Surveilens merupakan suatu proses dinamik untuk mengumpulkan data dan melakukan analisis serta penyusunan laporan mengenai suatu kejadian yang muncul di satu populasi. Sebagai dasar dari program epidemiologi rumahsakit, surveilens harus mampu menyediakan informasi mengenai angka kejadian infeksi nosokomial atau efek samping yang lain, mendeteksi perkembangannya dari waktu ke waktu, melakukan investigasi jika terjadi peningkatan kasus yang signifikan, mengembangkan upaya-upaya pengendalian dan menilai apakah intervensi yang dilakukan cukup efektif.

Data surveilans juga harus dapat digunakan untuk memantau ketaatan petugas kesehatan terhadap standard-standard yang ada di rumahsakit, mendeteksi secara teknis proses terjadinya outbreaks dan mengevaluasi praktek-praktek yang berpotensi menimbulkan infeksi nosokomial di rumahsakit.

Berbagai studi menunjukkan bahwa surveilens dan program pengendalian infeksi di rumahsakit secara bermakna dapat menurunkan angka kejadian surgical site infection (SSI), pneumonia, infeksi saluran kencing, dan bakteremia. Oleh sebab itu, surveilens menjadi salah satu proses penting yang harus dilakukan di rumahsakit untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan dari berbagai risiko yang kemungkinan timbul.

TUJUAN

Setelah menyelesaikan Modul 6 ini karyasiswa diharapkan mampu: 4. Memahami prinsip-prinsip dasar surveilens

5. Menjelaskan komponen-komponen dari surveilens

6. Menghitung dan menentukan angka kejadian infeksi nosokomial berdasarkan

keparahan penyakit, lama rawat inap, dan lamanya eksposur terhadap suatu alat medik

(3)

KOMPONEN SURVEILENS

Dasar dari surveilens adalah pengumpulan data secara sistematik untuk tujuan spesifik pada suatu kejadian dalam periode waktu tertentu, mengelola dan mengorganisasi, melakukan analisis dan interpretasi serta mengkomunikasikan hasil surveilens kepada pihak-pihak yang berkompeten untuk ditindaklanjuti.

1. Definisi

Staf yang bertanggungjawab untuk surveilens harus mengidentifikasi terlebih dahulu masalah atau kejadian yang dicurigai serta menentukan populasi yang akan diteliti. Staf harus mendefinisikan secara tertulis masalah yang akan dikaji dalam format yang ringkas dan menghindari keragaman penafsiran. Definisi yang ditetapkan tersebut harus secara konsisten digunakan selama proses pengumpulan data.

Kekeliruan dalam mengaplikasikan definisi ini akan dapat berakibat buruk untuk rumahsakit. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Ehrenkranz selama 3 tahun menemukan angka kejadian surgical site infection (SSI) pada sekelompok ahli bedah sebesar 3-11%. Karena tingginya angka ini, maka tindaka pembedahan oleh seorang ahli bedah terpaksa dihentikan. Namun setelah dilakukan analisis lebih jauh, ternyata terjadi kekeliruan dalam mendefinisikan SSI. Penghentian tindakan operasi ini tentu akan sangat merugikan semua pihak, tidak saja rumahsakit tetapi juga masyarakat.

Untuk menetapkan definisi ini sebetulnya dapat mengacu pada CDC (Centre for Disease Control), meskipun kadang diperlukan modifikasi, sesuai dengan pertimbangan yang ada di masing-masing rumahsakit.

Suatu infeksi disebut sebagai hospital acquired apabila terjadi 48-72 jam setelah pasien masuk rumahsakit dan dalam kurun waktu 10 hari setelah pasien boleh meninggalkan rumahsakit. Tidak disebut sebagai infeksi nosokomial apabila terjadinya pada saat pasien masuk.

Surgical site infection (SSI) disebut sebagai nosokomial apabila infeksi terjadi dalam

kurun waktu 30 hari setelah prosedur operasi atau dalam 1 tahun setelah pemasangan implant.

(4)

Suatu infeksi dikatakan sebagai nosokomial apabila kejadiannya berkaitan dengan suatu prosedur medik, terapi, atau kejadian penyakit setelah pasien masuk ke rumahsakit. Sebagai contoh adalah infeksi dalam aliran darah berkaitan dengan pemasangan central venous catheter, pneumonia berkaitan dengan ventilasi mekanik, atau infeksi saluran kencing (UTI=urinary tract infection) berkaitan dengan pemasangan kateter dapat dikatakan nosokomial apabila onset infeksi terjadi dalam waktu 72 jam pertama setelah pasien dirawat di rumahsakit..

2. Pengumpulan Data (collecting data)

Surveilens dapat dilakukan baik secara retrospektif maupun concurrent. Disebut concurrent apabila pengumpulan data dilakukan pada saat atau sesaat setelah timbulnya kejadian. Melalui metode concurrent ini maka petugas surveilens untuk melakukan review terhadap medical record, menilai kondisi pasien, dan mendiskusikan kejadian tersebut dengan petugas pemberi pelayanan. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa sebagian besar informasi masih tersedia, seperti misalnya buku log bangsal dan laporan perawat yang umumnya terpisah dari medical record.

Pada surveilens retrospektif, pengumpulan data dilakukan setelah pasien meninggalkan rumahsakit. Masalah yang sering muncul dari metode retrospektif ini adalah sering tidak lengkapnya data, sementara tingkat akurasi dan kualitas data yang terdapat di medical record juga sering meragukan. Metode ini juga tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang sifatnya current.

Mengingat bahwa tujuan dari surveilens adalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang berpotensi meningkatkan risiko nosokomial maka informasi yang dikumpulkan haruslah fokus pada masalah spesifik, dan jumlah data adekuat serta memadai untuk dilakukan analisis dan interpretasi. Supervisi terhadap proses pengumpulan data menjadi sangat penting untuk menjamin mutu informasi yang diperoleh. Supervisor perlu melakukan checking secara acak terhadap data yang telah dikumpulkan, sehingga koreksi dapat segera dilakukan sebelum pengumpulan data selesai.

3. Manajemen data

(5)

Agar informasi yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan surveilens maka manajemen data harus dilakukan secara sistematik. Penggunaan form-form pengumpulan data dengan format standard menjadi bagian penting yang harus secara otomatis tersedia dan built in dengan proses data entri yang biasanya dilakukan secara rutin. Sistem koding sederhana menggunakan metode baku akan sangat membantu mempercepat proses pengelolaan data. Sejauh mungkin data yang dikumpulkan dapat dikonsultasikan kepada klinisi atau ekspert yang relevan dengan permasalahan yang ada untuk konfirmasi akurasi informasi. Sistem manajemen data harus bersifat lugas dalam arti bahwa dapat diinterpretasikan secara sama oleh staf yang berbeda, sehingga proses koding dan data entry harus semaksimal mungkin bebas error.

4. Analisis data dan interpretasi hasil

Data yang terkumpul harus segera dianalisis dan diinterpretasi, karena tujuan dari surveilens tidak hanya untuk menghitung insidensi kejadian infeksi nosokomial tetapi juga untuk mengidentifikasi permasalahan secara cepat sehingga upaya intervensi dapat segera dilakukan untuk mengurangi terjadinya risiko lebih lanjut.

Petugas surveilens harus mampu memutuskan seberapa sering data yang ada dianalisis berdasarkan kejadian nosokomial. Analisis data harus dilakukan agak sering agar setiap kejadian dapat dideteksi secara cepat sehingga upaya penanganannyapun dapat segera dilakukan.

Kekeliruan yang umumnya terjadi selama ini dalam mengemukakan hasil surveilens adalah hanya melaporkan jumlah kejadian dalam suatu kurun waktu tertentu, padahal sebenarnya yang diperlukan adalah menghitung insidensi, yang tentu saja mensyaratkan adanya numerator dan denominator.

Berikut adalah salah satu ilustrasi. Andaikan 10 pasien yang dirawat di rumahsakit mengalami dekubitus dalam 1 bulan terakhir. Apabila pada bulan yang sama ada 1000 pasien yang setelah dirawat boleh meninggalkan rumahsakit maka insidensi atau angka kejadian dekubitus adalah 10/1000 atau 1%.

(6)

Lain halnya jika 10 pasien tersebut berasal dari suatu bangsal yang pada bulan yang sama terdapat 600 pasien rawat inap yang diperbolehkan meninggalkan rumahsakit, maka insidensi dekubitus pada bangsal tersebut adalah 10/600 atau 1,7%. Namun apabila 8 dari 10 pasien tersebut mengalami dekubitus ketika dirawat di MICU (medical intensive care unit), yang membolehkan pulang 90 orang pasien yang dirawat pada bulan yang sama, maka insidensi di MICU adalah 8/90 atau sekitar 9%.

Interpretasi terhadap hasil surveilens harus dilakukan secara sangat hati-hati untuk menghindari terjadinya misleading. Sebagai contoh adalah studi yang dilakukan oleh Classen et al yang menemukan adanya penurunan insidensi SSI (surgical site of infection) secara bermakna apabila antibiotika profilaksi diberikan dalam periode 2 jam sebelum operasi. Dalam penelitian tersebut juga dilaporkan bahwa pemberian antibiotika profilaksi antara 2-24 jam sebelum operasi akan menaikkan risiko terjadinya SSI.

5. Mengkomunikasikan hasil surveilens

Hasil suatu surveilens harus dipresentasikan dengan metode yang baik dan benar. Audiens dari forum report ini harus memenuhi berbagai unsur, seperti pemegang kebijakan, komite medik, kepala instalasi, kepala SMF dan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam terjadinya infeksi nosokomial.

Identitas pasien dan petugas yang diduga andil dalam terjadinya infeksi nosokomial harus dirahasiakan. Presentasi hendaknya dilakukan seringkas mungkin, dan lebih baik menggunakan grafik dan diagram yang relatif mudah dan cepat dipahami oleh audiens. Sebaiknya presentasi dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama, tetapi padat dan lugas. Hal ini mengingat bahwa audiens umumnya adalah para klinisi dan manajer yang sangat sibuk, sehingga tidak mungkin untuk duduk berlama-lama mendengarkan paparan hasil surveilens.

SURVEILENS UNTUK INFEKSI NOSOKOMIAL

Sumber-sumber data infeksi di rumahsakit sangat beragam. Petugas yang bertanggungjawab dalam pengendalian infeksi di rumahsakit (ICP=Infection Control Personnel) dapat mencari data dari beberapa tempat seperti medical record, bangsal, apotek, pendaftaran pasien, hingga Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 6

(7)

keuangan. Namun demikian tidak semua sumber data dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan. Kalaupun tersedia, umumnya tidak lengkap dan akurasinya perlu dipertanyakan. METODE SURVEILENS

Tim pelaksana surveilens sebelumnya harus menetapkan terlebih dahulu metode surveilens apa yang akan diterapkan. Setidak-tidaknya terdapat 5 metode surveilens dengan berbagai keunggulan dan kelemahan, yaitu (1) hospital wide; (2) periodic; (3) prevalence; (4) targeted; dan (5) outbreak treshold.

(1) Hospital wide traditional surveillance

Metode ini pertama kali dikembangkan oleh CDC pada tahun 1972. Melalui metode ini ICP melakukan survei secara prospektif dan berkesinambungan pada semua area di rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien yang menderita acquired infection selama dirawat di rumahsakit. Informasi diperoleh dari laporan harian mikrobiologi dan catatan medik pasien yang terbukti demam atau menunjukkan kultur positif dan pasien-pasien yang mendapat antibiotika atau diisolasi.

Informasi juga dikumpulkan langsung dari perawat jika diperlukan, termasuk juga mengunjungi pasien di bangsal. ICP dapat juga melakukan telaah terhadap laporan otopsi dan catatan kesehatan petugas. Setiap bulan tim pengendali infeksi melakukan penghitungan terhadap angka kejadian infeksi di rumahsakit secara keseluruhan berdasarkan unit perawatan, jenis layanan medik, atau prosedur operasi.

Metode ini dilakukan secara komprehensif dengan konsekuensi bahwa biaya yang dikeluarkan harus cukup besar. Terkadang jenis infeksi yang terdeteksi juga terlalu banyak yang kadang justru menyulitkan dalam pelacakannya.

(2) Periodic surveillance

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah melalui hospital wide surveillance yang dikerjakan pada interval waktu tertentu, misalnya sekali dalam 4 bulan.

(8)

Metode yang lain, ICP melakukan surveilens pada satu atau beberapa unit dalam kurun waktu tertentu yang selanjutnya juga dikerjakan untuk unit-unit yang lain. Dengan cara ini maka tim pengendali infeksi rumahsakit dapat mengetahui secara lebih rinci masalah-masalah infeksi nosokomial di masing-masing unit pelayanan.

(3) Prevalence survey

Dalam metode ini ICP menghitung jumlah infeksi aktif yang terjadi selama kurun waktu tertentu. Infeksi aktif sendiri didefinisikan sebagai semua infeksi yang terjadi selama periode survei, termasuk mereka yang baru saja didiagnosis maupun yang sedang diterapi saat survei sedang dimulai.

Jumlah total infeksi aktif yang terdeteksi kemudian dibagi dengan jumlah pasien yang ada selama survei. Karena baik kasus baru maupun lama terjaring dalam survei maka seolah-olah angka prevalensinya lebih tinggi dibandingkan insidensi

Prevalence survei sebetulnya dapat difokuskan pada populasi tertentu, misalnya pasien dengan kateter vena sentral atau pasien yang mendapat antibiotika. Prevalence survey juga bermanfaat untuk memantau jumlah pasien yang

(4) Targeted surveillance

Metode ini lebih memfokuskan surveilens pada populasi sepesifik seperti misalnya pasien dengan risiko tinggi untuk mendapat infeksi (misalnya karena transplantasi organ), atau pasien yang mengalami terapi tertentu (misalnya hemodialisis) atau pasien yang mengalami infeksi pada area spesifik (misalnya darah atau tempat operasi). Namun demikian dapat pula memfokuskan diri pada keadaan yang memerlukan peralatan medik khusus, misalnya ventilator-associated pneumonia (VAP).

Dengan memfokuskan pada area tertentu ini maka ICP dapat mengumpulkan selurun informasi yang berkaitan dengan keadaan spesifik tersebut. Melalui pendekatan ini penilaian terhadap insidensi dapat lebih akurat.

Dapat juga fokus surveilens ditujukan kepada mikroorganisme spesifik seperti misalnya Legionella sp. atau organisme dengan pola resistensi tertentu, misalnya MRSA (methicillin Resistance Staphylococcous aureus) atau VRE (Vancomycin resistance enterococci).

(9)

(5) Outbreak treshold

Melalui metode ini maka surveilens dilakukan untuk menilai baselina angka infeksi. Berdasarkan data baseline ini kemudian dikembangkan suatu outbreak treshold. Selanjutnya surveilens rutin dihentikan dan hanya melakukan evaluasi jika jumlah isolat atau spesies tertentu atau jumlah kultur positif melebihi outbreak treshold. Angka treshold ini bisa bervariasi, misalnya 80 persenti di atas baseline. Dengan mendasarkan pada treshold ini maka dapat diputuskan untuk melakukan upaya intervensi yang diperlukan jika hasil surveilens melampaui angka treshold.

Metode case finding

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan melalui metode case finding ini, tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa data yang dikumpulkan dalam surveilens hendaknya data infeksi yang terjadi di rumahsakit yang bersangkutan. Jika infeksi nosokomial diperoleh dari rumahsakit A yang sebelumnya merawat dan kemudian mentransfer pasien ke rumahsakit B, maka di rumahsakit B kasus ini tidak perlu dicatat sebagai insidensi, karena justru akan memberikan gambaran yang keliru mengenai angka infeksi di rumahsakit B.

(1) Total chart review

Dalam metode ini ICP melakukan telaah pada catatan-catatan yang dibuat oleh perawat maupun dokter, catatan terapi dan pemberian obat, serta hasil pemeriksaan radiologi dan laboratorium

(2) Laboratory reports

Melalui data hasil pemeriksaan laboratorium sebetulnya dapat diperoleh informasi berharga mengenai adanya infeksi nosokomial. Sebagai contoh, seorang pasien dapat dikatakan mendapat infeksi nosokomial apabila dalam pemeriksaan kultur darah yang diperoleh 10 hari setelah masuk di rumahsakit, ditemukan adanya S. aureus.

(3) Postdischarge surveillance

Salah satu kelemahan dari metode traditional hospital-based surveillance adalah lebih konsentrasi pada pasien yang dirawat di rumahsakit. Akibatnya angka kejadian infeksi nosokomial pada pasien-pasien yang dipulangkan lebih awal dari rumahsakit tidak pernah terdeteksi. Sebagai contoh adalah studi yang dilakukan oleh Holtz et al (1992). Studi ini Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 9

(10)

menemukan angka SSI yang lebih tinggi sekitar 13 hingga 70% jika pasien-pasien yang postdischarge juga diikutsertakan dalam surveilens

ANGKA KEJADIAN INFEKSI NOSOKOMIAL (NOSOCOMIAL INFECTION RATES) Angka infeksi nosokomial di rumahsakit (Overall Hospital Infection Rates)

Jumlah infeksi nosokomial dalam satu periode Angka infeksi nosokomial = ---

Jumlah pasien yang dirawat atau “discharge” pada periode yang sama

Angka infeksi nosokomial yang dikaitkan dengan lama rawat inap (Adjusting rates for length of stay = LOS)

Angka infeksi akan lebih akurat dalam menggambarkan risiko infeksi apabila dikaitkan dengan LOS, dan dinyatakan dengan jumlah infeksi nosokomial per pasien hari. Adapun penghitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah total infeksi nosokomial dalam satu bulan

--- jumlah total hari dari masing-masing pasien yang dirawat

Dengan menggunakan jumlah pasien-hari sebagai denominator maka dapat diperkirakan seberapa besar efek lamanya dirawat terhadap kejadian infeksi nosokomial.

Angka infeksi yang dikaitkan dengan eksposur terhadap alat medik (Adusting rates for exposure to devices)

Angka infeksi yang berkaitan dengan penggunaan alat (device-associated infection rate) dapat dihitung dari jumlah infeksi akibat penggunaan suatu alat di suatu unit dengan lamanya penggunaan alat.

Sebagai contoh, suatu survei dilakukan di MICU selama 7 hari. Selama periode waktu tersebut pasien yang menggunakan ventilator sebanyak 4, 3, 5, 5, 4, 6, dan 4 masing-masing pada hari Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 10

(11)

1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Dengan demikian jumlah ventilator-hari sebanyak 31. Jika ditemukan 3 kasus infeksi maka angka kejadian VAP = 3/31 atau 0,097 kasus per ventilator-hari atau 97 kasus per 1000 ventilator-hari.

Angka infeksi yang dikaitkan dengan keparahan penyakit (Adjusting rates for severity of illness)

Secara sederhana, pasien usia 28 tahun yang akan menjalani herniorafi dan tidak mempunyai penyakit sistemik lain akan memiliki risiko SSI yang lebih kecil dibanding pasien usia 65 tahun penderita DM dan penyakit jantung yang akan menjalani laparotomi. Untuk membedakan besarnya risiko infeksi berdasarkan keparahan penyakit umumnya digunakan skor atau indeks risiko, sebagaimana yang dianjurkan oleh NNIS (National Nosocomial Infection System). Sayangnya indeks tersebut tidak selalu bisa menggambarkan risiko yang sebenarnya. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan validasi terhadap skor yang ada sebelum digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit.

(12)

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 12 DAFTAR PUSTAKA

1. California Perinatal Quality Care Collaborative Quality Improvement (2002). Nosocomial infection prevention: neonatal perspectives, practices and priorities. Key aspect of care #3: Diagnostic criteria and measurement standards, 12:1-12.

2. Classen DC, Evans RS, Pestotnik SL, Horn SD, Menlove RL, Burke JP (1992) The timing of prophylactic administration of antibiotics and the risk of surgical wound infection. N Engl J Med, 326:281-286

3. Ehrenkranz NJ, Richter EI, Philips PM, Shultz JM (1995). An apparent excess of operative site infections: analyses to evaluate false positive diagnoses. Infect Control Hosp Epidemiol, 16:712-716

4. Robert Gaynes R, Richards C, Edwards J, Emori TG, Horan T, Alonso-Echanove J, Fridkin S, Lawton R, Peavy G, Tolson J, and the National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) System (2001) Hospitals Feeding Back Surveillance Data To Prevent Hospital-Acquired Infections Emerging Infect Diseases, 7(2):295-298

5. Chassin MR. Is health care ready for Six Sigma quality? Milbank Q. 1998;76:565-591,510. 6. Kohn L, Corrigan J, Donaldson M, editors. To Err Is Human: Building a Safer Health

System. Washington, DC: Committee on Quality of Health Care in America, Institute of Medicine. National Academy Press; 2000.

7. Barach P, Small SD. Reporting and preventing medical mishaps: lessons from non-medical near miss reporting systems. BMJ. 2000;320:759-763.

8. Helmreich RL. On error management: lessons from aviation. BMJ. 2000;320:781-785. 9. Brennan TA. The Institute of Medicine report on medical errors–could it do harm? N Engl

J Med. 2000;342:1123-1125.

10. McDonald CJ, Weiner M, Hui SL. Deaths due to medical errors are exaggerated in Institute of Medicine report. JAMA. 2000;284:93-95.

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian fraksi volume bahan penyusun komposit dilakukan untuk membandingkan fraksi volume serat yang ingin dicapai (terhitung) beserta volume serat sebenarnya

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural

Drive Test Engineer adalah suatu pekerjaan yang di peruntukan untuk mengetahui kualitas suatu sinyal atau pembuktian. kebenaran suatu pekerjaan

Rekapitulasi Kepuasan Berkunjung Wisatawan Terhadap Komponen Paket Wisata .... Pengaruh Komponwn Paket Wisata Terhadap Kepuasan

Tingkat pencemaran tanah ditentukan oleh peruntukan tanah, jenis tanah, jumlah bahan kimia dalam tanah (alamiah), jumlah partikel tanah, jenis tanah, jumlah bahan kimia

Dari pemilihan proses disebutkan bahwa proses yang digunakan adalah proses Oxo, pembuatan butanol menggunakan bahan baku propilen dan gas sintesa. Proses Oxo dapat diuraiakan

Pelayanan administrasi Pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kantor Polres Kota Bontang adalah salah satu kegiatan kepolisian di bidang pelayanan kepada

Urutan faksi minyak yang dihasilkan dari penyulingan minyak mentah dari yang ringan ke yang berat adalah … A.A.