• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), termasuk golongan suku temu-temuan (Zingiberaceae) dari marga Curcuma. Temulawak atau koneng gede (Jawa Barat), temo labak (Madura), temulawas (Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak terdapat di Ambon, Bali dan Jawa (Sutarno dan Atmawidjojo, 2001). Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Bardabos, India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa. Klasifikasi ilmiah tanaman temulawak adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb

Tanaman temulawak berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80 cm. Perbungaan lateral, tangkai ramping

(2)

dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9–23 cm dan lebar 4–6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25 – 2 cm dan lebar 1cm.

Gambar 1. Bunga dan Rimpang Temulawak (Sumber: dokumentasi pribadi).

Temulawak memerlukan tempat terlindung atau naungan sebagai tempat tumbuh. Tanaman temulawak dapat tumbuh baik pada dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 750 m sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.500–4.000 mm/tahun. Temulawak dapat tumbuh di tanah-tanah berkapur, tanah ringan berpasir atau tanah liat yang keras. Tanaman ini menyukai lingkungan gelap dan lembab.

2. Manfaat Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Di Indonesia bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang temulawak untuk dibuat berbagai olahan obat tradisional. Menurut Supriadi (2001), komposisi rimpang temulawak adalah pati (29-30%), kurkuminoid (1-2%) dan minyak atsiri (6-10%). Hwang (2000) menyatakan rimpang temulawak mempunyai berbagai manfaat, antara lain untuk pewarna, bahan minuman dan makanan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan, pencegah kanker, anti mikroba, dan komponen pada berbagai

(3)

rimpangnya dapat digunakan sebagai bahan makanan berupa bubur dan pati temulawak juga mempunyai harapan untuk dikembangkan dalam bidang farmasi. Minyak atsiri rimpang temulawak digunakan dalam bidang medis sebagai aromaterapi, yaitu fitoterapi yang menggunakan minyak atsiri sebagai komponen aktifnya.

Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas temulawak tahun 2011 s.d 2015 di Indonesia.

Tahun Luas Panen (m2) Produksi (kg) Produktivitas (kg/m2)

2011 13,599,228 24,105,870 1.77

2012 18,606,958 44,085,151 2.37

2013 19,069,698 35,664,756 1.87

2014 13,186,912 25,137,498 1.91

2015 14,379,809 27,550,074 1.89

Sumber: Kementrian Pertanian (www.pertanian.go.id)

Semakin meningkatnya pemanfaatan temulawak mendorong perluasan lahan dan produksi tanaman temulawak di Indonesia. Dari tahun 2011 sampai dengan 2015 luas panen temulawak meningkat yang diikuti dengan peningkatan produksi temulawak namun penurunan sebesar 0.02 kg/m2 pada produktivitas temulawak (Tabel 1). Penggunaan teknik kultur jaringan diharapkan dapat menambah jumlah produksi temulawak meskipun luas lahan semakiin berkurang.

3. Teknik Kultur Jaringan

Tanaman temulawak saat ini masih diperbanyak secara konvensional yaitu dengan rimpang. Metode kultur jaringan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk perkembangbiakan tanaman. Teknik kultur jaringan ini merupakan teknologi yang sangat membantu dalam produksi bibit yang berkualitas dalam waktu singkat sehingga kebutuhan jumlah rimpang temulwak dapat terpenuhi melalui teknik kultur jaringan. Karena itu, teknik kultur jaringan tanaman berguna untuk konservasi tanaman, perbanyakan tanaman, memproduksi senyawa metabolit sekunder, dan juga digunakan sebagai perbaikan genetik pada tanaman (Sivanesan et al., 2012;. Abbas & Qaiser, 2012; Hui et al., 2012.; Bhatt et al., 2013). Kultur jaringan tanaman adalah metode atau

(4)

teknik mengisolasi jaringan, organ, sel, maupun protoplas tanaman, menjadikan eksplan dan menumbuhkan tanaman di dalam media pertumbuhan yang aseptik sehingga eksplan tersebut dapat tumbuh dan berkembang, berorganogenesis dan dapat menjadi tanaman sempurna. Teknik kultur jaringan beranjak dari teori totipotensi yang disampaikan oleh Sleiden dan Schwan pada tahun 1838, bahwa sel tanaman adalah suatu unit yang otonom yang di dalamnya mengandung material genetik lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan di dalam lingkungan tumbuh yang sesuai, sel tersebut dapat tumbuh dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Mattjik, 2005).

Melalui perbanyakan teknik kultur jaringan, akan diperoleh tanaman baru dalam waktu yang singkat, dalam jumlah yang banyak, seragam, bebas patogen dan memiliki sifat seperti induknya. Teknologi kultur jaringan juga diketahui merupakan rekayasa genetik yang dapat memberikan wawasan mengenai molekuler, regulasi gen dari tanaman, dan suatu metode inovatif dalam bidang ilmu tanaman (Mineo, 1990). Aplikasi teknik kultur jaringan dalam perbanyakan tanaman telah menjadi kegiatan rutin terutama pada komoditas hortikultura (Mattjik, 2005). Media merupakan salah satu faktor yang penting dalam kultur jaringan. Penggunaan media kultur jaringan dibedakan menjadi 2 yaitu media dasar dan media perlakuan. Media dasar yang sering digunakan untuk teknik kultur jaringan adalah media dasar Murashige dan Skoog (1962). Media Murashige dan Skoog yang sering digunakan mengandung unsur-unsur hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Media tumbuh pada sistem kultur jaringan harus dapat memenuhi kebutuhan eksplan. Umumnya, media dalam kultur jaringan merupakan campuran air dan hara yang mengandung garam-garam anorganik, dan zat pengatur tumbuh. Garam-garam anorganik menyediakan unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan Na) dan unsur-unsur hara mikro (B, Co, Mn, I, Fe, Zn, dan Cu). Media untuk kultur jaringan selain memerlukan unsur hara juga memerlukan bahan organik lain seperti gula, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh, dan bahan organik kompleks alami.

4. Zat Pengatur Tumbuh

Penggunaan zat pengatur tumbuh atau ZPT sudah banyak digunakan pada media tanam kultur jaringan sebagai upaya membantu pertumbuhan eksplan. Zat pengatur

(5)

tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam konsentrasi rendah, dan menimbulkan tanggap secara biokimia, fisiologis dan morfologis. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisi (Gunawan, 1992). Auksin yang umum digunakan dalam media kultur jaringan adalah IAA (indole acetic acid), IBA (3-indolebutyric acid), 2,4D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid), dan NAA (1-naphthylacetic acid). Auksin berperan dalam merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman, dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru (Wetherell, 1982).

Sitokinin terdiri dari beberapa kelompok, yaitu: zeatin, 2-iP, kinetin dan BAP. Zeatin dan 2-iP (N6-2-iso-pentenyladenine) adalah sitokinin alami dan kinetin secara sintetik adalah turunan sitokinin. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel, meningkatkan pembentukan pucuk aksilar dan menghambat pembentukan akar. Sitokinin juga berperan dalam morfogenesis tunas dalam kultur jaringan tanaman terutama inisiasi tunas atau pembentukan pucuk. Sitokinin alami yang diproduksi oleh tanaman adalah zeatin, sedangkan sitokinin sintetik yang biasa digunakan diantaranya adalah BAP. Penggunaan BAP diketahui sangat efektif merangsang perbanyakan tunas.

Pada penelitian yang telah dilakuakn oleh Rusnanda (2007) penggunaan konsentrasi BAP 4 ppm dapat meningkatkan jumlah tunas paling efektif pada tanaman jahe secara in vitro. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media yang digunakan sangat menentukan regenerasi tunas. Regenerasi dapat terjadi secara baik apabila konsentrasi sitokinin dan auksin yang tepat. Perlakuan 2.5 mg/l + 0.5 mg/l BAP dapat menginduksi tumbuhnya kalus dengan cepat pada tanaman papaya secara in vitro (Yuniarti, 2005).

Dalam penelitian Syahid dan Hadipoentyanti (2003) menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh BA maupun kombinasi dengan NAA pada media MS dapat digunakan untuk perbanyakan temulawak secara in vitro. Perlakuan BA 1.5 mg/l dengan menggunakan media MS dapat meningkatkan jumlah tunas dan daun temulawak, sedangkan penggunaan BA secara tunggal maupun kombinasi dengan NAA tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Hasil penelitian Nayak (2000) berhasil menginduksi umbi mikro tanaman Curcuma pada media MS dengan penambahan 5 mg/l BA, 60 g/l sukrosa. Pada tanaman Curcuma longa pembentukan umbi mikro

(6)

efektif pada media MS dengan penambahan 13.3 mM BA, 6% sukrosa (Nayak dan Naik, 2006). Hasil penelitian Riansyah (2007) dengan penambahan BAP 1 mg/l pada media MS mampu meningkatkan jumlah tunas dan jumlah daun pada tanaman kunyit. Penelitian menggunakan bahan tanam temulawak yang telah dilakukan oleh Kusumastuti et al. (2014) menyatakan bahwa penambahan 5 mg/l BA dan 30 gr/l sukrosa pada media Murashige & Skoog (MS) dapat menghasilkan tunas tertinggi.

5. Bahan Organik Kompleks

Media kultur jaringan biasanya ditambahkan senyawa organik kompleks untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman. Senyawa organik kompleks dapat diperoleh dari ekstrak tanaman. Dosis bahan organik yang ditambahkan dalam media kultur jaringan berkisar antara 150-200 g/l. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber bahan organik diantaranya air kelapa, dan ekstrak pisang (Hendaryono, 2000). Pada beberapa hasil penelitian secara in vitro diketahui bahwa penambahan air kelapa diperlukan untuk perkembangan embrio muda tanaman. Air kelapa yang dimaksud adalah endosperm cair (coconut milk) dari buah kelapa. Senyawa penting bagi kultur jaringan yang terdapat dalam air kelapa adalah zat pengatur tumbuh alami.

Kandungan zat pengatur tumbuh yang terdapat apada air kelapa dapat menginduksi kalus serta proses morfogenesis. Kandungan air kelapa diantaranya adalah asam amino bebas dalam jumlah cukup besar, termasuk phenilalanin yang dapat membantu dalam aktivitas pembelahan sel, asam organik, asam nukleotida, purin, gula, gula alkohol, vitamin, zat pengatur tumbuh dan mineral. Sukrosa merupakan kandungan gula tertinggi yang terdapat dalam air kelapa. Menurut Vigliar et al., (2006), konsentrasi garam mineral dan sukrosa air kelapa menurun seiring dengan bertambahnya umur dari 6-9 bulan. Di dalam air kelapa ditemukan 3 jenis gula, yakni glukosa dengan komposisi 34-45% sukrosa dari 53% sampai 18% dan fruktosa dari 12- 36%. Sukrosa mengalami penurunan konsentrasi seiring dengan pertambahan umur. Analisis kandungan dalam air kelapa telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh terhadap perbanyakan dan pertumbuhan tunas temulawak (Tabel 1.):

(7)

Tabel 2. Uji analisis laboratorium pada air kelapa.

Nama Sampel Jenis Analisis Hasil

Air Kelapa Ca 4.67 mg/100 g Na 41.06 mg/100 g Fe 0.68 mg/100 g K 59.20 mg/100 g P 22.39 mg/100 g pH 3.54 Gula Total 4.57% Vitamin C 4.87 mg/100 g

Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (2015).

Air kelapa dapat menstimulasi pertumbuhan pada beberapa kultur in vitro, tetapi kandungan auksinnya sangat rendah. Auksin diperlukan dalam pembiakan tanaman secara in vitro untuk menginduksi akar dan pemanjangan sel. Penggunaan air kelapa dalam kultur in vitro karena kandungan sitokinin alami yang tinggi baik untuk pembentukan daun sedangkan pembentukan yang rendah untuk pembentukan akar (Wattimena, 1982). Air kelapa biasanya ditambahkan ke dalam media dengan konsentrasi 3% sampai 5% atau konsentrasi air kelapa yang ditambahkan berkisar antara 100-200 ml/l. Hasil penelitian Seswita (2010) menunjukkan, tanpa komponen kimia, dengan penambah air kelapa pada berbagai konsentrasi pada media dasar MS, berhasil membentuk tunas, daun dan akar. Jumlah tunas terbanyak didapat pada kombinasi media dengan penambahan air kelapa 15% sebanyak 3,4 tunas, jumlah daun 2,2 daun serta jumlah akar terbanyak yaitu sebanyak 13,2 akar pada umur 2 minggu. Pada kombinasi media dengan memakai millipore, tunas terbanyak hanya 2,6 tunas, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol MS + BA 1,5 mg/l, yaitu sama-sama memiliki 2,6 tunas, 3,6 daun, dan 15,4 akar. Hasil penelitian Kristina dan Syahid (2012) menunjukkan bahwa air kelapa mengandung kinetin, zeatin, auksin, vitamin, mineral dan sumber karbon yang berguna untuk multiplikasi tunas in vitro. Kandungan kimia air kelapa muda lebih tinggi dibanding air kelapa tua. Medium tumbuh mengandung air kelapa 15% terbaik dalam merangsang pertumbuhan tunas in vitro (rata-rata 4,6 jumlah tunas per botol selama periode awal pertumbuhan (8 minggu)

(8)

sehingga dijadikan sebagai standar perbanyakan. Bibit temulawak hasil perbanyakan in vitro tumbuh baik (72%) saat aklimatisasi.

Bahan organik lainnya yang digunakan sebagai tambahan media tanam adalah ekstrak pisang yang telah banyak dicoba misalnya kultur in vitro anggrek. Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai media dalam kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur atau ekstrak pisang yang biasa digunakan berkisar 150-200 g/liter. Data PKBT (2007) menunjukkan bahwa vitamin yang terkandung dalam pisang adalah vitamin A, tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C). Hormon auksin yang terdapat dalam buah pisang mampu merangsang pertumbuhan eksplan. Pada penelitian ini digunakan pisang Cavendish dengan ciri-ciri daging buah dari pisang ini putih kekuningan, rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna hijau kekuningan sampai kuning dengan permukaan halus. Ekstrak buah pisang yang ditambahkan dalam media berfungsi sebagai sumber asam amino, peptida, vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Asam amino yang terkandung dalam ekstrak tanaman merupakan bentuk organik yang lebih mudah diserap daripada asam amino anorganik. Asam amino dapat membantu diferensiasi jaringan pada pertumbuhan tanaman khususnya jaringan yang sedang aktif tumbuh.

Analisis kandungan dalam pisang Cavendish telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh terhadap perbanyakan dan pertumbuhan tunas temulawak (Tabel 2.):

Tabel 3. Uji analisis laboratorium pada pisang cavendish.

Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (2015).

Nama Sampel Jenis Analisis Hasil

Pisang Cavendish Ca 26.75 mg/100 g Na 36.92 mg/100 g Fe 0.16 mg/100 g K 154.67 mg/100 g P 109.87 mg/100 g pH 5.63 Gula Total 9.93% Vitamin C 38.90 mg/100 g

(9)

Peranan ekstrak pisang telah diuji coba oleh Vyas et al. (2011) terhadap pembentukan planlet dari biji Dendrobium lituiflorum, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekstrak pisang dapat berpengaruh pada pertumbuhan daun dan akar. Penelitian Kasutjianingati dan Irawan (2013) menyatakan bahwa penambahan BAP 2 mg/l, air kelapa 150 ml/l dan ekstrak pisang ambon 50 gr/l sebagai media media kultur in vitro anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) mampu memberi pengaruh sama pada penambahan jumlah tunas, dengan rata-rata 2 tunas.

B. Kerangka Berpikir

Keterangan: Pertanian Konvensional

Penggunaan Teknik Kultur Jaringan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza)

Standar Mutu BPOM

(Lulus uji parameter dalam WHO's Guidelines For Madicinal Plant Materials: Botanical, Fisika-Kimia, Farmakologi, Toksikologi)

Kurang Tersedia Benih Berkualitas Bahan Baku Obat

Tradisional

1. Tanaman bebas penyakit, hama, dan virus 2. Waktu untuk perbanyakan cepat

3. Tidak tergantung musim 4. Benih berkualitas

(10)

C. Hipotesis

Pada penelitian terdahulu dengan menggunakan medium tumbuh mengandung air kelapa 15% dapat merangsang pertumbuhan tunas in vitro temulawak, selain itu dengan menggunakan BAP 2 mg/l, air kelapa 150 ml/l dan ekstrak pisang ambon 50 g/l sebagai media media kultur in vitro anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) mampu memberi pengaruh sama pada penambahan jumlah tunas, sehingga hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh air kelapa dan ekstrak pisang terhadap pertumbuhan tunas temulawak (Curcuma xanthorrhiza) secara in vitro.

2. Terdapat konsentrasi air kelapa dengan ekstrak pisang yang mendukung pertumbuhan tunas temulawak (Curcuma xanthorrhiza) secara in vitro.

Gambar

Gambar 1. Bunga dan Rimpang Temulawak (Sumber: dokumentasi pribadi).

Referensi

Dokumen terkait

Bapak Juhriyansyah Dalle, S.Pd., S.Si., M.Kom., Ph.D., Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, penulisan skripsi yang sesuai

Menggunakan Komputer terhadap Aliran Udara yang Datang dari Arah Timur pada Ruang Keluarga Unit Hunian Modifikasi melalui Lubang Penghawaan di Atas dan di Pintu (kiri) serta

Berdasarkan hasil validasi ahli materi dapat disimpulkan bahwa dari segi isi materi produk bahan ajar cukup valid/layak digunakan dalam proses pembelajaran dengan

Perubahan massa pada setiap variasi campuran briket pada proses pembakaran hingga menjadi abu dapat dijelaskan bahawa setelah briket kulit kayu gelam dan cangkang

Pengukuran konstanta dielektrik pada semen dilakukan dengan menggunakan metode kapasitif pelat sejajar dan pengukuran resistivitas dilakukan dengan menggunakan metode

Pada topik kali ini, program dinamis yang akan digunakan adalah 2 dimensional DP yaitu dengan menggunakan struktur data array dua dimensi (matriks)..

Kebisingan adalah bunyi yang tidak di inginkan karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan

Dalam masyarakat pendidikan karakter ini sangat diperlukan, hendaknya akan selalu menjadi pegangan dalam pengembangan karakter siswa, baik ketika di rumah, sekolah, atau