• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di alam semesta ini atau segala sesuatu yang ditemukan pengarang yang dianggap menarik dan layak untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Oleh karena adanya pengalaman hidup yang dialami pengarang atau hal-hal hidup yang menarik yang pernah dijumpai pengarang dalam bersosialisasi dengan individu lainnya, maka karya sastra menjadi satu kesatuan yang utuh jika dipasangkan dengan masyarakat serta kebudayaan yang terlahir di dalamnya.

Karya sastra sebagai cerminan dari perilaku kehidupan manusia, tentunya tidak akan pernah lepas dari rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan di dalam hidup manusia. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan kebudayaan itu sendiri, yakni memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, dan manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005: 14). Sastra dan

(2)

kebudayaan adalah multidisiplin yang secara terus-menerus menelusuri model antarhubungan keduanya, sehingga makna karya sastra secara terus-menerus dapat ditafsirkan.

Karya sastra adalah pengungkapan sebuah sistem kultural yang tersimpan pada suatu bangsa. Hal ini didasarkan atas pentingnya peranan karya sastra itu sendiri dan bahasa yang ada di dalamnya. Pengungkapan sistem kultural di dalam karya sastra meliputi aspek-aspek kebudayaan yang sama sekali tidak bisa dipahami jika terpisah dari gejala yang lain. Karya sastra yang menyajikan permasalahan kebudayaan di dalamnya mempunyai sebuah bagian integral yang menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, dan sekaligus masuk akal. Permasalahan budaya di dalam karya sastra senantiasa memaparkan persoalan antara karya sastra dan manusia sebagai penghasil kebudayaan, dalam hubungan ini manusia yang dimaksudkan adalah tokoh-tokoh dalam karya sastra.

1

Apabila dilihat dari relevansi sastra terhadap eksistensi kebudayaan dan sumbangan yang dapat diberikan sastra terhadap pemahaman aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan kontemporer, maka model hubungan ini mengacu pada cultural studies. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan kebudayaan, yang pada umumnya berbeda, kebudayaan memiliki hakikat objektif empiris sedangkan karya sastra memiliki hakikat subjektif imajinatif.

Menurut Hutcheon (Ratna, 2005: 13) postmodernisme dan cultural studies, meskipun secara umum didefinisikan sebagai kajian yang mempelajari seluruh aktivitas kemanusiaan, tetapi apabila dilihat sejarah kelahirannya, yaitu di Inggris,

(3)

diawali dengan perdebatan mengenai sastra, khususnya perbedaan sastra tinggi dengan sastra kelas pekerja. Milner (Ratna, 2005: 13-14) juga menambahkan, pada dasarnya cultural studies merupakan pergeseran sosiologis, sebagai pergeseran paradigma dari penelitian sastra yang memberikan perhatian pada kualitas estetis, karya sastra yang tidak terkait dengan ruang dan waktu ke penelitian sastra sebagai konstruksi sosial. Pendekatan cultural studies merupakan teori dan kritik dalam kesusastraan Inggris kontemporer yang menekankan peran penting intelektual dan bersifat emansipatoris (Klarer, 1999).

Williams (Siswadi, 2010) mengungkapkan tiga kategori dalam mendefinisikan kebudayaan. Pertama, kebudayaan merupakan proses atau ketetapan manusia yang sempurna pada bagian kebenaran tertentu atau nilai-nilai universal. Proses ini merupakan penemuan dan gambaran di dalam kehidupan dan pekerjaan dari semua nilai. Kedua, kebudayaan diartikan sebagai manusia yang bekerja dengan intelektualitas, daya khayal, ide, dan pengalaman yang bermacam-macam dalam ingatan mereka. Kegiatan kritik berlangsung secara alami, gagasan dan pengalaman digambarkan serta dinilai. Ketiga, kebudayaan merupakan gambaran perjalanan fakta kehidupan yang diungkapkan dengan makna pasti dan nilai, tidak hanya dalam seni dan belajar tetapi juga dalam institusi dan tingkah laku yang luar biasa. Selanjutnya juga dipaparkan mengenai pembedaan kebudayaan mencakup kebudayaan tinggi (high culture) dan kebudayaan populer (popular culture) sebagai ranah cultural studies karena masing-masing kebudayaan tersebut memiliki ciri-ciri yang membedakannya. Kebudayaan tinggi berasal atau diciptakan oleh para petinggi atau

(4)

pejabat (dahulu kerajaan atau keraton), sedangkan kebudayaan populer berasal dari rakyat biasa. Kebudayaan tinggi tentu saja hanya dapat dinikmati oleh para petinggi di keraton saja (sekarang, masyarakat lapisan atas), sedangkan kebudayaan populer dapat dinikmati secara massal oleh masyarakat.

Kebudayaan tinggi senantiasa dipenuhi oleh orang-orang khusus dan pilihan, juga biaya yang diperlukan tidak sedikit, kebudayaan ini cenderung mewah dan bersifat sakral serta penciptaannya tidak bertujuan komersial. Sebaliknya kebudayaan populer senantiasa bersifat sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar, kebudayaan ini dilakukan dan dinikmati oleh rakyat biasa, dan penciptaan kebudayaan ini bertujuan komersial.

Siswadi (2010) memaparkan bahwa kebudayaan populer dihasilkan dari masyarakat modern (kapitalisme dan demokrasi). Kebudayaan ini tidak sekadar dianggap sebagai seni, tetapi juga sebagai barang komoditi yang mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini disebabkan karena sifat universal yang dimiliki oleh kebudayaan populer. Sejalan dengan hal tersebut maka muncul anggapan bahwa konstruksi sastra merupakan bagian dari industri budaya dan telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra, karena penciptaan sastra berbasis pada logika industri. Karya sastra atau produk-produk kebudayaan lainnya, tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi logika industri itu sedikit banyak ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami, dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi,

(5)

telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.

Selanjutnya Siswadi (2010) juga mengemukakan bahwa kebudayaan populer menghasilkan karya sastra yang bergenre sastra populer. Sastra populer lahir dari semangat kebudayaan populer, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Sastra populer merupakan sebuah situs ideologi, sebab semua elemen dalam teks sastra (meliputi elemen material, elemen kesadaran, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan) merupakan representasi ideologi yang melekat pada setiap elemen tersebut. Sastra populer sebagai salah satu wujud dari fiksi populer, telah berhasil mentransmisikan ideologi dominan dari industri-industri budaya kepada massa yang dikorbankan dan termanipulasi. Menurut Storey (Siswadi, 2010), ideologi itu sendiri adalah sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia, yang mempunyai pengikut. Ideologi bersifat kolektif dan berada di wilayah superstruktur atau kesadaran dan menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang, lembaga-lembaga pemerintah, institusi pendidikan, organisasi-organisasi, perusahaan komersial, dan lain-lain. Sastra populer memiliki ciri yang khas yang membedakannya dengan apa yang dianggap sastra tinggi, seperti mengharamkan makna ganda, menghindari kerumitan dengan cara penyelesaian masalah dengan mudah, penokohan stereotip dengan sistem bintang, dan sebagainya.

Salah satu karya sastra populer yang saat ini sedang banyak diperbincangkan dan dinikmati masyarakat adalah novel Entrok karya Okky Madasari. Novel Entrok terbit pada April 2010 di Jakarta. Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan

(6)

karya pertamanya dalam dunia kreativitasnya. Novel ini berlatar waktu dan tempat, pada tahun 1950-1999 di sekitar daerah Madiun. Novel ini diterbitkan untuk memperingati hari Kartini 21 April 2010 lalu, bersama beberapa novel lainnya. Novel ini menceritakan perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini, seperti tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama. Novel ini juga memaparkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang kerap terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Soeharto diceritakan dalam novel ini berkisar antara tahun 1950 sampai 1999. Peristiwa yang mendominasi alur penceritaan dalam novel ini adalah kekuasaan kaum militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat lemah dan mengakibatkan doktrinasi ideologi terhadap masyarakat di dalam novel tersebut.

Di samping itu juga ditemukan kekuasaan partai politik dominan yang memengaruhi kehidupan sosial dalam novel Entrok. Sejalan dengan realitas sosial yang terdapat dalam novel, maka dapat dirujuk pada fakta sosial yang pernah terjadi sekitar tahun 1966 sampai 1998. Masa ini adalah masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Pada masa Soeharto ditemukan banyak ketimpangan sosial, seperti realitas sosial yang kerap dijumpai dalam novel Entrok.

Ketimpangan sosial pada era Orde Baru dapat dilihat melalui beberapa fakta sosial. Pertama, peristiwa Malari yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui

(7)

tindakan kerasnya yang pertama terhadap mahasiswa dan politisi sipil yang sebelumnya telah menjadi penyokong utama rezim Orde Baru. Tindakan penangkapan dan pengadilan yang dilakukan dalam kaitan dengan Malari dilakukan pula dalam kerangka “penyingkiran lawan politik” (Fatah, 2010: 199). Kedua, peran militer yang semakin meningkat, padahal tidak pernah terjadi sebelumnya dalam politik dan administrasi negara, dan seusai pembubaran parlemen untuk pertama kalinya militer duduk dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung sebanyak 35 orang dalam parlemen yang anggotanya 283 orang, jadi 12% untuk pertama kalinya sejak proklamasi kemerdekaan di dalam bidang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan militer. Sebuah proses yang dapat dikatakan state-corporatism sudah mulai berjalan sejak itu, ketika suatu sistem perwakilan dibuat di mana militer mewakili dirinya di dalam suatu parlemen. Di bidang administrasi negara jumlah militer aktif mulai mengambil tempat di dalam badan eksekutif di dalam pemerintahan daerah seiring dengan menguatnya pusat dan perlahan-lahan melenyapnya otonomi daerah (Dhakidae, 2003: 243). Ketiga, peristiwa penembakan massal rakyat Timor Timur di Santa Cruz yang dilakukan oleh militer (Dhakidae, 2003: 279). Keempat, adanya politik etnisitas seperti superioritas kebudayaan Jawa yang dimasukkan ke dalam politik Orde Baru, serta pelarangan terhadap bahasa Cina dan serpihan-serpihan kebudayaan Cina yang dipaksakan ke dalam politiknya melalui birokrasi sipil dan militer hanya dimungkinkan oleh kekerasan (Dhakidae, 2003: 288). Berdasarkan fakta sosial di atas, penulis didorong untuk menelusuri jejak fakta sosial yang digambarkan Okky Madasari dalam novel Entrok. Oleh sebab itu

(8)

ideologi-ideologi yang terdapat di dalam novel ini menjadikannya sebuah situs yang menarik bagi penulis untuk mengkajinya.

Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan perwujudan dari sastra populer. Novel ini juga mengandung produk ideologi tokoh-tokoh dan industri di dalamnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menitikberatkan pada ideologi yang muncul dari para tokoh dan industri, politik, dan kekuasaan dalam novel Entrok. Ketiga aspek ini merupakan isu yang fundamental dalam ranah cultural studies. Cultural studies juga menyentralkan budaya pop dalam kajiannya. Budaya pop secara gamblang dideskripsikan dalam novel Entrok karya Okky Madasari.

1.2 Batasan Masalah

Karya sastra mengandung berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia. Dengan kalimat lain, karya sastra merupakan kompleksitas dalam kehidupan manusia. Di dalamnya tertuang berbagai bentuk kehidupan manusia. Untuk membahas permasalahan yang bersifat kompleks dalam sebuah karya sastra, diperlukan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai.

Berdasarkan judul penelitian ini, masalah dibatasi dengan hanya memformasikan (membuat suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatif) ideologi-ideologi yang lahir dari para tokoh dan institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang terdapat dalam novel, dan mengkaji pengaruh ideologi, politik, dan kekuasaan terhadap para tokoh.

(9)

Pada akhirnya, semua ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terhadap novel Entrok.

1.3 Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana formasi ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam novel Entrok karya Okky Madasari?

2. Bagaimana pendeskripsian politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok?

3. Bagaimana pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi terhadap tokoh-tokoh dalam novel Entrok?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tesis adalah sebagai berikut:

1. Memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam novel Entrok.

2. Mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok.

3. Menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi terhadap para tokoh dalam novel Entrok.

(10)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian mengenai Kesusastraan Indonesia, dan selanjutnya dapat membantu penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Cultural Studies, Budaya Populer, dan novel-novel karya Okky Madasari.

2. Diharapkan mampu berkontribusi dalam pengembangan keilmuan, khususnya mengenai kajian Postrukturalisme.

3. Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas sosial masyarakat sebagai media perlawanan.

(11)

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial, ideologi, politik, dan kekuasaan yang digambarkan dalam sebuah novel dapat bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.

2. Memberikan kontribusi terhadap masyarakat dan pemerintah mengenai sejarah bangsa Indonesia pada masa Orde Baru.

Referensi

Dokumen terkait

(ρ) = 0,005 < 0,05, dan r = -0,501, sehingga ditetapkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara gaya kepemimpinan otoriter dengan motivasi berprestasi atlet

Evaluasi dalam model DDD-E dilakukan pada setiap tahap pengembangan. Tidak hanya pada produk akhir, evaluasi dilakukan mulai tahap decide, design dan develop. Pada tahap decide

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di www.bsn.go.id dan tidak untuk di komersialkan”.. Standar

Tentunya, hasil pengujian betentangan dengan teori legitimasi dimana semakin besar ukuran industri maka semakin besar tingkat pengungkapan aktivitas sosial yang dilakukan

Untuk Calon Peserta Sertifikasi Dosen yang akan mengikuti sosialisasi tidak bisa diwakilkan, karena harus mengisi daftar hadir yang sudah disediakan.. Atas perhatian

peserta harus sesuai dengan persyaratan dan standarnya, jadi tidak sembarangan dan benar- benar orang yang terpilih. Adapun cadangan peserta itu juga sudah diuji, soalnya

Mengetahui cara pembuatan ekosemen dari abu sampah organik dan cangkang kerang serta sifat fisika dan kimia dari ekosemen yang telah dibuat..