• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Stakeholder dalam Kebijakan Pa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Integrasi Stakeholder dalam Kebijakan Pa"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Integrasi Stakeholder di Era Otonomi dalam Pengembangan Ekowisata

di Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi

Tugas Akhir Mata Kuliah

Teori Administrasi Publik & Governance

Dosen Pengampu: Dr. Agus Pramusinto, MDA Dr. Ambar Widaningrum, MA

Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si

Oleh;

Pandhu Yuanjaya

12/342228/PSP/04551

S2 Manajemen Dan Kebijakan Publik

Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik

Universitas Gajah Mada

(2)

A. Pendahuluan

Salah satu fenomena yang sarat dalam pengelolaan potensi alam adalah kurangnya integrasi stakeholder yang terlibat. Urgensi perbaikan integrasi stakeholder karena praktik yang selama ini terjadi di bebagai kementrian dan lembaga terkait mempunyai program-program tersendiri, sehingga mengakibatkan tumpang tindih, disharmoni, dan mencuatnya ego sektoral. Terjadinya disharmoni dan ego sektoral inilah yang kemudian disinyalir sebagai wujud nyata stakeholder gagal dalam mengelola potensi alam yang ada dan salah satu penyebab mengapa pemerintah daerah menjadi tidak optimal dalam melaksanakan otonomi daerah. Sebenarnya bukan tanpa alasan bila potensi alam (tambang, hutan, laut, keindahan dan sebagainya) sangat menarik untuk

dikelola dan menjadi “lahan basah” kementerian/ lembaga terkait untuk saling berebut untuk memiliki otoritas yang lebih dari yang lain.

Potensi alam tersebut khususnya keindahan alam Indonesia menjadikan bisnis pariwisata khususnya ekowisata sebagai primadona baru dalam sektor unggulan dengan multiple effect yang sangat tinggi. Pariwisata telah diakui oleh seluruh negara di dunia termasuk Indonesia sebagai sumber potensial bagi pemasukan devisa. Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, periode 2005 hingga 2008, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara meningkat dari 5,0 juta menjadi 6,4 juta, atau meningkat sebesar 28,0 persen diikuti dengan peningkatan devisa sebesar 63,05 persen. Jumlah wisatawan nusantara meningkat dari 198,4 juta menjadi 225,0 juta atau meningkat dari Rp. 74,72 triliun menjadi Rp. 123,7 triliun atau meningkat 64,84 persen. Dalam kenyataannya, kegiatan wisata ini juga berpengaruh pada perputaran uang dalam negeri, merangsang timbulnya berbagai usaha seperti industri cinderamata, hotel, travel, restoran dan objek wisata dapat meningkatkan lapangan kerja (Garrod, 2011). Yoeti (2001:57) mengatakan bahwa semakin menurunnya kapasitas dan melambungnya harga tambang sebagai sumber pendapatan utama seperti minyak bumi, batu bara dan hasil tambang lain, membuat orientasi dan pola pikir beralih pada sektor jasa yaitu jasa wisata. Pariwisata dipilih karena lebih mudah dan cepat mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.

(3)

“Secara khusus pariwisata memiliki peran signifikan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor pariwisata mengkontribusi devisa dari kunjungan wisatawan manca negara dan Produk Domestik Bruto (PDB) beserta komponen-komponennya. Dalam aspek sosial, pariwisata berperan dalam penyerapan tenaga kerja, apresiasi seni, tradisi dan budaya bangsa, dan peningkatan jati diri bangsa. Dalam aspek lingkungan, pariwisata juga mengambil peran khususnya konsep ekowisata dapat mengangkat produk dan jasa wisata seperti kekayaan dan keunikan alam dan laut, dan alat yang efektif bagi pelestarian lingkungan alam dan seni.”

Terlebih lagi ditengah dinamika ekonomi dunia, ditandai krisis ekonomi dunia, globalisasi ekonomi yang belum tuntas, kenaikan harga minyak dunia, serta tarik menarik kepentingan ekonomi dunia maju dan dunia ketiga, ekowisata berkembang menjadi suatu jenis jasa wisata yang memberi jaminan bagi terciptanya kesejahteraan

(Chaminuka, 2011). Dengan mengoptimalkan potensi keindahan dan kekayaan alam yang bernilai tinggi dalam pasar industri wisata alam, pengembangan ekowisata akan membawa peran besar dalam berbagai aspek seperti ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Menurut Damanik dan Weber (2006:42), definisi maupun prinsip-prinsip ekowisata memiliki implikasi langsung kepada wisatawan dan penyedia jasa. Wisatawan dituntut untuk tidak hanya mempunyai kesadaran lingkungan dan kepekaan sosial yang tinggi, tetapi juga mampu melakukannya pada kegiatan wisata. Sedangkan penyedia jasa juga dituntut mampu menyediakan produk-produk yang ramah lingkungan. Dalam pengembangan atraksi wisata, misalnya, lokasinya dekat dengan alam, model pengembangannya serasi dengan lingkungan, layanan ramah, dan harus memberdayakan masyarakat lokal secara sosial, ekonomi dan budaya.”

“Menurut Nugroho (2011:3), sebagai bentuk wisata yang sedang trend, ekowisata mempunyai kekhususan tersendiri yaitu mengedepankan konservasi lingkungan, pendidikan lingkungan, kesejahteraan penduduk lokal dan menghargai budaya lokal. Taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang melimpah menjadi salah satu pengembangan ekowisata. Taman nasional menawarkan wisata ekologis yang banyak diminati wisatawan, hal ini karena adanya pergeseran paradigma kepariwisataan internasional dari bentuk pariwisata masal ke wisata minat khusus yaitu ekowisata.”

(4)

Taman Nasional sebagai pusat dari kawasan konservasi merupakan pilot project yang tepat bagi pengembangan ekowisata. Namun, pengelolaan Taman Nasional yang berada dalam otoritas Kementerian Kehutanan melalui Balai Taman Nasional di daerah hingga saat ini masih belum dapat mewujudkan sistem ekowisata yang baik. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo (BTNAP) 2011 terhadap pengunjung utamanya wisatawan asing, mengatakan bahwa mereka cukup kesulitan untuk mendapat transportasi dan akomodasi yang baik untuk menuju kawasan TNAP. Pada observasi awal, penulis menemukan beberapa hal yang menjadi catatan yaitu secara internal Kementerian Kehutanan belum sepenuhnya menjalankan RPJMN 2009-2014 dengan tidak mengagendakan ekowisata sebagai prioritas dan pelatihan manajemen wisata pada pegawai BTNAP. Secara eksternal ada dua hal yaitu pertama kurang akomodatifnya BTNAP terhadap penduduk sekitar Taman Nasional sehingga terjadi penebangan liar dan pemburuan hewan yang dilindungi. Kedua, kawasan TNAP yang berada di territorial daerah otonom Kabupaten Banyuwangi seharusnya bekerjasama agar tercipta sistem pariwisata yang linkage, serta masalah status perpajakan pengusaha ekowisata bisa terselesaikan. Dengan pengetahuan mengenai pariwisata berbasis konservasi, kemitraan yang terbentuk akan meningkatkan kapasitas setiap stakeholder khususnya penduduk lokal (Hwang et al. 2012).

Pertumbuhan ekowisata dunia yang sangat pesat dan pengembangan ekowisata di Indonesia yang mengacu pada konservasi keanekaragaman hayati bukan dari Taman Nasional berstatus situs alam seperti gunung dan goa, turut serta mendorong stakeholder untuk mengembangkan ekowisata khususnya di Taman Nasional Alas Purwo sebagai sektor strategis. Hal ini menguntungkan karena keamanan berinvestasi dalam bisnis ekowisata dapat terjaga. Keuntungan besar diperoleh para stakeholder, dimana ekowisata dapat menjamin sustainability dan memperoleh nilai tambah (Duim, Ren & Jóhannesson, 2013). Seiring pembangunan otonomi daerah, sesuai Permendagri No. 33 Tahun 2009 tentang pengembangan ekowisata daerah, pelaku usaha ekowisata didorong untuk berkembang dalam rangka memberikan manfaat untuk masyarakat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di daerah secara berkelanjutan. Terobosan ini diharapkan menjadi rangsangan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan potensinya untuk ikut memanfaatkan ekowisata sebagai salah satu sumber penerimaan daerah. Namun bila melihat kondisi nyata dilapangan tidak sedemikian adanya, ego sektoral antara stakeholder sangat terlihat. Kementerian Kehutanan seakan enggan bekerjasama dengan pemerintah daerah dengan anggapan pemerintah daerah justru akan menambah eksploitasi alam dengan mengedepankan pariwisata massal. Hal ini tercermin dalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Banyuwangi 2011-2015 menekankan bahwa potensi keindahan alam yang sangat besar menjadi prioritas Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk menempatkan ekowisata sebagai potensi sumber pemasukan daerah.

(5)

pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal, sehingga ego sektoral tidak lagi dapat menjadi alasan untuk menolak kerjasama. Dalam paradigma otonomi daerah saat ini, daerah-daerah otonom (kabupaten/kota) dalam menyelenggarakan pemerintahannya diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Pemerintah Daerah dihadapkan dengan dua masalah sekaligus, yang pertama adalah kenyataan bahwa pembiayaan untuk menjalankan pemerintahan agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik sangat tinggi, sedangkan di sisi lain tidak semua daerah memiliki potensi yang sama dalam hal sumber daya alam dan manusia. Pada akhirnya pemerintah harus lebih untuk berperan aktif dalam mengembangkan potensi ekowisata dan mendorong stakeholder untuk lebih maksimal menggali potensi yang ada (Ying, 2012).

Paper ingin menguraikan integrasi dan aktualisasi peran yang bisa diwujudkan oleh seluruh stakeholder ekowisata di TNAP. Pengembangan ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo tidak saja membutuhkan integrasi dari Balai Taman Nasional Alas Purwo sebagai operator kawasan dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai otoritas birokrasi yang miliki kekuasaan untuk mengatur daerah otonom, lebih dari itu ada berbagai elemen stakeholder penting lain dalam pengembangan ekowisata ini. Pengembangan kawasan ini juga perlu dikelola secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh stakeholder yang terlibat lainnya yaitu penguhasa, Desa penyangga, masyarakat, otoritas keamanan, dan sebagainya dengan tujuan mendapatkan program ekowisata berkesinambungan di semua lembaga.

B. Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo

Konsep dan implementasi ekowisata tidak dapat dilepaskan dari pengembangan kawasan konservasi (protected area). Jasa ekowisata dianggap sebagai salah satu cara yang menelaah dan mengkaji manfaat sumber daya alam dan lingkungan dalam kaidah-kaidah konservasi. Fandeli dan Nurdin (2005::4) menyatakan bahwa, pariwisata selama ini telah terbukti menghasilkan beberapa keuntungan ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai masalah utamanya menyebabkan terjadinya dampak negatif terhadap sosial budaya dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian pariwisata massal ini tidak sesuai dengan sebutan green industry. Green industry sangat sesuai dengan pariwisata yang berbasis alam utamanya ekowisata.

(6)

taman nasional ini. Beberapa obyek daya tarik wisata alam Taman Nasional Alas Purwo tersebut, antara lain:

Tabel: Objek ekowisata yang telah dikembangkan di Taman Nasional Alas Purwo

Objek Ekowisata

Deskripsi Lokasi dan Kegiatan Akomodasi dan Fasilitas Penunjang

Sadengan Tempat pengamatan padang pengembalaan satwa seperti

Trianggulasi Pantai pasir putih dengan formasi hutan pantai untuk kegiatan wisata bahari dan berkemah

areal piknik, penginapan, MCK dan balai tempat berkumpul (shelter).

Ngagelan Beberapa jenis penyu mendarat untuk bertelur di pantai dan aktivitas penangkaran penyu

Fasilitas yang tersedia di Pusat Pengelolaan Penyu Semi Alami (PPSA)

Plengkung Pengunjung dapat berselancar atau hanya melihat peselancar profesional tingkat dunia yang sedang melakukan atraksi dan wisata penelusuran hutan

Hotel menyediakan sarana surfing, restoran maupun penginapan, Helipad, fasilitas umum seperti toilet umum dan tempat bersantai di pantai.

Bedul Pengunjung dapat melakukan kegiatan bersampan, berenang, ski air di laguna dan pengamatan Blok Pancur Pantai pasir putih dengan beberapa

sungai yang membentuk air terjun melihat peninggalan dua buah meriam sepanjang 6 meter, goa

Sumber: diolah dari tnalaspurwo.org, akses pada tanggal 17 Pebruari 2012

Setidaknya terdapat tiga hal yang berbeda dalam pengembangan ekowisata di Taman Nasional (Eagles et al. 2002), yaitu:

1. Manajemen Ekowisata

(7)

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Fokos manajemen ekowisata adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya yang tidak tergantikan (irrepla ceable) agar dapat dimanfaatkan pada tiap generasinya (Poudyal, Paudel & Tarrant, 2012). Manajemen ekowisata mengharapkan pengelolaan ekowisata dapat terhindar dari konflik kepentingan yang akan merusak lingkungan. Manajemen ekowisata mencakup sebagian menajemen wisata, yakni kegiatan-kegiatan mensinergikan sektor penunjuang ekowisata, selain menetapkan tujuan wisata, perencanaan pengembangan destinasi, menyiapkan akomodasi, mengoptimalkan pemasaran produk-produk wisata namun juga memperhatikan pengendalian rombongan, sikap dan partisipasi penduduk lokal, intepretasi dan motivasi pengunjung, kapasitas lokasi serta manajemen resiko.

2. Pembangunan Infrastruktur

Pembangunan Infrastruktur dan fisik penting bagi pengembangan wilayah ekowisata. Semua bengunan fisik harus secara hati-hati didesain dan dioperasionalkan. Selain itu, infrastruktur juga perlu mencerminkan nilai-nilai konservasi dan sesuai dengan kebijakan tingkat ekosistem. Infrastruktur tidak terbatas mendukung nilai-nilai konservasi, pemilihan langkah pembangunan, best practice dan lanskap, tetapi juga membantu tampilan arsitektur, pemahaman budaya dan akses ke seremoni tradisi, kehidupan kemasyarakatan atau pengalaman lokal (Jamal & Stronza, 2008). Oleh karena itu, perencanaan bangunan fisik dan infrastruktur perlu dilandasi pemahaman terhadap potensi wilayah setempat dan karakteristik pengunjung (existing user). Lebih lanjut, empat hal yang pokok yang harus diperhatikan dalam infrastruktur ekowisata, yaitu perencanaan infrastruktur, faktor budaya, faktor lingkungan, transportasi,

3. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia di segala lini memiliki peran sama penting dalam menyuguhkan layanan sebaik-baiknya kepada pengunjung. Siapapun yang berhadapan dengan pengunjung menjadi cermin wajah wilayah ekowisata secara keseluruhan (Schwartz, 2011). Khususnya lini depan, misalnya di visitor center, jagawana, pemandu atau penduduk lokal secara fisiologis menampilkan ukuran bagaimana manajemen beroperasi dan kaidah-kaidah konservasi ditunjukkan (Kang & Gretzel, 2011). Hubungan yang baik antara pekerja ekowisata dan pengunjung akan menghasilkan pengalaman dan manfaat (sustainability profit) yang signifikan.

C. Identifikasi Peran Stakeholder dalam Ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo

Peran masing-masing stakeholder ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo sebagai berikut:

1) Pemerintah

(8)

tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Permenhut No: p. 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, Peraturan Pemerintah RI No.18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional. Outpunya dapat berupa kebijakan penetapan wilayah Taman Nasional Alas Purwo, menjaga perekonomian dan keamanan daerah.

Pemerintah juga bertanggung jawab dalam pengelolaan Taman Nasional maupun cagar alam, kebijakan dapat berupa penetapan batas wialyah (zonasi), potensi, perlindungan dan penyelamatan, perencanaan pengelolaan, infrastruktur partisipasi sektor swasta, dan pemberdayaan penduduk lokal. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam hal ini pemberikan bantuan seperti pembangunan dermaga di Blok Bedul dan perbaikan akses jalan, standardisasi pelayanan hotel dan wiatawan, keamanan, dan pemungutan pajak. Selain itu juga memiliki strategi pariwisata dengan menjadikan Taman Nasional Alas Purwo sebagai prioritas dan unggulan pengembangan pariwisata.

2) Perencana dan Peneliti

Taman Nasional Alas Purwo hingga saat ini menjadi pusat studi ilmiah dikalangan akademik dan menjadi pusat rujukan berbagai masalah ekowisata di Indonesia. Ini terlihat dari banyaknya peneliti dari dalam dan luar negeri baik universitas maupun lembaga. Taman Nasional Alas Purwo merupakan satu-satunya Taman Nasional yang memiliki MoU dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada untuk mengembangkan TNAP sebagai kampus lapangan.

3) Pengelola Taman Nasional Atau Ekosistem

(9)

Gambar: Struktur Organisasi Balai TN Alas Purwo Sumber: Balai Taman Nasional Alas Purwo 2011

Tugas pokok masing-masing struktur organisasi Balai TNAP adalah sebagai berikut :

a) Sub Bagian Tata Usaha, mempunyai tugas mempunyai tugas melakukan urusan tata persuratan, ketatalaksanaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, kearsipan, rumah tangga, perencanaan, kerjasama, data, pemantauan dan evaluasi, pelaporan serta kehumasan.

b) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Tegaldlimo dan Wilayah II Muncar mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan anggaran, evaluasi dan pelaporan, bimbingan teknis, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan kawasan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan lestari, pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan, pemberantasan penebangan dan peredaran kayu, tumbuhan, dan satwa liar secara illegal serta pengelolaan sarana prasarana, promosi, bina wisata alam dan bina cinta alam, penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta kerjasama di bidang pengelolaan kawasan taman nasional.

(10)

yang bertinteraksi khususnya yang bersentuhan langsung dengan taman nasional seperti wisatawan.

d) Kelompok Jabatan Fungsional lingkup Balai TNAP terdiri dari jabatan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan, Polisi Kehutanan dan Penyuluh Kehutanan yang mempunyai tugas, fungsi, dan jenjang yang diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku.

4) Sektor swasta

Pengusaha wisata alam di TNAP terdapat tiga perusahaan yang masih beroperasi dan pemegang ijin Pengusaha Pariwisata Alam (IPPA) yaitu PT. Wanawisata Alam Hayati, PT. Plengkung Indah Wisata, PT. Wanasari Pramudita Ananta. Selain menaati persyaratan yang berlaku dan membuat laporan tahunan dan lima tahunan, perusahaan juga secara rutin dibina, di monitoring dan dievaluasi tiap tahunnya oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo. Perusahaan yang membeli hak pakai tanah sebesar maksimal 5 hektare dengan ketentuan hanya dapat memanfaatkan 10% sebagai lokasi usaha. Penginapan/hotel di Taman Nasional Alas Purwo juga hanya diperbolehkan membuat bangunan dengan semi permanen dan seluruh kebutuhan bangunan dididatangkan dari luar kawasan konservasi. Seluruh penginapan memanfaatkan internet sebagai tempat promosi dan menempatkan kantor pemasaran di Pantai Kuta Bali. Seluruh penginapan beroperasi maksimal pada bulan maret–oktober, sedangkan empat bulan lainnya digunakan memberi beasiswa kursus dan studi kepada karyawan dan melaksanakan renovasi.

5) Pengunjung dan wisatawan

Pengunjung merupakan indikator terpenting dalam keberhasilan pembangunan ekowisata. Prebensen dan Lee (2013) mengatakan bahwa ketertarikan pengunjung pada wisata ramah lingkungan, selain untuk memperoleh pengalaman, hiburan, keindahan alam, dan pendidikan lingkungan, nantinya akan membentuk kesadaran pentingnya konservasi lingkungan. Ketertarikan pengunjung pada Taman Nasional Alas Purwo terlihat pada perbandingan data kunjungan di Taman Nasional seluruh Indonesia yang memiliki potensi besar dalam ekowisata, sebagai berikut:

Tabel: Perbandingan Kunjungan Pengunjung Taman Nasional 2010

No. Taman Nasional Jumlah

Nusantara Mancanegara Total

1

Bantimurung-Bulusaraung 619,690 4,499 624,189

2 Gn. Ciremai 181,632 181,632

3 Alas Purwo 114,664 3,023 117,687

4 Bromo Tengger

Semeru 94,626 17,861 112,487

(11)

6 GN Halimun

Salak 62,146 98 62,244

7 Komodo 2,965 41,707 44,672

8 Gn. Kelimutu 16.775 7.327 24.102

9 Baluran 14,751 635 15,386

10 Gn. Rinjani 13.956

11 Karimun Jawa 8,847 794 9,641

Sumber: Direktorat Pemenfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung http://ekowisata.org/Statistik-Dit.PJLK2HL-2010.pdf

Berdasarkan tabel di atas, tingkat kunjungan di 11 Taman Nasional di Indonesia menggambarkan bahwa kawasan konservasi memiliki kemampuan yang besar dalam mengelola jasa ekowisata. Taman Nasional dengan karakteristik situs alam lebih diminati yaitu Bantimurung-Bulusaraung, Gn. Ciremai, Bromo Tengger Semeru, Gn. Merapi, Gn. Halimun Salak, Komodo, Gn. Kelimutu, Gn. Rinjani, Karimun Jawa. Sedangakan Taman Nasional Alas Purwo menjadi Taman Nasional biodiversity dengan tingkat kunjungan tertinggi. Hasil dari pengembangan ekowisata Taman Nasional Alas Purwo juga dapat dilihat dari jumlah wisatawan yang terus meningkat, disajikan sebagai berikut:

Tabel: Kunjungan Wisatawan di TN Alas Purwo

Tahun Kunjungan Wisatawan

Nusantara Mancanegara Jumlah

2007 10.855 6.099 16.954

2008 28.428 3.469 31.897

2009 49.817 3.318 53.135

2010 114.673 3.102 117.775

2011 114.517 3.229 117.746

Sumber: Balai Taman Nasional Alas Purwo 2011

Berdasarkan data di atas, minat wisatwan untuk mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo terus mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini juga dijelaskan oleh Bapak Nanang (KSPTN Wilayah 1 BTNAP) sebagai berikut:

(12)

Peningkatan jumlah pengunjung di Taman Nasional Alas Purwo juga disertai dengan tingginya minat pengunjung terhadap konservasi. Hal ini menunjukaan upaya konservasi di objek wisata tidak akan mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung ke Taman Nasional Alas Purwo. Taman Nasional Alas Purwo sejak tahun 2009 bekerjasama dengan Pemerintah Desa Sumber Asri untuk mengembangkan Blok Mangrove Bedul sebagai objek ekowisata. Hingga saat ini hasil dari pengembangan ekowisata bedul dapat terlihat dari jumlah pengunjung yang terus meningkat pada tiap tahunya. Jumlah wiatawan pada tahun 2010 tercatat 89.514 wisatawan dengan rincian 89.466 wisatawan nusantara dan 48 wisatawan mancanegara, sedangkan tahun 2011 total wisatawan sebanyak 54.747 dengan rincian wisatawan nusantara menurun dari 2010 menjadi 54.527 dan wisatawan mancanegara meningkat menjadi 220 wisatawan.

6) Penduduk Lokal

Antusiasme wisatawan untuk berkunjung ke Taman Nasional Alas Purwo juga didukung oleh aktivitas masyarakat lokal yang mendukung kegiatan wisata. Aktivitas masyarakat dalam mendukung kegiatan wisataantara lain menyediakan jasa parkir, jasa penyewaan perahu, pedagang asongan makanan kecil dan menyediakan warung-warung makan. Selain itu juga terus di lakukan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan Taman Nasioal Alas Purwo, dilaksanakan dalam bentuk antara lain: pemberdayaan masyarakat yang bersifat kontekstual terhadap pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo, seperti pembentukan dan pembinaan Kader Konservasi yang diikuti oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Alas Purwo, kegiatan pembinaan habitat feeding ground sadengan, mendidik masyarakat Desa Sumberasri sebagai interpreter mangrove dan bantuan peralatan dan permodalan bagi masyarakat nelayan di Desa Sumberasri.

7) Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga non pemerintah domestik maupun internasional menunjukkan kinerja positif dalam pengambangan ekowisata. Usaha LSM mampu menelaah potensi dan pengembangan ekowisata dan mempu mengorganisasikan orang-orang yang peduli untuk bekerja sama dalam fungsinya masing-masing untuk tujuan pembentukan opini, mengangkat isu aktual dan strategis, mengekpos kerusakan lingkungan serta pemberdayaan penduduk lokal (Winn dan Pogutz, 2013). Koordinasi dengan lembaga swadaya masyarakat sudah berjalan dengan baik dan merupakan mitra yang sejajar yaitu dengan kelompok pecinta alam, pengamat lingkungan, kelompok lestari alam dan karang taruna. Selain itu juga menjalin mitra pengembangan pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo dengan LSM luar negeri, Taman Nasional di luar negeri, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dunia usaha dan kelompok sukarelawan (volunteer).

8) Media Massa

(13)

banyuwangitourism.com, g-land.me, g-land.info, g-land.asia, dan sudah banyak website yang memuat tentang pariwisata Kabupaten Banyuwangi khusunya TNAP. Media massa juga rutin meliput Taman Nasional Alas Purwo sebagai acara televisi, kegiatan tersebut pada 2011 diantaranya PT. Trans program "jalan-jalan selebriti", "Jejak Petualang Survival", "Jejak Petualang", TVOne program "Mutu Manikam", dan Kompas Gramedia untuk program "Belantara".

Deskripsi fungsi, aliran, dan keterkaitan masing-masing stakeholder dalam ekowisata sebagai berikut:

(keterangan: 1. kebijakan; 2. penunjang dan manfaat ekonomi; 3. pajak atau sasaran kebijakan; 4. partisipasi dan kenyamanan; 5. saran kebijakan)

Gambar: Hubungan Diantara Stakeholder pada Sektor Ekowisata (Eagles et al 2002)

Dari Gambaran identifikasi diatas, pengembangan kawasan wisata (ekowisata) di Taman Nasional Alas Purwo lebih tepat dilaksanakan secara lintas sektor dan mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih tinggi. Hal ini merupakan konsep dasar pengembangan ekowisata.

D. Pola Hubungan Antar Stakeholder di Era Otonomi dalam Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi

Keterlibatan stakeholder hendaknya menghasilkan nuansa rasa memiliki terhadap wilayah ekowisata sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga paska operasi. Eagles (2008) memberikan panduan bagaimana fungsi stakeholder diorganisasikan untuk menghasilkan peran atau partisipasi yang optimal mengenai kebijakan ekowisata yang akan dilaksanakan, disajikan dalam tabel berikut ini:

(14)

Tabel: Tahapan Pengorganisasian Stakeholder dalam Pembuatan Kebijakan

No. Tahap Kegiatan-kegiatan

1 Keterlibatan awal Konsultasi informal untuk mengembangkan isu Memperkirakan partisipasi atau interest dari stakeholder

Mengidentifikasikan identifikasi kunci

2 Perencanaan Menyajikan proses-proses pengambilan keputusan Mengidentifikasi stakeholder dan masyarakat lain Menentukan kebutuhan informasi

Mengklarifikasi kebutuhan informasi 3 Pengembangan partisipasi

dalam program-program public

Memilih metode partisipasi public secara rinci Mengembangkan komunikasi internal

Berkomitmen terhadap konservasi sumber daya Menyusun jadwal dan tugas

4 Implementasi program Melaksanakan program

Memonitor partisipasi public dalam program Mengevaluasi hasil keterlibatan public

5 Partisipasi pasca program Mengembangkan aspirasi (pendapat atau catatan kritis) pasca program

Melaksanakan perubahan kegiatan bila perlu

Berdasarkan tabel diatas, terlihat perlunya dijalin kerjasama antar kementerian/ terkait yang nantinya diharapkan berkesinambungan antara program ekowisata di semua lembaga. Berbagai dimensi ekowisata harus dirumuskan tata kelola sistem manajemen yang dapat mengedepankan tujuan manajemen dan pemasaran, integrasi saluran distribusi, keberhasilan kebijakan, dan keberlanjutan tourism value chain pemerintah (Song et al. 2013). Lembaga-lembaga tersebut antara lain:

1. Balai Taman Nasional Alas Purwo

2. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi 3. LSM

4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) 5. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyuwangi 6. Pemerintah Desa

7. Akademisi

8. Kelompok Sadar Wisata

(15)

pengembangan ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tugas pokok dan fungsinya sebagaimana peraturan yang berlaku. Identifikasi aktor sentral yang memiliki interaksi langsung dengan pengembangan ekowisata ini paling penting karena partisipasi pihak pemerintah di negara berkembang dimana perencanaan dan promosi wisata cenderung dikendalikan langsung oleh pemerintah akan mendorong interaksi positif dangan yang lain (Bhuiyan, 2011).

Balai Taman Nasional Alas Purwo sebagai pengelola Taman Nasional Alas Purwo merupakan lembaga vertikal dibawah Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang berada dalam lingkungan Kementrian Kehutanan. Sedangkan stakeholder lain yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Bapeda Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Desa dan masyarakat penyangga Taman Nasional Alas Purwo merupakan lembaga dalam Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan dalam penyelenggaraannya berada dalam tatanan yang searah dan sejalan dengan visi, misi dan strategi Kabupaten Banyuwangi. Oleh karenannya, Balai Taman Nasional Alas Purwo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi dan BAPPEDA Kabupaten Banyuwangi harus terus meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan tujuan untuk menselaraskan tujuan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Banyuwangi, khususnya bidang kepariwisataan yang menyangkut pembangunan sarana transportasi, promosi, dan paket wisata.

Salah satu kebijakan pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo yaitu mewujudkan dan memperlancar pelaksanaan kegiatan pembangunan wilayah serta mewujudkan kepentingan berbagai instansi/lembaga dan masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Alas Purwo dalam bentuk koordinasi dan kerjasama. Koordinasi dan kerjasama yang selama ini dilakukan dengan baik dan harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan meliputi koordinasi lingkup Kementerian Kehutanan yaitu Balai Taman Nasional Alas Purwo dengan Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Jawa Timur, Perum Perhutani, Litbang, Puslitbang. Sedangkan dengan instansi terkait dilakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Muspida, Kejaksaan, Pengadilan, dan TNI. Koordinasi dan Kerjasama tersebut pada hakekatnya merupakan unsur keterpaduan, keserasian dan keselarasan barbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama. Dengan demikian, kegiatan diluar Taman Nasional Alas Purwo yang masih memiliki interaksi langsung maupun tidak langsung dengan Taman Nasional Alas Purwo akan dilaksanakan dengan melibatkan instansi terkait di tingkat Kabupaten, masyarakat dan Taman Nasional secara terpadu. Bentuk koordinasi ini dijelaskan oleh Bapak Agus (Koordinator Urusan Perencanaan dan Kerjasama BTNAP) sebagai berikut:

(16)

melaksanakan koordinasi, Pemda mengirim ma sterplan pa riwisata ke Balai Taman Nasional. Dengan adanya masterplan dan data yang kami jadikan refrensi dari Pemda tersebut, kami kemudian membuat strategi yang tentunya sela ras dan tidak berbenturan dengan masterplan yang sudah di buat Pemda. (Wa wanca ra tanggal 28 Juni 2013)

Sejalan dengan wawancara diatas, Bapak Darmanto (Seksi Pariwisata Disbudpar) menjelaskan mengenai koordinasi dan kerjasama yang dilakukan sebagai berikut:

Pemda Banyuwangi melalui Dinas Kebudayaa n dan Pa riwisata memiliki priorita s pengembangan pariwisata yaitu di Pantai Plengkung, ini bertujuan agar dengan strategi ini wisata wan dapat lebih lama di Banyuwangi. Untuk mewujudkannya, kami sering membuat pertemuan. Kalau tidak seperti itu, kami saling mengundang apabila mengadakan seminar dan workshop mengenai pariwisata, dan agenda ini sangat penting bagi langkah berikutnya yaitu menyusun strategi dan melaksanakan program bersama. (Wa wancara tanggal 28 Juni 2013)

Bedasarkan wawancara tersebut dapat menggambarkan bagaimana kerjasama antar lembaga yang terkait dengan pengembangan ekowisata merupakan program yang sangat penting sebelum melaksanakan program yang direncanakan. Untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama ini, dibentuk media yang disebut Rapat Koordinasi Pengembangan (RAKORBANG) yang harus diikuti oleh pengelola Taman Nasional Alas Purwo dan seluruh instansi pemerintah daerah, instansi sektoral dan lembaga lain yang terkait dimana dalam rapat tersebut merupakan perncanaan dari bawah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menserasikan rencana pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo dengan rencana pemerintah daerah, sektor maupun lembaga lain.

Kebijakan pengembangan pariwisata Kabupaten Banyuwangi yang tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata antara lain:

1) Taman Nasional Alas Purwo meliputi objek wisata Pantai Plengkung, Bedul, Ngagelan dan Pantai Triangulasi termasuk dalam wilayah pengembangan pariwisata (WPP) yang merupakan Top Priority Development.

2) Arahan untuk mendukung pengembangan objek wisata utama/prioritas utama tersebut memerlukan peningkatan sarana jalan darat dan jembatan.

3) Pengembangan pariwisata diarahkan untuk wisata berwawasan lingkungan (ecotourism), wisata petualang alam (adventure tourism)

4) Pengembangan pariwisata di Kabupaten Banyuwangi perlu mempertimbangakan aspek fungsi kawasan, kesesuaian lahan, kependudukan, kebutuhan ruang, dan kendala pengembangannya.

5) Untuk mendukung pengembangan pariwisata diperlukan institusi atau lembaga pengelolaan.

(17)

Pada tahun ini berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara tampak ada peningkatan koordinasi yang terjadi. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, saat ini seluruh stakeholder sudah cukup baik memerankan tanggungjawabnya, dimulai dengan kasus penunggakan pajak oleh pengusaha yang enggan membayar pajak ke daerah dan juga tidak memenuhi standar minimal pelayanan hotel yang telah diperdakan. Putusan dirjen keuangan mengenai tarik-menarik hasil pajak pengusaha yang dimenangkan Pemda kabupaten Banyuwangi serta pengusaha tetap membayar iuran ke Kementerian Kehutanan, seakan tahun 2012 adalah awal dari kerjasama yang terbentuk saat ini. Kerjasama antar Balai Taman Nasional Alas Purwo dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mendorong seluruh stakeholder yang terlibat terdorong untuk ikut serta dan membawa perubahan yang berarti dalam pengembangan ekowisata. Karena pada dasarnya model manajemen di mana para pemangku kepentingan, termasuk pengguna, merasa bahwa mereka memiliki peran dan manfaat positif (Eagles et al. 2009).

Integrasi yang telah dibentuk antara pemerintah pusat (Balai Taman Nasional Alas Purwo) dan lokal (Pemda Kabupaten Banyuwangi) akan turut serta mengintegrasikan berbagai pihak pemangku kepentingan. Inisiasi yang dilakukan pemerintah akan secara otomatis menggerakkan stakeholder lain untuk aktif dalam peningkatan pengembangan ekowisata. Newig dan Fritsch (2009) menyatakan bahwa aspek penting dari pemerintahan adalah partisipasi aktor-aktor non-negara seperti LSM, swasta dan masyarakat. Eagles et al. (2009) apabila keterlibatan pihak terkait diluar pemerintah semakin besar, maka makin meningkatkan kualitas pengembangan wisata di kawasan lindung, bahkan bila pemahaman konservasi sudah tertanam, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya konservasi yang besar karena akan tertutupi oleh jasa wisata. Selain multiple effect yang dihasilkan dari terintegrasinya stakeholder dalam pengembangan ekowisata, Bramwell dan Lane (2009) mengatakan bahwa akan ada pengawasan secara sistematis dari para stakeholder pendukung pariwisata berkelanjutan, seperti memperbanyak penekanan dan memperluas partisipasi dalam pengambilan keputusan.

(18)

manfaat dari adanya kawasan konservasi serta pelaksanaan ekowisata sehingga terjadi banyak protes dari dunia internasional.

E. Kesimpulan

Salah satu potensi alam yang mencerminkan biodiversity dan keindahan alam Indonesia yaitu keberadaan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) di Kabupaten Banyuwangi. Potensi TNAP yang dapat dimanfaatkan adalah pelaksanaan konsep ekowisata dimana tidak hanya keuntungan ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan juga diperoleh. Konsep ekowisata di TNAP menawarkan berbagai objek daya tarik wisata alam, pembelajaran konservasi dan pemahaman akan pentingnya kearifan lokal. Konsep pengembangan ekowisata di Taman Nasional seperti manajemen, infrastruktur dan sumber daya manusia, yang memiliki spesifikasi berbeda dengan pariwisata massal saat ini membuat pariwisata alam trend wisata dunia. Dengan berbagai keuntungan yang didapat dan multiple effect yang besar, pengembangan ekowisata menjadi tarik-menarik kepentingan kementerian/ lembaga terkait agar memiliki otoritas lebih dari yang lain. Padahal dengan adanya disharmonisasi, tumpang tindih kebijakan, dan ego sektoral tersebut akan berpengaruh pada pengembangan ekowisata yang dilakukan.

Paper ini mengidentifikasikan peran stakeholder ekowisata yang berperan dalam pengembangan ekowisata di TNAP yaitu , pemerintah, perencana dan peneliti, pengelola taman nasional atau ekosistem, sektor swasta, pengunjung dan wisatawan, penduduk lokal, lembaga swadaya masyarakat, media massa. Karena pada banyak negara berkembang kondisi stakeholder belum bisa berjalan secara optimal, penulis perlu membuat pola hubungan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat sebagai aktor utama pembuat kebijakan. Dari kerjasama yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo (BTNAP) dengan SKPD Pemerintah Kabupaten Banyuwangi secara intensif didapatkan hasil yaitu berkurangnya konflik yang terjadi, perumusan kebijakan dapat selaras dan berkesinambungan melalui RAKORBANG dan stakeholder lain mulai aktif dan optimal menjalankan perannya dalam peningkatan pengembangan ekowisata.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Banyuwangi “The Sunrise of Java”. 2011: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi.

Bhuiyan, A. H, et al. 2011. The Role of Government for Ecotourism Development: Focusing on East Coast Economic Region. Journal of Social Sciences 7 (4): 557-564, 2011. ISSN 1549-3652. 2011 Science Publications

Bramwell, B., & Lane, B. 2009. Sustainable tourism and the evolving roles in government planning. Journal of Sustainable Tourism, 18(1), 1–5.

Chaminuka, P. et al. 2011. Tourist preferences for ecotourism in rural communities adjacent to Kruger National Park: A choice experiment approach. Tourism Management 33 (2012) 168e1760261-5177/2011 Elsevier Ltd. All rights reserved. doi:10.1016/j.tourman.

Conservation International (CI). Akses dari www.conservation.org/global/indonesia/ pada tanggal 2 Juli 2013

Damanik,J dan Weber, F.H. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Andi

Duim, R, Ren, C and Jóhannesson, G. 2013. Ordering, materiality, and multiplicity: Enacting ActorNetwork Theory in tourism. Tourist Studies. 13(1) 3–20. DOI: 10.1177/1468797613476397. tou.sagepub.com

Eagles, P.F.J. 2008. Governance models for parks, recreation and tourism. In K.S. Hanna, D.A. Clark, & D.S. Slocombe (Eds.), Transforming parks: Protected area policy and management in a changing world (pp. 39–61). London: Routledge.

Eagles, P.F.J. 2009. Governance of recreation and tourism partnerships in parks a nd protected a reas. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 17, No. 2, March 2009, 231– 248. ISSN 1747-7646. DOI: 10.1080/09669580802495725

Eagles, et al. 2009. Good governance in protected areas: an evaluation of stakeholders‟ perceptions in British Columbia and Ontario Provincial Parks. Journal Of Sustainable Tourism, DOI:10.1080/09669582.2012.671331

Eagles, P.F.J, McCooll S. F and Haynes, C.D.. 2002. Protected Areas: Guideline For Planning Management Series No. 8: IUCN-Word Conservation Union.

Fandeli,C. Dan Nurdin,M. 2005. Pengembangan Ekowisata Berba sis Konserva si di Taman Nasional. Yogyakarta: UGM

Garrod, Brian. 2011. Local Participation in the Planning and Management of Ecotourism: A Revised Model Approach. Faculty of Economics and Social Science, University of the West of England. Brian.Garrod@uwe.ac.uk.

(20)

Jamal, T and Stronza, A. 2009. „Dwelling‟ with ecotourism in the Peruvian Amazon: Cultural relationships in localglobal spa ces. Tourist Studies. vol 8(3) 313-335. DOI: 10.1177/1468797608100593. www.sagepublications.com

Kang, M and Gretzel, U. 2011. Effects of podcast tours on tourist experiences in a national park. Tourism Management 33 (2012). 440e4550261-5177/by Elsevier Ltd. doi:10.1016/j.tourman.

Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir, Makala h. Diakses pada tanggal 13 mei 2012 dari www.penataanruang.net/taru/Makalah/Men_PRLautPesisir-ITS43.pdf

Mwakaje, A. G et al. 2013. Community-Based Conservation, Income Governance, and Poverty Alleviation in Tanzania: The Case of Serengeti Ecosystem. Journal of Environment & Development 22(1) 51–73.DOI: 10.1177/1070496512471949. jed.sagepub.com

Newig, J., & Fritsch, O. 2009. Environmental governance: Pa rticipatory, multi-level and effective. Environmental Policy and Governance, 19, 197–214.

Nugroho, Iwan. 2009. Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah. Diakses pada tanggal 13 Mei 2012 .dari. http://i wanuwg.files.wordpress.com/2009/08ekowisata-bangda-revisi.pdf

Nugroho, Iwan. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Di Daerah

Peraturan Menteri Kehutanan No.48 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Taman Nasioanal.

Poudyal N. C, Paudel, B & Tarrant, M. A. 2012. A time series analysis of the impact of recession on national park visitation in the United States. Tourism Management 35 (2013) 181e189. 0261-5177/Elsevier Ltd. All rights reserved. http://dx.doi.org/10.1016/j.tourman.

Prebensen N. K and Lee, S. Y. 2013. Why visit a n eco-friendly destination? Perspectives of four European nationalities. Journal of Vacation Marketing. 19(2) 105–116. DOI: 10.1177/1356766712457671. jvm.sagepub.com

RPJMD 2011-2015. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Da erah Kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi: BAPPEDA

RPJMN 2010-2014. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Peratura n Presiden No.5 Tahun 2010. Jakarta: Bappenas.

Schwartz, Z. et al. 2011. Visitation at capacity-constrained tourism destinations: Exploring revenue management at a national park.Tourism Management 33 (2012) 168e176. Elsevier Ltd. All rights reserved. doi:10.1016/j.tourman.

(21)

The International Ecotourism Society (TIES). 2002 www.ecotourism.org/about-ties

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

West, P., Igoe, J., and Brockington, D. 2006. Parks and peoples: The social impact of protected areas. Annual Review of Anthropology, 35, 251–277.

Winn, M and Pogutz, S. 2013. Business, Ecosystems, and Biodiversity: New Horizons for Management Research. 2013. Jurnal of Economic and Managemen.DOI: 10.1177/1086026613490173. oae.sagepub.com

World Economic Forum. 2009. The Travel & Tourism Competitiveness Report 2009. Geneva

www.tnala spur wo.org Diakses pada tanggal 27 Juni 2013

Ying, T and Xiao, H. 2012. Knowledge Linkage: A Social Network Analysis Of Tourism Dissertation Subjects. Journal of Hospitality & Tourism Research, Vol. 36, No. 4, November 2012, 450-477. DOI: 10.1177/1096348011400745. jht.sagepub.com

Referensi

Dokumen terkait

Tahap perencanaan, hal-hal yang dilakukan dlam perencanaan, yaitu: (1) mengkaji kurikulum untuk mengetahui standar kompetensi dan kompetensi dasar yang

2a Kaidah-kaidah yang terdapat dalam petani padi di Plumpungan adalah kaidah. kerukunan dan

Dalam hal ini, ada 3 (tiga) kelompok masyarakat yang memiliki motivasi cukup untuk menggunakan media berbasis web tersebut dalam menyampaikan pengaduan, yaitu : Pertama,

Dan responden dari penelitian ini memiliki persepsi bahwa bahwa bahasa asing merupakan salah satu hal yang mereka butuhkan untuk menciptakan komunikasi antarbudaya

Pengidentifikasian telur cacing parasit usus dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Ju- rusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Perencanaan Strategis Bisnis sebagai portofolio investasi Menilai kekuatan setiap bisnis Menentukan strategi.?. Perencanaan Strategis, Implementasi, dan Proses

pengujian statistif parsial ialah untuk memperlihatkan seberapa besar pengaruh secara parsial dari variabel bebas atau independen dari pelayanan kualitas, variabel bebas atau

[r]