• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gbpp Kom 666 Kebebasan Pers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gbpp Kom 666 Kebebasan Pers"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Aksi Perlawanan Media Massa Terhadap Rezim Otoriter di Indonesia

Studi Kasus: Majalah Tempo

FK Bella Septiarani

1121004008

Sistem Politik Indonesia

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pada masa Orde Baru kebebasan pers sepenuhnya berada dibawah kontrol pemerintah. Meskipun saat itu Indonesia menganut sistem demokrasi, yaitu demokrasi pancasila, namun dalam pengimplikasiannya sangat jauh dari konsep dasar kerakyatan. Pemerintahan yang represif mengekang semua media pemberitaan. Pers pada masa orde baru tak lagi dapat menjalankan tugasnya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Walaupun dalam undang-undang tentang Pers telah dicantumkan mengenai keterbukaan dan kebebasan, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu oleh rezim otoriter. Dapat dikatakan, pers pada masa Orde Baru bersifat semu, bias dan tak bernyawa, meskipun dalam payung hukum kebebasan bersuara, berekspresi, ratifikasi hukum internasional dan UU Pers mengizinkan adanya kebebasan pers. Kenyataannya banyak kantor media massa yang dibredel atau dilarang untuk terbit. Pemerintah memaksa pemilik media untuk menandatangani perjanjian yang berisi bahwa media tidak akan mengkritik bisnis keluarga para elit serta pemerintahan yang sedang berjalan. Selain sebagai instrumen pembangunan yang memelihara ketertiban, harmoni dan keamanan, pers kala itu juga dialih fungsikan sebagai alat untuk pencitraan pemerintahan Soeharto dalam rangka melanggengkan kekuasaannya.

Dilain sisi, pers tidak mau hanya diam dan terus mengikuti permainan politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor Kompas,

(3)

1.2 Pemetaan masalah

Berdasarkan topik yang diangkat, yaitu tentang “Demokrasi dan Media Massa” ada beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian ini, antaralain sebagai berikut.

a. Bagaimana kontrol pemerintah terhadap media massa pada orde baru?

b. Bagaimana perlawanan majalah Tempo terhadap kebebasan pers serta dampaknya pasca orde baru?

1.3 Kajian teori

Media massa adalah wadah yang menampung kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pers sebagai bagian dari media massa berhak memiliki kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat.1 Ada dua arah bentuk kebebasan pers menurut Ashadi Siregar. Pertama, yaitu kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi publik serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik, dan kedua, yaitu kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik.2

Media massa tentunya memiliki beberapa pengaruh terhadap public. Sebagaimana teori pengaruh media massa yang dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jan W van Deth, media massa di Indonesia pada masa orde baru mempengaruhi public dengan teori agenda setting. Dimana dalam teori ini media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang dipikrikan masyarkat. Dalam hal ini media dapat memiliki agenda sendiri dalam penyajian berita baik terhadap masyarakat ataupun pemerintah.3

Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik berkaitan dengan corak politik pada Negara itu. Sebagaimana Sibert Peterson, dan Schramm mengelompokan pers dalam beberapa system. Dan system yang diterapkan pada orde baru saat itu adalah system pers otoriter. Teori ini hampir secara otomatis dipakai disemua Negara. Teori ini membentuk dasar bagi system-sistem pers di berbagai kalangan masyarakat modern.4 Media dan system pers seperti ini berfungsi

1 Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca

Orde Baru. Kencana: Jakarta

2 Mallaranggeng, Rizal. (2010) Pers Orde Baru. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta 3 Marijan, Kacung. op.cit

(4)

menunjang Negara. Konsekuensinya, pemerintah menguasai secara langsung dan mengawasi kegiatan di media massa. Sehingga media secara penuh bergantung pada penguasa (pemerintah).5 Pada orde baru media massa justru berfungsi sebagai alat penyampaian pada masyarakat program-program pembangunan nasional.6

Dalam dunia pers pengendalian komunikasi politik yang tak pasti terdapat dalam konsep kebebasan pers yang bertanggung jawab. Seperti dalam UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang kemudian ditambah atau diubah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21 tahun 1982, kebebasan pers yang bertanggung jawab itu terdapat dalam, Bab II, yang berisi Pasal 2 sampai pasal 5, mengenai Tugas, Fungsi, Hak dan Kewajiban Pers.

Dalam pasal 2 ayat 2 yang mengandung kewajiban pers nasional, antara lain terdapat kewajiban mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Di samping itu pers nasional juga berkewajiban memperjuangkan amanat penderitaan rakyat berlandaskan Demokarasi Pancasila. Ia juga berkewajiban memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.

Pada Pasal 3 dalam UU No. 11 tahun 1966 berbunyi: Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif. Sedangkan dalam UU No. 21 tahun 1982 berubah menjadi: Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan kritik yang bersifat konstruktif. Hilangnya kata korektif dengan sendirinya mempersempit ruang gerak kebebasan pers.7

Pasal 5 yang mengandung ketentuan mengenai kebebasan pers tidak mengalami perubahan. Ayat 2 dari pasal itu menyebutkan bahwa kebebasan pers ini didasarkan atas tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan 3 undang-undang ini. Tanggung jawab nasional juga memiliki makna yang luas dan abstrak dan tidak jelas.

5 Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca

Orde Baru. Kencana: Jakarta

6 Depari, Eduard dkk. (1978) Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan,

Suatu Kumpulan Karangan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta 7 Gandhi, L.M (1985) Undang-Undang Pokok Pers – Proses Pembentukan dan

(5)

1.5 Hipotesa

Dibawah rezim orde baru, media massa harus berada di bawah kontrol pemerintah yang mana media massa dilarang memberitakan dan mengeluarkan pendapat negative terhadap pemerintahan. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita dan informasi tanpa SIT dan SIUPP yang diberikan oleh pemerintah.

Segala penerbitan di media massa yang berada dalam pengawasan pemerintah ini di pegang oleh departemen penerangan. Bila ingin tetap terbit, media massa harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pembredelan beberapa majalah dan surat kabar pun menjadi salah satu bukti kontrol pemerintah terhadap media massa. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya.

Namun beberapa majalah dan surat kabar yang tidak setuju dengan kontrol pemerintah ini melakukan perlawanan dengan tetap memberitakan semua yang terjadi termasuk kritik dan berita miring seputar pemerintahan. Hal ini berdampak dengan di bredelnya media tersebut termasuk majalah Tempo yang dua kali di bredel, yakni pada tahun 1982 dan 1994. Namun perlawanannya terhadap pemerintah justru mendapatkan hasil yang baik. Pada tahun 1998 terjadi revolusi Mei yang membuat Soeharto mundur dan terbukanya kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

1.6 Metode Penelitian

Dalam menganalisa kasus ini data yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik pengumpulan data kualitatif-eksplanatif yang diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan. Metode yang akan digunakan adalah melalui studi literatur dan sumber-sumber yang didapat melalui buku-buku, jurnal, web ataupun situs surat kabar elektronik yang memiliki relevansi dengan masalah yang dianalisa dalam kasus ini.

(6)

2.1 Kebebasan pers masa Orde Baru

Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangaan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah.

Media massa selama Orde Baru jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan Orde Baru, dengan kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi di hadapan penguasa negara. Pers difungsikan sebagau aparatus ideologi negara, berpasangan dengan aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs.

Sistem pers otoriter yang berjalan pada orde baru ini memaksa media massa tunduk dan menunjang pemerintah. Sistem ini sangat jelas terjadi di Indonesia pada masa itu. Apalagi pemerintah benar-benar mengambil kendali dalam media massa. Buktinya, pada jaman orde baru model kepemimpinan yang digunakan Soeharto yang memang otoriter memberantas kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan pers, karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada umumnya bersifat kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian menekannya dengan pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.

(7)

bahwa selama masa transisi, kewajiban memiliki SIT tetap berlaku, sampai pemerintah dan DPR membuat aturan baru. Dalam pembatalan undang-undang tersebut, dapat dilihat bahwa hak setiap warga Negara untuk mempublikasikan pers tidak sesui dengan sistem pemerintahan yang saat itu kita anut, yaitu demokrasi pancasila. Kenyataannya, hak mempublikasikan pers hanya dimiliki oleh warga negara yang memiliki SIT. Sementara itu yang memberikan SIT adalah pemerintah. Dalam perspektif Negara demokrasi, implikasi dari kebijakan ini dinilai rancu, sebab jika SIT diberikan oleh pemerintah, maka akan ada kecenderungan dari pihak pemerintah itu sendiri untuk memanfaatkan keberadaan pers, yaitu demi pencitraan rezim yang sedang berlangsung.

Keharusan memiliki SIT kemudian dihapus oleh UU No 21/1982. UU yang baru ini memperkenalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). SIUPP merupakan bentuk lain dari kekuasaan negara atas media pers di tanah air. Dalam prakteknya, dibawah SIT ataupun SIUPP, sudah banyak terjadi penyetopan terbit media massa, yang dilakukan pihak eksekutif, tanpa melalui sidang pengadilan. Kesalahan pihak media dengan demikian tidak dibuktikan di pengadilan. Pihak media tidak diberikan hak untuk membela diri. Hukum pers tidak memberikan perlindungan yang meyakinkan bagi pers itu sendiri, tapi justru membelenggu lantaran adanya ketidakpastian tersebut. Belum lagi ketika konsep surat izin terbit berubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dikatakan dalam undang-undang berikutnya (nomor 21 tahun 1982), tak ada pencabutan SIT, nyatanya ada pers yang tak bisa terbit lagi. Dalihnya berganti: SIUPP-nya yang dicabut, bukan SIT-nya. Begitulah logika yang diterapkan oleh Orde Baru pada persnya. Sayangnya, sebagian besar pers percaya, atau paling tidak dipaksa percaya.

Ketatnya pengawasan orde baru dalam hal pengawasan atas pers demi mengantisipassi apabila pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.

(8)

penyajian berita baik terhadap masyarakat.8 Seperti pada rezimnya, media massa tidak memberitakan apa yang ada dibalik pembangunan yang dicanangkan oleh Soeharto, melainkan media massa mengalihkannya dengan memberitakan segala kebaikan Soeharto pada masa itu.

Kehidupan pers pada waktu itu sangatlah memprihatinkan karena berada dalam pasungan. Lembaga media yang ada pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kreasinya dalam mengangkat suatu realitas, terlebih lagi pemerintah melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Oleh karena tidak diberikan keleluasaan maka sistem pemerintahan berjalan menurut kemauan penguasa. Keadaan merupakan konflik interen yang dalam skala tertentu dapat menyebabkan semacam ledakan apabila hal tersebut terakumulasi secara sistimatik. Dengan demikian yang namanya kebenaran hanya dimiliki oleh penguasa.

2.2 Pembredelan Majalah Tempo pada masa Orde Baru mencerminkan control Negara terhadap media massa

Tempo adalah majalah berita mingguan yang paling ditunggu di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad seorang panyair dan intelektual terkemuka di Indonesia. Pemerintah Orde Baru selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.

Pada 12 April 1982, Tempo dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota.9 Saat itu Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut. Pada 7 Juni 1982, pembredelan Tempo dicabut setelah

8 Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-

Orde Baru. Kencana: Jakarta

(9)

Goenawan membubuhkan tanda tangan di secarik kertas. Secarik kertas itu berisi permintaan maaf Tempo dan kesediaan untuk dibina oleh pemerintah. Waktu itu, Goenawan tidak punya pilihan lain memang.10

Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama beberapa majalah lain yaitu Editor dan Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran, karena penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu.11

Aksi perlawanan tersebut tersebut dilakukan Tempo karena Tempo ingin menentang adanya kontrol pemerintah pada media massa dan ingin mengembalikan kembali fungsi media massa sebagai wadah untuk bebas berekspresi dan berpendapat.12 Meskipun keberaniannya melawan pemerintah membuat Tempo semakin mendapat tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah berkali-kali mendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.

Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk tetap mengudara, Tempo menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.

Selain itu, wartawan Tempo juga aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah

10 Laporan Tahunan PT Tempo Inti Media Tbk. 2010 11 Ibid.

12 Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-

(10)

jatuhnya Orde Baru. Walau pun dibredel, Tempo punya cara sendiri untuk tetap eksis dan menyapa pembacanya. Pada 1996, Tempo meluncurkan majalah digital pertama di Indonesia: Tempo Interaktif, melalui situs www.tempo.co.id. Karena beredar di dunia maya, majalah ini lolos dari jangkauan pembredelan.

Lepas dari pembredelan tersebut, muncul pelbagai reaksi dari masyarakat, para jurnalis muda, dan pihak Tempo sendiri. Ada perlawanan menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara, jurnalis muda mengecam sikap Departemen Penerangan, juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mendukung pembredelan. Belakangan sejumlah wartawan muda ini mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai bentuk perlawanan atas kontrol informasi dan kontrol organisasi wartawan di tangan pemerintah. Selain itu, demonstrasi berbagai kalangan terjadi di berbagai kota di Indonesia.13 Hal ini justru semakin membuka jalan bagi kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Dimana aksi demonstran yang mencapai puncak dengan aksi mahasiswa yang dikenal dengan “Revolusi Mei” berhasil menjatuhkan rezim orde baru.

Jatuhnya Presiden Soeharto pada reformasi 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh BJ Habibie sebagai Presiden memberi angin segar bagi masa depan Tempo. Hal itu terjadi karena BJ Habibie mencabut pembredelan Tempo dan mengizinkannya untuk terbit kembali.

Perlawanan Tempo dan beberapa majalah serta surat kabar lainnya terhadap kontrol pemerintah rezim orde baru akhirnya berbuah manis. Tidak hanya mengembalikan kembali fungsi dan kebebasan pers. Namun juga berpengaruh pada demokrasi di Indonesia. Dimana jatuhnya pemerintahan Soeharto juga membuka gerbang kebebasan masyarakat Indonesia dalam berpendapat dan berdemokrasi. Pasca Orde Baru, pers selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang

13 Tempo.com (

(11)

efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.

Tindakan media massa ini sesuai dengan fungsi lain pers dalam masyarakat demokratis yang berkaitan dengan kenyataan bahwa agar demokrasi dapat berjalan atau menjadi kenyataan hidup diperlukan hak-hak politik dan kebebasan sipil untuk melindungi kepentingan kelompok minoritas dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, pers memiliki fungsi sebagai watchdog yang berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik. Ini dilakukan agar mereka bertanggungjawab terhadap segala tindakan mereka. Dalam kaitan ini, pers dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya check and balances dari berbagai kekuasaan yang ada.14

Dalam peranan yang demikian ini, kedepannya pers harus mampu melahirkan laporan-laporan investigative untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung dalam berbagai lembaga yang ada. Untuk itu, para pekerja pers dituntut agar dapat melakukan peliputan bukan saja yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam bidang politik yang seringkali hanya menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan, tetapi juga membuat laporan yang lebih mendalam tentang berbagai kehidupan para pemegang kekuasaan. Dengan demikian, pers akan mampu memberi informasi yang berbeda dengan informasi yang mungkin sudah atur oleh para politisi untuk menjaga citra mereka.

BAB III

(12)

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesungguhan pers memperjuangkan kebebasan pada orde baru membuat pers harus berhadap-hadapan dengan rezim yang otoriter. Namun perbedaan secara nyata yang diperlihatkan oleh actor orde baru malah membuat pers tidak leluasa menjalankan fungsinya sebagai wadah untuk mengeluarkan ekspresi dan pendapat. Hal ini terjadi karena pengalihfungsian media massa menjadi penunjang pemerintah oleh pemerintah demi kepentingan pemerintah sendiri. Media penghubung komunikasi di era orde baru malah seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga pers tidak menjalankan fungsinya yang dapat menjadi pembangkit demokrasi dan sebagai pendukung dan pembela masyarakat. Akibatnya, latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan bahwa pers selama orde baru semakin dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, hal ini terjadi akibat kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers. Pemerintahan dan sistem pers yang otoriter pada masa Orde Baru itu mendapatkan protes dan perlawanan dari beberapa media massa.

Meski harus berkali-kali ditekan oleh pemerintah, media massa seperti Tempo tetap berjuang keras demi mendapatkan kebebasan pers. Karena kebebasan pers merupakan cerminan demokrasi di suatu Negara. Namun rezim otoriter Soeharto kebebasan berpendapat tak dapat dirasakan penuh oleh massyarakat dan media massa sehingga demokrasi pancasila pada saat itu hanyalah label semata. Hal inilah yang diperjuangkan oleh media massa demi mewudujkan kebebasan dan demokrasi di Indonesia.

Ditengah tekanan dan kendala yang menimpa media massa kala pemerintahan Soeharto, media massa terus berusaha lepas dari ikatan rezim otoriter dengan berbagai cara. Sehingga akhirnya usaha pers melakukan perlawanan terhadap rezim tersebut berhasil dan membuktikan bahwa pers mampu mewujudkan demokrasi di Indonesia.

(13)

Depari, Eduard dkk. (1978) Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Suatu Kumpulan Karangan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Gandhi, L.M (1985) Undang-Undang Pokok Pers – Proses Pembentukan dan Penjelasannya.

Rajawali Press: Jakarta

Imawan, Riswandha. (19980 Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Laporan Tahunan PT Tempo Inti Media Tbk. 2010

Nazaruddin. (1974) Kumpulan Peraturan-Peraturan dan Perundang-undangan Mengenai Pers, Radio, Film dan Televisi. Erlangga: Jakarta

Mallaranggeng, Rizal. (2010) Pers Orde Baru. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kencana: Jakarta

Putra, I Gusti Ngurah. (2006) Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Jurnal Komunikasi, 3(2) Siebert, Peterson, dan Schramm. (1986) Empat Teori Pers. Intermega: Jakarta

Tempo.com (Online) ( http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-Tahun-Pembredelan-Majalah-Tempo) di akses pada 30 Juni 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun masih ada perempuan yang memakai jilbab tidak sesuai dengan syariat Islam karena mengikuti Gaya modern, seperti di kalangan mahasiswa Universitas

Mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti oleh semester III (tiga), dalam mata kuliah ini yang dibahas adalah Manajemen Keuangan, Analisa Laporan

Hubungan Pemberian MPASI Dini dengan Status Gizi Bayi umur 0 – 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Rowotengah kabupaten Jember.. Widyawati, Febry F, Destriatania

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan perbandingan patologi anatomi terhadap kecepatan penyembuhan pada luka sayat kucing domestik (Felis

Sistem pendingin adsorpsi cocok untuk kondisi dengan getaran yang kuat, seperti di perahu nelayan dan lokomotif, tapi pada sistem absorpsi karena bahan

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keterkaitan antara hasil penelitian di lapangan dengan variabel yang diteliti yaitu pengaruh motivasi dengan nilai

 Siswa berdiskusi menganalis dan mengevaluasi hasil karya siswa yaitu kemasan dan embalase sejauhman dapat membantu siswa dalam menyukseskan kegiatan wirausaha sebagai

Di Sutomo sendiri, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyelesaikan suatu tugas baik dalam tugas sehari-sehari maupun saat ujian dan juga performa yang