• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Rape Myth Acceptance Antara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbandingan Rape Myth Acceptance Antara"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN

RAPE MYTH ACCEPTANCE

ANTARA ORANGTUA

YANG MEMILIKI ANAK PEREMPUAN DEWASA MUDA DENGAN

PENYIDIK UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK DI

JAKARTA DAN SEKITARNYA

Ayu Regina Yolandasari dan Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstrak

Kecenderungan untuk menyalahkan korban perkosaan sebagai penyebab terjadinya perkosaan merupakan suatu hambatan besar bagi mereka untuk memperoleh keadilan. Rape myth acceptance, sebagai faktor mendasar yang memungkinkan kecenderungan tersebut tumbuh, dapat membuat pihak berwajib kehilangan objektivitasnya ketika menghadapi kasus, dan membuat dukungan orangtua terhadap anak yang menjadi korban berkurang. Dengan menggunakan nonequivalent group design, studi ini berusaha mencari tahu apakah terdapat perbedaan rape myth acceptance antara kelompok orangtua yang memiliki anak perempuan berusia dewasa muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Jakarta dan sekitarnya. Sebanyak 34 orang dari masing-masing kelompok partisipan tersebut diminta mengisi alat ukur yang merupakan adaptasi dari Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara kedua kelompok (t = -1,439, p > 0,05). Temuan ini mengindikasikan bahwa intervensi sikap terhadap perkosaan, korban, dan pelakunya perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat rape myth acceptance baik pada orangtua maupun polisi. Jika tidak, korban perkosaan akan lebih sulit melaporkan kasusnya dan memperoleh keadilan hukum untuk tindak perkosaan yang menimpanya.

Kata Kunci: Rape myth a cceptance; orangtua; polisi; perempuan

Abstract

The tendency to blame rape victims as the cause of the rape itself is a big obstacle that prevent them to experience justice. Acceptance of rape myths, as the underlying factor that enable the tendency to grow, can make the authority to lose his objectivity in dealing with the case, and parents to be less supportive toward their victim daughter. Using the nonequivalent group design, this study is intended to find out if there is a difference in rape myth acceptance between parents of young adulthood daughter and police in women and children service unit (PPA) in Jakarta and the surrounding areas. As many as 34 subjects for each group were asked to fill the adaptation of Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS). Results show that there is no significance difference in the rape myth acceptance between the two groups (t= -1,439, p>0,05). This finding suggests that an intervention should be made to decrease the rape myth acceptance in both parents and police officers. Otherwise, rape victims may find it difficult to report their cases and also can not experience justice.

(2)

Pendahuluan

Perkosaan merupakan peristiwa taumatis sekaligus tindak pidana serius yang menimbulkan kerugian besar bagi korbannya, khususnya perempuan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika tindak kejahatan ini dicegah dan dilakukan upaya agar angka kejadiannya dapat ditekan. Ironisnya, seakan menjadi trend masa kini, kasus perkosaan, khususnya di angkutan umum, justru ramai bermunculan dan terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, angka kasus perkosaan di Jakarta pada tahun 2010 lalu yang mencapai 60 kasus, mengalami peningkatan hingga mencapai 68 kasus pada tahun 2011 (Amelia, 2010). Selain itu, berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Khaerudin & Mulyadi, 2011) tahun 1998 hingga 2011, terdapat 400.939 kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari jumlah tersebut, 93.960 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual dengan perkosaan menempati jumlah terbanyak, yakni 4.845 kasus. Penting pula diketahui bahwa dibalik tingginya angka-angka tersebut, ternyata masih banyak kasus perkosaan yang tidak terungkap. Salah satu faktor banyaknya kasus perkosaan yang tidak terungkap adalah keengganan korban untuk untuk melaporkan kasusnya. Brownmiller (1975) dan Pawestri (2012) menyebutkan bahwa perkosaan merupakan tindak kriminal yang paling jarang dilaporkan. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh ketakutan dan rasa malu yang diderita korban. Rasa takut dan malu tersebut wajar timbul karena secara sosial, perkosaan merupakan tindak kejahatan yang seringkali justru menempatkan korbannya sebagai yang bersalah atas perkosaan yang menimpanya. Sebagai contoh, sebut saja ketua DPR RI yang pernah

mengatakan, “Kita tahu banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila itu, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki, pakaian tidak pantas itu menarik

laki-laki sampai akhirnya berbuat sesuatu,” (Gatra, 2012). Pernyataan serupa pun pernah diungkapkan oleh gubernur DKI Jakarta (Latif, Widjaja, & Afrianti, 2011) dan bupati Aceh Barat (Kurniawati, 2012). Dari pernyataan-pernyataan tersebut tersirat anggapan bahwa pakaian yang dikenakan wanita yang minim dan tidak sesuai syariah Islam merupakan pemicu dari tindak perkosaan. Di sisi lain, tindak perkosaan hanya dianggap sebagai reaksi spontan laki-laki yang tergiur oleh penampilan korbannya.

(3)

kebanyakan korban perkosaan telah melakukan sesuatu untuk mengundang atau menimbulkan penyerangan (Renzetti & Curran, 1989), bahwa cara berpakaian perempuan yang minimlah yang menyebabkan dirinya diperkosa. Padahal, jika melihat pada kenyataan yang terjadi, tidak semua perempuan korban perkosaan mengenakan pakaian minim yang dianggap

“mengundang” saat kejadian. Ada pula kasus-kasus di mana perempuan yang mengenakan pakaian serba tertutuplah yang diperkosa (Pawestri, 2011; Poerwandari, 2008). Selain itu, mayoritas perkosaan pun terjadi dengan perencanaan yang dibuat pelaku sebelumnya (Takwin, 2011). Hal tersebut menegasikan anggapan bahwa perkosaan merupakan tindak impulsif yang spontan dilakukan karena pelaku tergiur oleh penampilan korban.

Dengan adanya berbagai mitos perkosaan di masyarakat, tampak bahwa perkara melaporkan tindak perkosaan yang menimpa diri korban memang bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, membangun kesadaran dan keberanian korban masih merupakan tantangan besar dan membutuhkan banyak dukungan, terutama dari pihak keluarga (Pawestri, 2012). Bagaimanapun, kehidupan antara orangtua dan anak memang akan selalu berhubungan sepanjang kehidupan. Saat anak kian mandiri dan mencapai usia dewasa, orangtua akan tetap memiliki pengaruh yang kuat terhadap anak (Martin & Colbert, 2008). Perlu diingat pula bahwa bagaimanapun orangtua merupakan anggota dari masyarakat. Oleh sebab itu, dukungan yang dapat diberikan orangtua kepada anak pun tak ayal dipengaruhi oleh masyarakat, tepatnya oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk mitos perkosaan. Dengan demikian, penting halnya mitos perkosaan yang diyakini orangtua untuk diteliti agar kemudian dapat diintervensi sehingga dukungan positif baik kepada korban maupun yang rentan menjadi korban perkosaan pun dapat diperoleh dari orangtua.

(4)

(Page, 2010). Selain mempengaruhi persepsi, diyakininya mitos perkosaan oleh penyidik berdampak pada sikap mereka kepada korban yang menjadi tidak simpatik. Sikap tidak simpatik tersebut umumnya tertampil saat polisi menanyai korban secara mendetil dan terkesan menghakimi atau memaksa untuk memeriksa tanda-tanda luka fisik korban yang mungkin memerlukan penyingkiran busana sehingga korban pun merasa dilecehkan kembali secara seksual (Sapp, 1999). Rahayu, Sekartadji, dan Rochaeti (2005) menjelaskan terdapat kecenderungan polisi menggunakan ucapan-ucapan dan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat melecehkan kepada perempuan korban perkosaan akibat dari pikiran polisi yang telah terpola secara stereotipik bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan memiliki andil besar dalam perkosaan yang menimpanya. Sikap polisi yang demikian buruk itulah yang kemudian menyebabkan kian meningkatnya keengganan korban untuk melaporkan peristiwa perkosaan yang menimpanya. Sikap tersebut juga membuat perempuan justru menyakini sistem peradilan tidak akan menangani kasus mereka secara efektif, polisi tidak akan mempercayai laporan mereka, dan mereka hanya akan kembali dipermalukan oleh sistem hukum yang ada (Matlin, 1987).

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa baik orangtua maupun penyidik merupakan pihak yang berpengaruh besar terhadap keengganan korban perkosaan untuk melaporkan kasusnya dan memperoleh keadilan hukum. Di sisi lain, sikap orangtua dan penyidik pun tidak lepas dari mitos perkosaan. Oleh karena besarnya pengaruh mitos perkosaan tersebut, dalam kesempatan ini peneliti mengangkat topik rape myth acceptance pada orangtua dan aparat kepolisian khususnya penyidik di unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat rape myth acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan berusia dewasa muda dengan penyidik unit PPA. Anak perempuan berusia dewasa muda dipilih lantaran pada usia tersebut perempuan rentan menjadi target perkosaan sekaligus mitos perkosaan. Mengingat adanya peran orangtua sebagai pelindung dan pengasuh bagi anak perempuannya, kedekatan psikologis pun peneliti asumsikan lebih dekat diantara mereka dibandingkan penyidik dengan perempuan dewasa muda yang rentan ataupun menjadi korban perkosaan.

(5)

Rape Myth Acceptance

Martha Burt merupakan peneliti pertama yang melakukan kajian sosial ilmiah mengenai mitos perkosaan dan mempublikasikannya pada tahun 1980. Dalam publikasinya tersebut, Burt (1980) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai keyakinan akan dugaan dan stereotip yang salah mengenai perkosaan, korban, dan pelaku perkosaan. Selain itu, ia mengembangkan alat ukur Rape Myth Acceptance Scale (RMAS), alat ukur yang paling sering digunakan dalam penelitian terkait rape myth acceptance. Seiring perkembangannya, mitos perkosaan Burt mengalami redefinisi dan konseptualisasi ulang oleh peneliti setelahnya. RMAS Burt pun dikritisi dan alat ukur rape myth acceptance lain pun dikembangkan.

Briere, Malamuth, dan Check (1985) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai keyakinan-keyakinan yang salah mengenai perkosaan yang digunakan untuk menyangkal efek perkosaan pada korbannya atau mengatribusikan kesalahan tindak perkosaan kepada korban. Adapun Lonway dan Fitzgerald (1994) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai sikap dan keyakinan yang salah mengenai perkosaan yang umum dan secara luas dipegang teguh serta digunakan untuk menyangkal dan melakukan pembenaran tindak kekerasan seksual laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, Lonsway dan Fitzgerald (1995) menyebutkan adanya kekurangan dari konsep yang dikembangkan Burt (1980), yakni operasionalisasi variabel yang secara teoritis bermasalah, di mana dua variabel prediktor rape myth acceptance secara teoritis campur aduk dengan variabel kekerasan terhadap perempuan (hostility toward women), yakni keyakinan akan permusuhan seks (adversarial sexual beliefs) dan penerimaan akan kekerasan interpersonal (acceptance of interpersonal violence). Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) pun menambahkan kelemahan dari RMAS Burt (1980), yaitu fokus yang hanya kepada karakteristik dan peran korban perkosaan namun tidak mencakup karakteristik pelaku perkosaan. Item dari alat ukur tersebut pun dinilai terlalu kompleks mencakup beberapa ide dan terlalu spesifik untuk diterima sebagai mitos perkosaan yang umum.

Berdasarkan kekurangan tersebut, Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) pun membuat alat ukur Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS) yang terdiri dari 45 item IRMAS (termasuk 5 item palsu) dengan 20 item short form (IRMA-SF). Struktur dari rape myth acceptance yang ditemukan dalam studi Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) adalah model hierarki, yakni gabungan antara model unidimensional dan multidimensional, dengan sebuah skala umum, yaitu rape myth acceptance, dan 7 subskala mitos perkosaan, yaitu:

(6)

3. Laki-laki tidak bermaksud memperkosa (He didn’t mean to) 4. Perempuan ingin diperkosa (She really wanted it)

5. Perempuan berbohong (She lied)

6. Perkosaan adalah perkara sepele (Rape is a trivial event)

7. Perkosaan adalah kejadian menyimpang (Rape is a deviant event)

Berdasarkan analisis psikometri, alat ukur ini memiliki konsistensi internal, reliabilitas, dan validitas konstruk yang memadai serta mendukung struktur mitos perkosaan yang telah dikembangkan. Indeks alpha cronbach keseluruhan alat ukur mencapai 0,93, sedangkan per subskala berkisar antara 0,74 sampai dengan 0,84 (rata-rata 0,79), adapun korelasi setiap subskala dengan total skor (tanpa item palsu) berkisar antara 0,54 sampai 0,74.

Faktor-faktor yang mempengaruhi rape myth acceptance terbagi atas tiga variabel, yakni variabel sikap, variabel demografis, dan variabel lainnya. Variabel sikap terdiri dari stereotip peran jenis kelamin, keyakinan akan permusuhan jenis kelamin, dan penerimaan atas kekerasan interpersonal (Burt, 1980), yang ketiganya berhubungan positif dengan rape myth acceptance. Selain itu, variabel ini pun meliputi keyakinan tradisional mengenai peran gender, kebutuhan atas kekuasaan dan dominasi, agresivitas dan kemarahan, dan keyakinan akan politik yang konservatif yang juga berhubungan positif dengan rape myth acceptance (Anderson, Cooper, dan Okamura, 1997). Variabel demografis terdiri atas jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Berdasarkan faktor jenis kelamin, laki-laki memiliki tingkat rape myth acceptance yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Burt, 1980; Field, 1978; Kopper, 1996; Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999; Witoelar, 1992). Adapun usia secara tidak langsung berhubungan negatif dengan rape myth acceptance, sedangkan tingkat pendidikan secara tidak langsung berhubungan positif dengan rape myth acceptance (Burt, 1980). Adapun variabel lainnya adalah ketidakpuasan atau konflik seksual yang berhubungan positif dengan rape myth acceptance (Briere, Check, Malamuth, 1985).

Pengasuhan Orangtua

(7)

dan sehat secara fisik, berharap anaknya dapat mengembangkan kemampuan yang kemudian bisa membuat mereka secara ekonomi tercukupi, dan ingin anaknya memenuhi tujuan spesifik budaya yang berhubungan dengan pencapaian, keyakinan agama, dan kepuasan pribadi. Adapun melindungi dan merawat anak merupakan peran orangtua dalam pengasuhan.

Faktor yang mempengaruhi pengasuhan dapat berasal dari orangtua, anak, maupun masyarakat/budaya. Martin dan Colbert (1997) menyebutkan bahwa keyakinan merupakan salah satu faktor penting dari orangtua yang mempengaruhi nilai dan perilakunya dalam membesarkan anak. Adapun pengaruh anak terhadap pengasuhan berasal dari kualitas pribadi anak, meliputi temperamen, gender, dan kesehatan fisik anak (Brooks, 2008). Harkness dan Super (1995, dalam Martin & Colbert, 1997) menjelaskan bahwa pengasuhan anak dipengaruhi kebudayaan, dan orangtua merupakan kendaraan di mana kebudayaan itu disampaikan kepada anak mereka. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Brooks (2008) menjelaskan bahwa anak tinggal dalam keluarga yang bertetangga dan berkomunitas dalam masyarakat, sehingga cara orangtua memenuhi tugas-tugasnya dipengaruhi oleh masyarakat tersebut. Masyarakat tidak hanya memberikan dukungan sekaligus tekanan kepada orangtua dalam mengasuh, masyarakat pun menyediakan nilai, standar berperilaku, dan pandangan bersama mengenai dunia yang kemudian orangtua sosialisasikan kepada anak mereka.

Martin dan Colbert (2008) menjelaskan bahwa pada dasarnya, kehidupan orangtua dan anak akan terus saling berhubungan selama hidup. Sepanjang waktu, walaupun anak menjadi kian mandiri, orangtua akan tetap memiliki pengaruh yang kuat bagi kehidupan anak. Papalia, Olds, dan Feldman (2009) pun menyatakan bahwa anak berusia dewasa pada dasarnya tetap membutuhkan penerimaan, empati, dan dukungan orangtuanya.

Penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)

(8)

bagi perempuan dan anak terkait masalah KDRT, kekerasan, termasuk kekerasan seksual, perdagangan manusia, dan tindak kejahatan lainnya terkait perempuan dan anak. Selain terkait perlindungan dan penanganan hukum, penyidik unit ini pun bertugas memberikan konseling dan merujuk korban ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau rumah sakit terdekat.

Penelitian Rape Myth Acceptance pada Masyarakat dan Polisi

Salah satu penelitian komprehensif terkait viktimisasi korban (blaming the victim) adalah penelitian Hubert Field (1987, dalam Matlin, 1987). Field melakukan survey terhadap lebih dari seribu orang yang terdiri atas masyarakat, konselor perkosaan, pelaku perkosaan, dan petugas polisi. Hasil penelitian Feild (1987, dalam Hyde, 1990) menunjukkan terdapat perbedaan sikap terhadap perkosaan yang signifikan antara pelaku dengan konselor perkosaan. Pelaku perkosaan cenderung berpendangan bahwa mencegah perkosaan utamanya merupakan tanggung jawab perempuan, perkosaan dimotivasi oleh minat pada seks, korban memicu terjadinya perkosaan melalui penampilan atau perilakunya, dan pelaku perkosaan secara mental tidak sehat. Adapun pandangan polisi mengenai perkosaan lebih menyerupai pandangan pelaku daripada konselor perkosaan sedangkan sikap terhadap perkosaan yang paling mirip adalah antara polisi dengan masyarakat. Hasil penelitian itu pun menunjukkan laki-laki daripada perempuan secara signifikan lebih berpandangan bahwa mencegah terjadinya perkosaan merupakan tanggung jawab perempuan, korban memicu perkosaan melalui penampilan dan perilakunya, pelaku perkosaan tidak dimotivasi oleh kebutuhan akan kekuasaan atas perempuan, dan seharusnya perempuan tidak menolak diperkosa.

Penelitian lain yang spesifik mengukur rape myth acceptance pada polisi adalah yang dilakukan oleh Page (2010). Hasil penelitian itu menunjukan bahwa mayoritas polisi (93%) setuju bahwa secara umum perempuan mana pun rentan diperkosa. Namun, secara spesifik, sebagian dari mereka masih meragukan laporan perkosaan dari perempuan dengan karakteristik tertentu, seperti: istri yang mengaku diperkosa suaminya, pekerja seksual, perempuan perawan, dan wanita karir. Tampak bahwa terdapat kontrakdiksi antara rape myth acceptance secara umum dengan komponen spesifik rape myth aceptance, khususnya terkait karakterisktik perempuan yang diyakini dapat mengalami perkosaan.

(9)

atau sikap pandang aparat hukum terhadap korban perkosaan kurang baik, di mana korban hanya dianggap sebagai saksi pelaku dan alat bukti untuk membuktikan kesalahan pelaku. Perbuatan perkosaan tidak dipandang sebagai perbuatan yang merugikan korbannya. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan korban, secara psikologis dan sosiologis korban merasa posisinya kurang diuntungkan dibandingkan pelaku. Para korban pun merasa hukum belum/tidak melindungi korban karena putusan pidana untuk pelaku dianggap terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera pada pelaku. Walaupun ancaman hukuman maksimal 12 tahun dalam pasal 285 KUHP dirasa cukup memadai, dalam prakteknya hukuman tersebut hanya diterapkan rata-rata 7 bulan hingga 2 tahun, sehingga dirasa tidak sebanding dengan penderitaan mental, fisik, dan sosial korban. Pola penjatuhan hukuman tersebut pun tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat serta lebih jauh menyebabkan penghargaan terhadap hukum semakin menurun.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahayu, Sekartadji, dan Rochaeti (2005), yakni mengenai penanganan perempuan korban kekerasan seksual dalam ruang pelayanan khusus (RPK) kota Semarang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan seringkali dalam pikiran polisi telah terpola secara stereotipik bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan mempunyai andil besar dalam terjadinya kekerasan tersebut. Perempuan korban kekerasan enggan melapor ke polisi karena adanya kecenderungan perilaku polisi yang seringkali menggunakan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan bersifat melecehkan, sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi pelecehan baru di kantor polisi.

Metode

Partisipan

Penelitian ini menggunakan nonequivalent group design untuk membandingkan rape myth acceptance pada kelompok partisipan orangtua yang memiliki anak perempuan dewasa muda dan penyidik unit elayanan Perempuan dan Anak. Partisipan dalam penelitian berjumlah 68 orang yang terdiri dari 34 partisipan dalam masing-masing kelompok. Masing-masing kelompok partisipan terdiri dari 19 partisipan laki-laki dan 15 partisipan perempuan yang mayoritas berada pada rentang usia 41 – 50 tahun (32,3 %) dan umumnya merupakan lulusan S1 (54,4%). Adapun partisipan diambil dengan teknik accidental sampling.

Variabel Penelitian

(10)

pelakunya. Variabel tersebut diukur melalui pengisian 45 item (termasuk 5 item palsu) alat ukur Illinois Rape Myth Acceptance yang dikembangkan oleh Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) dan telah diadaptasi oleh peneliti.

Analisis

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara kedua kelompok partisipan dalam penelitian, di mana partisipan orangtua diduga memiliki rata-rata nilai rape myth acceptance yang lebih rendah daripada penyidik unit PPA, peneliti menggunakan teknik statistik independent t-test. Teknik statistik yang sama pun digunakan untuk membandingkan rata-rata nilai rape myth acceptance antara partisipan laki-laki dengan perempuan sebagai hasil tambahan dalam penelitian ini.

Hasil

Hasil Utama

Hasil analisis utama dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan dewasa muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) (t = -1,439, p > 0,05). Dengan kata lain, hipotesis dalam penelitian ini, yang menyebutkan bahwa rape myth acceptance orangtua secara signifikan lebih rendah daripada rape myth acceptance penyidik unit PPA (Ha = RMAorangtua < RMApenyidik), ditolak. Berikut tabel statistiknya.

Tabel 1.1

Perbandingan Rape Myth Acceptance antara Kelompok Partisipan Orangtua dengan Kelompok Partisipan Penyidik unit PPA

Kelompok N Mean SD T Sig. (One-tailed) Keterangan Orangtua 34 125,44 19,087

-1,439 0,0775 Tidak

Signifikan UPPA 34 132,26 20,007

(11)

Tabel 1.2

Perbandingan Subskala Rape Myth Acceptance antara Kelompok Partisipan Orangtua dengan Penyidik unit PPA

Berdasarkan kecenderungan respon kedua kelompok partisipan terhadap skala umum rape myth acceptance, tampak bahwa baik orangtua (M = 3,14) maupun penyidik unit PPA (M = 3,31) sama-sama berkecenderungan merespon “agaktidak setuju”. Adapun pada ketujuh subskala rape myth acceptance, respon tertinggi kedua kelompok partisipan (Morangtua = 4,07,

Mpenyidik = 4,36), yakni “agak setuju”, terletak pada subskala laki-laki sebenarnya tidak

bermaksud memperkosa. Sebaliknya, respon terendah kedua kelompok partisipan (Morangtua = 2,26, Mpenyidik = 2,28), yakni “tidak setuju”, terletak pada subskala perempuan sesungguhnya menginginkan dirinya diperkosa. Data lebih lanjut tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 1.3

Kecenderungan Orangtua dan Penyidik Unit PPA Merespon Skala Umum dan Subskala Rape Myth Acceptance

Skala/Subskala Orangtua Penyidik Respon

Skala Umum

Rape myth acceptance 3,14 3,31 Agak Tidak Setuju Subskala

(12)

Perkosaan adl. perkara sepele 2,45 2,96 Agak Tidak Setuju Perkosaan adl. kejadian menyimpang 3,29 3,21 Agak Tidak Setuju

Hasil Tambahan

Hasil analisis tambahan dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara partisipan laki-laki (M = 130,34, SD = 20,502) dengan partisipan perempuan (M = 126,97, SD = 18,827), di mana t = 0,699, p > 0,05.

Tabel 2.1

Perbandingan Rape Myth Acceptance antara Partisisipan Berjenis Kelamin Laki-laki dengan Partisipan Berjenis Kelamin Perempuan

Perbandingan ketujuh subskala rape myth acceptance pada kedua kelompok tersebut menunjukan adanya perbedaan yang signifikan pada subskala perempuan sebenarnya ingin dirinya diperkosa, di mana partisipan laki-laki secara signifikan lebih tinggi rata-rata nilainya (M = 12,24, SD = 3,627) dibandingkan perempuan (M = 10,23, SD = 2,861).

Tabel 2.2

(13)

Berdasarkan kecenderungan respon kedua kelompok partisipan tersebut terhadap skala umum rape myth acceptance, tampak bahwa baik laki-laki (M = 3,26) maupun perempuan (M = 3,17) sama-sama berkecenderungan merespon “agak tidak setuju”. Pada ketujuh subskala rape myth acceptance, respon tertinggi kedua kelompok partisipan (Mlaki-laki = 4,15, Mperempuan = 4,3), yakni “agak setuju” terletak pada subskala laki-laki sebenarnya tidak bermaksud memperkosa. Sebaliknya, respon terendah kedua kelompok partisipan (Mlaki-laki = 2,45,

Mperempuan = 2,05), yakni “tidak setuju”, terletak pada subskala perempuan sesungguhnya

menginginkan dirinya diperkosa. Berikut disajikan tabel respon kedua kelompok partisipan.

Tabel 2.3

Kecenderungan Partisipan Laki-laki dan Perempuan Merespon Skala Umum dan Subskala Rape Myth Acceptance

Skala/Subskala Laki-laki Perempuan Respon

Skala Umum

Rape myth acceptance 3,26 3,17 Agak Tidak Setuju

Subskala

Perempuan meminta diperkosa 3,78 3,77 Agak Setuju Perkosaan sebenarnya tidak terjadi 2,97 2,63 Agak Tidak Setuju Dia tidak bermaksud memperkosa 4,15 4,3 Agak Setuju Perempuan ingin diperkosa 2,45 2,05 Tidak Setuju Perempuan berbohong 3,26 3,07 Agak Tidak Setuju Perkosaan adl. perkara sepele 2,68 2,73 Agak Tidak Setuju Perkosaan adl. kejadian menyimpang 3,23 3,28 Agak Tidak Setuju

Diskusi

(14)

terhadap perkosaan paling mirip dengan masyarakat dan cenderung tidak berbeda secara signifikan dengan pelaku perkosaan dibandingkan konselor. Adapun persamaan sikap antara pelaku perkosaan, polisi, maupun masyarakat dalam penelitian tersebut adalah sama-sama meyakini bahwa korban bersalah atas perkosaan yang menimpanya.

Dalam penelitian ini, sikap dan rape myth acceptance penyidik tercermin dari komentar yang kerap kali dilontarkan saat pengisian alat ukur. Komentar yang dimaksud,

antara lain “Kalau perempuannya bener, gak mabuk dan gak mau, pasti bisa ngelawan gimanapun caranya lalu kabur” dan “Kalau terjadinya lebih dari sekali, ya gugur di mata hukum, pasti suka sama suka itu. Kalau diperkosa kan gak mungkin terjadi berkali-kali”. Berdasar pada anggapan tersebut, penyidik kemudian menjadi bias dalam menanggapi dan menangani laporan yang masuk. Bias tersebut tampak dari penentuan bahwa kasus perkosaan yang dilaporkan termasuk dalam laporan palsu. Salah seorang penyidik unit PPA di Polres

Jakarta Selatan berkata, “Mengenai perkosaan, jarang sekali kita mendapat kasus perkosaan

murni. Selama dua tahun terakhir, paling banyak hanya ada dua laporan perkosaan murni,

lainnya laporan palsu atau hubungan berdasar suka sama suka.”

Berdasarkan perbandingan ketujuh subskala rape myth acceptance pada kelompok partisipan orangtua dan penyidik unit PPA, perbedaan yang signifikan hanya terdapat pada subskala perkosaan merupakan perkara yang sepele. Perbedaan tersebut menunjukkan penyidik unit PPA secara signifikan lebih meyakini bahwa perkosaan merupakan peristiwa sepele dibandingkan partisipan orangtua. Hal ini mungkin disebabkan oleh terhabituasinya penyidik dalam menangani kasus ini dan ditambah oleh banyaknya laporan yang dianggap oleh penyidik sebagai laporan palsu. Menurut observasi peneliti saat pengisian alat ukur di polres Bogor, seorang penyidik berkomentar, “Ya, kan kalau diperkosa setidaknya tidak harus

kehilangan nyawa,” saat mengisi item nomor 26 “Diperkosa tidak lebih buruk dari dirampok atau dianiaya” yang merupakan item untuk subskala perkosaan merupakan perkara sepele.

Berdasarkan itu, peneliti pun menduga penyidik tersebut kurang dapat menempatkan dirinya di posisi korban. Selain itu, Widayanti, Wurdani, dan Sukaten (1997) pun mengungkapkan bahwa memang perkosaan umumnya tidak dipandang sebagai perbuatan yang merugikan korbannya. Itu pula yang mungkin menyebabkan penyidik menganggap bahwa tindak kejahatan ini merupakan perihal yang sepele. Adapun lebih rendahnya rata-rata nilai orangtua dalam subskala ini mungkin disebabkan oleh atribusi perhatian mereka pada anak perempuannya, jika anak perempuannya yang menjadi korban perkosaan hal itu bukanlah hal yang sepele bagi mereka.

(15)

merespon “agak tidak setuju” terhadap skala umum rape myth acceptance. Adapun pada tujuh subskala rape myth acceptance, respon terendah, yakni “tidak setuju”, terdapat pada subskala yang menyebutkan bahwa sesungguhnya perempuan menginginkan dirinya diperkosa. Sedangkan respon tertinggi, yakni “agak setuju”, terdapat pada subskala yang menyebutkan bahwa laki-laki tidak bermaksud melakukan perkosaan. Walaupun hampir semua respon cenderung berada di sekitar nilai tengah (3,5) tampak bahwa skala umum rape myth acceptance berada di atas nilai tengah tersebut. Selain itu, subskala yang menyebutkan bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya perkosaan dan laki-laki sebenarnya tidak bermaksud memperkosa pun berada di atas nilai tengah respon sedangnya empat subskala lainnya tampak berada di bawah nilai tengah respon. Terkait perbandingan rata-rata nilai partisipan, tampak bahwa walaupun subskala yang menyebutkan bahwa perkosaan merupakan perkara sepele merupakan subskala yang menghasilkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok, namun kedua kelompok partisipan cenderung merespon subskala tersebut di bawah nilai tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya, intervensi untuk menepis mitos perkosaan perlu dilakukan kepada kedua kelompok, baik orangtua maupun penyidik, dan terutama ditujukan untuk kedua subskala yang berada di atas nilai tengah respon tersebut.

Sebagai hasil tambahan, peneliti pun melakukan perhitungan statistik untuk membandingkan tingkat rape myth acceptance berdasarkan jenis kelamin partisipan. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan tidak terdapat perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara partisipan laki-laki dengan partisipan perempuan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Witoelar (1992) mengenai pengaruh hubungan pemerkosa-korban, kehormatan korban, dan jenis kelamin pengamat dalam penilaian andil korban perkosaan. Hasil penelitian tersebut menunjukan tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin pengamat, dalam hal ini adalah mahasiswa fakultas hukum, dengan penilaian andil korban dalam kasus perkosaan. Biarpun demikian, berdasarkan rata-rata nilai rape myth acceptance dalam penelitian ini, tampak bahwa partisipan laki-laki memiliki rata-rata nilai yang lebih tinggi daripada partisipan perempuan. Hasil ini konsisten dengan berbagai hasil penelitian sikap terhadap perkosaan dan rape myth acceptance sebelumnya (Burt, 1980; Field, 1978; Kopper, 1996; Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999; Witoelar, 1992). Menurut Matlin (1987), laki-laki lebih suka meyakini bahwa penyebab perkosaan bisa diatribusikan pada kepribadian korban dan perilaku korban sebelum terjadinya perkosaan. Selain itu, Selby, Calhount, dan Brock (dalam Matlin, 1987) menambahkan bahwa perempuan lebih cenderung menyalahkan pelaku perkosaan dibandingkan laki-laki.

(16)

merupakan satu-satunya subskala yang berbeda secara signifikan antara laki-laki dengan perempuan. Berdasarkan subskala tersebut, partisipan laki-laki secara signifikan lebih meyakini bahwa perempuan berhasrat untuk diperkosa atau berhubungan seksual dengan paksaan. Terkait hal ini, Matlin (1987) menyebutkan bahwa laki-laki memegang teguh keyakinan bahwa perempuan berkeinginan untuk diperkosa karena perkosaan merupakan sebuah perilaku yang mereka lakukan atas dasar maskulinitas dan perempuan menginginkannya atas nama feminitas. Hasil tersebut pun tercermin dari komentar partisipan laki-laki saat pengisian alat ukur, seperti, “Ya, kadang memang gitu sih perempuan, emang

lebih suka kalau agak dipaksa”.

Terkait kecenderungan respon antara partisipan laki-laki dan perempuan, tampak bahwa baik partisipan laki-laki maupun perempuan cenderung merespon “agak tidak setuju” pada skala umum rape myth acceptance. Adapun pada ketujuh subskala rape myth acceptance, rata-rata partisipan laki-laki dan perempuan merespon pada rentang “tidak setuju”

hingga “agak setuju”, di mana subskala dengan respon terendah terendah adalah perempuan sebenarnya menginginkan dirinya diperkosa dan respon tertinggi adalah pada subskala laki-laki tidak benar-benar bermaksud memperkosa. Jika dikaitkan dengan perbandingan rata-rata

nilainya, subskala yang direspon “tidak setuju” tersebut merupakan satu-satunya subskala di mana terdapat perbedaan rata-rata nilai yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan. Jika berdasarkan nilai tengah respon (3,5), tampak bahwa baik laki-laki maupun perempuan cenderung merespon diatas nilai tengah tersebut pada subskala perempuan merupakan minta diperkosa atau pemicu terjadinya perkosaan dan laki-laki tidak bermaksud melakukan perkosaan, sedangkan empat skala lainnya cenderung berada direspon di bawah nilai tengah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa intervensi untuk menepis mitos perkosaan penting dilakukan pada partisipan baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, khususnya pada subskala yang direspon di atas nilai tengah.

(17)

Penelitian terkait mitos perkosaan merupakan tahap awal dari intervensi iklim kriminalitas terkait perkosaan. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian yang masih sangat sederhana terkait mitos perkosaan. Peneliti menyadari banyaknya kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini, seperti tidak adanya pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur secara kuantitatif, kurangnya observasi dan perolehan data yang dapat memperkaya hasil penelitian, dan kurangnya referensi yang dapat diperoleh peneliti untuk memperkuat dasar teori dalam penelitian ini, terutama referensi mengenai penelitian rape myth acceptance yang berasal dari Indonesia yang tidak berhasil peneliti temukan. Hampir semua referensi mengenai rape myth acceptance diperoleh dari referensi luar negeri, khususnya negara barat. Oleh karena itu, peneliti berharap akan ada penelitian lanjutan dan lebih baik terkait topik ini. Penelitian lanjutan tersebut diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai rape myth acceptance, memperluas jangkauan bahasan mengenai rape myth acceptance pada masyarakat Indonesia, dan membuktikan kebenaran berbagai asumsi yang telah dipaparkan. Bagaimanapun, dengan latar belakang serta karakteristik masyarakat dan budaya yang berbeda dengan Indonesia, sangat mungkin ada hal-hal spesifik dan unik terkait topik rape myth acceptance di Indonesia yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori barat. Selain itu, ada kemungkinan masyarakat Indonesia memiliki mitos-mitos perkosaan yang spesifik dan tidak terdapat di negara-negara barat, mitos-mitos perkosaan yang lebih kuat dipegang dan juga mempengaruhi sikap masyarakat Indonesia dalam menanggapi tindak kejahatan ini.

Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil utama dalam penelitian ini, antara lain: tidak terdapat perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan dewasa muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Jakarta dan sekitarnya, penyidik unit PPA secara signifikan lebih menganggap bahwa perkosaan merupakan perkara sepele dibandingkan orangtua, dan berdasarkan kecenderungan respon kedua partisipan, rata-rata respon tertinggi partisipan terletak pada subskala yang menyatakan bahwa laki-laki sebenarnya tidak bermaksud memperkosa perempuan, di mana partisipan orangtua dan penyidik sama-sama merespon agak setuju pada subskala tersebut. Adapun rata-rata respon terendah adalah pada subskala perempuan sebenarnya ingin dirinya diperkosa, yakni tidak setuju.

(18)

sebenarnya menginginkan dirinya diperkosa dibandingkan partisipan perempuan, dan berdasarkan kecenderungan respon kedua partisipan, rata-rata respon tertinggi partisipan terletak pada subskala yang menyatakan bahwa laki-laki sebenarnya tidak bermaksud memperkosa perempuan, di mana partisipan laki-laki dan perempuan sama-sama merespon agak setuju pada subskala tersebut. Adapun rata-rata respon terendah adalah pada subskala perempuan sebenarnya ingin dirinya diperkosa, yakni tidak setuju.

Saran

Saran metodologis yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya, antara lain: perluas cakupan penelitian dengan data demografi dan variabel lain yang lebih variatif dan terkait rape myth acceptance, persiapkan penelitian dengan lebih matang dan antisipatif (terkhusus masalah birokrasi), adakan pengujian reliabilitas dan validitas alat ukur secara kuantitatif, tingkatkan kontrol dan observasi selama pengambilan data, perkaya data dengan wawancara partisipan (jika memungkinkan), dan jika memungkinkan adakan survey mengenai mitos perkosaan di Indonesia karena perbedaan latar belakang budaya dengan negara barat, memungkinkan Indonesia memiliki mitos perkosaan yang khas dan berbeda.

Saran praktis yang dapat diberikan, antara lain: perbaikan sistem rekrutmen penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), pembekalan yang memadai terkait tugas dan sikap penyidik unit PPA, seperti pelatihan konseling dan pelatihan/sosialisasi sensitif gender, peningkatan sosialisasi mengenai fakta-fakta terkait perkosaan untuk menepis mitos perkosaan yang tersebar dimasyarakat, dan peningkatan dukungan untuk memperoleh keadilan hukum bagi korban perkosaan.

Kepustakaan

Amelia, E. (2010, 2 Januari). Perkosaan di angkot masih menghantui Jakarta. Dipetik 28 Januari 2011 dari Detik.Com:

http://www.detiknews.com/read/2012/01/02/145431/1804740/10/2012-perkosaan-di-angkot-masih-menghantui-jakarta?nd992203605

Anderson, K. B., Cooper, H., dan Okamura, L. (1997). Abstrak: Individual differences and attitudes toward rape: A meta-analytic review. Personality and Social Psychology Bulletin, 23, 295-325. Dikutip dari http://psp.sagepub.com/content/23/3/295.abstract

Briere, J., Malamuth, N., & Check, J. (1985). Sexuality and rape-supportive belief. International Journals of Women’s Studies, 8, 398-403.

(19)

Brownmiller, S. (1975). Against our will: Men, women, and rape. New York: Simon and Schuster.

Burt, M. R. (1980). Cultural myth and supports for rape. Journal of Personality and Social Psychology, 38(2), 217-230.

Feild, H. S. (1978). Abstrak: Attitudes toward rape: A comparative analysis of police, rapists, crisis counselors, dan citozens. Journal of Personality and Social Psychology, 36(2), 156-179. Dikutip dari

https://www.ncjrs.gov/App/Publications/abstract.aspx?ID=46480

Gatra, S. (2012, 6 Maret). Marzuki Ali: Pelecehan seksual dipicu pakaian tak pantas. Dipetik 6 September 2012 dari Kompas.Com:

http://nasional.kompas.com/read/2012/03/06/14273563/Marzuki.Ali.Pelecehan.Seksua l.Dipicu.Pakaian.Tak.Pantas

Hyde, J. S. (1990). Understanding human sexuality (4th ed.). New York: McGraw Hill, Inc.

Khaerudin dan Mulyadi, A. (2011, 24 November). Perkosaan, kekerasan seksual terbanyak di Indonesia. Dipetik 28 Januari 2012 dari Kompas.Com:

http://nasional.kompas.com/read/2011/11/24/21344444/Perkosaan.Kekerasan.Seksual. Terbanyak.di.Indonesia

Kopper, B. A. (1996). Gender, gender identity, rape myth acceptance, and time of initial resistance on the perception of acquaintance raoe blame and avoidability. Sex Roles: A Journal of Research, (34), 81-93. DOI: 10.1007/BF01544797

Kurniawati Y. (2012, 25 Januari). Jangan telanjangi korban perkosaan. Dipetik 28 Januari 2012 dari Kompasiana.Com: http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/25/jangan-telanjangi-korban-perkosaan/

Latif, S., Widjaja, I., dan Afrianti, D. (2011, 18 September). Rok mini dan keamanan warga perempuan. Dipetik 28 Januari 2012 dari VivaNews.Com:

http://fokus.vivanews.com/news/read/248040-perkosaan-di-angkot--rok-mini-disalahkan

Lonsway, K. dan Fitzgerald, L. (1994). Abstrak: Rape myths: In review. Psychology of Women Quarterly, 18, 133-164. Dikutip dari

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1471-6402.1994.tb00448.x/abstract

Lonsway, K. Dan Fitzgerald, L. (1995). Attitudinal anticedents of rape myth acceptance: A theoretical and empirical reexamination. Journal of Personality and Social

Psychology, 68(4), 704-711.

Martin, C. A. dan Colbert, K. K. (1997). Parenting: A life span perspective. Boston: McGraw Hill, Inc.

(20)

Page, A. D. (2010) True colors: Police officers and rape myth acceptance. Feminist Criminology, 5(4), 315-334. DOI: 10.1177/1557085110384108

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, E. D. (2009). Human Development (11th edition). New York: McGraw-Hill, Inc.

Pawestri, T. (2011, 20 September). Bukan salah korban pemerkosaan. Dikutip 19 September 2012 dari Tempo.Com: http://www.tempo.co/read/kolom/2011/09/20/450/Bukan-Salah-Korban-Pemerkosaan-

Poerwandari, K. (2008). Penguatan psikologis untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual: Panduan dalam bentuk tanya-jawab. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Rahayu, Sekartadji, K., dan Rochaeti, N. (2005). Penanganan RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Kepolisian Kota Besar Semarang terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual (Laporan Penelitian Dosen). Semarang: Fakultas hukum Universitas

Diponegoro.

Renzetti, C. & Curran, D. (1989). Women, man, and society: The sociology of gender. Needham Heights: Allyn and Bacon.

Sapp, A. D. (1999). Penyimpangan perbuatan seksual oleh polisi. Dalam Thomas Barker dan David L. Carter. Police Deviance (3rd Ed.). Jakarta: Cipta Manunggal.

Takwin, B. (2011). Membongkar mitos perkosaan. Dalam Jurnal Perempuan Perkosaan dan Kekuasaan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) BARESKRIM POLRI. (n.d.). Profil UPPA. Dikutip 3 Oktober 2012 dari Uppabareskrim.Info:

http://www.uppabareskrim.info/sippa/links_menu.php?op=profil

Widayanti, L. S., Wurdani, S., dan Sukaten, H. W. (1997, Februari). Mereka yang terlupakan para korban kejahatan perkosaan. Buletin Penalaran Mahasiswa UGM (Vol. 3 No. 1), hal. 23-33.

Gambar

Tabel 1.1 Perbandingan Rape Myth Acceptance antara Kelompok Partisipan Orangtua dengan Kelompok Partisipan Penyidik unit PPA
Tabel 1.3 Kecenderungan Orangtua dan Penyidik Unit PPA Merespon Skala Umum dan Subskala Rape
Tabel 2.1 Perbandingan Rape Myth Acceptance antara Partisisipan Berjenis Kelamin Laki-laki dengan
Tabel 2.3 Kecenderungan Partisipan Laki-laki dan Perempuan Merespon Skala Umum dan Subskala Rape Myth Acceptance

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan madu dan hidrogel pada pengamatan histopatologi kulit

Penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa perempuan dengan siswa laki-laki pada mata pelajaran Biologi di Madrasah Aliyah

hubungan positif yang signifikan antara self-forgiveness dengan resiliensi pada orang. dengan HIV/AIDS (ODHA) pada dewasa muda

PERBANDINGAN EFEK PENINGKATAN KADAR GULA DARAH ANTARA KONSUMSI TEH MANIS DAN KURMA SAAT PUASA PADA USIA

Kesimpulan dari penelitian adalah: (1) Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara komunikasi orangtua-anak dengan perilaku bullying pada siswa SMK. Artinya

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perencanaan karir dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar dengan Snowball Throwing dengan Numbered Head Together,

Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial orangtua