MORAL & ETIKA KEILMUAN
MORALITAS DALAM ILMU DAN TEKNOLOGI
Salah tafsir mengenai ilmu dan kecurigaan terhadap ilmuwan biasanya bersumber pada pembahasan, yang kurang memperhatikan landasan-landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis secara spesifik.Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen).Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif-alternatif untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis, Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khususnya didunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya. Ia juga memikul tanggung jawab social, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya; dan tangggung jawab moral yang lebih luas cakupannya
Etika dan Moral
Makna etika dapat dikelompokkan menjadi kumpulan nilai dan moral untuk berpikir dan bertindak seorang ilmuwan. Istilah kunci dari bahasa etika adalah sekumpulan nilai, hak, kewajiban, peraturan dan hubungannya. Ilmu sebagia aktifitas dan metode ilmiah juga memiliki etika yang harus dijunjung tinggi, sehingga menghasilkan ilmu mengetahuan yang obyektif .Moral, diartikan sebagai etika (akhlak). Sejak sekitar abad ke 5 sebelum masehi sudah banyak dibicarakan secara mendalam, didiskusikan dan dianalisa dikalangan para pemikir yang memfokuskan diri pada falsafah hidup dan perilaku manusia.
Dari seluruh pemikiran selama berabad abad mengenai etika dan moral barangkali bisa disimpulkan secara sederhana walau jauh dari sempurna; bahwa etika dan moral ini erat hubungannya dengan perilaku manusia yang tulus keluar dari batin sanubari dalam tiap pemikiran, perkataan, perbuatan (tindakan) nyata dalam koridor yang pasti untuk tidak menyakiti baik lahir mapun batin, menindas, menyinggung, meremehkan, melecehkan, merendahkan dan menghilangkan hak pribadi serta menginjak martabat pihak lain secara terbuka maupun tersembunyi dimana dia berada atau dalam jangkauannya serta mutu akhlaknya bisa diterima sebagian besar umat manusia”.
Ilmu dalam Perspektif Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi” (Dikti, 1984)
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat;
1.Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
2.Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya
b.Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan
c.Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis.
Tanggung jawab profesional ini mencakup asas: 1. kebenaran
2. kejujuran
3. tanpa kepentingan langsung
4. menyandarkan kepada kekuatan argumentasi
5. rasional
6. obyektif 7.kritis
8. terbuka
9. pragmatis
10. netral.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda.
Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal, tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
martabat kemanusiaan. Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber
moral (das sollen) sikap formal kita. Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan
Hubungan Ilmu dan Moral
Ilmu dan moral keduanya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontology merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari obyek ontologis atau obyek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka sebaiknya pengkajian mengenai hal tersebut didekati secara terperinci dari ketiga komponen tadi. Sebab pernyataan yang bersifat umum seperti “ilmu adalah netral” atau “ilmu tidak terbebas dari nilai” bisa menyasatkan dan hanya bisa ditafsirkan dengan benar sekiranya dikaitkan dengan aspek atau komponen keilmuan tertentu. Inilah yang menyebabkan kontroversi yang berlarut-larut mengenai kaitan antara ilmu dan moral. Kedua pernyataan tersebut diatas yang kelihatannya bertentangan dan menjadi dasar argumentasi dari kedua kutub (aliran) yang berlawanan, yakni bahwa “ilmu adalah netral” atau “ilmu tidak terbebas dari nilai”, sebenarnya dapat dipertemukan sekiranya dilihat dalam lingkup yang tepat. Untuk itulah maka pembahasan mengenai kaitan antara ilmu dengan moral akan didekati secara lebih terperinci dari segi ontology, epistomologi dan aksiologi keilmuan.
1.Pendekatan ontologis
Secara ontologis maka ailmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yangberada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaah keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adeanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan obyek penelaahan ilmiah maka pennggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan kelestarian/keseimbangan alam. Salah satu alas an untuk tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan.Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parochial seperti ras, ideolog atau agama. “Ilmu Russia atau ilmu Arya,” meminjam perkataan Barber, “merupakan sesuatu yang dibenci ilmu (Abhorrent dalam Dikti 1984).
3.Pendekatan Epistemologis
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun
(b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemmikiran tersebut dan
(c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypothetico-verifikayif atau deduct-hypothetico-verifikatif.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara obyektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta menolak pernyataan hipotesis). Demikian juga verifikasi factual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan system umpan balik korektif yang ditunjang dengan cara berfikir kritis yang disebut Merton sebagai “skeptisisme terorganisasi. Artinya cara berfikir ilmiah dimulai dengan sifat skeptif terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini berbeda dengan modus yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agama.
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan: Profesional dan Moral
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas moral ini pada hakekatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab professional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6) obyektif; (7) kritis; (8) terbuka; (9) pragmatis; dan (13) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakekat realitas.