• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabilitas dan Tren Jangka Panjang 199

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Variabilitas dan Tren Jangka Panjang 199"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

i

ABSTRAK

VARIABILITAS DAN TREN JANGKA PANJANG (1990

2015)

TINGGI GELOMBANG LAUT DI PERAIRAN INDONESIA

Oleh

Welly Fitria

NIM: 22414306

(Program Studi Magister Sains Kebumian)

Variabilitas tinggi gelombang dapat diketahui dengan menghitung variansi tinggi gelombang baik secara spasial ataupun temporal di wilayah perairan. Metode

empirical orthogonal function (EOF) yang digunakan pada kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi seberapa besar kontribusi sirkulasi atmosfer berupa sinyal intraseasonal, musiman, antartahunan, intradecadal, dekadal, dan

interdecadal terhadap variansi tinggi gelombang di seluruh wilayah perairan Indonesia. Data regional hasil simulasi model Wavewatch 3 (WW3) dengan resolusi 0,125o x 0,125o selama 25 tahun (1991-2015) akan digunakan pada kajian ini, dengan lokasi perairan berada pada koordinat 20o LU - 20o LS dan 90o- 150o BT. Selain kajian mengenai variansi tinggi gelombang, studi mengenai tren tinggi gelombang juga akan menggambarkan karakteristik variabilitas gelombang di wilayah perairan Indonesia. Uji Mann-Kendall digunakan untuk melihat ada tidaknya tren kenaikan tinggi gelombang signifikan di wilayah perairan Indonesia. Analisis EOF menghasilkan 4 mode yang mewakili 90% dari total variansi yang mempengaruh variabilitas tinggi gelombang di seluruh daerah kajian. Tiga mode pertama, dominan dipengaruhi oleh monsun 12 bulanan sedangkan mode 4 dominan dipengaruhi oleh monsum 6 bulanan. Secara spasial mode 1 terbagi menjadi zona Perairan Indonesia bagian utara dan bagian selatan sedangkan mode 2 terbagi atas zona Perairan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Selanjutnya mode 3 yang juga dimodulasi oleh sinyal antartahunan dan dekadal terbagi menjadi 3 zona yaitu wilayah Samudra Pasifik (SP), Laut Cina Selatan (LCS), dan Samudra Hindia (SH) sedangkan mode 4 yang juga dipengaruhi oleh swell secara spasial terbagi atas zona SP, LCS dan perairan Indonesia bagian dalam, serta SH. Selanjutnya variabilitas jangka panjang tinggi gelombang di Perairan Indonesia, secara signifikan mempunyai tren kenaikan sebesar 0,2-0,7 cm per tahun.

(2)

ii

ABSTRACT

VARIABILITY AND LONG TERM TRENDS OF THE

SIGNIFICANT WAVE HEIGHT IN THE INDONESIAN SEAS

FOR 1991-2015

By

Welly Fitria

NIM: 22414306

(Master Study Program of Earth Sciences)

Understanding the variability and characteristics of waves in the Indonesian seas is of paramount importance for supporting planning purposes of various marine activities. Variability of wave height can be known by determining the spatial and temporal wave height variance. The empirical orthogonal function (EOF) method used in this study is expected to provide information on the contribution of the ocean atmosphere system to the wave height variance in the Indonesian seas. It is known that the ocean atmosphere system has variability on some several timescales, which are intraseasonal, seasonal, interannual, intradecadal, decadal, and interdecadal. Regional data of Wavewatch 3 (WW3) model simulation with resolution 0,125o x 0,125o for 25 years (1991-2015) was used in this study and the area of the study is located between 20o N - 20o S and 90o E - 150o E. Besides variability, wave height trend also describes the characteristics of wave variability in the Indonesian seas. The Mann-Kendall is performed to investigate significant wave height trends in the Indonesian seas.

The EOF analysis resulted in 4 modes that represents 90% of the total variance that contributes to the wave height variability in the entire model domain. Mode 1 was dominated by annual monsoon and the spatial mode is dividing the study area in to northern and southern Indonesian waters zones. Mode 2 is dominantly influenced by 12 and 6 months monsoons, whereas the spatial distribution is dividing the waters of Indonesia in to eastern and western coastal zones. Furthermore the 3rd mode is influenced by 12 and 6 month monsoons and is modulated by interannual and decadal signals. Its spatial distribution is dividing the waters of Indonesia into 3 zones associated with the Pacific Ocean (PO), South China Sea (SCS), and Indian Ocean (IO). The 4th mode is modulated by swell, while spatially the Indonesian seas are divided into PO, SCS, Indonesian inner seas and IO. The Indonesian seas experienced an increase trend in wave height, especially in Indonesian inner seas. Increased trend of the wave height was found to be between 0,2-0,7 cm per year.

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

VARIABILITAS DAN TREN JANGKA PANJANG (1991

2015)

TINGGI GELOMBANG LAUT DI PERAIRAN INDONESIA

Oleh

Welly Fitria

NIM: 22414306

(Program Studi Magister Sains Kebumian)

Institut Teknologi Bandung

Menyetujui Tim Pembimbing

Tanggal: Bandung, Juni 2017

Pembimbing Pertama

_______________________ (Dr. Eng. Nining Sari Ningsih)

Pembimbing Kedua

(4)

iv

PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS

Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kaidah ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Sitasi hasil penelitian Tesis ini dapat ditulis dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:

Fitria, W. (2017): Variabilitas dan tren jangka panjang (1991-2015) tinggi gelombang laut di perairan Indonesia, Tesis Program Studi Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut:

Fitria, W. (2017): Variability and long term trends of the significant wave height in the Indonesian seas for 1991-2015 , Master’s Program Thesis of Earth Sciences, Institut Teknologi Bandung.

(5)

v

HALAMAN PERUNTUKAN

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penelitian dan penulisan tesis ini telah terlaksana dan dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan sumbangsih pengetahuan terkait kontribusi fenomena atmosfer terhadap tinggi gelombang laut di perairan Indonesia. Dengan harapan agar penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas informasi gelombang laut yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebagai institusi tempat penulis bernaung selama ini.

Penelitian ini dilakukan atas bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak, yaitu:

1. Dr. Eng. Nining Sari Ningsih dan Dr. Andri Ramdhani, S. Kom., M.Si. sebagai pembimbing, atas segala saran, bimbingan, dan nasihatnya selama penelitian berlangsung dan selama penulisan tesis ini.

2. Dr. Mutiara R. Putri dan Dr. Rima Rachmayani sebagai penguji atas saran dan masukan yang konstruktif.

3. Dr. Ibnu Sofian, M.Eng dari Badan Informasi Geospasial (BIG) yang telah memberikan data gelombang hasil simulasi model gelombang spektral generasi ketiga Wavewatch III (WW3) untuk digunakan pada penelitian ini.

4. Dr. Ardhasena Sopaheluwakan atas segala bimbingan dan ilmunya yang sangat berharga.

5. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) atas program beasiswa yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di program studi Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

(7)

vii

7. Staf administrasi program studi Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung atas bantuan administrasi selama penulis menempuh studi dan menyelesaikan tesis. 8. Rekan-rekan mahasiswa program studi Sains Atmosfer angkatan 2014

dan 2015, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung atas diskusi-diskusi yang sangat membantu.

9. Rekan-rekan Pusat Penelitian dan Pengembangan, BMKG atas bantuan dan diskusinya.

10.Semua pihak yang telah banyak membantu selama ini, baik secara langsung dan tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Terima kasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku dan adik-adikku atas do’a, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada mertua dan keluarga besar atas doa dan dukungannya. Akhirnya rasa penghargaan dan kasih sayang yang tulus penulis ucapkan kepada suami tercinta HB. Risya Oktaria S. dan buah hati tersayang Tsar Serkan Prisya dan Hagia Cleopatra Prisya, atas dukungan moril, do’a, dan kesabarannya selama penulis menempuh studi.

(8)

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS... iv

HALAMAN PERUNTUKAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... x

Bab I Pendahuluan ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 5

I.3 Hipotesis ... 6

I.4 Tujuan Penelitian ... 6

I.5 Sistematika Penulisan ... 7

Bab II Studi Pustaka ... 8

II.1 Gelombang Laut ... 8

II.2 Variabilitas Sirkulasi Atmosfer di Indonesia... 9

II.2.1Sirkulasi Angin Monsun ... 10

II.2.2Variasi Sirkulasi Atmosfer Daerah Tropis ... 11

II.3 EOF (Empirical Orthogonal Function) ... 13

II.4 Analisis Tren ... 14

II.5 Studi Terdahulu ... 14

II.6 Perbedaan Studi Terdahulu dengan Sekarang ... 16

Bab III Data dan Metodologi ... 17

III.1 Data ... 17

III.2 Daerah Kajian ... 17

III.3 Metodologi ... 18

III.4 Bagan Alir Penelitian ... 20

Bab IV Hasil dan Pembahasan ... 21

IV.1 Hasil Analisis EOF ... 21

(9)

ix

IV.3 Uji Hasil Analisis EOF ... 36

IV.4 Analisis Tren Jangka Panjang Tinggi Gelombang Signifikan... 41

Bab V Kesimpulan ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Gelombang di laut merupakan superposisi banyak gelombang harmonik (Sumber: diadaptasi dari Pierson, 1995 dalam

Holthuijsen, 2007). ... 8

Gambar III.1 Wilayah kajian dan profil batimetri. ... 17

Gambar III.2 Bagan alir penelitian. ... 20

Gambar IV.1 Rata-rata tinggi gelombang signifikan selama 25 tahun (1991-2015). ... Error! Bookmark not defined. Gambar IV.2 Mode yang mewakili 95% dari total variansi.Error! Bookmark not defined. Gambar IV.3 Hasil anal Gambar IV.1 Rata-rata tinggi gelombang signifikan selama 25 tahun (1991-2015). ... 21

Gambar IV. 2 Mode yang mewakili 95% dari total variansi. ... 22

Gambar IV. 3 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 1. ... 23

Gambar IV. 4 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 2. ... 24

Gambar IV. 5 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 3. ... 26

Gambar IV. 6 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 4. ... 27

Gambar IV. 7 Rata-rata medan angin (m/s) musiman (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON. ... 29

Gambar IV. 8 Pola temporal dan bandpass filter periode 2-4 bulan pola temporal mode 1. ... 30

Gambar IV. 9 Lokasi uji fenomena dekadal pada mode 1. ... 31

Gambar IV. 10 Indeks PDO yang di-detrend dengan (a) pola temporal mode 1 yang di-detrend, (b) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik A (Laut Cina Selatan) yang di-bandpass filter periode 9-13 tahun, (c) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik B (Samudra Hindia) yang di-bandpass filter periode 9-13 tahun, dan (d) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik C (Samudra Pasifik) yang di-bandpass filter periode 9-13 tahun. Lokasi Titik A-C dapat dilihat pada Gambar IV.9. ... 32

Gambar IV. 11 Pola temporal mode 2 yang di-detrend, ONI, dan DMI. ... 33

Gambar IV. 12 Pola temporal mode 3 yang di-detrend, ONI, dan DMI. ... 34

Gambar IV.13 Pola temporal mode 3 yang di-detrend dan indeks PDO... 34

Gambar IV. 14 Rata-rata Hs swell selama (a) DJF dan (b) JJA ... 35 Gambar IV.15 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di

(11)

xi

pola spasial dan pola temporal dari mode 1 sampai mode 4 (hs90%A). ... 37 Gambar IV. 16 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di

Titik B (hsB) dan hasil perkalian pola spasial dan temporal di Titik B untuk (a) mode 1 (hs1B), (b) mode 2 (hs2B), (c) mode 3 (hs3B), (d) mode 4 (hs4B), dan (e) penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal dari mode 1 sampai mode 4 (hs90%B). ... 39 Gambar IV. 17 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di

Titik C (hsC) dan hasil perkalian pola spasial dan temporal di Titik C untuk (a) mode 1 (hs1C), (b) mode 2 (hs2C), (c) mode 3 (hs3C), (d) mode 4 (hs4C), dan (e) penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal dari mode 1 sampai mode 4 (hs90%C). ... 40 Gambar IV. 18 Tren jangka panjang tinggi gelombang signifikan (cm/tahun) di

perairan Indonesia (1991-2015). ... 42 Gambar IV. 19 Tren jangka panjang (1988-2011) kecepatan angin permukaan

(cm dtk-1 tahun-1 ) secara global dengan taraf signifikansi 95% (Zheng dkk., 2016)... 42 Gambar IV. 20 Tren tinggi gelombang signifikan periode 1991-2015 (a) di Laut Cina Selatan dan (b) Perairan Selatan Jawa... 43 Gambar IV. 21 Ocean Niño Index (ONI)... 43 Gambar IV.22 Indeks Pacific Decadal Oscillation, PDO (adaptasi dari

http://research.jisao.washington.edu/pdo/). ... 44 Gambar IV. 23 Windrose angin rata-rata di Pulau Tarawa selama (a) terjadi El

Niño dan (b) terjadi La Niña (Yamashita, 2016). ... 45 Gambar IV. 24 Tren kecepatan angin periode 1991-2015. ... 46 Gambar L.1 Analisis power spectrum dari pola temporal (a) mode 5, (b) Gambar L.4 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Studi terdahulu. ... 15

Tabel IV.1 Koefisien korelasi mode 1 dan mode 2 tinggi gelombang di Atlantik Utara (NA), Pasifik Utara (NP), Samudra di bumi bagian selatan (SO) pada periode DJF dan JJA (Semedo dkk., 2011). ... 30

Tabel IV.2 Koefisien korelasi mode 1 sampai mode 4 dengan DMI, ONI, dan PDO. ... 31

Tabel IV. 4 Studi terdahulu tren tinggi gelombang... 45

Tabel L. 1 Nilai temporal mode 1 sampai mode 8 hasil analisis EOF ... 54

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Analisis power spectrum mode 5 – mode 8...51 Lampiran B Tinggi gelombang signifikan secara global (Semedo dkk., 2011).52 Lampiran C Nilai temporal dari mode 1 sampai mode 8...54 Lampiran D Perhitungan uji hasil EOF di Titik A (perkalian pola temporal dan

pola spasial di Titik A)...61 Lampiran E Perhitungan uji hasil EOF di Titik A (perkalian pola temporal dan

pola spasial di Titik A) untuk mode 5 sampai mode 8...68 Lampiran F Perhitungan uji hasil EOF di Titik B (perkalian pola temporal dan

pola spasial di Titik B) untuk mode 5 sampai mode 8...69 Lampiran G Perhitungan uji hasil EOF di Titik C (perkalian pola temporal dan

(14)

1

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Program tol laut yang dicanangkan pemerintah merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menegaskan jati diri Indonesia sebagai bangsa maritim. Tol laut ini bertujuan membangun transportasi laut dengan kapal atau sistem logistik kelautan yang melayani pelayaran dari Sabang hingga Merauke secara kontinu. Konsep tol laut ini akan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia, sehingga distribusi barang ke seluruh Indonesia lebih lancar.

Setiap pelayaran dan kegiatan kelautan lainnya dapat direncanakan dengan baik dan efisien apabila tersedia informasi mengenai karakteristik variabilitas gelombang di seluruh wilayah perairan. Hasil kajian yang dilakukan pada skala global, antara lain oleh Cox dan Swail (2001), Chen dkk. (2002), Sterl dan Caires (2005), Semedo dkk. (2011), serta Reguero dkk. (2012) menunjukkan bahwa perairan Indonesia memiliki variabilitas tinggi gelombang yang rendah dan cenderung konstan sepanjang tahun. Kajian-kajian tersebut masih menggunakan skala global dengan resolusi rendah, yaitu 1o x 1o atau lebih, sehingga perlu kajian yang lebih detail dengan menggunakan skala regional yang beresolusi tinggi.

(15)

2

x 1,5o, sehingga tidak representatif untuk wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau besar dan kecil.

Kajian dengan menggunakan data regional yang mempunyai resolusi tinggi diperlukan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai karakteristik tinggi gelombang secara spesifik di wilayah perairan Indonesia. Data alternatif yang dapat dipakai untuk mengetahui karakteristik tinggi gelombang adalah data

hindcast gelombang menggunakan model. Suratno (1997) telah melakukan simulasi gelombang menggunakan model gelombang generasi kedua, yaitu model

Marine Research Institute-II (MRI-II), untuk melakukan kajian karakteristik gelombang di perairan Indonesia. Hasil kajiannya menemukan bahwa karakteristik gelombang di perairan Indonesia umumnya mengikuti pola distribusi angin dengan arah gelombang utama mengikuti arah angin dominan.

Kurniawan (2012) juga melakukan kajian karakteristik gelombang di perairan Indonesia dengan menggunakan model yang sama dengan Suratno (1997), tetapi dengan data yang lebih panjang yaitu 11 tahun (2000-2010). Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa monsun yang berskala musiman merupakan pengendali utama adanya variasi gelombang di perairan Indonesia. Selain itu, dari kajiannya juga diketahui bahwa fenomena antartahunan, yaitu ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) juga mempengaruhi tinggi gelombang di perairan Indonesia. Tetapi kajian ini belum mengungkapkan seberapa besar kontribusi dari masing-masing fenomena tersebut yang berskala musiman maupun antartahunan terhadap variansi tinggi gelombang di perairan Indonesia, baik secara spasial maupun temporal.

(16)

3

Indonesia. Analisis pada kajian ini lebih difokuskan kepada pengaruh skala sinoptik dan intraseasonal, yaitu masing-masing siklon tropis dan Maden Julian Oscillation (MJO) terhadap kejadian gelombang tinggi di perairan Indonesia, khususnya Laut Jawa. Seperti halnya studi Kurniawan (2012) dan Suratno (1997), di dalam studi Ramdhani (2015) walaupun datanya panjang yaitu 24 tahun (1988-2011), juga belum dibahas mengenai seberapa besar kontribusi dari masing-masing fenomena atmosfer yang berskala musiman, antartahunan, intradecadal, dekadal, dan interdecadal terhadap variansi tinggi gelombang baik secara spasial maupun temporal di perairan Indonesia.

Semedo (2011) melakukan kajian terhadap tinggi gelombang perairan global dengan menggunakan data 45-yr European Centre for Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) Re-Analysis (ERA 40). Data ERA 40 dengan resolusi 1,5o x 1,5o tersebut disimulasikan menggunakan model gelombang generasi ketiga (WAM) untuk mendapatkan tinggi gelombang signifikan total (Hs). Selain tinggi gelombang signifikan total, model yang digunakan juga menghasilkan tinggi gelombang signifikan yang dibangkitkan oleh swell (Hss) dan windseas (Hsw). Selanjutnya tinggi gelombang signifikan total, tinggi gelombang signifikan yang dibangkitkan oleh swell, dan windseas secara berturut-turut disebut dengan tinggi gelombang signifikan, swell, dan seas. Untuk melihat variabilitas tinggi gelombang di perairan global, Semedo (2011) menggunakan metode Empirical Orthogonal Function (EOF) pada data Hs, Hs

s

, dan Hs w

(17)

4

Oscillation (NAO). Selanjutnya untuk Samudra Pasifik bagian utara dilakukan korelasi mode 1 dan mode 2 dengan Southern Oscillation index (SOI) dan North Pasific index (NPI) sedangkan untuk daerah SO dikorelasikan dengan southern annular mode index (SAMI). Kajian ini menghasilkan bahwa untuk masing-masing zona, fenomena atmosfer mempengaruhi variabilitas tinggi gelombang lebih dominan pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) dibandingkan periode Juni-Juli-Agustus (JJA).

Seperti halnya Semedo (2011), Ramadhan (2014) telah melakukan kajian tentang variabilitas gelombang di perairan Indonesia bagian barat menggunakan metode EOF berdasarkan data hasil simulasi selama tiga tahun (Juli 1996 sampai Juni 1999). Dalam hal ini, parameter yang diteliti adalah tinggi gelombang signifikan total (tidak memisahkan antara swell dan seas). Dari studi ini, berdasarkan fenomena atmosfer yang berkontribusi terhadap variansi tinggi gelombang di perairan Indonesia bagian barat diperoleh enam zona (secara spasial). Kajiannya menghasilkan enam mode yang mempengaruhi variansi tinggi gelombang pada daerah kajian, sedangkan mode yang paling dominan adalah mode 1 dan mode 2 yang mewakili 79,9% dari total variansi. Dari hasil analisis power spectrum

terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi mode 1 dan mode 2 berturut-turut adalah periode 12 dan 6 bulanan. Hasil analisisnya juga mengidentifikasi adanya pengaruh fenomena antartahunan (ENSO dan IODM) pada variabilitas tinggi gelombang. Pengaruh ENSO teridentifikasi pada mode 1 di Laut China Selatan, sedangkan pengaruh IODM teridentifikasi pada mode 1 di Samudra India dan mode 2 di Laut Jawa.

(18)

5

intraseasonal, musiman (6 dan 12 bulan), antartahunan (1,5 - 5 tahun),

intradecadal (5 – 9 tahun) , dekadal(9 – 13 tahun), dan interdecadal (>13 tahun) (Park dan Oh, 2000) terhadap variansi tinggi gelombang di seluruh wilayah perairan Indonesia.

Selain pemahaman variansi tinggi gelombang, kajian mengenai tren tinggi gelombang di perairan Indonesia juga perlu menjadi perhatian penting, khususnya terkait dengan isu perubahan iklim. Studi Caires dan Swail (2004), Sterl dan Caires (2005), serta Semedo dkk. (2011) memperlihatkan adanya tren linier kenaikan tinggi gelombang signifikan rata-rata dalam skala global dengan tingkat kepercayaan 95%. Beberapa daerah di wilayah tropis kenaikan tinggi gelombangnya bahkan melebihi 10 cm per dekade. Analisis data global yang digunakan pada penelitian tersebut perlu diuji lebih lanjut untuk kondisi di perairan Indonesia dengan resolusi spasial yang lebih tinggi.

I.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah

(19)

6

Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan riset berikut:

1. Seberapa besar kontribusi sinyal intraseasonal, musiman, antartahunan,

intradecadal, dekadal, dan interdecadal terhadap variansi tinggi gelombang di perairan Indonesia?

2. Bagaimana pola temporal variansi tinggi gelombang di perairan Indonesia? 3. Bagaimana pola spasial yang menggambarkan karakteristik variabilitas tinggi

gelombang laut di perairan Indonesia?

4. Bagaimana tren tinggi gelombang di perairan Indonesia untuk periode 25 tahun (1991-2015)?

Daerah penelitian dalam kajian ini adalah wilayah perairan Indonesia yang berada pada posisi 20o LU - 20o LS dan 90o BT - 150o BT, sedangkan data yang digunakan adalah data bulanan tinggi gelombang selama 25 tahun (1991-2015). Penggunaan data bulanan mengakibatkan analisis terhadap pola variabilitas dominan tidak dapat mengidentifikasi adanya fenomena sinoptik seperti siklon tropis.

I.3 Hipotesis

Sirkulasi atmosfer yang berupa sinyal intraseasonal, musiman, antartahunan,

intradecadal, dekadal, dan interdecadal berkontribusi terhadap variansi tinggi gelombang di perairan Indonesia dan secara spasial wilayah perairan Indonesia terdiri dari beberapa karakteristik. Untuk variansi tinggi gelombang jangka panjang di perairan Indonesia mengalami peningkatan tinggi gelombang sehubungan dengan tren kenaikan kekuatan angin secara global.

I.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui besarnya kontribusi sinyal intraseasonal, musiman, antartahunan,

intradecadal, dekadal, dan interdecadal terhadap pola variabilitas gelombang laut di perairan Indonesia.

(20)

7

3. Mengetahui pola spasial yang menggambarkan karakteristik variabilitas tinggi gelombang di perairan Indonesia.

4. Mengetahui tren/kecenderungan tinggi gelombang laut di perairan Indonesia.

I.5 Sistematika Penulisan

(21)

8

Bab II Studi Pustaka

II.1Gelombang Laut

Gelombang laut merupakan fenomena naik turunnya air laut dengan periode dan panjang gelombang tertentu. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin merupakan gelombang yang paling dominan terjadi di permukaan laut. Angin yang berhembus di atas permukaan laut sering berubah-ubah, yang mengakibatkan gelombang yang terjadi di permukaan laut juga memiliki bentuk yang tidak beraturan. Metode dasar yang digunakan untuk menganalisis gelombang laut menurut Holthuijsen (2007) adalah dengan menganggap gelombang tersebut sebagai superposisi dari banyak gelombang harmonik yang memiliki amplitudo, arah, dan frekuensi tertentu.

Gambar II.1 Gelombang di laut merupakan superposisi banyak gelombang harmonik (Sumber: diadaptasi dari Pierson, 1995 dalam Holthuijsen, 2007).

(22)

9

membentuk kekasaran muka laut yang membantu mempercepat transfer energi dari angin (The SWAN Team, 2013 dalam Ramadhan, 2014). Bila angin terus berhembus, energi dari atmosfer secara kontinu ditransfer ke laut dan akan terbentuk gelombang yang bentuknya tidak beraturan. Gelombang laut pada fase ini disebut wind sea. Pada suatu kondisi, gelombang sudah tidak dapat lagi bertambah meskipun angin terus bertiup. Pada keadaan ini telah tercapai kesetimbangan energi antara penambahan energi oleh angin dan pengurangan energi gelombang akibat pecahnya gelombang.

Gelombang yang keluar dari daerah pengaruh angin (fetch) memiliki bentuk yang lebih teratur, panjang gelombang yang lebih panjang, dan tetap bergerak menuju pantai meskipun kondisi tenang (tidak ada angin). Gelombang laut dalam fase ini disebut swell. Swell yang terdapat pada suatu lokasi pengamatan dapat berasal dari wilayah lain yang jauh dari tempat observasi tersebut, karena swell tidak berhubungan langsung dengan medan angin lokal (Semedo, dkk., 2011).

Ukuran gelombang direpresentasikan oleh tiga komponen yaitu tinggi, periode, dan panjang gelombang. Tinggi gelombang adalah jarak yang diukur dari lembah ke puncak gelombang, panjang gelombang adalah jarak antara dua puncak (atau lembah) gelombang yang berurutan, dan periode gelombang adalah selang waktu antara dua puncak (atau lembah) melewati satu titik tetap. Istilah yang biasa digunakan untuk tinggi gelombang laut adalah tinggi gelombang signifikan (Hs) yang merupakan tinggi rata-rata 1/3 dari gelombang-gelombang tertinggi yang nilainya setara dengan tinggi gelombang hasil observasi visual (WMO-702, 1998).

II.2Variabilitas Sirkulasi Atmosfer di Indonesia

(23)

10

pengetahuan tentang pola sirkulasi angin di perairan tersebut (Kushnir dkk., 1997).

Berdasarkan kriteria daerah monsun oleh Ramage (1971), wilayah Indonesia termasuk dalam wilayah monsun di mana arah angin dominan berbalik arah paling sedikit 120o pada monsun barat/Asia dan monsun timur/Australia. Hasil analisis yang dilakukan Swardika dkk. (2011) menunjukkan bahwa angin di perairan yang berada dibagian dalam kepulauan Indonesia pada bulan Desember bertiup dari barat-barat laut sedangkan pada bulan Juli angin bertiup dari arah timur-tenggara. Dari hasil kajian tersebut terlihat bahwa angin di perairan Kepulauan Indonesia mengikuti pola monsun. Selain angin monsun ada juga sirkulasi atmosfer lain di atmosfer Indonesia yang bersifat non musiman. Sirkulasi non musiman ini mencakup variasi diurnal (harian), intraseasonal (15 – 90 hari), antartahunan (1,5

– 5 tahun), intradecadal (5 - 9 tahun), dekadal (9 - 13 tahun), dan interdecadal

(>13 tahun) (Park dan Oh, 2000).

II.2.1 Sirkulasi Angin Monsun

Monsun adalah sistem sirkulasi regional yang mempunyai variasi musiman dan ditandai oleh pembalikan musiman dari sistem angin utama, yang diartikan sebagai perubahan arah gaya gradien tekanan permukaan dan cuaca utama ketika musim panas dan dingin (Tjasyono, 2008). Penyebab utama dari fenomena ini adalah pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara-selatan dan terciptanya kontras tekanan dan suhu antara benua dan samudra (Aldrian, 2008). Di wilayah Indonesia terjadinya pergerakan monsun dari barat laut menuju tenggara berhubungan dengan posisi benua dan samudra yang mengapit wilayah Indonesia.

(24)

11

berlawanan. Pada kondisi normal, wilayah Indonesia dipengaruhi oleh dua jenis monsun, yaitu monsun Asia dan monsun Australia. Monsun Asia mencapai puncaknya pada periode DJF, yang mana dalam hal ini angin bergerak dari benua Asia dengan membawa uap air yang menyebabkan hujan sehingga disebut musim penghujan, sedangkan monsun Australia ditandai oleh angin tenggara yang bersifat kering bertiup dari Australia menuju garis khatulistiwa dan dikenal dengan musim kemarau yang mencapai puncaknya pada periode JJA. Pada musim transisi antar kedua monsun yang terjadi pada Maret-April-Mei (MAM) dan September-Oktober-November (SON), arah dan kecepatan angin bertiup tidak menentu karena pada setiap awal periode musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji, 2005 dalam Kurniawan, 2012).

II.2.2 Variasi Sirkulasi Atmosfer Daerah Tropis

(25)

12

Fenomena dengan periode interannual salah satunya adalah El Niño Southern Oscillation (ENSO). ENSO adalah sebuah fenomena interaksi laut atmosfer yang berpusat di wilayah ekuatorial Samudra Pasifik. Osilasi dari fenomena ini terdiri atas dua fase, yaitu El Niño dan La Niña, masing-masing berhubungan dengan fase hangat dan dingin di wilayah tropis Pasifik. Gejala ENSO membawa implikasi laut indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada kejadian La Niña. Terjadinya El Niño/La Niña dianggap sebagai faktor pengganggu sirkulasi monsun yang berlangsung di Indonesia. Pada saat berlangsung La Niña terjadi penguatan angin pasat dan kolam air panas bergerak ke arah barat Samudra Pasifik, hal ini dapat menimbulkan meningkatnya tinggi gelombang di Pasifik bagian barat termasuk perairan Indonesia. Sebaliknya pada kondisi El Niño terjadi pelemahan angin di kawasan Pasifik bagian barat sehingga tinggi gelombang menjadi relatif rendah.

(26)

13

menyebabkan meningkatnya tinggi gelombang di perairan barat Sumatra sebelah utara khatulistiwa.

Fenomena yang menyerupai ENSO dan terjadi di wilayah Samudra Pasifik bagian utara dengan siklus biasanya 9-13 tahun dikenal dengan istilah Pacific Decadal Oscillation (PDO). Munculnya PDO akan memperkuat sinyal ENSO di selatan India, sementara SPL lokal secara langsung berhubungan dengan curah hujan total di wilayah semenanjung selatan (Shouraseni dkk, 2003 dalam Santriyani, 2011). Beberapa fenomena atmosfer lainnya yang terjadi di Samudra Pasifik dengan siklus 5-9 tahun dan >13 tahun berturut-turut adalah Quasi Decadal Oscillation

(QDO) dan Interdecadal P acific Oscillation (IPO) (Park dan Oh, 2000).

II.3EOF (Empirical Orthogonal Function)

EOF atau yang dikenal juga dengan sebutan Principal Component Analysis (PCA) merupakan sebuah konsep analisis statistik multivariat yang bertujuan untuk menyederhanakan keterkaitan yang kompleks dari suatu data set dengan membentuk satu atau lebih variabel baru sedemikian rupa sehingga lebih mampu menggambarkan pola dari keseluruhan data set dengan lebih baik. Keuntungan lainnya dari EOF adalah kemampuannya untuk mereduksi atau mengkompres data set, dengan mereduksi jumlah dimensi atau variabel tanpa kehilangan banyak informasi. Tinjau sebuah variabel skalar yang terdefinisi pada M titik

Persamaan II.1 dapat juga ditulis sebagai berikut

Dekomposisi data pada metode EOF mengikuti persamaan berikut

(27)

14

Analisis EOF berkaitan dengan variabilitas suatu variabel skalar di suatu tempat. Daerah dengan tanda pola spasial EOF yang sama (sama positif atau sama negatif), berarti memiliki variasi temporal yang sefase. Jika terdapat dua mode/PC (principle component) yang berdampingan memiliki pola temporal yang sama tetapi berlawanan fase secara spasial, maka data menunjukkan adanya sifat osilasi. Biasanya, tempat dengan nilai amplitudo EOF spasial yang lebih besar, menunjukkan variabilitas temporal yang besar pula (Kantha dan Clayson, 2000 dalam Ramadhan, 2014). Pengaruh mode terhadap variabilitas ditunjukkan oleh hasil perkalian antara pola spasial dan pola temporalnya.

II.4Analisis Tren

Analisis tren digunakan untuk mengamati kecenderungan data secara menyeluruh pada suatu kurun waktu tertentu yang cukup panjang. Untuk menguji adanya tren kenaikan atau penurunan dari data digunakan uji statistik non parametrik Mann-Kendall. Uji Mann-Kendall mempunyai keunggulan bahwa data tidak perlu harus memenuhi asumsi-asumsi yang diperlukan pada uji statistik parametrik. Nilai data dievaluasi sebagai orde deret waktu dan setiap data dibandingkan dengan semua data berikutnya.

II.5Studi Terdahulu

(28)

15

yang secara khusus difokuskan pada perairan Indonesia. Kajian terdahulu yang melakukan kajian tentang karakteristik variabilitas dan tren tinggi gelombang dapat dilihat pada Tabel II.1.

Tabel II.1 Studi terdahulu.

Penulis Topik Metode Hasil

Amsori (2002) Menentukan pola iklim gelombang musiman

Ramadhan (2014) Menentukan pola variabilitas dominan yang mempengaruhi variabilitas gelombang di perairan Indonesia bagian barat.

(29)

16

II.6 Perbedaan Studi Terdahulu dengan Sekarang

Studi terkait variabilitas gelombang yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia telah dilakukan oleh Amsori (2002), Kurniawan (2012), dan Ramdhani (2015) untuk melihat pengaruh monsun dan fenomena atmosfer lainnya terhadap tinggi gelombang di perairan Indonesia. Kajian tersebut belum ada yang memperlihatkan besarnya kontribusi fenomena atmosfer terhadap variansi tinggi gelombang di perairan Indonesia.

Pada kajian ini akan dilakukan analisis variansi tinggi gelombang baik secara spasial dan temporal menggunakan metode EOF yang merupakan pengembangan dari kajian yang dilakukan Ramadhan (2014). Pengembangan yang sangat mendasar dari kajian yang dilakukan Ramadhan (2014) adalah wilayah studi dan panjang data yang digunakan. Pada kajian ini wilayah studi mencakup seluruh wilayah perairan Indonesia dan panjang data yang digunakan adalah 24 tahun (1988-2011), sedangkan Ramadhan (2014) hanya mengkaji wilayah perairan Indonesia bagian barat dengan panjang data tiga tahun (Juli 1996 – Juni 1999). Data yang digunakan merupakan hasil simulasi yang dilakukan Ramdhani (2015), tetapi analisis yang dilakukan Ramdhani (2015) tidak mengkaji besarnya kontribusi sinyal musiman, antartahunan, intradecadal, dekadal, dan interdecadal

(30)

17

Bab III Data dan Metodologi

III.1 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data hindcast tinggi gelombang signifikan (Hs) rata-rata bulanan selama 25 tahun (1991-2015) yang merupakan hasil simulasi model yang dilakukan oleh Sofian (2010) dengan menggunakan model gelombang spektral generasi ketiga Wavewatch III (WW3) yang dikembangkan oleh NCEP (National Centre for Enviromental Prediction), Amerika Serikat. Masukan model untuk melakukan simulasi gelombang adalah angin reanalisis Cross Calibrated Multi Platform (CCMP), Navy Operational Global Atmospheric Prediction System (NOGAPS), dan Navy Global Enviromental Model (NAVGEM). Simulasi model dilakukan dengan menggunakan metode nesting yang terdiri dari dua domain, yaitu domain global (70o LU - 70o LS dan 0 - 360o) dengan resolusi grid model 0,75o x 0,75o dan domain Indonesia (20oLU - 20o LS dan 90o BT - 150o BT) dengan resolusi grid 0,125o x 0,125o.

III.2 Daerah Kajian

(31)

18

Daerah kajian pada penelitian ini merupakan wilayah perairan Indonesia yang berada pada posisi 20o LU - 20o LS dan 90o BT - 150o BT. Gambar III.1 menunjukkan daerah kajian dan profil batimetri yang bersumber dari National Geophysical Data Center (http://www.ngdc. noaa.gov/).

III.3 Metodologi

Analisis EOF digunakan untuk mengetahui bagaimana pola-pola variabilitas yang berperan dalam menentukan variansi terhadap nilai tinggi gelombang signifikan (Hs) di daerah studi baik secara temporal maupun spasial. Sehingga dengan metode EOF dapat diketahui seberapa besar kontribusi sinyal intraseasonal,

musiman, antartahunan, intradecadal, dekadal, dan interdecadal terhadap variansi tinggi gelombang pada domain studi. Analisis EOF menghasilkan mode-mode atau berbagai mode yang menggambarkan variabilitas tinggi gelombang signifikan pada seluruh area studi. Variabilitas Hs tersebut menunjukkan variansi nilai Hs dari nilai rata-ratanya. Informasi tentang variabilitas tinggi gelombang akan dominan pada beberapa mode pertama dan akan semakin kecil pada mode terakhir.

Uji hasil EOF dilakukan dengan membandingkan jumlah hasil perkalian antara nilai pola spasial dan pola temporal dengan data inputnya di beberapa titik, sehingga dapat diketahui seberapa dekat mode-mode tersebut menjelaskan variabilitas tinggi gelombang signifikan di titik tersebut. Pola temporal masing-masing mode merupakan gabungan dari berbagai sinyal dengan periode-periode yang berbeda. Untuk mengetahui berbagai sinyal tersebut, dilakukan analisis

power spectrum terhadap pola temporal masing-masing mode yang dihasilkan analisis EOF.

Selanjutnya variansi tinggi gelombang akan ditinjau berdasarkan ada tidaknya tren tinggi gelombang. Pada kajian ini uji Mann-Kendall digunakan untuk melihat tren tinggi gelombang di perairan Indonesia. Nilai statistik (S) Mann-Kendall dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut

 

  

 1

1 1sgn( ) N

i n

i

j xj xi

(32)

19 dengan,

(III.2)

Nilai S yang positif menunjukkan adanya tren kenaikan, semakin besar nilai S

maka semakin kuat bukti adanya kenaikan tersebut. Sebaliknya nilai S negatif menunjukkan tren penurunan, semakin besar nilai S maka semakin kuat bukti adanya penurunan tersebut.

Berikutnya diperlukan penghitungan probabilitas untuk mengukur taraf signifikan dari nilai tren yang didapatkan di atas. Taraf signifikan (α) yang akan digunakan pada kajian ini adalah 0,05, atau dapat dinyatakan bahwa tingkat kepercayaan dari uji tersebut adalah 95%. Perhitungan taraf signifikan tersebut menggunakan persamaan berikut:

(III.3)

dengan

(III.4)

Selanjutnya nilai absolut Z (|Z|) yang didapatkan di atas dibandingkan dengan

Zα/2 (fungsi probabilitas pada distribusi normal) untuk menentukan apakah uji yang dilakukan memenuhi tingkat kepercayaan 95%. Pada tabel distribusi normal didapatkan nilai Zα/2 untuk α = 0,05 adalah 1,96, maka apabila |Z|<Zα/2 dapat dilanjutkan penentukan besarnya tren tinggi gelombang signifikan menggunakan penaksir kemiringan Sen (Q) dari regresi linear deret waktu dengan model:

B QX

(33)

20 III.4 Bagan Alir Penelitian

Analisis terhadap data Hs pada penelitian ini meliputi tahapan pengolahan data dengan metode EOF dan selanjutnya menganalisis hasil EOF yang berupa pola dan persentase dari nilai variansi yang berperan dalam menentukan variabilitas dari nilai Hs di wilayah perairan Indonesia secara temporal dan spasial. Pola temporal dari analisis EOF merupakan gabungan dari berbagai sinyal dengan periode-periode yang berbeda, sehingga diperlukan analisis power spectrum untuk mengetahui periode dominan dari berbagai sinyal tersebut.

Selanjutnya untuk melihat kecendrungan dari Hs dilakukan uji Mann-Kendall terlebih dahulu guna menguji ada tidaknya tren terhadap data Hs tersebut. Apabila hasil uji memperlihatkan adanya tren pada data, dapat dilanjutkan dengan menentukan penaksir kemiringan Sen menggunakan metode garis linier. Nilai penaksir kemiringan Sen tersebut merupakan nilai kenaikan atau penurunan Hs per tahun.

(34)

21

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV.1 Hasil Analisis EOF

Variabilitas Hs menunjukkan variasi nilai Hs dari nilai rata-ratanya. Gambar VI.1 menunjukkan rata-rata tinggi gelombang signifikan di seluruh domain. Rata- rata

Hs tertinggi berada di Samudra Hindia (SH) hingga mencapai 2,8 m, kemudian

diikuti oleh nilai rata-rata Hs di Samudra Pasifik (SP) yang mencapai 2,5 m. Rata-rata Hs di Laut Cina Selatan (LCS) mencapai 1,6 m sedangkan untuk perairan Indonesia bagian dalam nilai rata-rata Hs tidak lebih dari 1 m.

Gambar IV.1 Rata-rata tinggi gelombang signifikan selama 25 tahun (1991-2015).

Analisis EOF pada kajian ini menghasilkan 8 mode yang mewakili 95,35% dari total variansi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar IV.2. Mode 1 mewakili 64,32%, mode 2 mewakili 16,60%, mode 3 mewakili 6,09%, dan mode 4 mewakili 3,37% dari total variansi. Sedangkan mode 5, mode 6, mode 7, dan mode 8 secara keseluruhan hanya mewakili 4,97% dari total variansi. Pada pembahasan hasil analisis EOF ini difokuskan kepada mode 1 sampai mode 4 yang secara total telah mewakili 90,38% dari total variansi.

(35)

22

Mode

Explained

Variance Total

Mode 1 64.32

Mode 2 16.60

Mode 3 6.09

Mode 4 3.37 90.38

Mode 5 1,76

Mode 6 1,46

Mode 7 1,08

Mode 8 0,67 95,35

Gambar IV. 2 Mode yang mewakili 95% dari total variansi.

Pola spasial dari mode 1 ditunjukkan oleh Gambar IV.3a. Hampir seluruh perairan LCS dan SP didominasi oleh nilai pola spasial positif, sedangkan SH didominasi oleh pola spasial bernilai negatif. Perbedaan tanda pola spasial menunjukkan keberlawanan fase variabilitas temporal oleh mode 1 antara perairan sebelah utara Indonesia yang meliputi LCS dan SP dengan perairan sebelah selatan Indonesia yang meliputi SH dan perairan Indonesia bagian dalam.

(36)

23 (a)

(b)

(c)

Gambar IV. 3 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 1.

Dari pola temporal tersebut dapat dilihat juga bahwa puncak pola temporal terjadi pada musim barat (DJF) dan lembah terjadi pada musim timur (JJA). Hasil perkalian pola spasial dan pola temporal mode 1 memperlihatkan bahwa Hs di LCS dan SP akan mempunyai nilai yang lebih tinggi dari rata-ratanya pada saat musim barat sedangkan Hs di SH dan perairan Indonesia bagian dalam mempunyai nilai yang lebih rendah dari rata-ratanya. Contoh, pada bulan Desember 1991, nilai pola temporal 1 154,01 dan nilai pola spasial di LCS

0049 , 0 1 

u . Sehingga pada bulan Desember 1991, mode 1 membuat nilai Hs di LCS lebih tinggi Hs 1.u1154,010,00490,75 m dari nilai rata-ratanya.

Sedangkan pada waktu yang sama, variansi tinggi gelombang di SH adalah

62 , 0 0040 , 0 01 , 154 . 1

1   

Hs  u m, yaitu 0,62 m lebih rendah daripada nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut.

(37)

24

Pada musim timur akan terjadi kejadian sebaliknya, mode 1 menghasilkan Hs yang lebih tinggi dari rata-ratanya untuk daerah SH dan perairan Indonesia bagian dalam sedangkan untuk daerah LCS dan SP akan mempunyai nilai yang lebih tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut.

(a)

(b)

(c)

Gambar IV. 4 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 2.

(38)

25

Pola spasial mode 2 ditunjukkan oleh gambar IV.4a. Hampir seluruh domain memiliki nilai pola spasial positif. Hal ini menunjukkan bahwa variabilitas sebagian besar domain mempunyai fase yang sama. Nilai pola spasial maksimum berada di LCS. Nilai pola spasial di SH juga cukup besar yang menunjukkan cukup besarnya pengaruh mode 2 di LCS dan SH. Contoh pada bulan Juli 2002, nilai pola temporal 2 186,99 dan nilai pola spasial di LCS u2 0,0067. nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut. Sedangkan pengaruh mode 2 di SP khususnya di utara Pulau Papua sangat kecil, terlihat dari nilai pola spasial yang mendekati nol. Contoh pada bulan Juli 2002, nilai pola rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut. Sedangkan pada bulan April 2013 mode 2 membuat nilai Hs di SP lebih tinggi menghasilkan variansi yang sangat kecil atau tidak signifikan.

(39)

26

Gambar IV.5a memperlihatkan pola spasial mode 3 dari analisis EOF yang dilakukan terhadap Hs. Pola spasial tersebut memperlihatkan bahwa adanya perbedaan fase antara LCS dan SP. Nilai pola spasial di LCS bernilai positif sedangkan di SP bernilai negatif. Sedangkan di SH dan perairan Indonesia bagian dalam nilai pola spasialnya bernilai positif dengan nilai yang lebih rendah daripada di SP. Pola temporal mode 3 ditunjukkan oleh Gambar IV.5c dan analisis

power spectrum-nya disajikan pada Gambar IV.5b. Analisis power spectrum

mode 5 sampai mode 8 dapat dilihat pada Lampiran A. Berdasarkan analisis

power spectrum yang dilakukan terlihat bahwa adanya sinyal enam tahunan (antartahunan) dan 12 tahunan (dekadal) yang memberikan kontribusi terhadap keseluruhan komposisi sinyal, meskipun sinyal 6 dan 12 bulanan tetap sebagai sinyal yang paling dominan.

(a) (b)

(c)

Gambar IV. 5 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 3.

(40)

27

Pola spasial mode 4 yang ditunjukkan oleh Gambar IV.6a hanya memberikan kontribusi sebasar 3,37% terhadap total variansi. Mode 4 memperlihatkan bahwa LCS dan perairan Indonesia bagian dalam mempunyai nilai pola spasial positif, sedangkan SP dan SH mempunyai nilai pola spasial negatif. Perairan di utara Benua Australia dan utara Pulau Sumatra juga mempunyai nilai pola spasial positif. Hasil analisis power spectrum terhadap mode 4 yang disajikan pada Gambar IV.6b memperlihatkan bahwa adanya sinyal intraseasonal yang mempengaruhi sinyal-sinyal pada mode 4.

(a)

(b)

(c)

Gambar IV. 6 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 4.

(41)

28

IV.2 Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Terhadap Tinggi Gelombang Signifikan Berdasarkan hasil analisis EOF terlihat bahwa variabilitas gelombang pada domain model lebih dari 90% dipengaruhi oleh mode 1, mode 2, mode 3, dan mode 4. Faktor yang paling mempengaruhi mode 1 adalah monsun dengan periode 12 bulan, tetapi dari analisis power spectrum terdeteksi juga adanya pengaruh sinyal intraseasonal dengan periode empat bulan pada mode 1 ini. Berdasarkan pola spasial pada Gambar IV.3a terlihat bahwa daerah perairan Indonesia terbagi menjadi 2 zona yaitu bagian utara khatulistiwa dan selatan khatulistiwa. Bagian utara khatulistiwa mempunyai fase positif sedangkan zona bagian selatan khatulistiwa mempunyai fase negatif.

(42)

29

Gambar IV. 7 Rata-rata medan angin (m/s) musiman (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON.

(a)

(b)

(c)

(43)

30

Untuk melihat pengaruh fenomena intraseasonal pada pola temporal mode 1, maka dilakukan pemisahan sinyal yang mempunyai periode 2-4 bulan dengan cara

bandpass filter. Hasil pemisahan sinyal tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.8. Lingkaran biru menunjukkan periode DJF ketika MJO memberikan dampak terhadap tinggi gelombang yaitu tahun 1996, 2001, 2003, 2004, 2006, 2011, dan 2014. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ramdhani (2015). Pada penelitiannya mengungkapkan bahwa pada periode DJF tahun 1996, 2001, 2003, 2004, 2006, dan 2010, MJO memberikan dampak terhadap kenaikan persentase kejadian tinggi gelombang > 2 m sebanyak 10-20%.

Gambar IV. 8 Pola temporal dan bandpass filter periode 2-4 bulan pola temporal mode 1.

Tabel IV.1 Koefisien korelasi mode 1 dan mode 2 tinggi gelombang di Atlantik Utara (NA), Pasifik Utara (NP), Samudra di bumi bagian selatan (SO) pada periode DJF dan JJA (Semedo dkk., 2011).

Mode 1 Mode 2

DJF JJA DJF JJA

Hs (NA)- NAO 0,26 0,15 0,83 0,56

Hs (NP)- NPI 0,83 0,29 0,37 0,15

Hs (NP)- SOI 0,57 0,41 0,05 0,21

(44)

31

Tabel IV.2 Koefisien korelasi mode 1 sampai mode 4 dengan DMI, ONI, dan PDO.

Mode 1 Mode 2 Mode 3 Mode 4

Hs - DMI -0.12 -0.05 -0.18 -0.03

Hs - ONI -0.27 -0.25 -0.40 -0.28

Hs - PDO -0.35 -0.04 -0.34 -0.12

Fenomena dekadal pada mode 1 dibuktikan pada Gambar IV.9 yang memperlihatkan pola temporal mode 1 yang telah di-bandpass filter dengan periode 9-13 tahun dibandingkan dengan indeks PDO. Dengan menggunakan taraf kepercayaan 90% dan batas selang kepercayaan |r|  0,25 didapatkan koefisien korelasi pola temporal mode 1 dan indeks PDO yang telah di-detrend (Tabel IV.2) sebesar -0,35. Untuk melihat pengaruh PDO terhadap tinggi gelombang di perairan Indonesia, diambil tiga titik yang mewakili perairan Indonesia yaitu, Titik A mewakili LCS, Titik B mewakili SH, dan Titik C mewakili SP. Dari Gambar IV.9 terlihat adanya korelasi negatif antara mode 1 dengan indeks PDO di Titik A dan Titik C serta korelasi positif di Titik B.

Gambar IV. 9 Lokasi uji fenomena dekadal pada mode 1. Titik A

Titik B

(45)

32

Gambar IV. 10 Indeks PDO yang di-detrend dengan (a) pola temporal mode 1 yang di-detrend, (b) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik A (Laut Cina Selatan) yang di-bandpass filter

periode 9-13 tahun, (c) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik B (Samudra Hindia) yang di-bandpass filter

periode 9-13 tahun, dan (d) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik C (Samudra Pasifik) yang di-bandpa ss filter

periode 9-13 tahun. Lokasi Titik A-C dapat dilihat pada Gambar IV.9.

(a)

(b)

(c)

(46)

33

Mode 2 dipengaruhi oleh sinyal 6 dan 12 bulanan secara dominan, tetapi terdapat juga sinyal antartahunan, yaitu tiga tahunan yang memberikan pengaruh pada mode 2. Berdasarkan pola spasial yang terlihat pada Gambar IV.4a terlihat bahwa perairan Indonesia terbagi atas 2 zona berdasarkan garis lintang, yaitu daerah sekitar SP dan yang berjauhan dengan SP. Zona disekitar SP mempunyai fase yang cendrung tidak terpengaruh sedangkan yang berjauhan dengan SP mempunyai fase positif. Zona disekitar SP mempunyai fase yang berbeda dengan daerah lain karena daerah tersebut mendapat pengaruh sinyal antartahunan yang terjadi di SP.

Fenomena antartahunan pada mode 2 dibuktikan pada Gambar IV.11 yang memperlihatkan pola temporal mode 2 yang telah di-bandpass filter dengan periode 3-7 tahun dibandingkan dengan Ocean Niño Index (ONI) dan Dipole Mode Index (DMI). Dengan menggunakan taraf kepercayaan 90% dan batas selang kepercayaan |r|  0,25 didapatkan koefisien korelasi pola temporal mode 2 dan ONI dan DMI yang telah di-detrend (Tabel IV.2) sebesar -0,25 dan -0,05. Dari nilai koefisien korelasi tersebut terlihat bahwa ENSO memberikan pengaruh kepada variabilitas tinggi gelombang sedangkan dipole mode tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap variabilitas tinggi gelombang.

Gambar IV. 11 Pola temporal mode 2 yang di-detrend, ONI, dan DMI.

(47)

34

antartahunan SP, zona 2 yaitu LCS yang sangat kuat pengaruh monsunnya, dan zona 3 adalah SH yang kurang dipengaruhi oleh monsun maupun fenomena antartahunan dan dekadal.

Gambar IV. 12 Pola temporal mode 3 yang di-detrend, ONI, dan DMI.

Tabel IV.2 memperlihatkan koefisien korelasi pola temporal mode 3 dengan ONI dan indeks PDO. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90% dan batas selang kepercayaan |r|  0,25 didapatkan koefisien korelasi pola temporal mode 3 yang telah di-detrend dengan ONI dan indeks PDO yang telah di-detrend sebesar -0,40 dan -0,34. Dari nilai koefisien korelasi tersebut terlihat bahwa ENSO dan PDO memberikan pengaruh kepada variabilitas tinggi gelombang.

Gambar IV.13 Pola temporal mode 3 yang di-detrend dan indeks PDO.

Mode 4 yang secara spasial memperlihatkan adanya kemungkinan pengaruh swell

dari samudra. Gambar IV.14 memperlihatkan rata-rata Hs yang diakibatkan oleh

(48)

35

Penelitian Semedo (2011) memperlihatkan bahwa tinggi gelombang seas di perairan Indonesia kecil sekali baik pada periode DJF maupun JJA, sedangkan tinggi gelombang swell cukup tinggi, bahkan mencapai 2 m untuk SH dan SP. Tinggi gelombang total, tinggi gelombang swell, dan tinggi gelombang seas dapat dilihat di Lampiran B.

Pola spasial mode 4 memperlihatkan adanya pengaruh swell di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, sedangkan Perairan Indonesia bagian dalam tidak mendapat pengaruh swell. Perbedaan variansi tinggi gelombang di Perairan Indonesia yang disebabkan oleh swell tersebut terlihat dari perbedaan fase antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia denga Perairan Indonesia bagian dalam pada pola spasial mode 4.

Gambar IV. 14 Rata-rata Hs swell selama (a) DJF dan (b) JJA (Semedo, dkk., 2011).

(a)

(49)

36 IV.3 Uji Hasil Analisis EOF

Analisis EOF menghasilkan mode-mode yang mempengaruhi variabilitas tinggi gelombang signifikan pada seluruh domain. Uji hasil EOF dilakukan dengan membandingkan jumlah hasil perkalian antara nilai pola spasial dan pola temporal dengan data tinggi gelombang signifikan. Sehingga dapat diketahui seberapa dekat mode-mode tersebut dalam menggambarkan variabilitas tinggi gelombang signifikan. Pola temporal dari mode 1 sampai mode 8 ditampilkan pada Lampiran C. Gambar IV.9 menunjukkan tiga titik uji hasil analisis EOF dan Tabel IV.3 menunjukkan nilai pola spasial untuk mode 1 sampai mode 8 di lokasi uji tersebut.

Tabel IV.3 Nilai pola spasial titik kajian uji hasil analisis EOF

Mode 1 Mode 2 Mode 3 Mode 4 Mode 5 Mode 6 Mode 7 Mode 8

Titik A 1.84E-3 2.81E-3 -1.46E-4 4.47E-3 -3.29E-3 6.80E-4 -2.40E-4 4.27E-3

Titik B -2.35E-3 3.20E-3 -1.48E-3 -6.14E-4 3.37E-4 -4.35E-3 -2.50E-3 1.56E-3

Titik C 2.45E-3 7.72E-4 -3.15E-3 2.33E-4 -8.24E-4 -7.19E-4 1.40E-3 1.69E-3

(50)

37

Gambar IV.15 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di Titik A (hsA) dan hasil perkalian pola spasial dan temporal di Titik A untuk (a) mode 1 (hs1A), (b) mode 2 (hs2A), (c) mode 3 (hs3A), (d) mode 4 (hs4A), dan (e) penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal dari mode 1 sampai mode 4 (hs90%A).

(a)

(b)

(c)

(d)

(51)

38

Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan dan hasil perkalian antara pola spasial dan pola temporal pada Titik A ditunjukkan oleh Gambar IV.15. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa mode 1 memberikan kontribusi yang sangat dominan terhadap variabilitas tinggi gelombang di Titik A. Kontribusi yang dominan selanjutnya terlihat dari mode 2 dan mode 4, sedangkan mode 3 memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap variabilitas tinggi gelombang di Titik A. Mode 1 sampai mode 4 yang mewakili 90% dari total variansi cukup baik menggambarkan variabilitas tinggi gelombang di Titik A yang terlihat dari dekatnya nilai data asli dengan penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal mode 1 sampai mode 4. Mode 1 sampai mode 8 yang mewakili 95% dari total variansi menggambarkan variabilitas tinggi gelombang di Titik A lebih baik lagi. Perkalian pola temporal dan pola spasial di Titik A untuk mode 5 sampai mode 8 dapat dilihat paada Lampiran E.

(52)

39

Gambar IV. 16 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di Titik B (hsB) dan hasil perkalian pola spasial dan temporal di Titik B untuk (a) mode 1 (hs1B), (b) mode 2 (hs2B), (c) mode 3 (hs3B), (d) mode 4 (hs4B), dan (e) penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal dari mode 1 sampai mode 4 (hs90%B).

(a)

(b)

(c)

(d)

(53)

40

Gambar IV. 17 Variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan di Titik C (hsC) dan hasil perkalian pola spasial dan temporal di Titik C untuk (a) mode 1 (hs1C), (b) mode 2 (hs2C), (c) mode 3 (hs3C), (d) mode 4 (hs4C), dan (e) penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal dari mode 1 sampai mode 4 (hs90%C).

(a)

(b)

(c)

(d)

(54)

41

Gambar IV.17 memperlihatkan variabilitas tinggi gelombang signifikan rata-rata bulanan dan hasil perkalian antara pola spasial dan pola temporal pada Titik C. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa mode 1 memberikan kontribusi yang sangat dominan terhadap variabilitas tinggi gelombang di Titik C. Kontribusi yang dominan selanjutnya terlihat dari mode 3 sedangkan mode 2 dan mode 4 memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap variabilitas tinggi gelombang di Titik C. Mode 1 sampai mode 4 yang mewakili 90% dari total variansi cukup baik menggambarkan variabilitas tinggi gelombang di Titik C yang terlihat dari dekatnya nilai data asli dengan penjumlahan hasil perkalian pola spasial dan pola temporal mode 1 sampai mode 4. Mode 1 sampai mode 8 yang mewakili 95% dari total variansi menggambarkan variabilitas tinggi gelombang di Titik C lebih baik lagi. Perkalian pola temporal dan pola spasial di Titik C untuk mode 5 sampai mode 8 dapat dilihat pada Lampiran G.

Mode 1 sampai mode 4 dapat menggambarkan dengan cukup baik profil variabilitas tinggi gelombang pada ketiga titik uji. Terkadang satu mode dominan di satu titik, tetapi tidak dominan di titik lain. Besarnya kontribusi pengaruh pola temporal dari suatu mode terhadap variabilitas tinggi gelombang di suatu titik ditentukan oleh nilai pola spasial mode pada titik tersebut. Dari gambar yang menunjukkan variabilitas Hs di atas terlhat bahwa mode 1 menjadi mode yang paling dominan di seluruh domain secara umum karena memiliki pola temporal yang paling besar.

IV.4 Analisis Tren Jangka Panjang Tinggi Gelombang Signifikan

(55)

42

mengalami kenaikan secara global hampir di seluruh permukaan laut seperti yang terlihat pada Gambar IV.19.

Gambar IV. 18 Tren jangka panjang tinggi gelombang signifikan (cm/tahun) di perairan Indonesia (1991-2015).

Gambar IV. 19 Tren jangka panjang (1988-2011) kecepatan angin permukaan (cm dtk-1 tahun-1 ) secara global dengan taraf signifikansi 95% (Zheng dkk., 2016).

Gambar IV.20 memperlihatkan deret waktu tinggi gelombang rata-rata tahunan dan tren masing-masing titik pengujian. Meskipun tinggi gelombang signifikan cenderung untuk mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi tinggi gelombang signifikan mengalami penurunan ketika terjadi fenomena El Niño kuat dan secara tiba-tiba akan mengalami kenaikan ketika terjadi fenomena La Niña kuat. Contoh kejadian ini terlihat pada tahun 1997 sampai 1998 terjadi fenomena El Niño dan

(56)

43

diiringi fenomena La Niña kuat pada tahun 1998 sampai 2000. Indeks dari fenomena El Niño dapat dilihat pada Gambar IV.21.

(a)

(b)

Gambar IV. 20 Tren tinggi gelombang signifikan periode 1991-2015 (a) di Laut Cina Selatan dan (b) Perairan Selatan Jawa.

Gambar IV. 21 Ocean Niño Index (ONI).

(57)

44

penguatan angin monsun yang mengakibatkan kenaikan tinggi gelombang, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Zheng dan Li (2014).

Tren kenaikan kecepatan angin dianalisis dengan fenomena Pacific Decadal Oscillation (PDO), yaitu fenomena atmosfer yang mempunyai periode sirkulasi sekitar 30 tahun. Selama fase panas (warm phase) dari tahun 1977 sampai 2007 jumlah terjadinya fenomena El Niño meningkat lebih banyak dibandingkan dengan ketika keadaan normal, sebaliknya ketika berada pada fase dingin (cold phase) dari tahun 1947 sampai 1977 jumlah terjadinya fenomena La Niña meningkat lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normal yang ditunjukkan pada Gambar IV. 22.

Gambar IV.22 Indeks Pacific Decadal Oscillation, PDO (adaptasi dari http://research.jisao.washington.edu/pdo/).

Pada Gambar IV.22 ditampilkan periode penelitian yang diberi tanda kotak kuning. Terlihat bahwa periode penelitian tersebut berada pada fase transisi fase panas menuju fase dingin. Peristiwa tersebut kemungkinan mengakibatkan adanya tren kenaikan Hs yang disebabkan kenaikan kecepatan angin. Selama periode penelitian nilai kecepatan angin berada pada fase kecepatan angin pasat kecil (lebih sering terjadi fenomena El Niño) menuju kecepatan angin pasat yang besar (lebih sering terjadi fenomena La Niña).

(58)

45

Pada saat terjadi El Niño kecepatan angin pasat di daerah khatulistiwa menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal, sedangkan pada saat terjadi La Niña angin pasat di daerah khatulistiwa menjadi lebih besar dibandingkan dengan keadaan normal. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar IV.23 yang merupakan

windrose di Pulau Tarawa, Samudra Pasifik.

Gambar IV. 23 Windrose angin rata-rata di Pulau Tarawa selama (a) terjadi El Niño dan (b) terjadi La Niña (Yamashita, 2016).

Tabel IV. 4 Studi terdahulu tren tinggi gelombang.

Daerah Kajian Data tren (cm/tahun)

Semedo, dkk., 2011

NP ERA-40 (1957-2002) 1,6-2 cm

NA ERA-40 (1957-2002) 1,8-2 cm

perairan Indonesia ERA-40 (1957-2002) 0,2-0,8 cm Caires dan Swail, (2004)

NP ERA-40 (1957-2001) 2,4 cm

NA ERA-40 (1957-2001) 2,5 cm

Chong dan Li, (2015)

Laut Cina CCMP (1988-2011) 1,5 cm

Young, dkk., (2011)

Laut Cina CCMP (1988-2011) 2,6-4,5 cm

(59)

46

sebelumnya periode penelitian ini berada pada fase transisi fase panas menuju dingin, sehingga memungkinkan terjadinya kenaikan kecepatan angin. Tetapi pada tahun 2011 terlihat adanya fase transisi dari fase lebih sering terjadi La Niña menuju fase lebih sering terjadi El Niño, sehingga terjadi penurunan kecepatan angin. Penurunan kecepatan angin pada periode 2011-2015 (Gambar IV.24). mengakibatkan terjadinya penurunan Hs. Peristiwa penurunan Hs pada periode tersebut kemungkinan mengakibatkan lebih kecilnya tren kenaikan Hs pada kajian ini dibandingkan dengan kajian sebelumnya.

(60)

47

Bab V Kesimpulan

1. Analisis EOF yang dilakukan menghasilkan 4 mode yang mewakili 90,38% dari total variansi. Mode 1, mode 2, mode 3, dan mode 4 masing masing mewakili 64,32%, 16,60%, 6,09%, dan 3,37% dari total variansi tinggi gelombang.

2. Mode 1 menunjukkan pengaruh dominan monsun 12 bulanan di seluruh perairan Indonesia dan secara spasial membagi domain penelitian menjadi 2 zona yaitu perairan sebelah utara Indonesia dan perairan sebelah selatan Indonesia.

3. Mode 2 menunjukkan pengaruh dominan monsun 6 dan 12 bulanan serta memiliki nilai pola spasial positif di hampir seluruh domain model. Secara spasial wilayah perairan Indonesia terbagi menjadi zona barat dan timur. 4. Mode 3 secara dominan dipengaruhi oleh monsun 6 dan 12 bulanan serta

dimodulasi oleh PDO. Domain penelitian secara spasial terbagi menjadi 3 zona yaitu SP dan perairan Indonesia bagian dalam, LCS, serta SH .

5. Mode 4 menunjukkan keberadaan tinggi gelombang swell di Perairan Indonesia dan membagi domain penelitian menjadi 3 zona yaitu SP, LCS dan perairan Indonesia bagian dalam, serta SH.

(61)

48

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. (2008): Meteorologi laut Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

Ali, H. (2000): Studi kondisi iklim gelombang di pantai Lemah Abang, Jepara, Tugas Akhir Program Studi Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.

Amsori, P. S. (2002): Studi karakteristik iklim gelombang laut di perairan Indonesia, Tugas Akhir Program Studi Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.

Arinaga, R.A. dan Cheung, K.F. (2011): Atlas of global wave energy from 10 years of reanalysis and hindcast, Renewable Energy, 39, 49-64.

Asiyah, Z. (2011): Kajian gelombang laut di perairan selatan Provinsi Banten menggunakan model SWAN, Tugas Akhir Program Studi Oseanografi, Institut Teknologi Bandung.

Caires, S. dan Swail, V. (2004): Global wave climate trend and variability analysis, Research Gate. www.researchgate.net/publication/254885895. Chen, G., Chapron, B., Ezraty, R., dan Vandemark, D. (2002): A global view of

swell and wind sea climate in the ocean by satellite altimetri and scatterometer, American Meteorological Society, 19, 1849-1859.

Cox, A.T. dan Swail, V.R. (2001): A global wave hindcast over the period 1958-1997: validation and climate assessment, Journal Geophysical Research, 106, 2313-2329.

Holthuijsen, L.H. (2007): Waves in oceanic and coastal waters, Cambridge University Press, New York.

Kurniawan, R. (2012): Karakteristik gelombang laut dan daerah rawan gelombang tinggi di perairan Indonesia, Tesis Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Indonesia.

Kushnir, Y., Cardone, V.J., Greenwood, J. G., dan Cane, M. A. (1997): The recent increase in North Atlantic wave heights, Journal of Climate, 10, 2107-2113.

Lafleur, D. M., Barret, B. S., dan Henderson, G. R. (2015): Some climatological aspect of the Madden-Julian oscillation, Journal of Climate, 28, 6039-6053.

Muslim, A. (1997): Analisis gelombang signifikan dan iklim gelombang di perairan Tanjung Jati, Jepara, Tugas Akhir Program Studi Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.

Park, W. S. dan Oh, I. S. (2000): Interannual and interdecadal variations of sea surface temperature in the East Asian Marginal Seas, Progress in Oceanography, 47, 191-204.

Ramadhan, H. (2014): Karakteristik dan analisis gelombang laut di perairan Indonesia barat dengan menggunakan model spektrum gelombang SWAN (Simulating Waves Nearshore), Tugas Akhir Program Studi Oseanografi, Institut Teknologi Bandung.

Ramage C. S. (1971): Monsoon meteorology, San Diego: Academic Press.

Gambar

Gambar II.1 Gelombang di laut merupakan superposisi banyak gelombang harmonik (Sumber: diadaptasi dari Pierson, 1995 dalam Holthuijsen, 2007)
Gambar III.2 Bagan alir penelitian.
Gambar IV. 3 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 1
Gambar IV. 4 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pameran merupakan salah satu alternatif bagi sebuah perusahaan atau toko untuk memasarkan produknya.Salah satu jenis pameran adalah pameran pakaian.Pakaian tentunya

Laju pertumbuhan dan kontribusi pajak reklame di Kota Pangkalpinang lebih tinggi daripada Kabupaten Belitung dengan kategori laju pertumbuhan pajak reklame keduanya tidak

Pada penelitian ini penulis membuat media pembelajaran dengan menggunakan video tentang pengaruh banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu zat.Ada tiga macam

2 Aktor / Actor Orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat, jadi walaupun simbol dari aktor adalah gambar orang, tapi

Menurut Alexopoulos (1979) beberapa tipe jamur beracun dan efek racunnya terhadap tubuh sebagai berikut : Ciri utama dari keracunan jamur, mencakup toksin, efek fisik dari racun,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan TI-PRO-BK 10% dan TI-PRO-BIS 10% dalam ransum ayam broiler menghasilkan performan pertumbuhan, bobot karkas, bobot

Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (studend

Od Ebu Hurejre, r.a., se prenosi da je došao neki čovjek Allahovom Poslaniku, a.s., i rekao mu: “Božiji Poslaniče, pogodila me velika glad.” Nakon što kod svojih žena nije