• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT MANUSIA memahami manusia Y.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FILSAFAT MANUSIA memahami manusia Y.docx"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT MANUSIA

Pengantar ke dalam Filsafat Manusia.

- Manusia: menyibukkan diri dng kegiatan berpikir. Ia merasa tidak pasti dan selalu bertanya. Siapa itu manusia?

- Salah satu jawaban: Manusia adalah satu hakekat yang aneh. Ia bersifat luhur tapi juga hina.

- Dari lingkungan kebudayaan Eropa: ada 2 teks, yaitu Antigone: manusia itu lebih dari binatang tapi menakutkan, dan teks Mz.8: Manusia itu kecil di hadapan penciptanya. Bdk. Manusia dalam konteks aliran kebatinan.

- Persoalan dewasa ini: Manusia belum mengenal dirinya secara penuh. Dulu kodrat manusia berkuasa, dan karena itu kodrat itu perlu diolah dan dijinakkan melalui ilmu pengetahuan dan tekhnik. Tetapi sekarang justru kodrat itu dieksploitasi dan direkayasa menurut kemampuan dan kemauan manusia. Persoalannya: Apakah rekayasa dan eksploitasi itu dapat dipertanggung jawabkan secara etis? Apa jati diri manusia yang sebenarnya? Kesimpulan: manusia itu tidak tahu tentang jati dirinya atau hakekat dirinya secara penuh.

- Persoalan terakhir menjadi pertanyaan filosofis: Apa yang menjadi hakekat manusia? Ilmu pengetahuan telah menjawabnya dengan sudut pandang yang berbeda. Tapi refleksi filosofis melampaui semua itu dan menjadikan keseluruhan diri manusia sebagai sasaran berfilsat. Munculnya filsafat yang bergulat tentang manusia: Filsafat Manusia atau Filsafat Anthropologi atau Anthropologi Metafisik.

- Sasaran Filsafat Manusia: hakekat manusia sebagai satu realitas “ada”, bentuk khasnya, struktur batiniah dan dinamikanya, sistematisasi seluruh pengetahuan, kritik pengetahuan, metafisika pengetahuan, pendasaran etis, dsb. Filsafat Manusia melibatkan juga pendekatan ontologis tentang manusia.

- Filsafat Manusia: berbeda dengan Anthropologi (Anthropologi Ragawi dan Anthropologi Budaya): penelitian empiris-positif tentang manusia. Anth.Ragawi: soal fisik, bentuk tubuh dsb.), dan Anth.Budaya: soal kebudayaan. Juga berbeda dengan Ethnologi: penelitian empiris-positif tentang ras dan suku tertentu.

1.PERTANYAAN TTG PENDEKATAN YG TEPAT

 Titik tolak apa? Titik tolak Ilmu Pengetahuan Alam, dan mengapa? Ilmu pengetahuan ini dipandang sebagai ilmu yang menggeluti kodrat manusia secara obyektif, teliti dan tepat.  Ilmu Pengetahuan Alam tentang manusia:

* Fisika: berbicara tentang manusia sebagai satu tubuh: bentuk tubuh, tipe tubuh, gerakan mekanis dalam tubuh dsb.

* Kimia: ttg manusia sebagai satu kompleksitas ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses kimiawi.

* Biologi: ttg manusia sebagai makhluk hidup.

1.1. Pendekatan dlm konteks Biologi Perbandingan

 Biologi: perluas konsep fisika dan kimia ttg manusia, tapi pertanyaannya: bagaimana kedudukan manusia dalam konteks makhluk hidup lain?

 Manusia: satu jenis dari makhluk hidup. Penetapan ini berdasarkan atas kesamaan dan keserupaan makhluk-makhluk hidup.

 Manusia tergolong: Binatang menyusui, dan dlm kelompok binatang menyusui, manusia itu binatang menyusui tingkat tertinggi, yaitu manusia-kera (anthropoide). Yang termasuk dlm anthropoide: cimpase, gorilla, orang-utan. Biologi perbandingan berfokus pada manusia dan manusia-kera.

1.1.1. Keistimewaan anatomis morfologis

Perbandingan anatomis-morfologis:

(2)

Kesimpulan filosofis

Bahasa Evolusi menuju ke depan. 1.1.2. Posisi khas ontogenitis

 Posisi khas ontogenitis: fase kelahiran sejak berada dalam kandungan sampai pada masa awal sesudah kelahiran.

 Binatang menyusu: Masa mengandung 21 sampai 22 bulan; sesudah lahir, alami kematangan segera untuk berdiri sendiri.

 Manusia: dikandung selama 9 bulan; setelah lahir butuh waktu untuk berdiri, karena otot dan syaraf berkembang perlahan sampai sekitar satu tahun (merangkak); sedari kandungan sampai saat lahir ada tiga unsur penting yang terbentuk serempak: kesanggupan utk gunakan alat; bahasa yg khas; perkembangan sikap tegap. Tiga hal itu tidak terdapat pada binatang menyusu.

 Kesimpulan filosofis: Hakekat manusia belum bisa ditentukan.

1.1.3. Keistimewaan struktur tingkah laku atau sikap

 Struktur dasar yang sama: menjawabi rangsangan dari luar secara biologis, khas dan punya arti tertentu.

 Pada binatang menyusu: Reaksi terhadap rangsangan dari luar secara hormonal. Reaksi ini membangun rangkaian tindakan dengan tujuan tertentu seperti pemuasan, perkawinan, penetapan posisi dsb. Reaksi yang satu menghasilkan rangsangan baru, dan rangsangan baru ini menghasilkan lagi tindakan tertentu yang mempunyai tujuan khusus tertentu. Binatang dalam situasi apa saja “sudah” mengenal secara hormonal reaksinya. Pada jenis binatang tertentu sudah ada faktor “penggemblengan” tapi juga ada faktor “belajar”, demikian ahli etologi (etologi: ilmu tentang tingkah laku binatang).  Pada manusia: Rangsangan dari luar dan reaksi manusia sudah berada di bawah pengawasan akal. Memang tidak dapat dibedakan kerja instink dan rangsangan dari luar, tapi keduanya dapat ditransformir oleh akal budi sehingga manusia dapat membedakan dorongan-dorongan itu: dorongan makan, dorongan seksual, dorongan pertahanan hidup, tapi semua dorongan itu tidak dapat ditaksir, malah dorongan yang satu selalu diselimuti oleh motif-motif lain yang berpengaruh terhadap tingkah laku manusia seperti dorongan seksual yang diselimuti oleh motif prestise dan kuasa. Dengan akal budinya, manusia dapat memberi arti dan menghargai obyek-obyek sebagaimana adanya menurut realitas yang melekat di dalam obyek itu. Manusia dapat membangun etikanya dan penalaran kritis.

 Kesimpulan filosofis: Tampak ada perbedaan hakiki antara hakekat binatang dan hakekat manusia oleh karena adanya akal budi pada manusia. Tapi persoalannya: Akal budi bersifat material atau non-material, juga dalam penelitian terhadap binatang ditemukan juga semacam “akal” yang menjadi pengawas tingkah laku binatang.

1.2. Problematika Pendekatan

 Pertanyaan filosofis: Biologi Perbandingan belum bisa dengan jelas memperlihatkan apakah ada perbedaan esensial hakekat manusia dan binatang. Apa manusia sederajat dengan binatang atau lain dari binatang?

 Dua pendekatan utk mengatasi paradoks itu:

* Arnold Gehlen: Manusia sebagai satu hakekat yang cacat dlm tugas pertahanan diri dan pemenuhan kebutuhan pokok. Dia sebetulnya satu hakekat dengan binatang, tapi cacat. Binatang lebih trampil dari manusia. Gagasan Gehlen merupakan satu kritik terhadap pandangan konvensional ttg hirarki ciptaan: anorganis, organis (tumbuhan, binatang, manusia), makhluk rohani, Tuhan sebagai pencipta. Kritik terhadap Gehlen: Anthropomorfisme dan metaphysika biologis.

(3)

lapisan yang menjadi milik bersama semua makhluk hidup sampai pada lapisan tertinggi yang paling cerah, yaitu pribadi sebagai bentuk eksistensi yang paling khas dan menjadi milik manusia saja. Kritik: Unsur dualisme tetap ada.

 Pendekatan Ontologis: melihat manusia sebagai satu realitas “ada” secara menyeluruh, dan realitas “ada” manusia berbeda dengan realitas “ada” binatang. Tiga tuntutan berikut dalam bidang ontologi:

a. Harus ada satu pengertian umum, dan pengertian umum itu adalah subyek dan subyektivitas.

b. Pertanyaan ttg hakekat menuntut pembatasan jelas. Ontologi menggeluti soal itu. c. Masalah fenomenologi dan ontologi. Ontologi menuntut penafsiran yang terus menerus tentang fenomen-fenomen yang dapat menghantar orang pada pemahaman ttg hakekat manusia.

1.3. Pengertian tentang Subyek

1.3.1. Subyektivitas: satu realisasi kesatuan

• Realitas “ada” = kesatuan. Kesatuan itu terdiri dari keterpaduan dan keterbukaan. Setiap unsur berpautan dengan sesuatu yang menjadi milik bersama tapi memiliki ketersendiriannya. Ini berlaku untuk apa saja: benda anorganis, benda organis seperti tumbuhan, binatang dan manusia. Tetapi intensitas keterpaduan dalam satu kesatuan dan keterbukaan berbeda-beda.

• Dua sifat dari kesatuan itu:

a. Jenjang pembentukan jati-diri obyektif dan keseluruhan. Kita bertolak dari sifat kesatuan benda anorganis seperti sebuah batu. Bila batu itu dipecahkan menjadi dua bagian, maka kita bertanya apakah ada dua batu yang berbeda atau dua keping batu dari batu yang sama. Ini bergantung pada penafsiran dan pengamatan kita. Pemahaman tentang satu kesatuan batu itu bergantung pada tujuan penggunaan benda itu. Melalui tujuan penggunaan itu, kita dapat mengenal bahwa bagian-bagian yang terpisah dapat menunjuk kepada keseluruhannya dan dapat menyatu juga dalam keseluruhan. Pengertian ttg tujuan berfungsi sebagai prinsip kesatuan benda itu. Ide dasar ini lalu dikenakan pada prinsip kesatuan pd makhluk hidup.

Makhluk hidup: Makhluk hidup memiliki tujuan di dalam dirinya. Keberadaannya bersifat ganda: sebagai satu individuum dan sebagai makhluk dari satu jenis atau species. Individuum: jati-diri obyektif dari satu makhluk, sedangkan jenis atau species: keseluruhan yang di dalamnya individuum itu termasuk. Arti keberadaan makhluk hidup itu tidak terletak dalam fungsinya, tapi dalam prinsip kediriannya (prinsip jati-diri obyektif) yang sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seperti pertahankan diri, pengembangan diri, pertukaran zat-zat kimiawi dan sekaligus juga dalam prinsip keseluruhan yang sangat jelas terlihat dalam dinamika hidup makhluk itu, termasuk perkembangan bagian-bagian dalam satu makhluk seperti regenerasi bagian-bagian dalam tubuh atau kompensasi utk bagian-bagian yang tak berfungsi.

b. Jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subyek.

* Perbedaan prinsip kesatuan benda anorganis dan organis: Benda anorganis: bersifat instrumentalis, sedangkan organis: prinsip kesatuan batiniah. Mengapa? Hakekat batu: kesatuan yang tertutup, dan hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakekat makhluk hidup: kemampuan berada untuk atau kemampuan utk mempunyai tujuan di dalam dirinya. Kemampuan utk mempunyai tujuan di dalam dirinya tercermin dalam kegiatan refleksifitas: aktip-pasip. Aktif: aktivitas gerak laku ketika berhadapan dengan rangsangan dari luar. Pasip: posisi “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan refleksifitas aktip-pasip ini berkorelasi secara intrinsik di dalam dinamika makhluk hidup, meskipun tingkatan korelasi itu berbeda pada tumbuhan, binatang dan manusia. Tumbuh-tumbuhan dalam dinamikanya refleksifitas pasip lebih menonjol dari pada aktip. Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas yang berbeda pada semua makhluk hidup.  Pada manusia: Kegiatan refleksivitas aktif-pasif berkembang pesat dan khas. Itu

(4)

ini terlaksana dalam relasi realitas diri yang otonom dan sosial dengan realitas diri yang lain dalam proses “mengenal dan dikenal, menghargai dan dihargai, mencintai dan dicintai”. Inilah penghayatan kesatuan dlm jenjang tertinggi.

 Pengertian subyek: satu keberadaan yg menyikapi diri sendiri dengan cara menyikapi diri yang lain.Subyek: kategori ontologis yang menjadi tanda pengenal hakekat manusia. Yang melekat pd subyek: sifat yang berpautan dng subyektivitas, yaitu cara berada dari realitas manusia, cara berada yang meliputi baik kesadaran maupun ketidaksadaran dan unsur-unsur psiko-biologis.

1.3.2.Subyektivitas sbg “Berada-dalam-dunia”

 Manusia dan makhluk hidup: sama-sama membangun satu lingkungan hidup. Tetapi lingkungan hidup keduanya berbeda (binatang dan manusia). Perbedaan itu terletak dalam makna kata “subyek” yang melekat pd manusia. Subyek: pelaku yg menjawabi pertanyaan bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Makhluk hidup yg lain bukanlah subyek, karena mereka berada di lingkungan dunia sebagaimana adanya, apa adanya.

 Pengertian dunia: pengertian formal, kosmologis dan anthropologis. Formal: totalitas atau keseluruhan dunia. Kosmologis: keseluruhan realitas sebagaimana adanya an sich dan yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi. Anthropologis: keseluruhan realitas yang berhubungan dng subyek dan mempunyai arti tertentu untuk subyek. Karena itu dunia yang demikian bisa bersifat sempit, karena subyek-subyek mempunyai dunianya sendiri, sejauh dunia itu mempunyai arti tertentu untuk subyek. Dunia si A berbeda dengan dunia si B.  Semua manusia dalam proses perkembangannya memiliki alur atau jalan hidup yang sama.

Alur hidup itu: dunia manusia sendiri yang bercirikan kesadaran yg terbuka terhadap dunia manusia lain.Subyektivitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia: bukan hanya dunia tempat tinggal, tetapi yang bertanggung jawab untuk mengolah dunia menjadi miliknya.

1.4. Mencari kesatuan pengertian ttg manusia

Subyek dan subyektivitas: unsur esensial yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Persoalan di sini bukan lagi antara manusia dan makhluk lain, tetapi antara manusia sendiri. Apakah antara manusia yang berbeda-beda dalam sosok tubuh, figur, bahasa, budaya dan adat istiadat, cara berpikir, dsb, terdapat satu hakekat sama?

1.4.1. Kesatuan hakekat?

 Pengertian ttg hakekat: ikhtisar dasar ttg realitas manusia, dan pengertian ini menyentuh perumusan yang jelas ttg manusia melalui definisi. Definisi ini harus memuat satu identitas tetap yang berlaku untuk semua manusia yang berbeda-beda.  Ada dua tese ttg realitas manusia yang tinggal tetap sejak dulu sampai sekarang.

a. Tidak ada sama sekali kesatuan hakekat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala lahiriah. Argumentasinya: Peralihan dari unsur hakiki pd binatang menuju manusia tidak jelas; juga tidak jelas adanya pembedaan khas antara unsur hakiki manusia yang satu dng manusia yang lain. Pengelompokan yang dibuat sampai sekarang ttg jenis makhluk hidup dibuat sewenang-wenang, termasuk pengelompokan manusia menurut kulit, ras, suku dsb. Pembagian itu bersifat sewenang,karena hanya menyentuh gejala-gejala lahiriah saja.

b. Tese yang kedua: Ada kesatuan hakekat. Semua manifestasi kehidupan manusia berasal dari satu hakekat yang sama. Argumentasinya: adanya daya-daya manusia yang terwujud dlm perkembangan tekhnik dan kemungkinan baru utk penemuan tekhnik. Daya-daya ini yang menjelma dalam tekhnik bertujuan utk menjawabi tantangan dunia. Dng demikian semua manusia menempuh satu jalur yang sama, yaitu kemampuan manusia utk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan pengembangan tekhnik.

1.4.2. Universalitas pengertian dan kesatuan pengertian ttg manusia?

 Masalah: Ketika kita mengolah pengertian kita ttg manusia, ketika itu juga pengertian kita sudah terkondisikan oleh lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita.

(5)

- Disposisi Ethnosentrisme: Kebudayaan sendiri, adat istiadat, keyakinan, dsb., lebih tinggi dari pada kebudayaan, adat istiadat dsb, dari yang lain. Konsep ttg manusia lebih baik dari yang lain.

- Disposisi relativisme: semua pengertian dan pemahaman ttg apa saja, termasuk ttg manusia sama saja. Tidak ada kebenaran mutlak.

 Kedua disposisi itu tidak menjawabi persoalan kita. Keduanya bertolak dari satu pengandaian yang keliru bahwa haruslah ada perumusan satu kebenaran absolut. Kenyataannya: manusia yang bermacam-macam adalah juga subyek-subyek yang berbeda-beda. Tapi subyek-subyek ini di dalam dirinya memiliki subyek “transendental” yang menuntut pengetahuan obyektif ttg kebenaran.

 Dari pengertian di atas: dibutuhkan dialog yang terus menerus utk memecahkan masalah pengertian dan pengetahuan ttg manusia dan utk memajukan proses pengenalan diri. Dialog itu berdiri di atas prinsip kesederajatan.

2. DIMENSI DASAR REALITAS MANUSIA SBG REALITAS “ADA” 2. 1. Bahasa.

2. 1. 1. Peristiwa terjadinya bahasa dan sistem bahasa.

-Ada elemen tetap dalam bahasa manusia: kata, kalimat, ungkapan, bunyi suara, dsb.; itu berarti ada aturan yang membentuk semuanya itu. Menurut penelitian proses terjadinya bahasa: ada gudang persediaan di dalam diri manusia, satu gudang persediaan yang memungkinkan terbentuknya aturan, unsur dan sistem yang melahirkan bahasa.

- Unsur-unsur bahasa (atau tanda bahasa dengan arti tertentu) berada dalam satu hubungan yang sistematis. Hubungan itu memiliki struktur yang dapat diselidiki.

Sistem bahasa berubah secara historis. Dua cara pandang: synkronistis dan diakronis.

 Synkronistis: cara pandang yang berhubungan dengan keadaan satu bahasa pada satu waktu tertentu, mis. Sistem bahasa dng ejaan “oe” dlm bahasa Indonesia dulu.

 Diakronis: cara pandang yang melukiskan perubahan bahasa dari satu fase ke fase yang berikut, mis. Perubahan dari ejaan “dj” ke “j”.

 Kedua cara pandang itu membantu mengenal perubahan bahasa baik perubahan yang berasal dari faktor luar maupun dari faktor dalam.

 Perubahan itu memperlihatkan adanya perubahan struktur juga. Harus dibedakan struktur dasar satu bahasa dan strukur faktisnya. Struktur dasar: struktur dalam utk menjadi dasar perbandingan bahasa dan utk temukan hakekat semua bahasa. Struktur faktis: struktur permukaan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Dari bahasa yang berbeda-beda bisa ditemukan struktur dasar yang serupa untuk mengungkapkan isi yang sama tapi juga struktur dasar yang berbeda untuk ungkapkan isi yang sama.

 Penelitian trh unsur bahasa membawa kita kepada pemahaman bahwa setiap bahasa merupakan satu sistem differensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara hirarkis: dari yang sederhana menuju yg paling kompleks.

 Prinsip differensiasi: arti dari tanda tertentu terletak dlm perbedaan antara tanda yang satu dng tanda yang lain dalam satu sitem bahasa yg sama.

 Setiap sistem bahasa memiliki satu lapisan hirarkis dari sistem-sistem, yaitu dari fonem ke kata menuju kalimat. Arti tertampak dlm tanda bahasa, dan tanda bahasa dan bahasa itu sendiri adalah hasil ciptaan manusia.

 Proses terjadinya bahasa dapat diamati lewat proses differensiasi itu. 2.1.2. Prestasi bahasa

 Prestasi bahasa: hasil kemampuan yang diperlihatkan oleh cara-cara berbahasa. Dan prestasi bahasa itu dapat dibaca dalam fungsi bahasa. Psikolog Karl Buehler: tiga fungsi bahasa, yaitu sebagai simbol, symptom dan signal.

 Tiga fungsi itu dapat dijabarkan dalam 3 fungsi umum: presentasi; komunikasi; pengungkapan diri.

 a. Presentasi:

(6)

-Menghadirkan sesuatu yang sudah tidak ada (mis. sejarah) dan sesuatu yang belum ada (mis. Ramalan atau futurologi).

-Menghadirkan sesuatu yang tidak pernah secara riil dan obyektif ada, mis. Bahasa figuratif dalam syair, puisi, peribahasa.

 b. Komunikasi.

-Bahasa berfungsi mengkomunikasikan sesuatu kpd yang lain baik secara verbal maupun non-verbal.

-Bahasa: alat komunikasi dari kelompok-kelompok sosial seperti dlm kontrak kerja, kontrak perkawinan, kontrak negara. Dalam konteks ini, bahasa termasuk dlm satu institusi sosial yang paling mendasar.

-Bahasa mencerminkan status sosial dalam masyarakat. Arti dan maksud dikomunikasikan dengan bahasa yang berbeda.Contoh, komunikasi seorang murid dengan guru berbeda dengan komunikasi antara murid dan rekannya.

 c. Pengungkapan diri.

-Bahasa berfungsi sebagai alat pengungkapan diri, yaitu mengekspresikan kehendak dan pikirannya.

-Pengungkapan diri melalui bahasa tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga pada ekspresi tubuh. Juga pengungkapan diri itu tidak hanya perorangan tetapi juga bersama-bersama seperti tarian adat, nyanyian bersama-bersama dsb.

2.1.3. Bahasa sebagai alat pengantara

 Bahasa sebagai alat berarti menghadirkan realitas diri. Bahasa sebagai pengantara berarti menjadi jembatan atau penghubung antara realitas diri dan realitas yang berada di luar diri.  Situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat pengantara:

- Dalam hal menipu: bahasa tidak menjadi pengantara kebenaran. Bagaimana bahasa diplomasi?

- Dalam cara bicara yang melantur-lantur: cara bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mengungkapkan isi dan maksud yang jelas.

- Bahasa asing: fungsi bahasa sebagai pengantara hanya dapat dipahami menurut pola penafsiran yang berkaitan dng lingkungan hidup masyarakat yang menggunakan bahasa asing itu. Dan ini bergantung juga pada si pengguna bahasa asing itu apakah dia mengerti secara tepat arti bahasa asing yang dipakai itu.

2. Sosialitas

2.2.1. Fenomen sosial

 Fakta: manusia hidup dalam relasi dengan manusia lain. Bentuk relasi itu bermacam-macam dan tak terhitung jumlahnya.Bentuk itu berada dlm satu sistem sosial dan struktur sosial tertentu.

 Macam tipe relasi sosial: yang bersifat kodrati seperti keluarga dan relasi sosial buatan. Juga relasi sosial yang stabil dan tidak stabil; relasi sosial yang didasarkan pd persahabatan dan pd struktur hirarkis; yang bertujuan dlm dirinya dan yang bersifat rasional. Satu orang bisa memainkan peranan bermacam-macam dlm relasi sosial.

 Relasi sosial itu selalu mengambil bentuk tertentu sesuai dng harapan dan peranan yang dimainkan. Dua aspek mendasar yang membentuk relasi sosial : obyektif (pola tingkah laku sosial yang diikuti oleh setiap individu) dan subyektif (struktur tingkah laku individu sendiri yang memberi warna terhadap relasi sosialnya.

2.2.2. Sosiobiologi, sosiologi dan Filsafat Sosial

 Tema yang sama dari ketiga disiplin ilmu: manusia sebagai satu realitas sosial. Seringkali pengertian ketiganya tumpang tindih, tapi ketiganya berbeda satu sama lain dan berhubungan erat satu sama lain.

(7)

 Dalam penelitian sosiobiologis:

 Penelitian sosiobiologis yang menyentuh kehidupan kelompok baik binatang maupun manusia: arah tingkah laku mereka egocentris dan altruistis.

 Kelemahan penelitian sosiobiologis pada manusia: premisa filosofis yang memandang asal usul dan tingkah laku manusia sebagai yang diwariskan secara biologis semata dari nenek moyangnya. Itu berarti bahwa kodrat manusia itu adalah kodrat biologis semata, dan itu sudah terprogram secara genetis. Muatan rohania-kultural tidak ada.

 Utk mengatasi kelemahan itu: ada Sosiologi. Premisa filosofisnya: bukanlah satu filsafat materialisme, tetapi satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai macam pendekatan yang melibatkan aspek rohaniah-kultural dari realitas sosial manusia. Sosiologi meneliti fakta-fakta sosial yang terlihat dalam hubungan sosial, tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk tingkah laku sosial, pendeknya realitas sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak bersifat material. Beberapa aliran sosiologi justru merupakan contoh keanekaragaman pendekatan dan tematisasi terhadap fakta sosial, seperti teori konflik Karl Marx, positivisme August Comte, teori ttg struktur masyarakat yang ideal Karl Popper, dsb.

 Sosiologi: beranjak menuju filsafat sosial yang menggeluti kompleksitas realitas sosial: sejauh mana aku termasuk dalam yang lain dan yang lain termasuk dalam diriku? Apa unsur esensial dalam realitas sosial: aku sebagai individu atau kebersamaan, dsb.

2.2.3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrem a. Individualisme dan kritik terhadapnya.

Individualisme: satu pemahaman bahwa kehidupan bersama itu dibentuk dan dibangun atas dasar persetujuan dari individu-individu (masyarakat: kumpulan individu) dengan tujuan tertentu yang mau dicapai bersama. Argumentasi ontologis: realitas yang sesungguhnya adalah individu, sedangkan kehidupan bersama atau masyarakat bersifat sekunder dan aksidental. Argumentasi etis: Individu sebagai pribadi adalah nilai tertinggi. Dia berhak menentukan dirinya sendiri dan berkuasa atas dirinya. Hak pribadi diutamakan.

Kelemahan: Konsep di atas abaikan struktur dalam dari kehidupan bersama. Di dalam bentuk kehidupan bersama, hubungan antara individu bersifat hakiki; di dalamnya bukan hanya terdapat individu-individu, tetapi kesepakatan dan persetujuan itu bersifat mengikat dan membentuk “kita”. Ada keterikatan antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan untuk itu satu autoritas sosial merupakan satu keharusan. Individualisme terlalu menekankan kebebasan individu tanpa memperhatikan autoritas sosial itu.

b. Kollektivisme dan kritik terhadapnya.

Kollektivisme: satu pemahaman bahwa kehidupan bersama itu tidak dimengerti sebagai terdiri dari kumpulan individu, tapi satu organisme sosial yang dilihat sebagai satu tubuh yang memiliki anggota-anggota. Argumentasi ontologis: realitas sosial itu merupakan satu yang hakiki; dia tidak diasalkan dari individu-individu. Individu itu merupakan satu yang sekunder; yang lebih dahulu ada adalah masyarakat. Argumentasi etis: kesejahteraan bersama mendahului kepentingan diri.

Kritik: Paham itu tidak beri ruang kebebasan pada individu. Hak individu diatur sejalan dng tuntutan kehidupan bersama. Dampak pd dunia pendidikan: batasi kebebasan dan ekspresi anak didik lewat peraturan dan hukum. Anak dipaksa utk taat dan tunduk buta tanpa punya kuasa utk lawan apa yang diajarkan guru.

2.2.4. Aku dan yang lain

 Aku dan yang lain: realitas aku dan realitas yang lain. Realitas sosial: realitas aku sebagai subyek dan realitas yang lain sebagai subyek, dan realitas hubungan antar aku dan yang lain.

a. Intersubyektivitas dan interpersonalitas.

(8)

 Intersubyektivitas: tidak hanya hubungan antar subyek, tetapi relasi antar subyek ini harus berdiri di atas satu subyek ideal yang disebut subyek transendental, yaitu satu subyek ideal yang berdiri melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subyek-subyek konkrit. Baik aku sebagai subyek maupun yang lain sebagai subyek mengambil bagian dalam subyek ideal ini yang merupakan kesatuan batiniah semua subyek konkrit.

 Interpersonalitas: hanya mungkin ada apabila intersubyektivitas terwujud. Intersubyektivitas dlm arti di atas adalah interpersonalitas, yaitu hubungan antar pribadi yang tersirat dalam setiap subyek. Subyek sendiri mewakili pribadi.Interpersonalitas mengandaikan hubungan antar subyek atau intersubyektivitas.

b. Yang lain.

Yang lain: diri orang lain ketika saya berhadapan dng orang kedua dan ketiga, tetapi juga diri saya ketika orang kedua dan ketiga berhadapan dng saya. Saya menyebut mereka “yang lain” dan sebaliknya mereka menyebut saya juga “yang lain”.

Ciri khas “yang lain”: bertolak dari pengalamanku. Pengalaman diriku bukan satu pengelaman yang lengkap. Semakin saya mengalami diriku, semakin saya tahu sedikit tentang diriku. Aku mengenal sedikit tentang diriku. Karena itu, untuk lebih mengenal diriku, aku harus berjumpa dengan yang lain, yang menjelma dalam tubuhnya, dalam perkataannya, dalam tingkah lakunya. Dengan demikian terjalin hubunngan “aku dan yang lain”. Tetapi hubungan ini adalah satu hubungan yang tidak lengkap, karena yang lain juga tampil tidak seluruhnya; ia hanya menjelma sedikit dalam penampilan lahiriahnya. “Yang lain” dalam pengalamanku akhirnya menjadi “yang lain sama sekali”, begitu juga “yang lain” ketika berhadapan denganku menyebut aku sebagai “yang lain sama sekali”. Ciri khas relasiku dengan yang lain: Berawal dari penilaianku terhadap yang lain, dan penilaian ini keluar dari diriku, cintaku, kegemaranku, pikiran dan perasaanku,dsb. Ternyata, yang lain tampil tidak ramah, dan karena itu, yang lain adalah ancaman bagiku. Utk mengatasi rasa ini, aku lalu berusaha untuk menundukkan yang lain agar dia ramah, bertindak baik terhadapku, menghargai dan menerimaku. Begitu juga, perspektif ini menjadi perspektif yang lain ketika dia berhadapan denganku. Dia melihatku sebagai ancaman untuk dirinya, dan karena itu, dia berusaha untuk menundukkanku agar aku menerima dan menghargainya. Dalam membangun relasi seperti ini perlu ada ruang kepercayaan yang harus ditempa agar yang lain dapat masuk ke dalam duniaku dan begitu juga aku dapat masuk dalam dunianya. Kepercayaan mengandaikan keberanian, ketrampilan dan resiko. Aku dan yang lain berdiri di atas satu basis yang sama, yaitu Diri (Self). Aku adalah Diriku sendiri, dan Yang lain adalah dirinya sendiri. Hubungan aku dan yang lain hanya memperkokoh jati diri masing-masing, yaitu bahwa yang lain tetap menjadi yang lain sama sekali, dan aku juga tetap menjadi yang lain sama sekali dalam pandangan yang lain terhadapku.

2.3. Kesejarahan/Historisitas

2. 3. 1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.

Manusia: satu hakekat yang menyejarah. Penulisan Sejarah: utk melukiskan peristiwa manusia yang sudah terjadi di masa lampau. Ideal penulisannya: apa yang diteliti dan ditulis harus sesuai dengan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Persoalannya: apa ideal itu bisa terwujud? Jawabannya: tidak bisa terwujud, karena apa yang ditulis tidak mewakili seluruh realitas yang sudah terjadi dulu. Karena itu perlu rekonstruksi sejarah; sejarah perlu dikonstruksi lagi dan metodenya pun harus selalu diperbaharui.

Dua alasan mengapa sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode harus selalu diperbaharui. Pertama, adanya penemuan sumber-sumber baru seperti arsip atau tanda-tanda atau huruf tertentu. Penemuan itu membuka horizon pengetahuan yang baru bila diteliti lagi dengan metode yang tepat. Kedua, setiap sumber tertulis yang berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak pernah selesai menyampaikan sesuatu. Sumber-sumber itu memuat semacam satu realitas obyektivif yang tidak terikat dengan waktu. Karena itu kegiatan penafsiran terhadapnya harus berjalan terus. Sumber-sumber tertulis itu juga merupakan satu penafsiran.

(9)

 Sasaran penulisan sejarah: kesejarahan itu sendiri, yaitu segala sesuatu yang terjadi di masa lampau sebagaimana adanya; dan itu mencakup keseluruhan realitas manusia dng segala aspek.

2.3.2. Ide ttg waktu obyektif dan waktu subyektif.

Ide ttg waktu obyektif: satu perjalanan waktu yang mengikuti garis-garis dengan bercirikhaskan terjadi lebih awal, lebih kemudian, kemudian sekali dan yang paling akhir, pendeknya: satu struktur dasar waktu yang di dalamnya peristiwa-peristiwa “terjadi satu sesudah yang lain”. Struktur dasar dari waktu obyektif ini dapat ditentukan secara pasti menurut hukum fisika, khususnya astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu kodrati, karena perjalanannya didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang, malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati ini dilengkapi lagi oleh waktu hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa tertentu sebagai titik referensi pembagian waktu, misalnya penanggalan atau kalender yang dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, Hijrah Nabi Muhammad, peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia, dsb. Pembagian waktu seperti ini bisa berupa satu periode, satu epoche atau zaman.

I

de tentang waktu subyektif: gambaran tentang waktu yang dikaitkan dengan manusia sebagai subyek. waktu subyektif adalah kesejarahan yang melekat pada subyek itu sendiri. Tanpa subyek tidak ada gambaran tentang waktu. Waktu dalam kaitan dengan subyek: kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Hal ini dijelaskan dalam tiga arti mendasar ini.

Pertama: waktu adalah keseluruhan semua momen atau saat, yaitu momen dulu, sekarang dan yang akan datang. Momen itu tidak lain dari pada hasil sintese masa dulu dan yang akan datang dengan yang sekarang. Waktu lampau dihantar untuk masuk ke dalam masa sekarang melalui “kenangan”, sedangkan masa yang akan datang dihantar masuk ke dalam masa sekarang melulu “antisipasi”. Masa sekarang mendapat tekanan istimewa, karena masa sekarang merupakan kekinian subyek, aktivitas subyek. Jadi, masa sekarang menjadi titik tolak ke dua dimensi, yaitu dimensi masa lampau dan dimensi masa yang akan datang. Masa lampau dan masa yaang akan datang adalah manusia sekarang terhayati subyek.

Kedua: masa lampau, masa sekarang dan masa depan selalu merupakan satu kesatuan. Unsur yang satu tidak bisa ada terpisah dari unsur yang lain. Contoh: satu melodi. Satu melodi merupakan satu kesetuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita mendengarkan beberapa nada dari satu melodi yang dikenal, maka pada waktu yang sama kita terarah kepada keseluruhan melodi itu sebagai satu kesatuan dan serempak mengantisipasi munculnya nada-nada lain yang menyusul dalam keseluruhan melodi itu. dengan demikian, kesatuan waktu itu terbaca pada keseluruhan waktu dulu, selaramg dam uamg akan datang tetapi serempak juga terarah kepada dimensi dulu melalui kenangan dan dimensi yang akan datang melalui antisipasi.

Ketiga: Waktu subyektif selalu memuat waktu obyektif. Tapi bagaimana hal ini dijelaskan atau sejauh mana waktu obyektif itu ada dalam waktu subyektif. Contoh: Kita berhadapan dengan satu drama di atas panggung. Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita yang terdiri dari fase awal, tengah dan akhir. Tetapi setiap fase yang kita perankan meninggalkan juga hal-hal yang tidak kita sadari dan ada hal-hal tertentu yang diperhatikan orang lain ketika mereka menonton drama kehidupan ktia. Di sinilah titik perbedaan: ada waktu yang mendapat perhatian dan gambaran struktur dan realitas yang terpisah dari subyek ketika orang lain justru menemukannya dalam drama kehidupan kita. Karena itu, dalam perspektif waktu subyektif dan waktu obyektif itu, masa lampau kita adalah satu keharusan yang ktia wajib terima, masa sekarang adalah kenyataan yang tidak lengkap, dan masa depan adalah kemungkinan saya.

2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas

(10)

Masa sekarang adalah titik pusat, karena kita hidup di masa sekarang. Dan dari titik pusat ini manusia membangun dialektika dalam dua cara.

Pertama, manusia meniadakan atau memasukkan masa sekarang ke masa lampau dan masa depan. Ini berarti bahwa manusia tidak hidup dalam masa sekrang tetapi hidup dalam khayalan dengan menemukan nilai hidupnya di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau hidup dalam kenyataan akan masa depan yang penuh dengan impian hidup. Kedua-duanya mempunyai pengaruh positif dan negatif. Positifnya adalah bahwa pengalaman nostalgia memebangun kembali semangat hidup untuk menghadapi persoalan sekrang dan juga cita-cita yang kuat untuk masa depan mendorong semangat hidup sekarang untuk berusaha mewujudkannya. Tetapi negatifnya ialah bahwa manusia lari dari dunia konkrit dan masuk dunia khayalan baik khayalan terhadap masa lampau maupun khayalan akan masa yang tidak pasti.

Kedua, masa sekarng “kehilangan” masa lampau dan masa depan. Kehilangan masa lampau berarti bahwa manusia terputus dari manusia sekrang atau dengan kata lain, masa lampau tidak diperlukan. Begitu juga, kehilangan masa depan berarti bahwa manusia dapat terpisah dari masa sekarang, atau dengan kata lain, manusia dapat tidak diperlukan. Masa sekarang adalah satu kenyataan yag bersama satu kali. Keduanya mempunyai nilai postif dan negatif.nilai positifnya: pengalaman masa lampau yang buruk dilepaskan dengan hati yang terbukan dan lapang agar kita memulai hidup baru dengan harapan baru, begitu juga putusnya hubungan dengan masa depan membantu kita untuk lebih memusatkan perhatian pada hidup sekarang dengan persoalannya yang sedang kita hadapi. Nilai negatifanya: masa lampau yang buruk tidak boleh dilupakan begitu saja, dan harus diintegratif dalam hidup yagn sekarang. Hidup masa depan yang terputus dari hidup sekarang adalah menghancurkan harapan kita dan hal ini bisa membawa putus asa.

Dialektika itu ada dalam diri subyek yang menyejarah. Masa lampau dan masa depan meresapi masa sekarang dan masa sekarang meresapi masa lampau dan masa depan. Masa sekrang tanpa dimensi masa lampau dan masa depan adalah kehilangan arti, begitu juga masa lampau dan masa depan tidak punya arti jika tidak diresapi oleh masa sekarang.

2. 4. Kejasmanian

2.4.1. Prapengertian ttg kejasmanian dng bertolak dari bahasa.

Bahasa tentang tubuh memberikan kita lebih dahulu pengertian tentang kejasmanian: a. Bahasa Metaforis ttg tubuh.

Kita menemukan banyak kata yang mengungkapkan bagian-bagian tubuh dan gerak-gerik tubuh. Bagian-bagian tubuh misalnya: tangan, kepala, bahu, dada, hati dsb., dan gerak-gerik tubuh misalnya: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb. Kata-kata itu memiliki satu arti dasar, tetapi mereka dapat memiliki banyak arti, apabila mereka digunakan dalam bahasa metaforis (meta-phora: pengalihan), misalnya bahasa metaforis utk bagian tubuh: kepala suku, kepala pasukan, kepala pemerintahan dsb., dan bahasa metaforis untuk gerak-gerik tubuh, misalnya: melarikan diri, mendirikan rumah, menjalani hukuman, mendudukkan perkara, dsb. Arti dasar dari kata-kata itu tidak hilang dan dalam bahasa metaforis arti dasar tetap menjadi prinsip kesatuan. Bahasa metaforis memperlihatkan prinsip kesatuan itu, selain memperlihatkan adanya struktur analogi antara arti dasar dan arti-arti yang lain dan memperlihatkan mudahnya proses pengalihan arti dasar ke arti-arti yang lain.

b. Penangkapan figur jasmaniah-rohaniah melalui bahasa.

Analisa bahasa: Kesatuan antara tanda yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di dalam tanda itu. Setiap kata merupakan susunan fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf mewakili bunyi suara tertentu) dan monem-monem (monem: kesatuan terkecil yang punya arti tertentu dan yang turut membentuk fonem). Bila orang mengungkapkan bunyi suara tertentu, maka orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam bunyi suara itu. Demikian juga bila orang mengucapkan satu kata sebagai bentukan dari bunyi suara itu, orang langsung menangkap arti yang terkandung dlm kata itu. Kesatuan antara kata yang mengungkapkan arti dan arti yang terkandung dalam kata adalah sama dengan kesatuan tubuh-roh dalam satu figur. Bila kita menyebut nama seseorang yang kita kenal, misalnya “mantan presiden Abdulrahman Wahid”, orang langsung menunjuk kepada sosok jasmaniah tertentu yang sekaligus juga mencerminkan elemen rohaniah yang melekat pada figur jasmaniahnya.

(11)

tubuh menunjukkan kehadiran keseluruhan pribadi tertentu. Bagaimana tubuh menjadi satu fenomen? Bila orang berkata “dia adalah orang yang ringan tangan”, maka dari sudut fisis dan estetis, dia tidak demikian, tetapi kata itu hanya mengungkapkan sikap suka menolong. Si pengamat mengatakan demikian atas dasar pengalamannya bahwa orang dengan figur tubuh tertentu suka menolong. Tubuh menjadi satu fenomen, ketika orang mengalami figur keseluruhan diri orang itu yang suka menolong. Sikap suka menolong menunjuk kepada fenomen tubuh yang mewakili seluruh diri orang itu, dan bukannya kata “ringan tangan” menunjuk kepada satu fenomen.

2. 4. 2. Reduksi tubuh kepada badan

Dalam pemakaian bahasa sehari tidak ada pembedaan antara tubuh dan badan. Pada hal ada perbedaan mendasar.Badan: bagian dari ruang yang dapat diukur dalam geometri dan dipelajari dalam fisika. Tubuh: keseluruhan manusia yang tampak dlm struktur jasmaniahnya, termasuk elemen roh yang ada dalam struktur jasmaniah. Dua pemikir yang memberi pemahaman akan reduksi tubuh ke dalam badan.

Rene Descartes: Tubuh dan badan itu identik, dan keduanya adalah materi yang bergerak secara mekanis. Hakekat materi adalah keluasan (res extensa) dan gerak. Sifat keluasan/merentang dan gerak itu dapat diamati dalam matematika dan geometri. Sifat itu masuk dalam dunia indra kita dan mempengaruhi dunia indra kita. Kita hanya dapat memandang, mengamati dan menangkap raut muka, bentuk, warna dsb, tetapi kita tidak dapat memasukkannya ke dalam sistem rasional kita. Kita memandang tubuh dengan dua cara: memandangnya dengan pikiran (imaginare) dan menanggapinya dengan indra (sentire). Gerak materi berjalan mekanis seperti angin puting beliung. Tidak ada prinsip penyatuan dari dalam. Materi ini dalam manusia dipertentangkan dengan roh yang disebutnya res cogitans (hal yang sedang berpikir). Dengan roh, kesatuan jiwa-badan dimungkinkan.

Kritik trh Descartes: Ia memisahkan secara tajam realitas materi (tubuh dan badan) dan jiwa. Budi (daya Roh) melihat dengan jelas perbedaan gerak dan rentangan yang terdapat dlm materi dan yang terdapat dalam tubuh seseorang. Gerak dan rentang pada tubuh manusia selalu berada dalam kombinasinya dengan jiwa. Hubungan tubuh-jiwa ini begitu intim, sehingga tidak mungkin tipe motorik dan mekanik pada materi diidentikan dengan tubuh manusia. Descartes tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana hubungan yang intim antara tubuh-jiwa itu terjadi. Meskipun demikian, konsep Descartes memberi sumbangan terhadap eksplorasi terhadap tubuh secara luar biasa, yaitu kemajuan obat-obatan yang digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.

2.4.3. Reintagrasi badan ke dalam tubuh

Reintegrasi badan ke dalam tubuh terwujud melalui “aku sebagai subyek”. Di dalam aku, tubuh dan badan bersatu. Hal ini digambarkan sebagai pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si pelaut adalah aku yang bersatu erat dengan kapalnya (badan dan tubuh) tetapi memiliki distansi dengan kapalnya. Juga hal itu bisa digambarkan di dalam aku sebagai subyek yang merasa lapar, sakit atau haus. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalu tanggapan tubuh. Perut sebagai bagian dari badan merasa lapar, tapi perasaan lapar ini dialami oleh keseluruh aku sebagai subyek. Satu gejala yang memungkinkan reintegrasi badan ke dalam tubuh disebut “mekanisme badan sebagai spiritualisme tekhnomorfis.

(12)

adalah spiritualisme yang tekhnomorfis, karena perubahan-perubahan bentuk tubuh dan tekhnik yang dihasilkan oleh kesanggupan subyek melahirkan mekanisme material alamiah baru, dan hal ini hanya bisa terjadi demikian oleh karena kesanggupan subyek yang bersifat rohaniah itu.

2. 4. 4. Realitas Kejasmanian

Realitas kejasmanian adalah realitas tubuh dan bukan realitas badan. Realitas tubuh berkaitan dengan subyek dan subyektivitas. Realitas ini bersifat unik dan individual, sementara realitas badan adalah realitas benda yang bersifat mekanis seperti mesin dan bersifat kollektif. Realitas tubuh hanya merupakan realitas “aku sebagai subyek yang menjasmani”. Untuk mentematisir realitas tubuh secara filosofis, kita perlu memperhatikan dua bidang di bawah ini. Dimensi kejasmanian dalam ruang.

Berbicara ttg dimensi kejasmanian dlm ruang berarti berbicara ttg cara-cara bagaimana realitas tubuh dialami.

Ruang di sini adalah ruang untuk subyek. Dia berbeda dari ruang dalam Geometri dan physika. Dlm ruang geometri dan physika tidak ada ruang atas, bawah, tengah, kiri dan kanan. Tidak ada pembedaan ruang di dalam dan ruang di luar. Ruang utk subyek bertolak dari subyek tempat subyek berdiri. Tempat subyek berdiri adalah titik pijak yang dilambangkan dengan nol, dan dari titik pijak ini subyek mengarah ke banyak dimensi: ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan ke luar. Arah yang berbeda-beda, bahkan yang berseberangan satu sama lain, memberi arti dasar untuk pembentukan ruang, karena dengan adanya arah-arah itu subyek mulai membuka satu ruang gerak yang bebas dan juga mengukur ruang gerak itu. Realitas kejasmanian subyek memang mengorganisir arah gerak yang berbeda-beda dan serempak pula memberi arah atau orientasi keberadaan jasmaniahnya.

- Ruang subyek bukan hanya ruang yang dialami dan yang diukur seperti ruang sempit, ruang segi empat, ruang yang luas dsb., tetapi juga ruang simbolis, yaitu ruang yang kita bayangkan dalam imaginasi kita seperti ruang hidup pribadi saya, ruang hidup keluarganya, ruang doa. Pengalaman ruang yang banyak oleh subyek menunjukkan batas-batas yang subyek berikan untuk ruang yang satu dan ruang yang lain. Batas ruang itu bersifat fisis dan simbolis.

- Selain ruang fisis dan simbolis, pengalaman ruang subyek juga tidak hanya terbatas pada kehadiran fisis subyek di satu tempat. Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi pengalaman saya akan ruang jauh lebih luas dari ruang tempat badan saya berada. Ketika saya membuat rencana untuk membuat perjalanan ke tempat yang lain, pengalaman saya akan ruang sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih luas dari ruang tempat saya berada.

Tubuh juga merupakan pengalaman ruang dari subyek. Tubuh menjadi titik pusat yang dari padanya subyek bergerak dan menentukan arahnya. Tubuh sebagai titik pusat ini bukanlah satu hal yang diperoleh secara otomatis. Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan-latihan. Melalui tubuh, subyek dapat menampilkan diri dengan baik tetapi juga menyembunyikan diri secara rapih. Si subyek yang sakit payah berada di dalam tubuh yang kurus, pucat, dsb., sedangkan subyek yang sehat berada dalam tubuh yang segar, bugar dan kuat. Pengalaman subyek di dalam tubuhnya termasuk pengalaman akan ruang.

 Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.

- Farmasi atau ilmu pengetahuan obat-obatan: berkembang pesat dan maju. Tapi semua usaha di bidang ini hanya berhenti pada pengobatan organ tubuh yang sakit. Teori-teori di bidang itu belum menyentuh korelasi antara tubuh jasmaniah dengan keseluruhan subyeknya.

- Pemahaman di atas berakar dalam filsafat Descartes tentang “res extensa” dan “res cogitans”. Ilmu pengetahuan dan perkembangan pengetahuan obat-obatan belum berhasil mengkonstruksikan hubungan antara kedua unsur itu. Problem filosofisnya: apa yang menjadi hakekat terdalam dari subyek yang dapat mempersatukan “res extensa dan res cogitans”.

(13)

berhubungan dengan seluruh realitas subyek. Realitas kejasmanian subyek justru terletak dalam satu kesatuan antara aku yang mempunyai tubuh dan aku yang adalah tubuh. Penetapan arti ontologis terhadap realitas kejasmanian harus direfleksikan dalam usaha untuk mensistematisir satu kesatuan antara aku yang mempunyai tubuh dan aku yang adalah tubuh.

3. Elemen rohaniah dari perwujudan keberadaan manusia 3.1. Kesadaran rohaniah.

3.1.1. Fenomen kesadaran.

Fenomen kesadaran ditafsir melalui pengalaman akan kesadaran itu sendiri. Kita hanya memahami pengalaman kesadaran itu dengan cara menganalisa pengalaman “ketidaksadaran”; menganalisa struktur tanggapan kesadaran dan menganalisa penolakan terhadap kesalahan penafsiran.

- Pengalaman “ketidaksadaran” dan keajaiban kesadaran. Pengalaman kesadaran dapat disaksikan melalui peralihan dari keadaan “tidak sadar” menuju “menjadi sadar”. Pengalaman “tidak sadar” terjadi pada waktu tidur atau juga pada waktu jatuh pingsan atau ketika orang sedang menjalani operasi. Orang yang tidak sadar tidak mengalami bahwa dia sedang tidak sadar, tetapi orang lain mengalami bahwa dia tidak sadar. Tetapi peralihan dari yang tidak sadar ke dalam kesadaran bisa dialami orang itu sendiri ketika dia menjadi sadar seperti ketika dia terjaga dan bangun tidur, atau juga dialami oleh orang lain di luarnya yang menyaksikan bahwa orang yang berada dalam ketidaksadaran menjadi sadar lagi.

 Di mana letak keajaiban kesadaran?

Kesadaran itu tidak bisa ditangkap indra, dan munculnya kesadaran itu seakan-akan keluar dari ketiadaan. Tetapi apa yang kita tangkap dari kesadaran hanyalah isi-isi kesadaran dan bukannya kesadaran itu sendiri. Contoh, sekarang saya sedang membaca buku. Saya sadar bahwa saya sedang membaca buku, tetapi membaca buku bukanlah kesadaran saya. Perbuatan membaca buku adalah isi kesadaran saya. Isi kesadaran adalah sasaran atau obyek-obyek kesadaran. Isi kesadaran itu bermacam-macam dan ada yang bersifat individual, ada juga yang bersifat kollektif. Isi kesadaran yang bersifat individual adalah isi kesadaran individu yang sedang bergiat sendiri, sementara isi kesadaran yang bersifat kollektif adalah isi kesadaran yang berasal dari kegiatan bersama, seperti kegiatan belajar-mengajar. Di sinilah letak keajaibannya: isi-isi kesadaran dapat ditematisir, tetapi si subyek tidak dapat menangkap secara jelas kesadaran itu sendiri.

Bila isi kesadaran itu bisa ditangkap dan disistematisir, maka pertanyaannya ialah bahwa apakah isi-isi kesadaran itu adalah realitas obyek sebagaimana adanya ataukah realitas yang berhubungan dengan kesadaran si subyek. Pertanyaan ini menjadi tugas ontologi untuk merefleksikannya, tetapi dalam konteks filsafat manusia, pertanyaan itu merupakan alat bantuan manusia untuk menggeluti persoalan kesadaran atau untuk menggeluti persoalan subyek yang sadar. Satu hal yang jelas ialah bahwa kita tidak menangkap seluruh realitas an sich di luar diri si subyek. Dalam proses menjadi sadar perlahan-lahan, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang ada untuk subyek. Realitas ini tidak pernah ada di luar subyek. Menjadi sadar terhadap realitas itu hanyalah satu proses kesadaran utk mengalami, menanggapinya dan mengamatinya. Di sini juga letak keagungan dan keajaiban kesadaran. Proses menjadi sadar diberi bentuk oleh adanya realitas kesadaran. Dengan kata lain, “menjadi sadar dan sadar akan” (to become conscious dan to be conscious) bersatu erat, dan kedua elemen itu memperlihatkan satu “cara berada dari realitas kesadaran”. Jadi kesadaran itu adalah satu cara berada.

- Struktur tanggapan kesadaran.

• Bentuk pertama kesadaran: obyek yang ditanggapi serempak kesadaran subyek yang bersifat intensional. Inilah dua elemen konstitutif dalam proses “menjadi sadar”. Lalu berkembanglah satu refleksi kesadaran.

• Refleksi kesadaran menyentuh ingatan atau kenangan subyek akan obyek yang sudah dilihat. Contoh: si subyek melihat sebuah kapal di pelabuhan. Isi kesadaran: kapal itu dan perbuatan melihat kapal. Hubungan antara kapal dan perbuatan melihat kapal dijalin oleh karena refleksi kesadaran atas kapal itu, tetapi perhatian utama si subyek tidak lagi tertuju kepada perbuatan melihat. Perhatian utamanya tertuju kepada realitas obyek kapal itu di dalam diri subyeknya.

(14)

kesatuan subyek yang sadar dengan realitas kapal sudah ada lebih dahulu dari pada perbuatan melihat kapal.

• Berada dekat dengan dirinya merupakan satu gejala yang menjadi dasar atau akar kesadaran. Gejala ini memungkinkan lahirnya kesadaran yang konkrit. Dia bukanlah obyek dari proses menjadi sadar, tapi satu sasaran atau obyek pengenalan abstrak-spekulatif yang melampaui kesatuan obyek dan subyek yang sadar. Dialah sasaran pengenalan obyektif yang bergerak secara halus dari sesuatu yang didasari kepada sesuatu yang mendasari.

Penolakan terhadap interpretasi yang keliru.

• Di dalam proses menjadi sadar terdapat kesatuan antara obyek yang ditanggapi dan subyek yang menanggapi. Kesatuan ini memperlihatkan identitas keduanya secara mengagumkan, yaitu identitas obyek sebagaimana adanya dan identitas subyek sebagaimana adanya. Persoalannya: Sejauh mana identitas keduanya dikenal sebagaimana mestinya? Subyek yang menanggapi selalu mengandaikan obyek yang ditanggapi, dan obyek yang ditanggapi selalu mengandaikan subyek yang menanggapi. Kita selalu terjebak dalam kekeliruan pemberian arti atau kekeliruan interpretasi yang obyektivistis dan yang subyektivistis.

• Obyektivisme: satu aliran pemahaman dan penafsiran bahwa obyek yang ditanggapi subyek itu adalah obyek dalam realitasnya yang sesungguhnya. Teori-teori ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, biologi dsb., terjebak dalam model penafsiran seperti itu. Contoh: melihat realitas pisang dengan mata. Ketika pengalaman indrawi subyek, misalnya matanya, berhadapan dengan realitas pohon pisang, lensa mata yang mengandung gelombang sinar terarah kepada realitas pohon pisang, kemudian realitas pohon pisang itu terproyeksi ke dalam keseluruhan tanggapan indrawi subyek yang pada gilirannya membentuk kesan-kesan dan gambaran tentang realitas pisang. Dengan demikian pengetahuan obyektif tentang pisang adalah realitas pisang yang sudah masuk dalam proses tanggapan subyek dan bukannya realitas pisang itu sendiri.

• Pengaruh terhadap pemberian arti yang keliru terhadap obyek (obyektivisme) dapat disimak dari filsafat empirisme David Hume (1711-1776). Hume berpendapat bahwa isi kesadaran itu bersumber pada apa yang disebut “kesan-kesan dan ide-ide”. Kesan-kesan adalah hasil rekaman pengalaman indrawi secara langsung ketika subyek berhadapan dengan obyek. Ide-ide bukan hasil dari pengertian yang diolah budi, tetapi gambaran yang berasal dari pengalaman indrawi. Gambaran itu sendiri diciptakan kembali oleh karena ingatan dan kemampuan kesadaran. Ingatan itu adalah kumpulan kesan, sementara kesadaran adalah deretan kontinu dari kesan-kesan. Kemampuan untuk menciptakan gambaran terealisir dalam pembentukan kombinasi dan asosiasi. Kombinasi merupakan gambaran tentang satu obyek, gambaran yang tersusun dari kumpulan ide, sementara asosiasi merupakan gambaran-gambaran yang dimunculkan oleh karena adanya gambaran-gambaran lain. Pertanyaan kita ialah bahwa apakah obyek dalam arti realnya dapat dirumuskan seobyektif mungkin?

• Lawan dari Obyektivisme: subyektivisme, yaitu satu aliran pemahaman bahwa realitas obyek yang ditanggapi bukanlah obyek dalam arti sesungguhnya, tetapi semata-mata gambaran subyek tentang obyek. Gambaran tentang obyek itu hanyalah peristiwa psikis di dalam diri subyek, peristiwa psikis yang membangun satu realitas obyek yang mirip dengan realitas obyek yang sesungguhnya. Dengan demikian, obyek yang sesungguhnya berbeda dengan obyek yang ditanggapi subyek. Ada dua argumentasi yang membenarkan pendirian itu. Pertama, obyek yang ditanggapi subyek sesungguhnya terjebak dalam penipuan indrawi (kamuflase pengalaman indrawi). Kedua, ketika obyek itu ditanggapi subyek, ketika itu pula obyek itu bergantung pada cara-cara bagaimana organ-organ indrawi kita menanggapinya. Pertanyaan dasar ialah apakah ada obyek di dalam dirinya atau obyek sebagaimana adanya. • Jalan keluar utk menjembatani obyektivisme-subyektivisme. Kita merujuk kepada fenomen

(15)

transendennya, yaitu bahwa kesadaran mampu keluar dari kurungan obyek yang ditanggapi; ia mentransendir obyek yang ditanggapi itu.

3. 1.2 Dimensi-dimensi kesadaran.

 Dimensi-dimensi kesadaran itu adalah spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran; kesadaran teoretis dan kesadaran praktis; jenjang-jenjang proses kesadaran; kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain.

 Spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran.

Proses tanggapan terhadap obyek dan pengenalan tentang obyek berjalan bersamaan. Proses tanggapan dan pengenalan dilukiskan sebagai satu proses kesadaran untuk menerobos masuk ke dalam realitas obyek yang sesungguhnya. Di dalam proses ini terjadilah apa yang disebut “rezeptivitas” (passivitas) dan “spontanitas” (aktivitas).

Rezeptivitas: proses penerimaan kesadaran terhadap realitas obyek yang berhadapan dengan subyek. Proses ini lebih menonjolkan keadaan pasif kesadaran, karena sebelum subyek mengenal obyek secara aktif, obyek itu sudah mengimbas kesadaran melalui satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara tidak terelakkan (pasif). Ketika kesadaran terkena imbas oleh obyek, pada waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan, menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap obyek yang ditanggapi. Dalam proses selanjutnya, obyek akhirnya menjadi pusat perhatian kesadaran, dan obyek itu lalu diolah dan direfleksikan oleh kesadaran. Kegiatan kesadaran inilah yang disebut “spontanitas”. Pengertian ttg kebenaran dan kepalsuan terletak di dalam usaha kedua kemampuan itu, yaitu rezeptivitas dan spontanitas utk mereproduksikan dan merekonstruksikan realitas obyek di dalam kesadaran sesuai atau tidak sesuai dengan realitas obyek sebagaimana adanya.

Utk menjelaskan receptivitas dan spontanitas, kita merujuk kepada filsafat pengetahuan Immanuel Kant dalam karya Kant “Ktitik Budi Murni( Kritik der reinen Vernunft, singkatannya “KrV”). Kant berpendapat bahwa pengenalan manusia terhadap sesuatu memiliki tiga kemampuan utama: pertama, rezeptivitas atau keindrawian; kedua, kemampuan spontanitas atau daya nalar; ketiga, kemampuan akal budi murni. Rezeptivitas adalah kemampuan subyek untuk menerima gambaran dengan cara bagaimana subyek terimbas oleh obyek-obyek (lewat pengalaman indrawi). Dan ketika subyek memandang obyek, pada saat yang sama secara serempak kemampuan kedua, yaitu daya nalar (spontanitas), menciptakan pengertian. Ada satu kesatuan fungsional yang harus ada antara daya rezeptivitas dan daya nalar. Kemampuan rezeptivitas didasarkan pada satu persyaratan a priori yang muncul dalam bentuk murni, yaitu ruang dan waktu, sedangkan kemampuan spontanitas didasarkan pada budi murni yang menghantar manusia dalam refleksi lebih lanjut untuk membuat kesimpulan-kesimpulan. Kemampuan ketiga adalah kemampuan budi untuk membuat kesimpulan. Ada ulasan panjang lebar tentang itu, tapi untuk kita hal yang terpenting ialah bahwa dimensi kesadaran subyek memuat daya rezeptivitas pengalaman indrawi, daya spontanitas dan daya penyimpulan melalui pengenalan budi. Heidegger kemudian menjabarkan pengertian subyek menurut Kant ke dalam tiga karakter: aku mengalami (merasa); aku berpikir; aku bermoral.

 Kemampuan rezeptivitas dan spontanitas dapat dipahami dlm proses kegiatan “tanya-jawab”. Proses tanya-jawab secara ontologis tetap berjalan sejauh subyek ada dan bergiat. Bila kita bertanya tentang sesuatu hal, maka pertanyaan kita sudah mengandaikan adanya obyek yang ingin diketahui. Pertanyaan sendiri memberi arah tertentu, dan jawaban diberikan sesuai dengan arah pertanyaan itu. Jawaban meninggalkan hipotese-hipotese yang sebagiannya teruji kebenarannya secara pasti dan sebagiannya tinggal hipotese yang kebenarannya tak terjangkau oleh subyek. Pertanyaan lebih menujuk kepada kemampuan rezeptivitas subyek, sedangkan jawaban lebih menunjuk kepada kemampuan spontanitas subyek.

 Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis.

-Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis termasuk juga dalam dimensi-dimensi yang berasal dari kesadaran sendiri.

- Kesadaran teoretis lebih berhubungan dengan pengetahuan dan pengenalan, sedangkan kesadaran praktis dengan baik-buruknya sesuatu untuk subyek. Kesadaran teoretis: kegiatan kesadaran untuk mengetahui dan mengenal hakekat sesuatu, atau utk mengenal “apa itu sesuatu di dalam dirinya”. Ini berawal dari pengenalan indrawi. Kesadaran teoretis memiliki juga kutub obyektif dan juga kutub subyektif.

(16)

yang mendasar: pertama, cara tekhnis praktis (pragmatis); kedua, cara moral-praktis. Cara tekhnis praktis: berhubungan dengan “know-how”, maksudnya mengenal pengetahuan obyektif untuk tujuan tertentu, dan tujuan itu dicapai dengan sarana atau alat yang tepat sesuai kemampuan diri subyek. Cara moral-tekhnis: berhubungan dengan penilaian moral terhadap tujuan perbuatan yang hendak dicapai melalui sarana atau alat yang digunakan itu. Jadi, penilaian terhadap tujuan perbuatan dan sarana yang digunakan. Kesadaran moral-tekhnis ini mengambil bentuk dasar dalam apa yang disebut “suara hati”.

- - Baik kesadaran teoretis maupun kesadaran praktis dalam dua cara (tekhnis-praktis dan moral-tekhnis) sama-sama membutuhkan pendidikan kesadaran. Mengapa? Dalam kenyataan, seorang yang mempunyai pengetahuan intelektual yang tinggi tentang hal tertentu secara teoretis tidak mampu mengerti hal-hal praktis seperti memperbaiki mobil yang rusak. Seorang yang ahli di bidang biologi dan obat-obatan secara teoretis tidak pandai membuat operasi atau menyembuhkan orang yang sakit.

 Jenjang-jenjang penyadaran.

- Kesadaran di sini dimengerti sebagai subyek yang sadar, dan ini melibatkan dlm psikologi psike yang tak sadar dan psike yang sadar.

- Dalam soal ini, kita bicara ttg ”proses kegiatan psike yang sadar”. Kegiatan sentralnya: mengerti (pengertian) dan menghendaki (kehendak). Dalam refleksi filosofis: dicari struktur dasar pengertian dan struktur dasar kehendak. Epistemologi: refleksi filosofis tentang unsur normatif yang memberi arah bagi kegiatan pengertian. Filsafat moral: refleksi filosofis tentang unsur normatif yang memberi arah bagi kegiatan kehendak.

- Pengertian dan penghendakan adalah inti sari dari kegiatan kesadaran. Karena kegiatannya melibatkan semua unsur dalam subyek, maka proses kegiatan itu berjalan secara berjenjang sesuai dengan empat taraf dalam manusia: taraf anorganis atau fisiko-kemis; taraf biotos atau vegetatif; taraf psikis atau sensitif; taraf formal-manusiawi kesadaran. Taraf fisiko-kemis: aksi-reaksi fisiko-kemis dalam mata, telinga, otak dan kelenjar-kelenjar yang dimiliki subyek. Proses ini meliputi dunia atom dan kerja molekul-molekul dalam diri manusia. Taraf biotos atau vegetatif: seperti ditemukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan, yaitu aksi-reaksi pada bidang sel-sel pembawa hidup, jaringan dan organ tubuh seperti peredaran darah, urat syaraf, pernafasan.

Taraf psikis atau sensitif: kegiatan berpusat pada aksi-reaksi naluriah, persepsi dan nafsu-nafsu seperti pada binatang, proses instinktif dan emosional yang melampaui reaksi panca indra. Taraf formal-manusiawi kesadaran: terarah kepada kegiatan refleksi dan penghendakan. Refleksi lebih merupakan kegiatan “cipta”, yaitu kegiatan pemahaman, sedangkan penghendakan lebih merupakan kegiatan “karsa”, yaitu kegiatan yang menghasilkan keutamaan seperti cinta, kebaikan, kelembutan hati, kesetiaan, dsb, dan yang menghasilkan kejahatan seperti benci, irih hati, ketakutan, cemburu dsb. Kegiatan dalam taraf keempat ini adalah kekhasan manusia.

- Dalam proses kegiatan kesadaran, keempat taraf itu tidak berjalan terpisah, tapi dalam satu kesatuan. Kegiatan dalam taraf yang paling rendah, yaitu kegiatan fisiko-kemis, melibatkan juga kegiatan dalam taraf yang paling tinggi, yaitu kegiatan formal manusiawi kesadaran, begitu juga kegiatan dalam taraf paling tinggi melibatkan juga kegiatan dalam taraf yang paling rendah. Keempat taraf itu merupakan bagian yang integral dari realitas manusia sebagai subyek yang sadar. Contoh: seorang yang sedang senyum, kegiatan senyum melibatkan kontraksi otot pada taraf yang paling rendah dan bentuk muka yang membentuk senyuman dan sekaligus juga memantulkan perasaan dan kesadaran dalam taraf yang paling tinggi.Hubungan antara taraf-taraf itu bersifat intrinsik, artinya taraf yang paling tinggi hanya dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia berakar dalam taraf yang paling rendah, begitu juga sebaliknya.

- Mana dari keempat taraf itu paling penting? Jawabannya: bergantung pada sudut pandang subyek yang sadar. Taraf yang paling rendah bisa saja paling penting, apabila subyek alaminya sebagai landasan untuk kegiatan pengertian dan kehendak.

(17)

- Pengertian dan penghendakan berfungsi secara khas dalam relasi antar subyek ini. Pengertian lebih terarah kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah kepada kegiatan untuk menghargai yang lain.

- Karakter khas yang memberi warna pada relasi antar subyek: timbal-balik; saling memuat; subyek-obyek; universal-singular; bersatu dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan.

- Relasi/komunikasi timbal-balik: subyek yang satu dan subyek yang lain berdiri sejajar dan saling memberi response, saling mengakui dan saling menerima. Yang satu aktif dan yang lain pasif, tapi pada gilirannya yang pasif menjadi aktif, dan yang aktif menjadi pasif.

- Saling memuat: relasi subyek yang satu dan subyek yang lain memungkinkan pengakuan dan penerimaan yang lain sebagai obyek, dan pada giliran yang lain sebagai obyek berperan sebagai subyek yang menerima dan mengakui yang satu sebagai realitas obyek, tetapi dalam relasi ini aku sebagai subyek selalu mengkonstitusikan keberadaan yang lain sebagai subyek dengan ciri khas relasi subyek-obyek.

- Universal-singular: relasi antar subyek itu bersifat singular; itu berarti subyek dalam relasi itu tetap mempertahankan keunikan dan kekhasan individualnya, tapi juga bersifat universal; itu berarti dalam keunikannya si subyek termasuk dalam realitas kemanusiaan.

- Persatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan: relasi antar subyek menemukan persatuannya dalam perbedaan; itu berarti kesatuan identitas kemanusiaannya tapi dalam keunikan, otonomitas dan keberdikarian dari masing-masing, sementara perbedaan dalam kesatuan berarti keunikan dan keberdikariaannya berbeda, tapi bersatu dalam identitas kemanusiaan.

- Pemenuhan relasi antar subyek itu: ditemukan dalam komunikasi antar subyek itu dengan subyek transendental yang dipandang sebagai yang memiliki kesadaran immanen-transenden. Dalam bahasa religius subyek transendental itu adalah realitas ilahi.

3.1.3. Pengandaian ontologis kesadaran

 Dalam kesadaran, realitas “ada” menjadi sadar akan dirinya. Realitas “ada” menjadi sumber kesadaran. Apa itu realitas “ada” dalam manusia? Heidegger menyebut realitas “ada” sebagai “yang menampakkan diri” dan serempak “yang menyembunyikan diri”.

 Kesadaran termasuk dalam realitas “ada”, tapi tidak identik dengan realitas “ada”. Manusia hanyalah “modus” dari realitas “ada”, dan dalam bahasa Heidegger “das Dasein”, yang berararti realitas “ada” yang berada di sana (Da), yaitu dalam dunia, dan yang mampu untuk sadar akan realitas adanya (eksistensi) dan yang bertanya tentang makna realitas adanya sebagai manusia. Di sinilah letak pengandaian ontologis kesadaran, yaitu bahwa kesadaran hanya ada karena berasal dari realitas “ada”. Kesadaran dengan segala proses dan kegiatannya hanyalah eksplitasitasi yang nyata dari realitas “ada”. Karena itu, kesadaran manusia itu tidak pernah berada di luar lingkungan realitas “ada” dan menempatkan dirinya ke bawah realitas “ada”.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Akankah esok kembali ,aku masih kau beri kehidupan yang berarti?. Wahai dunia dan

1) Saran lebih ditujukan kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan yang dapat mengendalikan implementasi pembangunan yang ada di koridor jalan Babarsari yang sudah mulai

Dari 75 data yang diperoleh pola kalimat bahasa indonesia sebnyak 72 data yang bisa dianalisis Murid Taman Kanak- kanak (TK) Kalfary Kabupaten Kepulauan Mentawai

Hasil penelitian dari hasil pengolahan atau perhitungan kuisioner pada Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong dengan

[r]

The Effectiveness of Drilling Technique in Using Simple Present Tense Correctly: An Experimental Study at the Eleventh Grade of SMAN 8 Mataram.. Harni Suriyani E1D 012 021

Berdasarkan analisis dari hasil dan pembahasan penelitian, didapatkan hasil yang tidak bermakna secara statistik (p=0.5) pada kejadian komplikasi pada proses penyembuhan

vastattiin yhdistämällä sisällön analyysillä aineistosta tuotettu teema- jäsennys ja teemojen esiintymisissä havaitut muutokset (tutkimuksen alakysymykset 1a ja 1b)