• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM BERAT DI RWANDA SEBELUM BERLAKUNYA STATUTA ROMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM BERAT DI RWANDA SEBELUM BERLAKUNYA STATUTA ROMA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

662

TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM BERAT DI

RWANDA SEBELUM BERLAKUNYA STATUTA ROMA

Septian Dirga Putra Jubair

Nurhayati Mardin

Abstrak

Proses penyelesaian kasus kejahatan di Rwanda sebelum berlakunya Statuta Roma tahun 1998, untuk mengetahuinya penulis sendiri telah banyak merangkum dan menganalisis dari setiap literarut-literatur dan beberapa karya ilmiah yang sudah ada dan menjadikannya satu kesimpulan dengan mengankat judul tersebut. Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif dengan meninjau dari literatur dan bahan hukum lainnya sehingga memungkinkan untuk penulis mendapatkan bahan yang bisa dijadikan suatu kesimpulan atas kasus yang pernah terjadi di Rwanda. Hasil dari penelitian ini telah membuktikan bahwa proses penyelesaian kasus di Rwanda dapat berjalan dengan baik dengan adanya badan peradilan yang khusus untuk mengeksekusi setiap pelaku kejahatan Genosida di Rwanda, badan peradilan itu yakni International Criminal Tribunal for Rwanda atau yang biasa disingkat dengan ICTR walaupun badan/lembaga ini masih bersifat Ad-hoc namun yurisdiksi/kewenangannya masih akan tetap eksis hingga sekarang walaupun dalam waktu yang panjang sebelum berlakunya Statuta Roma badan peradilan ini masih akan tetap melaksanakan yurisdiksinya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kejahatan di Rwanda mengenai Genosida akan tetap berjalan dalam mengadili setiap pelaku kejahatan tersebut walaupun dalam prosesnya menempu waktu yang lama.

Kata kunci: Genosida, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan Ad-hoc.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan yang pernah terjadi sebelum perang dunia dipandang sebagai bentuk revolusi yang akan menjadi proses terbentunya suatu negara yang merdeka walaupun dalam hal

(2)

663 sehingga daerah bekas jajahan

tersebut bisa berkembang dari keterpurukan dan bisa menjadi negara yang mandiri dari campur tangan negara lain walaupun negara jajahan tersebut masih mengadopsi beberapa konstitusi milik negara penjajahannya.

Pertumbuhan dan

perkembangan hukum pidana internasional diawali oleh sejarah panjang mengenai perang yang telah terjadi sejak era perkembangan masyarakat internasional, tradisional, sampai dengan era perkembangan

masyarakat modern.

Perkembangan pesat mengenai masalah perang di dalam sejarah hukum internasional terjadi pada abad 16 - 18, ketika penulis - penulis terkenal seperti Alberto Gentili (Italia), Francisco Suarez (Spanyol), Samuel Punfendorf (Jerman), dan Enerich Vattel (Swiss) telah mambahas dan mencari dasar - dasar hukum suatu peperangan. Namun salah satu tokoh yang terkenaldari Belanda yang bernama Hugo Grotius, dia sebagai ahli hukum yang telah

menulis dan menerbitkan sebuah treatise, “De Jure belli as pecis libri tes” (The Las of War and Peace in Three Books) pada tahun 1625. Dalam bukunya tersebut Hugo Grotius menyatakan bahwa: a. Mereka yang melaksanakan

perang untuk menang atau dengan niat tidak benar layak untuk dituntut;

b. Mereka yang melaksanakan perang secara melawan hukum bertanggung jawab atas akibat - akibat yang terjadi dan sepatutnya diketahui; dan c. Sekalipun jenderal atau

prajurit yang sesungguhnya dapat mencegah kejadian atau kerugian sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya.1

Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban individu. Yang berarti tanpa memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggungjawab atas

1

Anis Widyawati. Hukum Pidana

(3)

664 keterlibatannya dalam perbuatan

pelanggaran HAM berat. Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi

Hukum Internasional

(International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai berikut:

1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional

bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.

2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggungjawab menurut hukum internasional.

3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat

Pemerintah yang

bertanggungjawab, tidak membebaskan dia dari tanggungjawab menurut hukum internasional.

4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.

Menurut Konvensi

Pencegahan dan Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu:

a) Membunuh anggota

kelompok;

(4)

665 c) Secara sengaja dan terencana

mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian;

d) Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut;

e) Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain.2

Kejadian yang terjadi di Rwanda, Afrika, memberikan gambaran buruk terhadap masyarakat internasional yang dimana kejahatan tersebut terjadi secara meluas dan sistematis dengan melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya.

Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi,

2

http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/0

4/dunia-internasional-menyikapi-masalah.html

yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15; Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.

Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi

untuk pekerjaan “kerah putih”

yaitu pekerjaan yang lebih tinggi

posisinya sedangkan untuk “kerah

biru” yaitu posisi yang lebih

(5)

666 Rwanda. Secara tidak langsung,

Belgia mengadu domba ke dua suku ini.

Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih - benih kebencian, ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi

yang disebut dengan

“Cocoroaches”, dan menyamakan

mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai.

Dengan sandi “LETS CUT THE TALL TREES!!” mereka memulai

pembantaian itu.

Konflik yang terjadi di Negara Rwanda dikategorikan sebagai konflik etnis. Konflik yang terjadi antara etnis hutu dan etnis tutsi. Pada tahun 1994, konflik ini

pun memuncak ketika

pembunuhan kepada Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis hutu oleh kaum militan yang menentangnya terjadinya penyatuan etnis tersebut. Peristiwa penembakkan tersebut mengawali pembunuhan massal atau yang sering disebut dengan Genocide (genosida) yang berlangsung selama 100 hari. Hanya beberapa jam setelah presiden Rwanda dibunuh, pembantaian pun dimulai diseluruh tempat di Rwanda. Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda,

Interahamwe dan

Impuzamugambi.

(6)

667 menjadi korban pembantaian. Lalu

setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa dan Hutu) tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak jumlahnya.

Namun, Pembantaian massal di Rwanda ini tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Belgia, Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena Negara Rwanda tidak memiliki keuntungan terhadap kepentingan nasional (national interest) Negara-negara tersebut.

Akhirnya dengan desakan dari masyarakat internasional, PBB mengirimkan pasukan perdamaian untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara hutu dan tutsi

melalui sebuah human

intervention (intervensi

kemanusiaan). Pengiriman pasukan perdamaian PBB ini tidak

sepenuhnya menyelesaikan konflik yang terjadi karena selama

pasukan perdamaian

PBB melakukan internvensinya di Rwanda masih banyak terdapat pembunuhan massalah terhadap suku tutsi oleh kaum militan. Pada bulan Agustus 1994, sebuah perjanjian untuk membentuk lembaga pengadilan penjahat perang, yang kemudian menjadi International Criminal Tribunal for Rwanda, disetujui.

Banyak pihak menilai, genosida di Rwanda ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida.

Memang PBB berusaha

untuk “membayar” kegagalannya

(7)

668 Haag ini, berlokasi di Arusha,

Tanzania.

ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan genosida; pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi Jeneva 1949 serta Protokol Tambahan II 1977; dan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Dengan

yuridiksinya, ICTR telah mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan Perdana Menteri Rwanda.3

Konflik tersebut mulai menemukan titik penyelesaian ketika pada tahun 2000 ditanda - tanganinya persetujuan damai dari seluruh kelompok politik di Burundi yang menjelaskan rencana menuju perdamaian. Tahun 2003 terjadi genjatan senjata yang disetujui oleh pemerintah Buyoya

3

https://pureoustic.wordpress.com/2010/04/1 9/konflik-di-rwanda-an-analysis/

dan kelompok pemberontak Hutu terbesar. Tetapi meskipun kesepakatan damai telah dicapai, tapi konflik terus menerus terjadi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam penulisan skripsi yang berjudul

Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Berat Di Rwanda Sebelum Berlakunya Statuta Roma”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana proses

penyelesaian kasus kejahatan di Rwanda sebelum berlakunya Statuta Roma?

II. PEMBAHASAN

PROSES PENYELESAIAN

KASUS KEJAHATAN DI

RWANDA SEBELUM

BERLAKUNYA STATUTA

ROMA

(8)

669 gesekan yang terjadi antara dua

suku ini sudah berakar dimulai dari saat mereka dijajah oleh Belgia. Permulaan adalah saat Belgia menjadi penguasa di Rwanda, di mana dari masalah inilah yang menyebabkan konflik di Rwanda terjadi, dan benar – benar tak terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi atau membeda– bedakan suku Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu Twa.

Kejahatan genosida yang terjadi di Rwanda Afrika telah menjadi kejadian yang paling memilukan dalam sejarah kejahatan yang pernah terjadi sebelumnya, antara suku Hutu yang telah menewaskan lebih dari 800.000 warga penduduk suku Tutsi di Rwanda.

Kejadian memilukan ini akhirnya melahirkan pengadilan yang khusus memerangi kejahatan genosida di Afrika pada tahun 1994 dengan berdirinya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) terhadap kewenangannya yang dapat mengadili kejahatan khususnya

genosida di Rwanda itu sendiri secara nyata.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ICTR ini dibentuk saat tingkat kejahatan tersebut sudah sangat memprihatinkan, masyarakat internasional serta dewan PBB melihat situasi ini merupakan situasi yang dapat mengancam perdamaian dunia sehingga dibentuklah lembaga peradilan yang khusus untuk mengadili genosida di Rwanda saat itu. ICTR merupakan lembaga peradilan ad hoc yang diketahui sebagai peradilan yang bersifat sementara untuk mengadili pelaku kejahatan genosida.4

Masa dekolonisasi juga membawa suku Tutsi pelan-pelan terpinggirkan dari Rwanda, karena Rwanda telah didominasi oleh Hutu. Hal ini membuat Tutsi harus mengungsi ke negara–negara tetangga sekitar Rwanda. Pada 1990, suku Tutsi membentuk RPF (Rwanda Patriotic Front), yang

4

(9)

670 dipimpin oleh Paul Kagame.

Mereka adalah sebuah kelompok militer yang terlatih untuk merebut kekuasaan dari Hutu yang terus mendominasi Rwanda. Pada 1990 mereka menginvasi Rwanda dan meminta posisi dalam pemerintahan. Namun Rwanda masih menolaknya. Pada 1993, Juvenal Habyarimana yaitu Presiden Rwanda dari kalangan Hutu yang saat itu berkuasa ingin memberikan posisi bagi para Tutsi serta melakukan perjanjian perdamaian.5 Konflik yang terjadi di Negara Rwanda dikategorikan sebagai konflik etnis. Konflik yang terjadi antara etnis hutu dan etnis tutsi.

Usaha ini dilakukan oleh Presiden dalam rangka pertanggung jawabannya terhadap keadaan Rwanda, dan juga tuntutan dari RPF yang membuat Presiden perlu mempertimbangkan nasib para Tutsi yang juga merupakan bagian dari Rwanda. RPF yang dipimpin oleh Paul Kagame menyerang Rwanda dan

5

http://www.un.org/en/peacekeeping/mission s/past/unamirM.html

meminta dibentuknya perjanjian demi tuntutan mereka mendapatkan bagian dalam pemerintahan. Mereka meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi dalam pemerintahan. Namun para Hutu ekstrimis yang sangat anti kepada Tutsi menolak kebijakan itu mentah-mentah dan sama sekali tidak menginginkan adanya Tutsi di dalam pemerintahan. Pada kenyataannya perjanjian ini tidak terimplementasi dengan baik.6 Pada tahun 1994, konflik ini pun memuncak ketika pembunuhan kepada Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis hutu oleh kaum militan yang menentangnya terjadinya penyatuan etnis tersebut.

Berkaitan dengan

pembentukan mahkamah ICTR beserta Statuta yang berlaku didalamnya, hingga pada tahun

6

(10)

671 1998 sebelum terjadinya

pembembentukan Statuta Roma Tahun 1998 mahkamah ICTR tetap berlaku dalam menindak setiap kejahatan yang pernah maupun sedang terjadi di wilayah Rwanda. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ICTR tetap berlaku untuk mengadili kejahatan yang terjadi di Rwanda walau sekalipun Statuta Roma telah berlaku pada tahun yang sama.

Kewenangan atau yurisdiksi merupakan batasan kahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.7 Dalam proses penyelesaiannya juga memiliki beberapa yurisdiksi yang mengatur seperti Yurisdiksi Personal, Yurisdiksi Kriminal, Yurisdiksi Teritorial dan Yurisdiksi Temporal. Keempat yurisdiksi inilah yang dapat mempidana para pelaku kejahatan di Rwanda.

Mekanisme pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh Mahkamah ini, dalam Pasal 14 diatur mengenai hukum acara pembuktiannya. Dalam ketentuan

7

Anis Widyawati. Op.cit Hlm 148

ini bahwa untuk mengatur acara persidangan, para hakim Mahkamah Rwanda akan melakukan pengadopsian dan penerapan peraturan hukum dan tata cara pembuktian dari Mahkamah Bekas Yugoslavia dengan melakukan beberapa perubahan - perubahan yang dipandang perlu oleh hakim Mahkamah tersebut.

Adanya ketentuan ini menjadi landasan bahwa telah menunjukkan adanya kedekatan dari kedua Mahkamah ini sehingga hal - hal yang sama bisa digunakan peraturan yang sama pula dan tidak perlu membuat peraturan hukum yang baru lagi, jika substansi aturannya sama.8

Berdasarkan resolusi 977 pada 22 Februari 1995, Dewan Keamanan (DK) PBB menetapkan lokasi ICTR di Arusha, Tanzania. Dari berbagai resolusi, DK PBB menargetkan ICTR untuk menyelesaikan seluruh investigasi pada akhir 2004, menyelesaikan seluruh aktivitas pengadilan pada akhir 2008, dan menyelesaikan

8

(11)

672 seluruh kegiatan pada

2012. Sejauh ini, ICTR telah meyelesaikan 55 kasus, termasuk di dalamnya 9 kasus naik banding dan 8 dibebaskan. 20 kasus masih dalam proses, 2 kasus dialihkan kepada yurisdiksi nasional, 2 terdakwa meninggal sebelum keputusan pengadilan keluar, dan 1 yang sedang menanti pengadilan.9

Satu hal yang patut dikemukakan disini bahwa Mahkamah Rwanda memiliki status hukum secara mandiri seperti juga pada Mahkamah Yugoslavia yang dalam hukum internasional atau hukum organisasi internasional disebut sebagai memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality).10

Dalam upaya atau proses yang dapat ditempu untuk menyelesaikan kasus di Rwanda ini bisa di ajukan langsung ke mahkamah pidana ICTR dengan kewenangan atau yurisdiksi yang

9

Wiliam A. Schabas. The UN International Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. Cambridge University Press: New York. 2006. Tanpa hlm

10

Anis Widyawati. Op.cit Hlm 203.

merupakan batasan mahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, adapun penjelasan - penjelasan mengenai yurisdiksi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Yurisdiksi Personal

Merupakan kewenangan Mahkamah dalam mengadili terhadap orang - orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang serius terhadap hukum humaniter internasional. Yurisdiksi personal ini terbatas pada individu - individu, bukan terhadap pribadi - pribadi hukum lain selain individu misalnya negara, organisasi internasional, badan - badan ataupribadi hukum publik maupun privat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Statuta, yaitu individu - individu

yang merencanakan,

(12)

673 individual atas kejahatan yang

dilakukannya.

2. Yurisdiksi Teritorial

Merupakan yurisdiksi yang berdasarkan dalam Pasal 7 mengenai yurisdiksi teritorial Mahkamah ini, yaitu wilayah Rwanda yang meliputi permukaan daratan, ruang udara, termasuk dengan wilayah negara tetangga yang berkenaan dengan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh warga negara Rwanda.

3. Yurisdiksi Temporal

Yurisdiksi ini ditegaskan pula dalam Pasal 7 yang menjadi kewenangan Mahkamah dalam menangani perkara yang berlangsung antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994. Dalam ketentuan ini telah dijelaskan secara jelas rentang waktu mengenai yurisdiksi temporalnya, berbeda dengan yurisdiksi temporal oleh Mahkamah Bekas Yugoslavia yang tidak menentukan batas akhir terjadinya peristiwa kejahatan tersebut.

4. Yurisdiksi Kriminal

Merupakan kewenangan Mahkamah dalam memeriksa kejahatan - kejahatan yang termasuk dalam kategori yurisdiksi kriminal Mahkamah Rwanda, antara lain:

a. Pelanggaran serius (the most serious crimer) atas hukum humaniter internasional yang meliputi genosida (genocide); b. Kejahatan terhadap

kemanusiaan (crimes againts humanity);

c. Pelanggaran atas Pasal 3 Konvensi - Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II (violation of Article 3 common to the Genewa Convention and of Additional Protocol II).11

Dari Yurisdiksi diatas dapat disimpulkan bahwa upaya maupun proses pengadilan untuk mengadili pelaku menjadi memungkinkan dan lebih efektif untuk mengadili. Dengan keempat yurisdiksi diatas yakni yurisdiksi pesonal, temporal, teritorial dan kriminal makhamah

11

(13)

674 dapat dengan mudah melakukan

eksekusi yang adil.

Bertepatan dengan berdirinya Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang dimana yurisdiksi Kriminalnya dari Statuta Roma Tahun 1998 juga turut mengadili salah satu individu yang dianggap terlibat dalam genosida Rwanda, ini mumbuktikan bahwa bukan berarti ICTR sama sekali tidak memiliki yurisdiksi yang tetap dan mengikat dalam memberikan putusan yang final namun karena asas Ne bis in Idem yang terdapat dalam Statuta Roma sehingga dengan pandangan yang adil dari masyarakat internasional maka seseorang tersebut dapat diadili kembali walaupun sebelumnya orang tersebut telah diadili dan mendapat hukuman yang sifatnya final dan mengikat. Tetapi secara garis besar bahwa ICTR merupakan mahkamah yang tepat untuk mengadili setiap kejahatan genosida khususnya di Rwanda Afrika.

Terdapat salah satu kasus yang juga diseret-seret oleh Mahkamah Pidana Internasional

(ICC) tidak mengurangi yurisdiksi dari pada ICTR itu sendiri dalam menyelesaikan kasus yang adil, namun karena pengadilan ICTR tersebut bisa saja mengalami kesulitan dalam memproses pelaku sehingga kasus yang bersangkutan dengan pelaku tersebut ditangani langsung oleh ICC. Ini

membuktikan bahwa

(14)

675 dapat secara langsung

menggantikan untuk memidanakan pelaku.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Mahkamah Internasional Criminal Tribunal for Rwanda memiliki

yurisdiksi/kewenangan yang diatur secara tegas dalam menjatuhi hukuman kepada pelaku kejahatan di Rwanda. Itu juga dapat dilihat dari upaya dan usaha yang dilakukan oleh mahkamah ICTR dari tahun ketahun dalam memidanakan pelaku kejahatan genosida tersebut. Namun kasus ini juga telah sampai ketangan ICC dikarenakan mahkamah ICTR tidak mau atau tidak mampu dalam mengeksekusi pelaku tersebut. Tetapi pada hakekatnya walaupun mahkamah ini bersifat Ad-hoc (sementara) dia akan masih tetap eksis dalam

mengeksekusi setiap pelaku kejahatan genosida di Rwanda hingga tuntas. Dalam proses penyelesaian kasusnya, yang mampu mengatasi masalah ini ialah ICTR itu sendiri dengan mengadili pelaku di tingkat pengadilan Rwanda terhadap pelanggaran HAM dan Kejahatan Perang.

B. Saran

Upaya atau proses penyelesaian kasus kejahatan di Rwanda sebelum berlakunya Statuta Roma ini yakni sebagai badan peradilan yang khusus menangani pelaku kejahatan genosida di Rwanda seharusnya lebih tegas dan efisien lagi dalam mempidanakan para pelaku dengan adil walaupun badan peradilan ini bersifat Ad-hoc, sehingga nantinya kasus ini bisa diselesaikan dalam ruang lingkup ICTR sendiri sebelum jatuh ketangan ICC untuk

(15)

676

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Anis Widyawati. Hukum Pidana Internasional. Sinar Grafika: Jakarta. 2014 Eddy O.S. Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Penerbit Erlangga:

Yogyakarta. 2009

H. Hata. Individu dalam Hukum Internasional. STHB Press. Cetakan Pertama: Bandung. 2005

Huala Adolf. Aspek - Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi. Rafa Grafindo Persada: Bandung. 2002

I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju: Bandung. 2003

Victor Peskin. International Justice in Rwanda and The Balkans. Cambridge University Press: New York. 2008

Wiliam A. Schabas. The UN International Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. Cambridge University Press: New York. 2006.

B. Sumber Lain:

http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/04/dunia-internasional-menyikapi-masalah.html

https://pureoustic.wordpress.com/2010/04/19/konflik-di-rwanda-an-analysis/

http://ardyansyahjintang.blogspot.co.id/2012/05/pengadilan-kejahatan-internasional-yang.html

Referensi

Dokumen terkait

penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas secara hukum adat oleh suku Dani3. Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang telah mengakibatkan kerugian

Sego Kokoh is rice which symbolize the power of cardinal direction of the universe. The implementation of Boyong Dewi Sri traditionis a representation of highSradha

Disini masyarakat dan panitia menyiapkan tenda dan mencari air untuk mengaliri sawah yang akan dipakai untuk pacuan jawi, kerjasama antar pemilik Jawi dan pemilik jawi

price ceiling upang makuha ang mamimili ng produktong hindi nila kayang bilhin sa presyo nito sa pamilihan o presyong ekilibriyo.. •

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor

Sukarlan 2 Sapi Sri Makmur Kepuhwetan, Wirikerten 1994 Nur Wahid 3 Sapi Glondong Glondong, Wirokerten 1994 Samijo 4 Sapi Sido Kumpul Kragilan, Tamanan 1994 Prapto Diharjo 5 Sapi

Gejala klinis berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh kecenderungan parasit (bentuk trofozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ

Tinggkat kualitas pelayanan hotel dapat mempengaruhi perilaku loyalitas konsumen, dengan demikian apakah hotel madani syari’ah sudah sesuai dengan menerapkan konsep-konsep syari’at,