• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SERTIFIKASI SEBAGAI TOLAK UKUR GUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN SERTIFIKASI SEBAGAI TOLAK UKUR GUR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SERTIFIKASI

SEBAGAI TOLAK UKUR GURU PROFESIONAL Oleh :

Nina Safitri Leonard Simangunsong

Program Studi Pendidikan Matematika, FTMIPA Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

Abstrak : Dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional itu di buktikan dengan sertifikat pendidik. Namun demikian, sertifikasi tidak bisa serta merta di jadikan tolak ukur bahwa guru tersertifikasi dapat di katakan guru profesional.

Kata Kunci : guru, sertifikasi, profesionalisme, dan tunjangan profesi. PENDAHULUAN

Secara definisi kata “guru” bermakna sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih , menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Definisi guru tidak temuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana didalam UU ini profesi guru dimasukkan ke dalam rumpun pendidik. Namun didalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di jelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Sesungguhnya guru dan pendidik merupakan dua hal yang berbeda maknanya. Kata pendidik (Bahasa Indonesia) merupakan padanan kata educator (Bahasa Inggris). Di dalam kamus Webster kata educator berarti educationist atau educationalist yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah pendidik, spesialis di di bidang pendidikan, atau ahli pendidikan. Kata guru (bahasa Indonesia) merupakan padanan dari kata teacher (bahasa Ingris). Di dalam kamus WebsterI, kata teacher bermakna sebagai “the person who teach, especially in school” atau guru adalah seseorang yang mengajar, khususnya di sekolah.

(2)

atau sekolah-sekolah negeri dan swasta, teknisi sekolah, administrator sekolah, dan tenaga layanan bantu sekolah (supporting staf) untuk urusan-urusan administrative. Guru juga bermakna lulusan pendidikan yang telah lulus ujian negara (government examination) untuk menjadi guru, meskipun belum secara aktual bekerja sebagai guru.

Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Menurut Muhamad Nurdin (2004:20) persyaratan guru yang profesional adalah sehat jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuninya.

Kesembilan syarat penting bagi guru profesional ini secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu persyaratan administratif, akademis dan kepribadian. Persyaratan administratif adalah persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan persyaratan legal formal. Di Indonesia, persyaratan yang demikian ini (khususnya bagi lembaga pendidikan formal) menjadi sangat menentukan. Bahkan kualitas seseorang dapat dilihat dari ijazah serta sertifikat keilmuan yang dimilikinya. Dalam konteks keindonesiaan, persyaratan administratif merupakan alah satu persyaratan yang sangat penting. Persyaratan akademis adalah persyaratan yang harus dimiliki seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan kapabilitas dan kualitas intelektual.Persyaratan akademis juga merupakan syarat yang sangat penting bagi seorang guru profesional. Persyaratan ini sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan yang dilaksanakannya. Kesuksesan pendidikan bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab murid sebagai pencari ilmu, akan tetapi justru gurulah yang memegang peran dominan. Karena jika guru secara akademis sudah tidak memadai, maka dengan sendirinya keterampilan untuk mengajar, kemampuan penguasaan materi pengajaran, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilan murid tidak dimiliki secara akurat dan benar. Hal ini jelas sangat merugikan proses pendidikan yang bukan hanya berakibat fatal bagi seorang murid, melainkan bagi seluruh murid atau bahkan seluruh stakeholder pendidikan.

Persyaratan kepribadian adalah persyaratan yang harus dimiliki guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Guru adalah seseorang yang harus digugu dan ditiru, khususnya oleh murid. Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru, dengan sendirinya mensyaratkan secara internal bahwa seorang guru harus memiliki kepribadian dan perilaku yang baik. Dalam hal ini bukan hanya dalam kaitannya dengan tradisi, kesopanan, dan unggah-unggah di masyarakat setempat, akan tetapi juga nilai-nilai keagamaan. Sebagai seorang guru yang profesional tidak ada alasan lain kecuali berakhlak yang mulia, baik dalam kaitannya dengan orang lain (murid dan masyarakat), diri sendiri, lingkungan (alam sekitar), dan tentunya dengan Allah swt. Berakhlak baik dengan Allah belum menjadi jaminan bahwa seoran guru telah berakhlak mulia dengan masyarakat, dengan dirinya atau dengan lingkungan. Demikian juga sebaliknya, berakhlak baik dengan dirinya belum tentu menjadi jaminan berakhlak mulia dengan lingkungan, masyarakat dan Allah swt.

Menurut Tatty S.B. Amran (1994:139) untuk mengembangkan profesional diperlukan KASAH adalah akronim dari Knowledge (pengetahuan), Ability (kemampuan), Skill (keterampilan), Attitude (sikap diri), dan Habit (kebiasaan diri).

(3)

Pengetahuan menurut Saefudin Ansari (1991:45) dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu (1) pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal biasa, kejadian sehari-hari, yang selanjutnya disebut pengetahuan; (2) pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu, yang selanjutnya disebut ilmu pengetahuan; (3) pengetahuan filosofis, yaitu semacam ‘’ilmu’’ istimewa yang mencoba menjawab istilah-istilah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa, yang sering disebut sebagai filsafat; (4) pengetahuan teologis, yaitu pengetahuan tentang keagamaan, pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.

Dalam pengembangan profesionalisme guru, menambah ilmu pengetahuan adalah hal yang mutlak. Kita harus mempelajari segala macam pengetahuan, akan tetapi kita juga harus mengadakan skala prioritas. Kenapa demikian? Karena dalam menunjang keprofesionalan kita sebagai guru, menambah ilmu pengetahuan tentang keguruan sangat perlu. Namun bukan berarti kita hanya mempelajari satu disiplin ilmu saja. Semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita pelajari, semakin banyak pula wawasan kita tentang berbagai ilmu.

Ability (kemampuan) terdiri dari dua unsur, yaitu yang biasa dipelajari dan yang amaliah. Pengetahuan dan keterampilan adalah unsur kemampuan yang biasa dipelajari, sedangkan yang alamiah orang menyebutnya dengan bakat. Jika orang hanya mengandalkan bakat saja tanpa mempelajari dan membiasakan kemampuannya, maka dia tidak akan berkembang. Karena bakat hanya sekian persen saja menuju keberhasilan. Sedangkan orang yang berhasil dalam mengembangkan profesionalisme itu ditunjang oleh ketekunan dalam mempelajari dan mengasah kemampuannya. Oleh karena itu, potensi yang ada pada kita harus terus diasah.

Kemampuan paling dasar yang diperlukan adalah kemampuan dalam mengantisipasi setiap perubahan terjadi. Oleh karena itu, seorang guru yang profesional tentunya tidak ingin ketinggalan dalam percaturan global. Dengan demikian, ia harus mengantisipasi perubahan itu dengan banyak membaca supaya bertambah ilmu pengetahuannya. Menurut Jeannette Vos (2003:87), jika seoran guru ingin bertambah luas pengetahuannya, maka ia harus menggunakan dunia ini sebagai ruang kelasnya. Untuk mengembangkan profesionalisme guru supaya berpengetahuan luas tentunya dibutuhkan kemauan. Seperti sebuah ungkapan, ‘’kalau ada kemauan, pasti ada jalan’’, maka segala sesuatu harus ditunjang terlebih dahulu oleh kemauan keras supaya berhasil.

Keterampilan (skill) merupakan salah satu unsur kemampuan yang dapat dipelajari pada unsur penerapannya. Suatu keterampilan merupakan keahlian yang bermanfaat untuk jangka panjang.Keterampilan merupakan the requisite knowledge and abilityi. Sebetulnya banyak sekali keterampilan yang dibutuhkan dalam pengembangan profesionalisme, tergantung pada jenis pekerjaan masing-masing. Keterampilan mengajar merupakan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (ability) yang diperlukan untuk melaksanakan tugas guru dalam pengajaran. Menurut Nurdin (2004:144-146) bagi seorang guru yang tugasnya mengajar dan peranannya di dalam kelas, keterampilan yang harus dimiliki anatar lain: pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditur, perencana, supervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor. Sedangkan menurut Bafadal (1992:37) keterampilan yang harus dimiliki oelh seorang guru adalah: (1) keterampilan merencanakan pengajaran, (2) keterampilan mengimplementasikan pengajaran, (3) keterampilan menilai pengajaran.

(4)

dikembangkan (tentunya yang baik). Salah satu contoh bila kita di rumah sangat ramah terhadap keluarga, besar kemungkinan di sekolah pun kita akan bersikap ramah terhadap anak didik dan teman sejawat. Dengan demikian, kita biasa melihat bahwa sikap diri merupakan kepribadian seseorang. Menurut Zuhairini (1991:186) kepribadian adalah hasil dari sebuah proses sepanjang hidup. Kepribadian bukan terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi terbentuk melalui perjuangan hidup yang sangat panjang. Apakah dia berkepribadian muslim, apakah seseorang itu berkepribadian baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab, semua itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan demikian, faktor pendidikan sangat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang, yang di dalamnya ada guru yang juga mempunyai kepribadian yang baik.

Habit (kebiasaan diri) adalah suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan yang tumbuh dari dalam pikiran. Pengembangan kebiasaan diri harus dilandasi dengan kesadaran bahwa usaha tersebut membutuhkan proses yang cukup panjang. Kebiasaan positif di antaranya adalah menyapa dengan ramah, memberi pujian kepada anak didik dengan tulus, menyampaikan rasa simpati, menyampaikan rasa penghargaan kepada kerabat, teman sejawat atau anak didik yang berprestasi dan lain-lain.

Ciri dan karakteristik dari proses mengajar sebagai tugas profesional guru adalah sebagai berikut :

a. Mengajar bukanlah hanya menyampaikan materi pelajaran saja, akan tetapi merupakan pekerjaan yang bertujuan dan bersifat kompleks. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang guru profesional diperlukan latar belakang pendidikan yang sesuai, yaitu latar belakang pendidikan keguruan.

b. Seorang guru harus memiliki bidang keahlian yang jelas, yaitu mengantarkan siswa ke arah tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu kegagalan guru dalam membelajarkan siswa berarti kegagalan membentuk satu generasi manusia.

c. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang keahliannya, diperlukan tingkat pendidikan yang memadai. Oleh karena itulah seorang guru bukan hanya tahu tentang what to teach, akan tetapi juga paham tentang how to teach. Kemampuan semacam itu tidak mungkin datang dengan sendirinya, akan tetapi hanya mungkin didapatkan dari suatu proses pendidikan yang memadai dari satu lembaga pendidikan yang khusus yaitu lembaga pendidikan keguruan.

d. Tugas guru adalah mempersiapkan generasi manusia yang dapat hidup dan berperan aktif di masyarakat. Oleh sebab itu tidak mungkin pekerjaan seorang guru dapat melepaskan dari kehidupan sosial.

e. Pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang statis, akan tetapi pekerjaan yang dinamis, yang selamanya harus sesuai dan menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian suatu kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat di pertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai tujuan. Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang harus di miliki oleh seorang guru, meliputi kompetensi pribadi, kompetensi professional, dan kompetensi social masyarakat.

a. Kompetensi Pribadi

(5)

b. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan.

c. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan

Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemsyarakatan dan; (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok.

Kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional itu di buktikan dengan sertifikat pendidik. Pengakuan yang sama juga berlaku untuk tenaga kependidikan lain yang berpredikat profesional. Atau yang biasa di kenal dengan sertifikasi.

Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES) disebutkan “Certification is a procedure where by the state evaluates dan reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach”. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas.

Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal yang menyatakannya adalah pasal 8 : guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Landasan hukum lainnya adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007.

Maksud sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sedangkan sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen legalitas yang diperoleh dari uji kompetensi disebut sertifikat pendidik. Pendidik yang dimaksud disini adalah guru dan dosen. Proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru disebut sertifikasi guru dan untuk dosen disebut sertifikasi dosen.

(6)

a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan. c. Meningkatkan martabat guru.

d. Meningkatkan profesionalitas guru.

Dengan kata lain tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Adapun manfaat yang nantinya akan dirasakan setelah sertifikasi guru dilaksanakan dapat dirinci sebagai berikut :

a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.

b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.

c. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK, dan kontrol mutu dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan.

d. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

e. Meningkatkan kesejahteraan guru dengan adanya tunjangan profesi.

Peranan sertifikasi untuk guru/dosen adalah supaya lebih memahami hak dan kewajibannya dalam serpti yang tercantum dalam UU No.14/2005 pasal 14 ayat 1 antara lain : (1) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (2) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (3) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (4) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; (5) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; (6) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; (7) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; (8) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; (9) memiliki kesempatan untuk berperan dalam menentukan kebijakan pendidikan; (10) memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau (11) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

PEMBAHASAN

Menurut Fadlur Rahman, salah seoarang guru di sekolah berbasis Pendidikan Karakter, SD/SMP Insan Teladan, guru professional adalah guru yang mampu menjabarkan dan mengimplementasikan apa yang di tulis nya dalam rencana pembelajaran mengerti anak baik dari sisi kejiwaan dan yang terpenting mampu mengembangkan setiap potensi anak-anak didiknya, tugas guru bukan membuat anak-anak dari bodoh menjadi pintar, tapi melihat bakat, mengembangkan potensi dan membimbing anak didiknya kearah yang lebih baik sesuai dengan minat, bakat, dan potensinya.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul.

Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.

Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.

Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.

Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan publik.

Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak me-miliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyelesaikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pengajar.

(8)

Kompas.com. Pada 14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan publikasi: ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia”. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama. Program sertifikasi guru yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama beberapa tahun terakhir ternyata tidak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional. Padahal, penyelenggaraannya telah menguras sekitar dua pertiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN (hal 68). Pada 2010, sebagai contoh, biaya sertifikasi mencapai Rp 110 triliun! Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP.

Bertolak dari temuan Bank Dunia tersebut, kelihatannya terdapat tiga implikasi penting yang mendesak dibenahi. Pertama, bagaimana menghilangkan pola formalitas penyelenggaraan program sertifikasi guru.

Program ini sesungguhnya tuntutan yang diamanatkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mewajibkan seluruh guru disertifikasi dan diharapkan tuntas sebelum 2015. Upaya ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.

Sejak 2005, guru-guru telah diseleksi untuk mengikuti program sertifikasi berdasarkan kualifikasi akademik, senioritas, dan golongan kepangkatan, seperti harus berpendidikan S-1 dan jumlah jam mengajar 24 jam per minggu. Indikator ini digunakan untuk memperhatikan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan emosional mereka.

Sejak itu, sekitar 2 juta guru telah disertifikasi, baik melalui penilaian portofolio pengalaman kerja dan pelatihan yang telah diperoleh ataupun melalui pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) selama 90 jam. Para guru yang telah lulus disebut guru bersertifikasi dan berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar gaji pokok yang diterima setiap bulannya. Pemerintah telah mencanangkan, pada 2015 hanya guru yang bersertifikasi yang diperbolehkan mengajar.

Dengan target tersebut, penyelenggaraan sertifikasi guru kelihatannya telah dipersepsikan sebagai proyek besar yang keberhasilannya diukur secara kuantitatif sesuai target. Akibatnya, proses pelaksanaannya mudah terbawa ke kebiasaan formalitas birokrasi yang ada.

(9)

sistemis dan komprehensif. Meski secara kuantitatif Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah guru terbanyak di dunia, diukur dari rasio guru-siswa, tetapi perekrutan mahasiswa calon guru, terutama di LPTK swasta, seakan tanpa kendali. Studi UNESCO (UIS-2009) menunjukkan, untuk jenjang SD rasio guru-siswa adalah 1:16,61, yang berarti seorang guru hanya mengajar 16-17 siswa. Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan Jepang (18,05), Inggris (18,27), bahkan Singapura (17,44). Secara internasional, rata-rata di seluruh dunia rasionya adalah 1:27,7 atau seorang guru dengan 27-28 siswa. Keadaan serupa juga terjadi di jenjang pendidikan menengah.

Ketiga, bagaimana menyelenggarakan program sertifikasi guru agar lebih berbasis di kelas. Selama ini mereka yang mengikuti PLPG kelihatannya tidak dirancang untuk mengamati kompetensinya mengajar di kelas. Proses sertifikasi guru berjalan terpisah dengan peningkatan mutu proses belajar-mengajar di kelas. Akibatnya, penyelenggaraan program sertifikasi guru tersebut tidak berdampak pada peningkatan mutu secara keseluruhan. Data menunjukkan, pada 2011, TIMMS (studi internasional tentang matematika dan IPA) melaporkan, untuk matematika skor Indonesia 386, tak jauh beda dengan Suriah (380), Oman (366), dan Ghana (331). Sementara untuk IPA, Indonesia (406) tak jauh beda dengan Botswana (404) dan Ghana (306). Selanjutnya, studi PISA (program penilaian siswa internasional untuk matematika, IPA, dan membaca) pun menunjukkan Indonesia selalu berada pada urutan kelompok terendah di dunia (hal 11).

Berbeda dengan Manabo yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Manila. Guru-guru di pedesaan sana ternyata akan memperoleh tambahan insentif jika mereka secara nyata berinovasi meningkatkan mutu proses belajar-mengajar (PBM) di kelas. Cara mengukurnya sederhana. Pengawas atau penilik sekolah cukup mengamati kegiatan PBM secara berkala; apakah terdapat persiapan yang memadai atau tidak, apakah ada media belajar sebagai kreasi inovatif guru atau tidak, dan seterusnya. Pembinaan kesejahteraan dan promosi karier para guru dilakukan dengan berbasiskan pada kinerja dalam meningkatkan kualitas PBM-nya. Akhirnya, meski penyelenggaraan sertifikasi guru telah berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan guru, yakni dapat menurunkan jumlah guru yang kerja rangkap secara drastis dari 33 persen sebelum sertifikasi ke 7 persen sesudah sertifikasi (hal 73), perubahan apa pun yang dilakukan, kurikulum apa pun yang diberlakukan, dan kebijakan apa pun yang hendak diambil, jika tak menyentuh perbaikan proses belajar-mengajar di kelas, hasilnya akan sia-sia.

Hal ini juga yang dirasakan salah seorang guru Sekolah Dasar di daerah Ciseeng, Kabupaten Bogor, guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama, tidak ada perbedaan yang signifikan. Guru-guru yang telah di sertifikasi hanya menang pengalaman, namun tidak ada peningkatan dalam kualitas dalam mengajar. Proses Belajar Mengajar masih di fokuskan dengan sistem dikte, belajar satu arah. Secara teoritis guru-guru yang telah disertifikasi memang sudah menguasai, tapi tidak ketika turun di lapangan, atau dalam hal ini di kelas, oleh karena itu tidak ada peningkatan kualitas yang berarti.

Selain itu, kebanyakan dari mereka mengejar sertifikasi hanya karena tergiur dengan tawaran janji kesejahteraan guru yang salah satunya yaitu adanya tunjangan profesi gaji pokok yang diterima setiap bulannya, belum lagi tunjangan fungsional dan fasilitas lainnya. Motivasi nya sudah berubah, bukan lagi peningkatan kompetensi atau peningkatan kualitas.

(10)

menjelaskan, tunjangan akan dibayar ke dalam 4 tahap triwulan. Triwulan pertama dibayar akhir April 2014, Triwulan kedua pada akhir Juni 2014, triwulan ketiga pada akhir September 2014, dan triwulan keempat pada akhir November 2014.

Mendikbud menambahkan, tidak semua guru akan menerima tunjangan ini walau mereka tersertifikasi. Karena ada syarat yang harus dipenuhi, seperti telah mengajar minimal 24 jam dan tidak terikat jabatan struktural. Untuk yang non PNS, yang belum dapat sertifikasi, itu ada tunjangan fungsional sebesar Rp300 ribu. Itu di luar gaji yayasan atau BOS yang dikelola oleh sekolah itu sendiri, sedangkan untuk guru yang bertugas di daerah terpencil dan wilayah khusus, maka tunjangannya mendapatkan tambahan sebesar Rp1,5 juta.

Kenyataannya ini yang terjadi di lapangan, mayoritas pendidik berlomba-lomba untuk sertifikasi, bukan berlomba-lomba meningkatkan kompetensi, motivasinya jelas, tunjangan profesi. Mereka lupa hakikat dan komitmen mereka sebagai seorang pendidik.

Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.

Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.

Lantas, sejauh mana tunjangan profesi efisien dalam usaha kesejahteraan guru, sementara jika kita tinjau kembali, yang mendapatkan tunjangan profesi adalah mereka yang sudah PNS dan sudah tersertifikasi, sementara, gaji pokok mereka yang sudah PNS khususnya di kota-kota besar sudah cukup besar, apalagi jika di tambah dengan tunjangan profesi. Akibatnya, akan timbul sifat konsumtif dari PNS itu sendiri.

Kemudian jika kita tinjau, pernyataan Mendikbud di atas, terlihat ketimpangan yang luar biasa antara guru PNS dan non PNS atau guru honorer, jika yang PNS mendapat tunjangan sebesar gaji pokok, guru non PNS hanya menerima tunjangan fungsional sebesar Rp300ribu atau kurang lebih hanya 10 % nya saja. Artinya disini, masih ada ketimpangan yang luar biasa antara guru PNS dengan guru non PNS atau guru honorer. Jadi tunjangan profesi di berikan untuk kesejahteraan ‘sebagian’ guru, bukan untuk kesejahteraan guru.

Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.

PENUTUP

Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut:

(11)

bakat, mengembangkan potensi dan membimbing anak didiknya kearah yang lebih baik sesuai dengan minat, bakat, dan potensinya.

b. Tidak ada jaminan bahwa seorang pendidik yang telah lulus ujian kompetensi atau telah tersertifikasi dapat dikatakan pendidik yang professional.

c. Tunjangan profesi di berikan untuk kesejahteraan ‘sebagian’ guru, bukan untuk kesejahteraan guru.

DAFTAR PUSTAKA

Amran, Tatty S.BB. 1994. Kiat Wanita Meniti Karier. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo.

Fajar, Arnie. 2006. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam memaknai UU No. 14 Tahun 2005.Bandung: Disdik Jawa Barat.

Jalal, Fasli. 20006. Gaji Guru Naik Mulai Januari 2007: Take Home Pay Minimal Rp. 3 Juta. Dalam Pikiran Rakyat 6 Oktober 2006 hal. 12.

Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Prisma Sophie. Samani, Muclas dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC. Sanjaya, Wina. 22005. Pembelajaran dalam Impelementasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.

Sardiman, A.M. 22001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Surayin. 2004. Tanya Jawab Undang-Undang Republik Inodneia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung: Yrama Widya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.

Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Hamzah.2012.Profesi Kependidikan.Jakarta: Bumi Aksara

Geocities.2014.”Peran Sertifikasi Guru”, www.geocities.ws. (diakses, 8 April 2014) Tinta guru.2013.”Analisis Profesionalisme Guru”, www.tintaguru.com. (diakses,

8 April 2014)

Referensi

Dokumen terkait

DAMPAK TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) PASIR SEMBUNG TERHADAP KUALITAS AIR TANAH DI DESA SIRNAGALIH KECAMATAN CILAKU KABUPATEN CIANJUR.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang memiliki keistimewaan dan pemberian segala kenikmatan besar, baik nikmat iman,

Hasil; peningkatan kadar IL-10 dan kadar TNF-α pada responden malaria tanpa gejala klinis lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan gejala klinis P.. falciparum maupun

motoneuron–Renshaw cell circuitry, it has been shown In gephyrin and substance P immunoreacted tissue, 730 that the majority of cholinergic terminals, as labelled by SP-IR

layanan yang dapat di-align sedekat mungkin dengan strategi dan aktivitas bisnis dalam hal ini adalah aktivitas belajar mengajar, dimana siswa layaknya

TABEL MATRIK RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN SKPD PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016.. 3 4

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian Pengaruh Esktrak Annona Muricata Linn (daun sirsak) terhadap Sel Inflamasi dan COX-2 (studi invivo pada Adenokarsinoma

Sebagai wujud komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan lansia, maka pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi