• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekon"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGARUH PAJAK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Fadli M Nur

Kelas 9A Reguler

Program Diploma IV Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan

Abstract – In macroeconomics terms, economic growth is the increase of the real output of an economy over time. Basically, achievement of a high economic growth is one of the four main objectives of macroeconomic policy. The significance of economic growth actually lies in its contribution to the general prosperity of the society. Economic growth is usually measured in terms of increase in gross domestic bruto (GDP) or an increase in per capita GDP over time. In this case, our government’s role is as a solid regulator who should issue relevant regulations and/or policies that could minimize discrepancy in our economy as whole. One of those polices which are relevant and important to these circumstaces are fiscal policies.

Fiscal policies are closely linked to the activities of the government as the main public sector actor. Fiscal policies in terms of government’s receipt has a major instrument in the name of taxation (taxes). As we know, taxes are the main source of income for our state budget (APBN) which support the financing activities of government’s operations and developments. Besides capable of providing a source of funds for financing various projects overcome the impact of the economic crisis, tax revenue can also prevent swelling budget deficit. On the other hand, high tax rate could potentially harm our society’s consumption. Therefore, the government here should decide the amount of our tax rate very carefully in order to maintain the good level of economic growth of Republic of Indonesia.

Keywords: economic growth, gross domestic product, macroeconomic policy, fiscal policy, taxation, state budget, tax rate.

1. PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi menurut Sadono Sukirno (2006) adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil (sustainable) merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi suatu negara. Hal ini menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan ekonomi sebuah negara. Meskipun bukan satu-satunya indikator untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, pendekatan pertumbuhan ekonomi lazim digunakan dewasa ini.

(3)

yang terwujud dalam dua instrumen utama, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Kebijakan ekonomi makro didefinisikan sebagai penetapan tujuan oleh pemerintah terhadap perekonomian negara dan penggunaan instrument pengendalian untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tujuan ekonomi yang dimaksud adalah kesempatan kerja penuh (full employment), penghindaran inflasi (avoidance of inflation), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan keseimbangan neraca pembayaran (balance-of-payments equilibrium).

Sebagaimana dijelaskan di paragraf sebelumnya, kebijakan fiskal merupakan satu dari dua instrument yang digunakan dalam kebijakan ekonomi makro untuk mencapai keempat tujuan ekonomi yang dipaparkan di atas. Kebijakan fiskal didefinisikan sebagai sebuah alat dalam kebijakan ekonomi makro yang mencari pengaruh dari tingkat aktivitas ekonomi melalui kendali belanja pemerintah dan perpajakan.

Dari definisi tersebut, tampak bahwa kebijakan pemerintah di bidang perpajakan merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pencapaian tujuan ekonomi negara, dalam hal ini, Republik Indonesia, untuk mencapai keempat tujuan ekonomi nasional yang termasuk di antaranya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. Berdasarkan pada hal tersebut, melalui jurnal ini, penulis berkeinginan untuk mencari tahu seberapa besar pengaruh dari penerimaan perpajakan dan aspek-aspek perpajakan lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, khususnya Republik Indonesia.

2. PEMBAHASAN 2.1 Definisi Pajak

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh mereka yang wajib membayarnya menurut peraturan, tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang kegunaannya untuk membiayai pengeluaran umum terkait dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Serupa dengan itu, Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal balik yang langsung dapat dirasakan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Lalu, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 s.t.t.d.d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak secara formal dan legal didefinisikan sebagai “kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Maka, berdasarkan ketiga definisi pajak di atas, pajak dapat dijelaskan ke dalam unsur-unsur berikut ini.

a. Iuran / kontribusi wajib kepada negara; b. Bersifat memaksa;

c. Diatur dengan undang-undang;

d. Tidak ada imbalan kembali yang secara langsung diterima oleh pembayar pajak; e. Digunakan meningkatkan kemakmuran

rakyat.

(4)

negara berdasarkan APBN-P 2008 s.d. 2013. Porsi pendapatan dalam negeri yaitu penerimaan perpajakan masih memegang porsi terbesar yaitu sebesar 1.280,4 triliun rupiah atau sebesar 76,80 persen dari total pendapatan negara. Porsi penerimaan perpajakan di APBN 2014 meningkat sebesar 132 triliun rupiah atau 11,5 persen dari angka penerimaan perpajakan di APBN-P 2013. Komposisi penerimaan perpajakan berdasarkan APBN 2014 terdiri dari pendapatan Pajak Penghasilan (migas dan nonmigas), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pendapatan Cukai, Pendapatan Bea Masuk/Bea Keluar, dan Pendapatan Pajak lainnya. Secara persentasi, komposisi penerimaan perpajakan masih didominasi oleh Pendapatan Pajak

Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana disajikan sebagai berikut.

Pada tahun 2014, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp1.280,4 triliun, atau meningkat 11,5 persen apabila dibandingkan dengan targetnya pada APBN-P tahun 2013. Penerimaan perpajakan ini akan didorong untuk terus meningkat, sebab tax ratio kita sampai pada tahun 2013 masih tergolong rendah yaitu sebesar 12,2 persen. Ini artinya masih terdapat banyak potensi penerimaan pajak yang masih dapat digali

oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan hal tersebut, prospek penerimaan perpajakan dalam APBN di tahun-tahun berikutnya akan terus meningkat.

2.3 Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

2.2.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Pramit Chaudhuri (1989), pertumbuhan ekonomi atau economic growth adalah peningkatan dalam konsep yang nyata dari output barang dan jasa yang bertahan selama periode waktu yang panjang, diukur dalam konsep nilai tambah.

Senada dengan definisi tersebut, Sumitro Djojohadikusumo (1994) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi bersangkut-paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan.

Terakhir, dalam kamus Ekonomi (The Harper Collins Economics Dictionary), pertumbuhan ekonomi (economic growth) didefinisikan sebagai:

“The growth of the real output of an economy over time. The physical ability of an economy to produce more goods and services depends on:

a. Increase in the quantity and quality of its capital goods (capital accumulation);

b. Increase in the quantity and quality of its labor force;

c. Increase in the quantity and quality of its natural resources;

(5)

e. Development and introduction of innovative techniques and new product (technological progressiveness); f. Level of aggregate demand. The level

of demand needs to be high enough to ensure full utilization of increased productive capabilities of the economy.

Jadi, berdasarkan definisi dari para ahli tersebut di atas, kami menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebuah peningkatan kapasitas ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa dari periode waktu tertentu ke periode waktu berikutnya secara berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dalam satuan nominal, termasuk inflasi, atau dalam satuan riil yang telah disesuaikan dari inflasi. Untuk membedakan pertumbuhan ekonomi suatu negara dari negara lainnya, umumnya digunakan adalah perbandingan Gross Domestic Product (GDP) dari setiap negara, atau Gross National Product (GNP) per capita dalam hal perlunya dipertimbangkan perbedaan jumlah populasi dari negara-negara yang ingin dibandingkan pertumbuhan ekonominya. 2.2.2 Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Menurut data dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Perekonomian Indonesia pada triwulan pertama tahun 2013 mengalami perlambatan meskipun cenderung stabil. Pada triwulan I tahun 2013, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,0 persen atau melambat dari perekonomian pada triwulan yang sama tahun 2012 yang mampu tumbuh sebesar 6,3 persen. Tingkat pertumbuhan ini merupakan yang terendah sejak tahun 2010.

Krisis perekonomian global yang masih berlangsung hingga saat ini telah mengakibatkan perlambatan ekspor dan merupakan salah satu faktor yang mendorong perlambatan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2013. Krisis perekonomian global juga mempengaruhi perekonomian hampir seluruh negara di dunia yang mengalami perlambatan ekonomi.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia ini harus dijadikan cambuk bagi Indonesia untuk memperbaiki kinerja perekonomian di tengah keadaan ekonomi global yang belum membaik.

Sedangkan dari data BPS Dalam 10 tahun terakhir (1998-2008), pembangunan di Indonesia mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, pada tahun 1998 minus 13.1 persen. Pada saat Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden RI, tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5.1 persen. Dan tahun 2008 diproyeksikan sebesar 6,4 persen. Cadangan devisa yang semula 33.8 miliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen. Berikut ini merupakan data pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir :

(6)

keterpurukan pada saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang menyebabkan keadaan defisit pada pertumbuhan ekonoi. Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian mulai berjalan naik sejak tahun 1999 s.d sekarang, meskipun mengalami kenaikan maupun penurunan dalam pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data terakhir BPS, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata berada pada tingkat yang stabil pada tingkatan yang tinggi yaitu >5%. Untuk selengkapnya bisa dilihat pada grafik di bawah ini. Meskipun posisi keuangan

mayoritas negara maju di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif atau beberapa stagnan setelah diterpa krisis global di tahun 2008, Indonesia mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya bahkan mengembalikan posisinya di tahun 2010, hingga sekarang. Beruntung bagi Indonesia menjadi negara berkembang yang tidak begitu bergantung pada jumlah ekspor pada susunan neraca pembayarannya. Demikian juga dengan kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah saat itu yang banyak menambah government expenditure di sana-sini yang kemudian dinilai menjadi faktor utama mengapa Indonesia mampu lepas dari jeratan krisis global ini.

2.4 Pengaruh Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pajak memiliki dampak dua arah pada pertumbuhan ekonomi suatu negara layaknya pedang bermata dua. Di sisi lain penerimaan pajak yang tinggi dapat memacu sebuah negara untuk meningkatkan belanja-belanja pemerintah yang dapat memacu perekonomian hingga berujung pada terciptanya kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, tarif pajak yang ditetapkan terlalu tinggi oleh Pemerintah akan berdampak langsung pada menurunnya konsumsi masyarakat. Demikian pula sebaliknya.

Dampak langsung dari pungutan pajak adalah pada pendapatan disposibel masyarakat. Pendapatan disposibel merupakan sejumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk konsumsi masyarakat. Ketika tarif pajak dinaikkan, maka pendapatan disposibel akan menjadi turun, sebab masyarakat perlu membayar pajak lebih tinggi dari yang seharusnya. Dengan menurunnya pendapatan disposibel ini, otomatis konsumsi masyarakat pun akan menjadi turun pula. Turunnya konsumsi agregat masyarakat akan berdampak pada turunnya pendapatan nasional ekuilibrium. Demikian pula, jika pungutan pajak diturunkan, maka konsumsi relatif menjadi naik. Kenaikan komponen ini akan dapat menaikkan Pendapatan Domestik Bruto yang tentu saja dengan asumsi cateris paribus.

Formula perhitungan pendapatan domestik bruto yang umum dipelajari adalah sebagai berikut.

Dimana, C = Konsumsi, I = Investasi,

G = Belanja Pemerintah, X – M = Ekspor neto, dan Y = GDP

(7)

Secara matematis, pengaruh pajak terhadap konsumsi masyarakat dapat dinyetakan sebagai berikut.

Dimana,

T = Taxes (Pajak)

Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi direpresentasikan dengan nilai GDP. Dengan demikian, setiap kali peningkatan pungutan pajak akan menurunkan nilai konsumsi dank arena konsumsi berkorelasi positif dengan Y atau GDP, maka setiap peningkatan pajak akan menurunkan pertumbuhan ekonomi (asumsi cateris paribus). Di sisi lain, pajak merupakan sumber penerimaan terbesar dari APBN. Sebagaimana dijelaskan di atas, porsi penerimaan pajak di APBN kita jumlahnya sangat dominan, yaitu sekitar 76,8%. Ini mengindikasikan bahwa negara masih dan akan sangat bergantung pada penerimaan perpajakan dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan pemerintah melalui apa yang lazim disebut sebagai discretionary expenditure.

Demi mencapai pertumbuhan ekonomi nasional yang tercermin melalui pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto, pemerintah perlu melakukan belanja-belanja yang memiliki multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Belanja yang dimaksud adalah belanja modal (infrastruktur). Penerimaan Negara memiliki arti penting dalam menciptakan perluasan kapasitas fiskal pemerintah yang pada akhirnya dapat memperluas pembangunan infrastruktur melalui belanja-belanja yang bersifat discretionary (discretionary expenditure). Oleh karena itu, penerimaan negara di sini yang termasuk di antaranya penerimaan perpajakan, penting untuk dijaga agar secara konsisten menunjukkan prospek yang positif setiap tahunnya demi mencapai

pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Dalam hal ini pemerintah perlu menggenjot penerimaan negara, terutama pendapatan dalam negeri berupa penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak melalui berbagai instrumen kebijakan fiskal. Melihat pentingnya peran penerimaan pajak bagi pemerintah untuk menciptakan kapasitas fiskal nasional tersebut di atas, penerimaan pajak yang tinggi akan berdampak positif pada terciptanya perluasan kapasitas fiskal nasional yang berujung pada peningkatan belanja-belanja pemerintah yang bersifat discretionary.

Dalam fungsi pendapatan yang dijelaskan sebelumnya, belanja pemerintah digambarkan dengan simbol [G]. Belanja pemerintah ini juga berbanding lurus dengan Pendapatan Domestik Bruto yang artinya kenaikan belanja pemerintah sebesar X akan meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto sebesar X. Ketika belanja pemerintah dilakukan untuk belanja-belanja infrastruktur yang mempunyai multiplier effect pada perekonomian, maka pertambahan Pendapatan Domestik Bruto ini akan dipengaruhi oleh multiplier effect di periode-periode selanjutnya (dampaknya tidak langsung kelihatan). Intinya, pajak mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi terciptanya percepatan pertumbuhan ekonomi nasional kita saat ini yang masih sangat bergantung pada besaran penerimaan pajak yang diterima.

Maka menyangkut hal ini, Pemerintah memiliki peran melalui instrument kebijakan fiskal dalam menciptakan kebijakan yang berimbang terhadap jumlah pajak yang dapat dipungut dari masyarakat. Pilihan yang dimiliki Pemerintah adalah (1) menurunkan tarif pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat; (2) menaikkan tarif pajak progresif untuk meningkatkan kapasitas fiskal nasional dan percepatan pemerataan ekonomi

(8)

nasional; dan (3) tidak menaikkan atau menurunkan tarif pajak, tetapi menggiatkan intensifikasi dan ekstensifikasi di bidang penggalian potensi perpajakan.

Pilihan pertama yaitu menurunkan tarif pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat saat ini terjadi di Amerika Serikat. Diketahui, besarnya pajak pendapatan di negara Paman Sam itu pernah mencapai angka 94 persen pada tahun 1944. Presiden John F Kennedy kemudian berupaya menurunkannya menjadi 70 persen tahun 1965. Atas penurunan pajak itu, hasil evaluasi menunjukkan naiknya pendapatan negara dengan rata-rata 9,0 persen per tahun akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, Presiden Ronald Reagan berupaya kembali menurunkan besarnya pajak pendapatan dari 70 persen menjadi 50 persen tahun 1981. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi meningkat rata-rata 4,8 persen per tahun selama 1983-1986 daripada periode sebelumnya (1978-1982) dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9 persen per tahun (Laffer, 2004).

Kebijakan menurunkan pajak pada era kepemimpinan Barack Obama terus berlanjut tetapi dengan perumusan berbeda. Adapun kebijakan pajak yang dijalankan adalah menaikkan pajak orang kaya dan menurunkan pajak untuk yang lain. Kebijakan ini amat menguntungkan penduduk berpendapatan rendah. Setelah dipotong pajak, penduduk berpendapatan terendah akan menikmati kenaikan pendapatan sebesar 2,4-5,5 persen, sedangkan pendapatan penduduk kaya akan berkurang 8,7 persen. Secara keseluruhan, terjadi penurunan pajak sekitar 0,3 persen atau setara dengan 160 dollar AS (CNNMoney.com, 11/6/2009).

Adapun alasan utama diterapkan kebijakan pajak itu adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang pada gilirannya dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat proporsi penduduk berpendapatan rendah di AS amat besar dibandingkan dengan penduduk kaya sehingga amat potensial dalam menggerakkan ekonomi.. Sayangnya, bagi Indonesia pilihan ini bukan merupakan kebijakan yang tepat sebab penurunan tarif pajak akan menurunkan penerimaan negara secara signifikan. Sebagaimana kita ketahui, pajak merupakan urat nadi dari penerimaan negara dalam APBN kita. Masih begitu banyak belanja-belanja pemerintah baik dalam bentuk belanja-belanja discretionary maupun belanja subsidi yang harus ditopang melalui penerimaan perpajakan.

Pilihan selanjutnya adalah dengan peningkatkan tarif pajak untuk menciptakan kapasitas fiskal yang lebih besar. Kebijakan fiskal ini sesungguhnya akan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan melalui penerimaan perpajakan. Hanya saja, kenaikan tersebut tidak akan bertahan lama dan hanya akan bersifat temporer. Tarif pajak yang terlalu tinggi memang pada awalnya akan membantu pemerintah dalam melakukan belanja-belanja yang dapat memiliki dampak pada percepatan perekonomian, hanya saja ini tidak akan berlangsung lama. Bersama dengan kenaikan tarif pajak tersebut, akan tercipta penurunan daya beli masyarakat secara agregat dan masalah-masalah sosial lain seperti penurunan ketidakpercayaan masyarakat pada Pemerintah. Dampak penurunan daya beli masyarakat dan masalah-masalah tersebut diyakini akan semakin besar setiap periodenya dan pada akhirnya akan menciptakan perlambatan ekonomi nasional. Untuk itu, pilihan untuk menaikkan tarif pajak tampaknya tidak menjadi solusi yang baik bagi Pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

(9)

perpajakan melalui peran Direktorat Jenderal Pajak. Optimalisasi ini dilakukan melalui dua solusi utama, yaitu intensifikasi perpajakan dan ekstensifikasi perpajakan.

Intensifikasi perpajakan adalah peningkatan intensitas pungutan terhadap suatu subyek dan obyek pajak yang potensial, namun belum tergarap atau terjaring pajaknya, serta memperbaiki kinerja pemungutan agar dapat mengurangi kebocoran-kebocoran yang ada. Upaya intensisifkasi dapat ditempuh melalui cara-cara berikut ini:

a. Penyempurnaan administrasi perpajakan; b. Peningkatan mutu pegawai/fiskus;

c. Penyempurnaan undang-undang perpajakan. Sementara itu, ekstensifikasi perpajakan adalah upaya memperluas subyek dan obyek pajak. Ekstensifikasi pajak antara lain dapat ditempuh melalui:

a. Perluasan wajib pajak;

b. Pendaftaran wajib pajak yang belum terdaftar; c. Perluasan obyek pajak.

Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak sedang menggiatkan porses intensifikasi sekaligus ekstensifikasi perpajakan melalui proyek Sensis Pajak Nasional (SPN). Jika SPN ini dapat berjalan sesuai dengan grand design-nya, Penulis percaya proses penggalian potensi perpajakan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana yang kita ketahui, rasio pajak (tax ratio) Indonesia masih berada pada level yang rendah, yaitu 12%. Padahal negara-negara maju saat ini berada di level 18-20%. Ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pajak yang besar yang belum tergali. Untuk itu, peran kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan di sini adalah sangat esensial. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai andil yang besar di sini dalam melancarkan kebijakan fiskal Pemerintah dalam peningkatan penerimaan perpajakan guna mencapai

pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan berkelanjutan.

3. KESIMPULAN

Pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah tolak ukur yang relevan untuk menilai keberhasilan suatu negara dalam mengelola perekonomiannya. Indonesia termasuk sebagai satu dari sedikit negara saat ini yang memiliki ekonomi yang terus tumbuh secara positif terlepas dari pengaruh krisis global yang menimpa dunia sejak tahun 2008. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, Pemerintah perlu melakukan kebijakan mikroekonomi dalam bentuk kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Terkait dengan pengaruh perpajakan terhadap perekonomian, Pemerintah sebagai fungsi regulator dan stabilisator memiliki peran melalui kebijakan fiskal yang ditempuh. Telah digambarkan bagaimana pajak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan Domestik Bruto Indonesia juga besarnya porsi penerimaan perpajakan pada struktur APBN Indonesia saat ini. Pengaruhnya memiliki trade-off dimana pemungutan pajak yang terlalu tinggi kepada masyarakat akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat, meskipun itu juga akan berdampak pada kenaikan belanja pemerintah untuk sektor-sektor riil.

(10)

ekstensifikasi perpajakan guna mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi nasional.

DAFTAR REFERENSI:

[1]Bank Indonesia. 2011. The Indonesian Economy: Entering A New Era. Diedit oleh Aris Ananta, Muljana Soekarni, dan Sjamsul Arifin. ISEAS Publishing: Singapore.

[2]Chaudhuri, Pramit. 1989. Economic Theory of Growth. University of Sussex. Harvester Whearsheaf: London.

[3]Djojohadikusumo, Sumitro.1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi

Pembangunan. LP3ES: Jakarta.

[4]Kementerian Keuangan. 2012. Nota Keuangan R-APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012. Direktorat Jenderal Anggaran. Jakarta.

[5]Kementerian Keuangan. 2013. Nota Keuangan R-APBN Perubahan Tahun Anggaran 2013. Direktorat Jenderal Anggaran. Jakarta.

[6]Kementerian Keuangan. 2014. Nota Keuangan R-APBN Tahun Anggaran 2014. Direktorat Jenderal Anggaran. Jakarta.

[7]Mankiw, N.G. 2003. “Teori Makroekonomi”. Edisi Kelima. Erlangga: Jakarta

[8]Pass, Christopher. Dkk. 1991. HarperCollins Dictionary Economics. Diedit oleh Eugene Ehrlich. HarperCollins Publishers: New York. [9]Samuelson, P.A., Nordhaus, W.D. 2004. “Ilmu

Makroekonomi. Edisi Tujuh Belas. PT Media Global Edukasi: Jakarta.

[10] Sukirno, Sadono. (2006). Makroekonomi Teori Pengantar Edisi 3. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

[11] Todaro, Michael P. (2006). Economic Development Ninth Edition. England : Pearson Education Limited. www.bappenas.go.id Perkembangan Ekonomi Indonesia (diakses tanggal 22 April 2013)

[12] http://koran.kompas.com/read/xml/

2009/08/20/04582276/pajak.dan.pertumbuhan.

(Diakses tanggal 10 Mei 2014).

[13] http://abstraksiekonomi.blogspot.com/ 2013/07/intensifikasi-dan-ekstensifikasi-pajak.html(Diakses tanggal 11 Mei 2014) [14] http://evaoktaviagunawan.wordpress.com/

2011/12/18/definisi-pajak-menurut-beberapa-ahli-ekonomi/(Diakses tanggal 11 Mei 2014)

[15] http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/

index.php/layanan-diklat/seputar-diklat/ 1465-prospek-penerimaan-pajak-tahun-2014

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta bahan pertimbangan bagi investor mengenai pengaruh volatilitas arus kas, ukuran perusahaan dan tingkat hutang

Mapping , subjek dapat mencari hubungan yang identik dari karakteristik antara masalah sumber dan masalah target kemudian membangun kesimpulan untuk selanjutnya hubungan

Crown lengthening adalah prosedur pembedahan untuk mengekspose mahkota klinis yang tersisa sebagai usaha untuk meningkatkan retensi restorasi.. Tujuan laporan kasus

Kultur Gardnerella vaginalis hanya memberikan sedikit keuntungan untuk mendiagnosis BV karena merupakan flora normal vagina sehingga didapatkan juga pada cairan vagina

Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat diambil kesimpulan bahwa belum terdapat aplikasi pengenalan Hangeul (abjad Korea) berbasis multimedia yang di dalamnya

Tanaman kontrol dan perlakuan herbisida paraquat disiram setiap hari, sedangkan tanaman yang diberi perlakuan cekaman kekeringan tidak diberi air selama 10 hari untuk

Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa rizosfer tanaman jeruk tanpa aplikasi pupuk hayati memiliki keragaman bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan