• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA KRITIS DALAM PEMBELAJARAN BAHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PARADIGMA KRITIS DALAM PEMBELAJARAN BAHA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA KRITIS

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA1

Mulyadi Eko Purnomo2

FKIP Universitas Sriwijaya

Pos Elektronik: mulyadiekopurnomo@yahoo.com

Abstrak: Paradigma kritis merupakan perspektif kritis dalam memikirkan sesuatu. Paradigma kritis dalam bidang pendidikan/ pedagogi, terdapat pedagogi kritis yang memandang bahwa pendidikan adalah proses pemberdayaan. Oleh karena itu, siswa dipandang sebagai subjek yang memiliki kemandirian dan kebebasan dalam taraf tertentu terhadap apa yang ingin dicapainya dan bagaimana cara mencapainya. Hubungan guru-siswa bersifat dialogis dan saling menghargai. Dalam bidang linguistik, paradigma kritis terwujud dalam analisis wacana kritis yang merupakan epistemologi kewacanaan untuk menemukan ideologi yang tersembunyi dari suatu praktik wacana. Dalam pembelajaran bahasa, pedagogi kritis dan analisis wacana kritis dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa. Caranya adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip paradigma kritis itu dalam praktik pembelajaran di kelas.

Kata-kata kunci: paradigma kritis, pedagogi kritis, analisis wacana kritis, pembelajaran bahasa

Pendahuluan

Paradigma kritis merupakan pandangan atau wawasan atau perpektif yang bersifat kritis. Pandangan terhadap apa yang dilakukan atau dipikirkan secara kritis? Apa arti pandangan secara kritis itu? Dalam literatur pendidikan terhadap pandangan yang bersifat kritis terhadap konsep pedagogi (pedagogy) sehingga muncul istilah pedagogi kritis (critical pedagogy). Sementara itu, dalam literatur linguistik terdapat konsep linguistik kritis (critical linguistics), kemudian lebih spesifik menjadi analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA), juga pragmatik kritis (critical pragmatics).

Pedagogi kritis (PK) muncul ketika Paulo Freire menerbitkan karyanya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed tahun 1970-an, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1985 dan ditrbitkan oleh LP3ES, Pendidikan Kaum Tertindas. Dalam buku itu, Freire mengkritik praktik

1 Makalah Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa Indonesia, Program

(2)

pendidikan yang selama ini terjadi, terutama, di negara-negara berkembang. Beberapa kritik itu antara lain bahwa praktik pendidikan (pembelajaran) hanyalah seperti praktik bank, yaitu guru hanya mengisi buku tabungan dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan kemudian pada saatnya diambil kembali oleh pemilik buku tabungan itu dalam bentuk ujian. Dalam praktik seperti ini, siswa tidak diberi kesempatan untuk menyadari, mengolah, dan mengkritik apa yang terjadi pada dirinya dan pada proses pembelajaran itu.

Bertolak dari kritiknya terhadap praktik pendidikan yang seperti itu, Freire mengajukan gagasannya agar dilakukan perubahan “besar-besaran” terhadap pendidikan. Perubahan itu mencakup tataran filosofis, sistem, dan juga praksis. Pada tataran filosofis diajukanlah konsep-konsep pemberdayaan, kesetaraan, kesadaran kritis, yang berdasar pada ideologi modernisme, pasca-kolonialisme, dan feminisme.

Sementara itu, analisis wacana kritis (AWK) muncul ketika N. Fairclough (1989) menerbitkan karyanya Language and Power) dan beberapa karya lain, kemudian pada 1995 menerbitkan Critical Discourse Analysis). Masih ada beberapa karya Fairclough yang lain sampai 2006 menerbitkan buku Language and Globalisation. Selain itu, T.A. van Dijk juga merupakan tokoh dalam AWK. Bukunya yang terkenal dalam AWK adalah Discourse and Power (2008), Discourse and Society (2009) dan lain-lain yang ditulis pada tahun-tahun sebelumnya.

(3)

Makalah ini berusaha membahas beberapa topik seperti: konsep PK, isue-isue dalam PK, konsep AWK, unit analisis dalam AWK, dan implikasi PK dalam pembelajaran bahasa, serta pemanfaatan AWK dalam pembelajaran bahasa.

Pedagogi Kritis3

Buku Pedogogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas) merupakan karya Freire yang sangat berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat di berbagai negara “terbelakang”, yang terutama negara yang penduduknya masih banyak yang buta aksara. Konsep pedagogi kritis yang diketengahkan oleh Freire merupakan konsep yang membuka kesadaran akan perlunya perubahan tentang hubungan guru-murid dan tentang praktik pembelajaran dan/atau pendidikan (Freire, 1984)

Menganai hubungan guru-murid, yang terjadi selama ini adalah hubungan yang tidak seimbang. Guru lebih merupakan pihak yang “menindas”, sedangkan siswa adalah pihak yang “ditindas”. Guru adalah pihak yang mendominasi, yang memegang kendali, dan yang mengatur siswa, sedangkan siswa adalah pihak yang didominasi, dikendalikan, dan diatur oleh guru. Tingginya dominasi ini sampai-sampai murid kehilangan kesadaran akan peranannya dan posisinya yang mestinya dialah yang menentukan berhasil-tidaknya pendidikan yang dialaminya.

Menghadapi situasi ini, Freire berpandangan bahwa sudah saatnya hubungan guru-murid diubah sehingga kesadaran akan peran dan posisi murid dalam pendidikan ditimbulkan, bahkan dikuatkan. Oleh karena itu, dia kemudian mengajukan konsep hubungan yang setara antara guru dan murid. Dengan kesetaraan hubungan ini, yang terjadi adalah dialog bukan pemaksaan; kesamaan posisi, bukan dominasi; dan pemberdayaan, bukan penguasaan. Maka, dengan konsep ini yang terjadi adalah pendidikan sebagai pembebasan; pembebasan dari ketertindasan, pembebasan dari dominasi.

Tentang praktik pendidikan, Freire menganggap bahwa yan terjadi selama ini adalah pendidikan model bank (banking model). Yang dimaksud adalah

3 Uraian mengenai PK dan issue-isue dalam PK telah pernah dipaparkan dalam

(4)

praktik pendidikan yang hanya mengisi tabungan (atau lebih tepat celengan) dengan pengetahuan yang nanti akan diambil kembali dalam bentuk ujian. Dengan cara ini, siswa dianggap sebagai celengan kosong yang harus diisi oleh guru sampai penuh, tanpa mempertanyakan apakah celengan itu mau atau mampu menampung apa yang diisikan oleh guru.

Maka, Freire kemudian mengajukan konsep proses bersama atau proses saling (mutual concept) pada proses pendidikan. Dengan konsep ini, yang

diusahakan adalah membangkitkan kesadaran siswa sebagai manusia yang belum sempurna, dan bersama guru mengusahakan agar siswa menjadi manusia utuh (sepenuhnya manusia) (Frire, 1984).

Isu-isu dalam Pedagogi Kritis

Dalam pedagogi kritis terdapat isu-isu penting yang kemudian menjadi karakteristiknya. Isu-isu penting itu adalah pendidikan sebagai praktik pembebasan, kesetaraan dalam pendidikan, dan pendidikan multikulralisme.

Isu pertama dalam pedagogi kritis adalah pendidikan sebagai pembebasan. Pendidikan sebagai pembebasan merupakan isu penting dalam pedagogi kritis. Dapat dikatakan juga bahwa pendidikan sebagai praktik pembebasan ini merupakan konsep yang paling penting dalam pandangan Paulo Freire. Pertanyaannya adalah bebas dalam hal apa atau bebas untuk apa. Jawabannya adalah bebas untuk memilih jalan hidupnya, bebas dari budaya otoriter yang menindas, dan bebas dari budaya verbal yang naif (Umiarso dan Zamroni, 2011).

Pertama adalah bebas untuk memilih jalan hidupnya. Pendidikan harus dapat membebaskan manusia (peserta didik) untuk memilih jalan hidupnya. Artinya adalah bahwa pendidikan harus memungkinkan peserta didik memiliki kebebasan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang unggul dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki potensi untuk memimpin dirinya sendiri dalam mengelola kehidupannya sendiri.

(5)

Dengan dialektika ini, manusia terus-menerus menyempurnakan dirinya; manusia tidak lahir dalam keadaan sempurna, tetapi lahir dalam keadaan tidak sempurna. Kemudian, dengan kemampuan berdialektika dengan dunianya inilah manusia terus-menerus menyempurnakan dirinya sebagai manusia “sempurna”.

Dengan pandangan seperti itu, pendidikan harus memberikan kesadaran untuk mandiri dalam menentukan hidup manusia itu sendiri. Pendidikan dapat dipandang sebagai usaha memanusiakan manusia dengan segala potensi dan kemampuannya; ini disebut dengan humanisasi. Dengan humanisasi, pendidikan berperan sebagai penyemangat untuk mengembangkan kesadaran manusia akan potensi dan potensinya. Dengan kesadaran akan potensi dan kemampuannya itu, manusia akan memiliki kemandirian dalam memilih dan menentukan jalan hidupnya. Kesadaran seperti itu harus dibina dan ditingkatkan melalui pendidikan.

Kedua adalah bebas dari budaya otoriter. Yang dimaksud adalah budaya otoriter dari lingkungannya, terutama dari guru atau pendidik. Artinya, manusia harus bebas dari kesewenang-wenangan yang “dibenarkan” oleh budaya masyarakat; kesewenang-wenangan itu bisa berasal dari orang tua, guru, atau teman-teman sepermainan. Yang kesewenang-wenangan itu pada umumnya bersifat menindas atau, sekurang-kurangnya, memaksa manusia untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkannya.

Oleh karena itu, pendidikan harus membebaskan manusia dari budaya otoriter yang menindas itu. Caranya adalah dengan menghindarkan peserta didik dari kesewenangan yang menindas itu. Dalam pendidikan, penindasan itu dapat bersumber dari kebijakan yang tidak memihak kepada peserta didik, dapat pula bersumber dari sifat hubungan atau interaksi antara pendidik dan peserta didik.

(6)

sebaliknya, murid berada pada pihak yang didominasi, yang harus tunduk dan mengikuti apa yang diperbuat oleh guru terhadapnya.

Apabila pendidikan bermaksud membebaskan peserta didik dari “penindasan” pendidik, dominasi itu harus segera diakhiri. Yang diperlukan adalah interaksi guru-murid yang bersifat dialogis. Dengan interaksi dialogis ini, guru dan murid adalah sama-sama subjek yang bersama-sama berusaha menyempurnakan diri masing-masing, juga bersama-sama saling memanusikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.

Ketiga, bebas dari budaya verbal yang miskin-makna. Pendidikan haruslah membebaskan peserta didik dari budaya verbal atau verbalisme yang kurang memberikan kesempatan untuk menggali makna otentik bagi peserta didik. Ini adalah kritik Freire terhadap metode pengajaran yang dilakukan oleh sebagian guru di Brazil pada masa itu. Verbalisme merupakan kegiatan mengajar yang sebagian besar berupa informasi verbal yang harus “dihafal” dan diungkapkan kembali pada saat ujian. Dengan verbalisme, peserta didik kurang mendapat kesempatan menggali, mengembangkan, dan mengekspresikan pengetahuan dan sikapnya secara otentik. Yang dilakukan peserta didik hanyalah mengemukakan kembali secara hampir persis informasi yang telah diberikan oleh guru kepadanya. Isu kedua dalam pedagogi kritis adalah isu tentang kesetaraan. Yang dimaksud adalah kesetaraan antara pendidik dan peserta didik. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pendidikan sebagai pembebasan seperti dipaparkan sebelumnya. Kesetaraan antara pendidik dan peserta didik merupakan keniscayaan dalam pendidikan agar pendidikan itu dapat memandirikan dan memanusiakan manusia.

(7)

Interaksi yang terjadi pada relasi setara adalah interaksi yang bersifat dialogis. Guru mendialogkan apa yang akan dilakukannya untuk kepentingan murid dengan murid yang sekaligus juga merupakan subjek yang bertangung jawab. Demikian juga sebaliknya, murid mendialogkan keinginan dan usahanya serta apa yang telah dicapainya selama ini kepada gurunya sebagai partner dalam mencapai tujuan bersama.

Isu ketiga dalam pedagogi kritis adalah multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan gagasan tentang diakuinya dan dihargainya fakta bahwa dunia ini berisi entitas yang tidak tunggal, tetapi majemuk atau beragam. Demikian juga dengan masyarakat di suatu kawasan atau wilayah, masyarakat itu juga memiliki karakteristik atau ciri yang majemuk dilihat dari berbagai segi.

Dalam pendidikan, multikulturalisme dipahami sebagai suatu gagasan bahwa subjek yang terlibat dalam proses pendidikan itu adalah majemuk dalam berbagai segi. Maka, pendidikan harus mengakui dan menghargai kemajemukan atau keragaman budaya, sosial, dan kebiasaan, dan sebagainya pada peserta didik. Dengan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman karakter budaya-sosial peserta didik ini, pendidikan tidak berusaha mengarahkannya menjadi karakter budaya-sosial tunggal yang seragam, tetapi tetap mengarahkannya pada karakter budaya-sosial masing-masing; demikian juga peserta didik yang berbeda sosial-budayanya mengakui dan menghargai sosial-budaya peserta didik lainnya (Umiaso dan Zamroni, 2011; Freire, 2007).

Analisis Wacana Kritis4

AWK merupakan perspektif interdisipliner dalam analisis wacana. Hal ini didasarkan pada pandangan van Dijk (1993) bahwa AWK adalah studi tentang hubungan antara wacana, kekuasaan, dominansi, ketidakadilan, dan kedudukan penganalisis wacana dalam relasi sosial yang demikian sehingga lebih mengarah ke analisis wacana sosiopolitis. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk ini adalah berfokus pada peran wacana dalam memproduksi atau mereproduksi dan

4 Beberapa gagasan pada bagian ini telah pernah disampaikan dalam pidato

(8)

menentang dominansi; sedangkan dominansi didefinisikan sebagai unjuk kekuasaan kelompok elit, institusi atau kelompok yang mengakibatkan ketidakadilan social yang mencakup keitidakadilan politik, budaya, etnik, dan gender. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara khusus AWK berusaha mengetahui bagaimana struktur, strategi atau ciri lain dari teks, pembicaraan, interaksi verbal atau peristiwa komunikatif memainkan peran dalam berbagai moda reproduksi. Pada bagian lain dikatakan bahwa tujuan AWK adalah untuk menemukan “idologi” yang tersembunyi di balik suatu wacana, teks, atau pemakaian bahasa secara publik (van Dijk, 1993; Darma, 2009).

Ideologi merupakan topik penting dalam AWK karena menurut AWK, ideologi selalu mewarnai produksi wacana. Tidak ada wacana yang benar-benar netral atau “objektif” atau steril dari ideologi penutur atau pembuatnya. Apakah itu wacana ilmiah, jurnalistik, atau sastra, apakah itu wacana ekspositori, prosedural, naratif, atau hortatori, selalu mencerminkan atau sekurang-kurangnya “mengandungi” ideologi pembuatnya.

Apakah ideologi itu? Dalam suatu artikelnya van Dijk mengemukakan bahwa ada beberapa pendekatan tentang ideologi. Pendekatan yang lebih tradisional menyatakan bahwa ideologi didefinisikan secara negatif sebagai kepercayaan yang menyesatkan (misguided belief), atau kesadaran yang salah (false consciousness). Lebih lanjut dikatakan, dalam karya yang lebih mutakhir, seperti dalam ilmu politik dan prikologi sosial, ideologi didefinisikan hanya sebagai sistem kepercayaan (belief systems) Dengan mengintegrasikan pendekatan-pendekatan itu, van Dijk mengembangkan teori tentang ideologi yang baru dan bersifat multidisiplin, yang didefinisikan sebagai fondasi perwujudan sosial bersama dari suatu kelompok sosial (van Dijk (2004; Purnomo 2007).

(9)

ideologi. Masalah utamanya adalah hubungan antara ideologi dan perwujudan sosial lain yang dimiliki bersama oleh kelompok itu dan anggotanya. Simpulan yang dikemukakan olah van Dijk adalah bahwa ideologi adalah basis sikap sosial (the basis of social attitudes). Oleh karena itu, ideologi terkait dengan pengetahuan sosial suatu masyarakat, yang oleh van Dijk disebut sebagai sosiokognitif (van Dijk, 2015).

STRUKTUR

WACANA HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik:

Tema/topik yang dikepedapankan dalam berita

Topik

Superstruktur Skematik: bagimana bagian dan urutan

berita diskemakan Skema Struktur Mikro Semantik: makna yang ditekankan

dalm teks berita

Latar, detail, praanggapan, nominalisasi

Sintaksis: bagaimana bentuk kalimat

yang digunakan Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti Stilistik: bagaimana pilihan kata yang

digunakan

Leksikon

Retorik Grafis, metafora, ekspresi

Dalam praktik analisisnya, AWK memanfaatkan sarana analisis wacana (biasa), tetapi dengan perspektif dan interpretasi yang lebih “dalam”. Beberapa sarana analisis wacana yang dimanfaatkan dalam AWK adalah struktur makro, yang meliputi antara lain skemata, latar, dan topik; dan struktur mikro yang meliputi semantik, sintaksis, dan retorik. Beberapa topik AWK yang penting adalah ideologi, pengetahuan, struktur, interaksi, dan makna. Untuk keperluan analisis, Eriyanto (2001:228—229) mengemukakan tabel berikut untuk analaisis berita media massa.

Implikasi PK dalam Pembelajaran Bahasa

(10)

perspektif pedagogi kritis. Pembelajaran bahasa menurut perspektif pedagogi kritis dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, pembelajaran bahasa harus memberdayakan/membebaskan peserta didik. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran bahasa, siswa hendaknya mendapat kebebasan dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengapresiasi serta berekspresi dan berkreasi sastra. Mendengarkan berbagai informasi dari berbagai sumber merupakan kebutuhan siswa disertai dengan sikap kritis terhadap bahan yang didengar atau dipergdengarkan kepada mereka. Membaca untuk berbagai keperluan, terutama untuk studi, mengikuti informasi, mengisi waktu luang, dan hiburan juga merupakan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan mendengarkan dan membaca harus diarahkan agar siswa akhirnya secara mandiri dan bebas menentukan sendiri bahan apa, untuk tujuan apa, dan informasi apa yang dapat dipercaya dari sumber-sumber informasi yang melimpah. Maka, sikap kritis dalam mendengarkan dan membaca harus mendapat pembinaan yang memadai. Dalam hal berekspresi dan berkreasi dalam berbicara dan menulis tentang gagasan, pikiran, dan sikap/perasaan dalam bentuk karya non-sastra, yang harus mendapat perhatian adalah kemampuan berekspresi sesuai dengan norma-norma yang berlaku sesuai dengan genre/bentuk ekspresi. Dengan kemampuan itu, kebebasan/kemandirian dalam mengekspresikan gagasan, pikiran, dan sikap untuk berbagai keperluan dalam berbagai genre/bentuk ekspresi akan terwujud.

Kegiatan bersastra dalam bentuk mengapresiasi dan berekspresi hendaknya diarahkan menuju pemberian pengalaman bersastra yang mengasyikkan, membuka wawasan, dan menajamkan perasaan siswa. Dengan cara ini, salah satu manfaat pembelajaran sastra sebagai penghalus budi, penajam rasa pengembang empati, dan pencetus karya kreatif akan terwujud. Maka, pembelajaran apresiasi dan kreasi sastra dapat “membebaskan” siswa berapresiasi dan berkreasi sesuai dengan keperluan dan keinginan siswa.

(11)

berupa pemberian kesempatan kepada siswa untuk berpendapat, memberi komentar, dan mengumumkan karyanya dalam berbagai bentuk dan media. Sebaliknya guru dapat juga memberi komentar, pendapat, dan penilaian objektif dan jujur terhadap hasil kreasi siswa dan apa yang diekspresikan serta apa yang dihasilkan dari berbagai kegiatan berbahasa dan bersastra. Apa yang penting dari dialog ini adalah adanya pengakuan, penerimaan, dan penghargaan terhadap apa yang dilakukan dan dihasilkan oleh kedua pihak masing-masing. Dengan cara ini, interaksi yang setara antara kedua belah pihak, yaitu guru dan murid, dapat terwujud.

Ketiga, pembelajaran bahasa hendaknya memperhatikan/menghargai perbedaan atau keragaman budaya dan karakteristik siswa. Dalam sekolah, atau bahkan kelas, terdapat siswa dengan latar belakang social-budaya dan karakteristik yang beragam. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa, keragaman itu harus diakui, diterima, dan dihargai. Apa yang dilakukan dan dihasilkan siswa dalam konteks pembelajaran hendaknya mendapat penerimaan yang wajar dari guru ataupun sesame siswa. Ciri-ciri bahasa lokal (daerah) yang terdengar dari ucapan atau terbaca dalam tulisan siswa tidak menjadi bahan tertawaan atau cemoohan teman-temannya yang mungkin berasal dari bahasa local yang lain, tetapi menjadi bahan belajar bagaimana mengurangi secara bertahap ciri-ciri local itu dalam berbahasa Indonesia baku. Dalam karya sastra hasil kreasi siswa, ciri local itu dapat menjadi nilai tambah asalkan ditemptkan secara wajar. Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat dan di luar konteks pembelajaran, penggunaan bahasa daerah tidak menjadi persoalan, sepanjang diakui dan diterima oleh masyarakat.

(12)

“kegagalan” siswa dalam berekspresi, guru hendaknya tetap menghargai apa yang dihasilkan oleh siwa walaupun, menurut ukuran guru, masih belum seperti yang ditargetkan. Dalam hal ini, motivasi dan dorongan guru hendaknya diberikan agar siswa tidak patah arang dalam berkreasi selanjutnya.

Implikasi AWK dalam Pembelajaran Bahasa

Pada bagian sebelumnya sudah dinyatakan bahwa AWK dapat digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang memberdayakan. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan/membina kemampuan sebagai berikut.

Pertama, AWK dapat digunakan untuk membina kemampuan membaca kritis. Kemampuan membaca kritis merupakan kemampuan membaca yang di dalamnya terdapat aspek penilaian terhadap bahan bacaan. Dalam membaca kritis siswa dilatih untuk menilai organisasi karangan, penataan logika, dan menilai kebenaran fakta atau argument yang dikemukakan oleh penulis. Dengan AWK, penilaian itu dapat dilakukan dengan menelusuri keberpihakan penulis, atau netral tidaknya penulis. Dengan menemukan kebepihakan penulis sebenarnya siswa telah melakukan penilaian terhadap penataan logika dan kebenaran fakta dan argumentasi.

Kedua, ini masih ada kaitannya dengan yang pertama, membedakan antara fakta dan opini. Dengan AWK, perbedaan antara fakta dan opini dapat ditelusuri dari sarana analisis, seperti penggunaan kata tampaknya, saya kira, menurut pendapat saya, dapat diduga, dan diasumsikan. Dalam penggunaan latar, misalnya, dapat diidentifikasi bahwa latar merupakan pandangan pribadi wartawan, bukan fakta yang terjadi.

(13)

Penutup

Untuk mengakhiri uraian ini, dikamukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pedagogi kritis sebagai suatu konsep pendidikan memiliki konsekuensi dalam praktik pendidikan, mengarahkan praktik pendidikan lebih manusiawi, dalam arti menghargai peserta didik sebagai subjek yang harus bertanggung jawab dalam proses pendidikan. Penghargaan itu terhadap siswa sebagai individu ataupun sebagai anggota kelompok; menghargai cara belajar secara mandiri atau dengan cara bekerja sama. Kedua, apabila diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran bahasa, prinsip-prinsip pedagogi kritis ternyata sejalan dengan prinsip dan metode AWK yang dalam analisisnya dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menemukan ideologi yang tersembunyi dari suatu teks.

DATAR RUJUKAN

Amari, F.Z. 2015. The Role of Critical Discourse Analysis in EFL Teaching/ Learning

.

Frontiers of Language Teaching. Vol. 6 (2015), hlm. 87—93. Darma, Y.A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Penerbit Yrama Widya. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:

LkiS.

Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analisis: The Critical Study of Language. New York:Longman.

Freire, P. 1984. Pendidikan Kaum Tertindas. Terjemahan Tim LP3ES. Jakarta: LP3ES.

Freire, P. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Terjemahan Agung Prihantono dan Fuad A. Furdiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jupriono, D. 2011. Dampak Paradigma Deskriptif dan Paradigma Kritis dalam Pembelajaran Linguistik terhadap Karakter Mahasiswa. Diglossia, Vol. 3, No. 1.

Martinez, D.F. 2012. Critical Learning: Critical Discourse Analysis in EFL Teaching. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 3, No. 2, pp. 283-288.

(14)

Purnomo, M.E. 2011a. Analisis Wacana Kritis dan Potensi Pemanfaatannya. Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya

Purnomo, M.E. 2011b. Pedagogi Kritis dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa. Makalah Seminar Linguakustik Program Studi Pendidikan Bahasa Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang, 13 Desember 2011.

Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat & Timur. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

van Dijk, T.A. 1993. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society. Vol. 4 (2): 249—283.

van Dijk, T.A. 2004. Discourse, Knowledge and Ideology: Reformulating Old Questions and Proposing Some New Solutions. In Martin Pütz, JoAnne Neff & Teun A. van Dijk (Eds.). Communicating Ideologies.

Multidisciplinary Perspectives on Language, Discourse and Social Practice. London: Sage, (pp. 5-38).

Referensi

Dokumen terkait

Kepala SKPD PSDA Kabupaten Simalungun selaku Pengguna Anggaran, yang beralamat di kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten Simalungun - Pamatang Raya, dengan ini mengumumankan

[r]

[r]

Kategori Publikasi Makalah : ( beri { pada kategori yang tepat ) Hasil Penilaian Peer Review:. :

[r]

Hasil peta sebaran ketahanan dan kerawanan pangan yang ditunjukkan pada Gambar 4.b secara umum, Kabupaten Rembang berada pada status tahan pangan dengan banyaknya desa yang berada

Economic Viability Assessment (EVA), untuk menjelaskan ini langsung dapat diberikan contoh sebagai berikut: EVA analisis probabilitas lebih baik dari pada

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas hasil produk lulusan kursus keterampilan menjahit Yayasan Pendidikan