• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model usaha sapi potong berbasis sumber daya lokal di kabupaten Sumedang Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model usaha sapi potong berbasis sumber daya lokal di kabupaten Sumedang Jawa Barat"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL USAHA SAPI POTONG BERBASIS SUMBER DAYA

LOKAL DI KABUPATEN SUMEDANG

JAWA BARAT

MUHAMAD FATAH WIYATNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Usaha Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal di Kabupaten Sumedang Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi akhir ini.

Bogor, Februari 2012

Muhamad Fatah Wiyat na

(3)

MUHAMAD FATAH WIYATNA. Model Usaha Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Dibimbing o leh ASNATH MARIA FUAH, EDDIE GURNADI DAN KOOSWARDHONO MUDIKDJO.

Kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat yang juga dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah mengembangkan daerah-daerah berpotensi sebagai sentra produksi sapi potong. Beberapa daerah yang berpotensi dengan prosentase populasi sapi potong dari urutan tertinggi adalah Kabupaten Ciamis (11.33%), Tasikmalaya (10.24%), Sumedang (9.06%), Cianjur (8.93%), Subang (6.46%), da n Purwakarta (6.38%) (Dinas Peternakan Jawa Barat 2010). Kabupaten Sumeda ng ada lah salah satu daerah yang sangat pot ensial untuk dijadikan sentra pengembangan sapi potong di Jawa Barat. Populasi sapi potong pada tahun 2010 sebesar 32 577 ekor yang terdiri dari 11 618 ekor jantan dan 20 959 ekor betina dan tersebar pada sekitar 14 125 rumah tangga peternak (RTP).

Beberapa permasalahan mendasar yang menentukan perkembangan sapi potong di Kabupaten Sumedang, antara lain (a) program pengembangan sapi potong oleh pemerintah belum berhasil optimal, (b) peternak mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan ternak sapi terutama pada saat musim kemarau, (c) manajemen budidaya ternak masih tradisional.

Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi dan menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumber daya manusia dalam pengembangan sapi potong, (b) mempe lajari sistem prod uks i berdasarkan pola pemeliharaan, (c) analisis strenght, weakness, opportunity, threats (SWOT) digunakan untuk merumuskan solusi alternatif pemecahan masalah, membuat proyeksi pengembangan, dan menganalisis efisiensi usaha sapi potong. Penelitian ini dilaksanaka n di Kabupaten Sumedang Jawa Barat selama 12 bulan dari bulan Mei 2008 sampai April 2009.

Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai potensi pengembangan sapi potong efektif tinggi berturut-tur ut adalah Kecamatan Buahdua de ngan nilai 7 989.20 satuan ternak (ST), Wado 6 221.9 ST, dan Conggeang 5 904 ST, tetapi daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah suaka alam, resapan air menurut rencana umum tata ruang (RUTR) Kabupaten Sumedang. Daerah yang dijadikan objek penelitian yaitu Kecamatan Ujungjaya (3 738.26 ST) untuk pola digembalakan dan Cisitu (4 645.70 ST) untuk pola dikandangkan. Wilayah tersebut dicanangkan sebagai sentra pengembangan ternak sapi potong.

(4)

dikandangkan selain rancangan pada pola digembalakan, ditamba hka n untuk optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, peningkatan sarana inseminasi buatan (IB), da n opt imalisasi pemanfaatan limbah ternak untuk meningkatkan nilai pendapatan peternak.

Hasil analisis pada pola digembalakan menunjukkan bahwa angka panen anak (calf crop) sebesar 25%, rendahnya nilai tersebut disebabkan pengelolaan reproduksi yang kurang optimal, jarak beranak yang cukup panjang (17.76 bulan), dan kematian anak relatif tinggi (lima persen). Kualitas pejantan yang kurang optimal, dimana sekitar 68% pejantan berasal dari keturunan sapi loka l setempat, sehingga terjadi inbreeding yang menyebabkan menurunnya performan reproduksi disamping rendahnya rasio jantan : betina yaitu 1 : 25. Pada po la dikandangkan, calf crop sebesar 30%. calving interval rata-rata 16.98 bulan dengan tingkat kematian anak empat persen. Faktor reproduksi lainnya selain ternak, dipengaruhi pula oleh petugas inseminator dan kualitas semen yang tersedia. Calf crop sapi-sapi di bawah 50%, dikategorikan mempunyai produktivitas rendah (Minish and Fox 1979).

Variabel jumlah induk, kelahiran, dan kematian berpengaruh nyata dan masing- masing berkontribusi sebesar 0.833, 3.789, dan -40.38 satuan terhadap populasi ternak. Sedangkan pada pola digembalakan, ko mpo nen tersebut masing- masing 2.2, 0.79, da n -24.7 satuan. Model persamaan tersebut digunakan untuk memperkirakan populasi ternak pada waktu tertentu berdasarkan koe fisien teknis yang ada, yaitu jumlah induk, tingkat kelahiran, dan tingkat kematian anak. Daya tampung lahan digunakan untuk mengontrol populasi melalui pengendalian jumlah penambahan induk atau dara pengganti.

Hasil analisis ekonomi sederhana untuk kedua pola pemeliharaan tersebut (digembalakan dan dikandangkan) diperoleh nila B/C rasio masing- masing 2.42 dan 1.31. Tingginya B/C rasio pada pola digembalakan disebabkan oleh komponen biaya pakan yang tidak diperhitungan. Sedangkan pada pola dikandangkan cukup efisien disebabkan oleh po la integrasi pembibitan dengan penggemukan.

(5)

MUHAMAD FATAH WIYATNA. Mode l of Beef Cattle Prod uction System Based on Loc al Resources in Sumeda ng West Java. Under supervision by ASNATH M. F UAH, EDDY GURNADI, and KOOSWARDHONO MUDIKDJO

There are strategic national issue to develop beef cattle prod uction in Indo nesia. Sumedang is one of the region in West Java which is quite potential for cattle development and supported by Government policy. However, the implementation of beef cattle programs and activities were not succeeded due to several constraints including: (a) support and coordination from government was not optimal; (b) limited feed supp ly during dry seasons, (c) low input and management of livestock production. The study was carried out for 12 month from May, 2008 to April, 2009, with the main aims were to identify and analyzed the potency of local natural resources, including human resources and livestock production system. Based on the data obtained, SWOT (strength, weakness, opportunity, threats) analysis was made in order to formulate the alternative solutions and strategies for a sustainable cattle development. To assess the efficiency of this production system mode l, a simple economic analysis was made using all the necessary economic variables to produce a mathematic model. The results of the study indicated that three (3) districts including Buahdua, Wado, and Congeang were very potencial for beef cattle development with the effective values of 7 989.20 AU, 6 221.9 AU, and 5 904.0 AU respectively, although those regions were conside red for conservation by loc al government. There were two (2) districts i.e. Ujungjaya with carrying capacity of 3 738.26 AU and Cisitu with carrying capacity of 4 645.70 AU were chosen for this study. Beef cattle were raised in two (2) different ways, i.e., grazing system in Ujungjaya, while housing system were applied by farmers in Cisitu. Each region had specific production characteristics as described be low: (a) for grazing system, the calf crop was relatively low as reported as 25%, calving interval 17.76 months and mortality was 5.0%. Inbreeding become potential prob lems in this system, since sex ratio was too low (1 : 25). On the other hands, for housing system, the reprod uctive characteristics were slightly different from the grazing system, such as: calf crop, 30%, calving interval,16.98 moths, and the mortality rate was 4.0%. The contribution of each variables had significantly influences the beef cattle population in the region. From economic point of view, the values of B/C ratio for each production pattern was 2.42 and 1.31 for grazing and housing system respectively, of which efficient and feasible to be considered for cattle development in Sumedang.

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

(7)

LOKAL DI KABUPATEN SUMEDANG

JAWA BARAT

MUHAMAD FATAH WIYATNA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Muladno, M.SA.

: Prof. Dr.Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc

(9)

Judul Disertasi : Model Usaha Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal di Kabupaten Sumedang Jawa Barat

Nama : Muhamad Fatah Wiyatna

NIM : D061020071

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. I r. Asnath Maria Fuah, M.S.

Prof. (Em). Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc.

Anggota Anggota

Prof. (Em).Dr. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc.

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Prod uksi da n Teknologi Peternaka n

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

UJIAN TERBUKA PROGRAM DOKTOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Hari : Selasa, 31 Januari 2012

Waktu : 09.00 WIB – selesai

Tempat : Ruang Sidang Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Judul Disertasi : Model Usaha Model Usaha Sapi Potong Berbasis Sumberdaya Lokal di Kabupaten Sumedang Jawa Barat

Nama : Muhamad Fatah Wiyatna

NRP : D061020071

Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.Sc.

Prof (EM). Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc.

Prof (EM). Dr. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana hu Wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Model Usaha Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Loka l di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

(12)

dengan segala kerendahan hati dan hormat serta kasih, penulis persembahkan karya ini untuk istri tercinta Inna Samsuminar yang tidak pernah berhenti dan menyerah mendorong penulis menyelesaikan studi, serta anak-anakku Syifa, Hamzah dan Nizar yang selalu berdo’a dan mendorong penulis dalam masa- masa penyelesaian studi di IPB-Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2012

(13)

Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 23 Oktober 1969, sebagai anak ke dua da ri tiga be rsauda ra dari ayah T. Mulya na da n Ibu Asih Juariyah Pendidika n sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Universitas Padjadjaran, lulus tahun 1993. Pada tahun 1999 penulis diterima di program Magister pada Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, sejak tahun 1997 dalam bidang Produksi Ternak.

(14)

ii

Halaman

DAFTAR TABEL ….………... iii

DAFTAR GAMBAR ………... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah . ... 3

Tujuan Penelitian . ... 3

Kerangka Pemikiran ………. 4

Manfaat Penelitian ……… 5

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Sapi Potong di Indonesia ... 7

Sistem Produksi Usaha Sapi Potong ... 9

Produktivitas Sapi Potong ……… 11

Karakteristik Produksi ...………. 12

Karakteristik Reproduksi ... 13

Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong ………. 13

Strategi Pengembangan Sapi Potong ……… 14

Agribisnis dan Farming System ……… 16

Pengelolaan Limbah ……….. 18

Daya Dukung Lahan ……….. 19

Model Pengembangan Sapi Potong ……… 20

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

Metode Pengumpulan Data ... 23

Prosedur Penelitian ... 24

Analisis Data ……….. 25

Analisis Model Usaha Ternak Sapi Potong ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah …………... 30

− Sistem Penggunaan Lahan ………... 33

Potensi Sumberdaya Peternakan ……… 34

− Peternakan Secara Umum ……… 35

(15)

iii

Pola Pemeliharaan Sapi Potong di Kabupaten Sumedang ……… 39

Pola Digembalakan ……….. 39

− Karakteristik Wilayah ………...……….………... 39

− Karakteristik Reproduksi ………...……...…... 40

− Karakteristik Produksi ………...…... 42

Pola Dikandangkan ………... 44

− Karakteristik Wilayah ……..………... 44

− Karakteristik Reproduksi ………....………... 45

− Karakteristik Produksi ………..…... 46

Karakteristik Peternak Sapi ………... 47

Kapasitas Tampung Ternak ………... 48

Analisis SWOT Peternaka n Sapi Potong di Sumedang ……... 50

− Identifikasi Faktor Internal- Eksternal Pola Penggembalaan…... 51

− Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sumedang... 53

− Identifikasi Faktor Internal- Eksternal Pola Dikandangkan ... 57

− Alternatif Strategi Pengemba ngan Sapi Potong di Kabupaten Sumedang... 60

Proyeksi Pengembangan Populasi Sapi Potong ………... 64

Pola Digembalakan ………... 64

Pola Dikandangkan ………...…... 68

Analisis Ekonomi ... 72

Strategi Penyediaan Pakan ... 73

Jenis Hijauan ... 74

Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan ... 77

PEMBAHASAN UMUM ... 80

SIMPULAN DAN SARAN………... 84

DAFTAR PUSTAKA………...………... 85

(16)

iii

Halaman

1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia tahun 2002-2010 ………….. ……. 7

2 Perkembangan populasi sapi potong di Jawa Barat tahun 2004-2008 ………. 9

3 Bobot hidup Sapi Madura, Sapi Bali, da n Sapi PO/SO menurut umur dan jenis kelamin (kg) ………. 12

4 Karakteristik reproduksi sapi-sapi lokal di Indonesia ………... 13

5 Luas wilayah Kabupaten Sumeda ng berdasarkan kelompok ketinggian tempat di atas permukaan laut (DPL) ... 30

6 Komposisi pendud uk berdasarkan kelompok umur …………...…………. 32

7 Luas da n jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang ... 33

8 Penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang tahun 2005-2009... 34

9 Jumlah populasi ternak ruminansia di Kabupaten Sumedang ………... 36

10 Populasi sapi potong berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Sumedang tahun 2000-2009 ……….… 36

11 Jumlah petani yang menerapkan system pemeliharaan sapi berdasarka n tujuan usaha……… 37

12 Karakteristik usaha pe ternaka n po la digemba lakan ... 40

13 Populasi sapi potong di Kecamatan Ujungjaya berdasarkan struktur umur reproduksi……….. 41

14 Karakteristik reproduksi dan produktivitas anak sapi potong di Kecamatan Ujungjaya ……….. 41

15 Bobot tubuh rata-rata sapi potong pada berbagai tingkat umur dan jenis kelamin di Kecamatan Ujungjaya………. 43

16 Karakteristik wilayah dan populasi ternak di Kecamatan Cisitu ………. 44

17 Populasi ternak sapi potong berdasarkan struktur umur dan jenis kelamin fase reproduksi di Kecamatan Cisitu ……….…………... 47

18 Karakteristik reproduksi sapi potong ……….. 46

19 Rata-rata bobot sapi potong berdasarkan umur da n jenis kelamin ……….… 47

20 Kapasitas peningkatan ternak ruminansia pada tiap kecamatan di Kabupaten Sumedang ... 49

21 Proyeksi pengembangan sapi potong pola digembalakan ……….. 65

22 Koefisien teknis proyeksi pengembangan pola digembalakan ... 66

(17)

iv

25 Pola tanam dan ketersediaan limbah pertanian sebagai hijauan pakan

(18)

v

Halaman

1 Diagram alir penelitian ……… 5

2 Bagan alir sistem produksi sapi potong menurut Leave (1989) ... 11

3 Konsep pengembangan sistem produksi ternak (Wilson 1998)... 15

4 Sistem agribisnis (Saragih 1998)……….. 17

5 Sistem usaha tani berkelanjutan (Devendra da n Chantalakhana 1992) …… 18

6 Grafik Jumlah curah hujan selama tahun 2009 (BPS 2010) ... 31

7 Grafik peruba han luas lahan garapan da n hutan (ha) ... 35

8 Pola tanam tumpangsari……… 73

9 Hijauan pakan yang berasal dari hutan, seperti cebreng, kaliandra………… 74

(19)

vi

Halaman

1 Peta Kabupaten Sumedang ...………… 89 2 Komposisi hijauan pakan ………. 90 3 Rumusan strategi pengembangan sapi potong pola digembalakan …. 91 4 Rumusan strategi pengembangan sapi potong pola dikandangkan... 92 5 Daftar kuisioner peternak ……….. 93 6 Analisis ekonomi proyeksi pengembangan sapi potong

pola digembalakan ………..………. 101 7 Analisis ekonomi proyeksi pengembangan sapi potong

(20)

Latar belakang

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya manusia dan alam yang sangat potensial dalam menunjang pembangunan ekonomi serta mempunyai faktor daya saing komparatif yang sangat kuat. Salah satu subsektor yang dijadikan program unggulan pemerintah adalah peternakan. Subsektor peternakan mempunyai potensi dan pe luang ya ng cukup besar untuk dikembangkan karena didukung oleh kondisi agroklimat yang cocok untuk berbagai komoditas ternak, sumber daya manusia, tersedianya sarana dan prasarana penunjang yang tersebar hamper di setiap kabupaten/kota, adanya lembaga pendukung seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, perbankan, organisasi profesi, dan perusahaan peternakan, serta potensi pasar yang besar termasuk di dalamnya adalah peluang ekspor bagi komoditas peternakan.

Kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dikaitkan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah adalah mengembangkan daerah-daerah berpotensi sebagai sentra produksi sapi potong. Beberapa daerah yang berpotensi dengan persentase populasi sapi potong dari urutan tertinggi adalah Kabupaten Ciamis (11.33%), Tasikmalaya (10.24%), Sumedang (9.06%), Cianj ur (8.93%), Subang (6.46%), Purwakarta (6.38%). (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2010). Data pop ulasi tersebut mencakup usaha pe ternaka n rakyat da n perusahaan yang bergerak di bidang usaha pembibitan (breeding), pembesaran (rearing), dan penggemukan (feedlot). Sebaran lokasi yang jauh dari konsumen umumnya berorientasi pada kegiatan perbibitan dan pembesaran. Hal ini terutama didukung oleh kondisi ketersediaan sumber daya alam sebagai sarana produksi yang menyebabkan rendahnya biaya produksi. Sedangkan di wilayah-wilayah yang mendekati pusat pasar (konsumen), seperti Kabupaten Bandung, Sumedang, Purwakarta, Bekasi, dan Kabupaten Bogor, usaha peternakan sapi potong berkembang ke arah usaha penggemukan (feedlot).

(21)

potong pada tahun 2010 sebesar 32 577 ekor yang terdiri dari 11 275 ekor jantan dan 18 305 ekor betina dan tersebar pada sekitar 14 125 Rumah Tangga Peternak (RTP). Potensi pengembangan ternak ruminansia efektif sebesar 114 000 Satuan Ternak (ST) dan kebiasaan masyarakat secara turun menurun memelihara ternak sapi merupakan kekuatan yang besar untuk pengembangan ternak sapi potong di daerah ini. Agribisnis sapi potong merupakan prioritas dalam mengembangkan komoditas unggulan setelah tanaman pangan (Wiyatna 2008).

Pada tingkat peternak, ciri-ciri sistem pemeliharaan sapi potong yang masih tradisional, bersifat usaha sambilan, jumlah kepemilikan rendah, dan pemberian pakan seadanya tanpa memperhatikan kebutuhan ternak merupakan faktor- faktor yang turut menghambat perkembangan sapi potong di Kabupaten Sumedang. Disamping itu tingkat pengetahuan dan keterampilan peternak dalam manajemen pemeliharaan sapi potong yang renda h juga merupakan penghambat dalam penerapan teknologi usaha pengembangan sapi potong di daerah ini.

Pemeliharaan sapi-sapi betina induk dianggap peternak kurang menguntungkan karena jangka waktu yang cukup lama unt uk mendapatka n hasil usaha yaitu anak sapi yang dihasilka n. Kegagalan reprod uks i yang sering terjadi akan merugikan peternak dengan bertambahnya jarak beranak (calving interval), sedangkan peternak membutuhkan biaya rutin untuk pemeliharaan sapi tersebut. Pada akhirnya sering terjadi penjualan ternak sapi pinjaman oleh peternak dengan alasan kebutuhan yang mendesak. Dengan demikian pemerintah perlu mengkaji kembali paket bantuan ternak sehingga ternak sapi tersebut tidak menjadi tambahan beban keluarga, bahkan sebaliknya dapat menunjang pemenuhan kebutuhan peternak.

(22)

konsumsi pakan dan lebih jauh menyebabkan produktivitas ternak menjadi rendah (Sudaryanto 2006).

Kajian penelitian terhadap potensi dan strategi yang dapat memperbaiki kondisi peternaka n di Kabupaten Sumedang masih terbatas, sehingga kerjasama pihak perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam pengembangan potensi peternakan ini sangat diharapkan terwujud. Harapan kerjasama tersebut dapat meningkatkan pendapatan peternak dan pemerintah setempat.

Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan mendasar yang dapat dirumuskan dan dinilai menentukan terhadap perkembangan sapi potong di Kabupaten Sumedang, antara lain :

1) Pengetahuan dan keterampilan peternak dalam manajemen usaha sapi potong masih rendah.

2) Peternak mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan hijauan secara cukup sepanjang tahun, terutama pada saat musim kemarau.

3) Kelembagaan di tingkat petani ternak belum berkembang kearah usaha yang professional yang dapat meningkatkan pendapatan usaha peternakan.

4) Penelitian mengenai potensi wilayah Kabupaten Sumedang masih terbatas, termasuk kurangnya penerapan teknologi aplikasi dalam kegiatan budidaya ternak sapi potong.

Tujuan Penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini bertujuan :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis po tensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Sumedang. 2. Mempelajari sistem produksi berdasarkan pola pemeliharaan sapi potong di

(23)

3. Membuat proyeksi pengembangan sapi potong dalam kurun waktu lima

tahun kedepan dengan menggunakan asumsi-asumsi koe fisien teknis. 4. Merancang model usaha peternakan sapi potong berbasis sumber daya loka l

dan pendekatan agribisnis di Kabupaten Sumedang.

Kerangka Pe mikiran

Dalam merencanakan pengembangan ternak di suatu daerah, kondisi yang terlebih dahulu perlu dianalisis adalah potensi sumber daya yang tersedia, yang mencakup ketersediaan lahan da n paka n, tenaga ke rja, dan pot ensi ternak yang akan dikembangkan. Sistem produksi ternak merupakan suatu tranformasi dari input yang tersedia menjadi output. Untuk dapat mengembangkan sistem produksi secara efisien diperlukan suatu keahlian manajemen dalam menekan resiko yang merugikan unt uk mencapa i tujuan. Identifikasi potensi dan sumber daya yang tersedia dengan cara menganalisis semua faktor yang berkaitan dengan usaha sapi potong yang menyangkut kelemahan, kekuatan, peluang dan ancaman pada suatu daerah perlu dilakukan untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi po tong sesuai de ngan kebut uhan masyaraka t.

Beberapa pola yang dapat diterapkan sebagai alternatif solusi adalah (1) Menyertakan pola usaha penggemukan dalam paket pemberian bantuan ternak sapi potong, (2) Pemerintah memfasilitasi penyediaan pakan hijauan da n konsentrat yang diperlukan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan, (3) Menyertakan sistem pengelolaan limbah ternak yang dapat memberikan manfaat langsung mengurangi permasalahan peternak misalnya menjadi sumber energi (biogas) da n pupuk or ganik yang dibutuhkan dalam kegiatan tanaman pangan. (Sutanto 2002).

(24)

yang ada di tingkat petani. Di samping itu berbagai pola dan penerapan usaha yang saat ini dilakukan peternak akan dipelajari dan merupakan data pendukung dalam mengembangkan model yang tepat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapka n dapat menjadi :

1. Sumber informasi bagi pemangku kebijakan dalam program pengembangan sapi potong di Kabupaten Sumedang pada daerah lain yang memiliki karakteristik hampir sama.

2. Teknologi yang diintroduksi dalam peternakan sapi potong tersebut dapat diterapkan oleh peternak dan dirasakan manfaatnya secara berkelanjutan. 3. Penerapan model usaha sapi potong di tingkat peternak dapat meningkatkan

produktivitas ternak dan pendapatan peternak.

Metode dan pendekatan yang dilakukan adalah melalui beberapa tahapan berbasis input, proses, dan luaran sebagaimana yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir penelitian Pengembangan usaha

sapi potong

•Identifikasi potensi saat ini

•Ketersediaan sumber daya dan permasalahan

Strategi pengembangan perumusan model

•Meningkatnya produktivitas ternak •Meningkatnya pendapatan peternak

(25)
(26)

Perkembanga n Sapi Potong di Indonesia

Sapi potong merupakan penyuplai terbesar daging dari ternak jenis ruminansia bagi masyarakat Indonesia. Secara proporsional 69 % daging ternak ruminansia dihasilkan oleh sapi, kemudian domba 12 %, kambing 11%, dan kerbau 8 persen (Ditjen Peternakan 2010). Data pop ulasi ternak sapi di Indonesia dalam sembilan tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabe l 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

No Tahun Populasi

(ekor)

Perubahan populasi (%)

1 2002 11 297 625

2 2003 10 504 128 -7.02

3 2004 10 532 889 0.27

4 2005 10 569 312 0.35

5 2006 10 875 125 2.89

6 2007 11 514 871 5.88

7 2008 12 256 604 6.44

8 2009 12 760 000 4.10

9 2010 13 358 000 6.44

Rataan 2.42

Sumber : Ditjen Peternakan (2010)

Upa ya untuk memenuhi kebutuhan daging, dilakukan impor sapi potong pada tahun 2008, impor sapi bakalan mencapai 570 000 ekor, sapi bibit 1 300 ekor, dan daging 45 708.5 ton (Ditjen Peternakan 2009). Salah satu penyebab menurunnya populasi ternak adalah menurunnya daya dukung lahan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sehingga ketersediaan pakan terbatas (Haryanto 2004). Disamping faktor pakan, manajemen reproduksi yang belum efisien da n jumlah pe motongan yang tidak terkontrol juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penurunan kuantitas dan kualitas sapi potong yang ada (Tawaf dan Kuswaryan 2006).

(27)

Swa-Sembada Daging, mengacu kepada salah satu program Departemen Pertanian yaitu Program Ketahanan Pangan. Dalam PKD 2010, diharapkan produksi dalam negeri mampu memberikan konrtribusi kecukupan daging sebesar 90-95 persen dan sisanya 5-10 persen dari impor (Tawaf dan Kuswaryan 2006). Pada tahun 2005 pemerintah telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang melibatkan unsur- unsur pe merintah, dunia usaha, perguruan tinggi, professional, LSM, dan masyarakat untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan, (2) menciptakan kesempatan usaha dan kerja baru, (3) membangun ketahanan pangan dan kebutuhan pokok lain, (4) meningkatkan daya saing, (5) melestarikan lingkungan, dan (6) membangun daerah (Krisnamurti 2006).

Pemerintah menetapkan program Percepatan Pencapaian Swa-Sembada Daging Sapi 2010, melalui tujuh langkah operasional yakni ; (1) optimalisasi akseptor dan kelahiran melalui Inseminasi buatan (IB) dan kawin alam; (2) pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif; (3) perbaikan mutu dan penyediaan bibit; (4) penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan; (5) intensifikasi kawin alam; (6) pengembangan pakan local, serta (7) pengembangan SDM dan Kelembagaan. Pelaksanaan P2SDS difokuskan di 18 provinsi yang dikelompokkan dalam tiga daerah prioritas berdasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola budidaya, dan pasar) yaitu : (1) daerah prioritas IB yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali; (2) daerah campuran IB dan kawin alam yaitu Propinsi NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Gorontalo; (3) daerah prioritas Kawin Alam yaitu propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengggara. Program-program pada intinya bertujuan meningkatkan produksi daging dalam negeri untuk mengatasi kesenjangan antara demand da n suplai (Tawaf dan Kuswaryan 2006).

(28)

Tabe l 2 Perkembangan populasi sapi potong di Jawa Barat tahun 2004-2008

No Tahun Populasi

Sumber : Diolah dari Dinas Peternakan Jawa Barat 2010

Penyebabnya antara lain adalah jumlah sapi potong yang masuk sebagai bibit cukup tinggi dan pada kondisi lain pemotongan sapi cenderung mengalami penuruna n yaitu rata-rata 0.009 persen per tahun (BPS 2009)

Sistem Produksi Usaha Sapi Potong

Sistem produksi sapi potong umumnya dikelompokkan menjadi dua po la berdasarkan pemeliharaan yaitu (1) pola pembibitan dan perbesaran dan (2) pola penggemukan. Sebagaian besar peternakan rakyat di Indonesia termasuk ke dalam kategori pola pembibitan dan perbesaran. Kedua pola peternakan rakyat ini umumnya menerapkan sistem pemeliharaan tradisional dengan memanfaatkan sumberdaya manusia dan pakan yang tersedia (Preston and Leng 1987).

Pemeliharaan ternak sapi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem usaha tani tradisional, sehingga ternak sapi merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani dan sekaligus sebagai tabungan yang dapat digunakan jika diperlukan, seseorang yang terlibat dalam aktivitas usaha ternak akan mendapat insentif sebagai ke untungan da ri usaha ternaknya de ngan cara : (1) memanfaatkan lahan yang tidak tergarap, (2) memanfaatkan hasil ikutan limbah pertanian yang tidak bernilai menjadi lebih bernilai (daging/kerja), (3) membantu kebutuhan protein hewani keluarga, (4) memanfatkan ternak sebagai sumber tenaga kerja, dan (5) meningkatkan serta memperbaiki kesuburan tanah (Dasuki 1981).

(29)

efisiensi usaha (Dasuki 1981). Pengertian efisiensi yaitu kemampuan seseorang/ individu untuk melakuka n atau menghasilka n sesuatu tanpa pemborosan waktu, tenaga, biaya dan sebagainya (Arifin 1986).

Menurut laporan Wiyatna (2002), sebagian besar usaha peternakan sapi di Kabupaten Sumedang dilakukan secara tradisional, jumlah kepemilikan kecil (1-3 ekor), seba gai usaha sambilan sehingga kontribusi terhadap pendapatan yang berasal dari usaha tani relatif kecil. Apabila faktor- faktor pendukung efisiensi dipertimbangkan, usaha sapi potong di wilayah ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Santosa et al. (2000) melaporkan bahwa pendapatan usaha dari pemeliharaan sapi potong di wilayah Kabupaten Sumedang lebih besar dibandingkan Kabupaten Subang dan Ciamis. Dengan kepemilikan sekitar 1.7 ST sapi potong tiap keluarga peternak dapat menghasilkan penerimaan bersih sebesar Rp 599 223.26/ST/tahun. Hal ini disebabkan besarnya ketersediaan hijauan sehingga dapat menekan biaya pakan dan tenaga kerja. Dengan demikian usaha ternak sapi potong di Kabupaten Sumedang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan wilayah Utara (Kabupa ten Subang) da n wilayah selatan (Kabupaten Ciamis). Pendapatan tersebut akan lebih besar jika skala kepemilikan ternak dan manajemen usaha ditingkatkan sehingga efisiensi usaha lebih tinggi.

(30)

Gambar 2 Arah alir sistem produksi sapi potong menurut Leaver (1989)

Pada kondisi yang sama sistem produksi sapi potong juga dipengaruhi oleh sistem usaha tani lain, sehingga aloka si input produksi dipengaruhi oleh input usaha tani lain dan sebaliknya sistem usaha tani lain dipengaruhi sistem produksi sapi potong (Leaver 1989).

Produktivitas Sapi Potong

Ditinjau dari dinamika populasi, produktivitas ternak diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persen (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki 1998). Produktivitas ternak sapi dapat dinilai melalui dua indikator, pertama, performan produksi diantaranya

penampilan bobot hidup dan pertambahan bobot badan; kedua, performan

reproduksi diantaranya produksi anak (calf crop) dalam satu tahun. Calf crop

adalah angka yang menggambarkan jumlah anak lepas sapih yang diproduksi

dalam satu tahun terhadap jumlah induk dalam persen. Calf crop dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, presentase induk yang melahirkan dalam total

populasi induk, persentase kematian (mortalitas) pada saat anak belum

disapih, dan jarak beranak. Jarak kelahiran dipengaruhi oleh lama kebuntingan

dan jarak antara melahirkan dan perkawinan berikutnya (service period).

Sosial Lingkungan

Ekonomi

Sistem Produksi Sapi Potong

Sistem produksi usaha tani lain

(31)

Service period dipengaruhi oleh keterampilan peternak dalam mengawinkan ternak yang ditunjukan oleh besarnya angka service per conception dan waktu menyusui (Fraser 1979).

Karakteristik Produksi

Pertumbuhan seekor ternak diartikan sebagai pertambahan bobot tubuh per satuan waktu, meliputi perubahan ukuran otot daging, tulang, dan organ-organ internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan serta fisiologi lingkungan ternak (Soeparno 1998). Bobot hidup beberapa jenis sapi berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabe l 3 Bobot hidup Sapi Madura, Sapi Bali, dan sapi PO/SO menurut umur

Bobot hidup umumnya digunakan sebagai indikator pertumbuhan seekor ternak. Bobot hidup sapi-sapi lokal menurut jenis kelamin pada berbagai tingkat umur dari beberapa laporan penelitian disajikan pada Tabel 3.

(32)

Karakteristik Reproduksi.

Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama mengenai jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu; (1) lama bunting yang panjang, (2) panjangnya interval dari lahir sampai estrus pertama, (3) tingkat konsepsi rendah, (4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi (Toelihere 1983). Perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak bias dipengaruhi oleh keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak, 95% dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Karakteristik reproduksi sapi-sapi lokal di Indonesia yang dilaporkan beberapa peneliti dapat dilihat pada Tabe l 4.

Tabe l 4 Karakteristik reproduksi sapi-sapi lokal di Indonesia

Uraian Madura Bali PO/SO

Fertilitas + +++ ++

Umur pubertas (bln) 24-30 18-24 20-24

Umur beranak pertama, (th) 3 – 4 2.3 3.4

S/C 1.7 – 2 1.2 – 1.8 1.3

Lama kebuntinga n (hari) 270 270 – 300 289

Jarak beranak (hari) 420 330-550 526

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (1977).

Kendala dan Peluang Penge mbanga n Sapi Potong

(33)

ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah dan bagi peternak yang memelihara (Santosa 1997). Disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan peternakan antara lain: infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat da n daerah. (Saragih 2001).

Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji 1995). Sudrajat (2003) menyatakan bahwa beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : (1) Penyempitan lahan pangonan, (2) Kualitas sumberdaya manusia rendah, (3) produktivitas ternak rendah, (4) Akses ke pemodal sulit, (5) Koordinasi lintas sektoral belum kondusif, dan (5) Penggunaan teknologi masih rendah.

Strategi Penge mbanga n Sapi Potong

Sejak dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus menyesuaikan de ngan rencana pe nataan ruang, seba gai suatu strategi nasional dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nasional dan berkelanj utan.

(34)

Program perencanaan pengembangan ternak pada suatu daerah, perlu dianalisis po tensi sumberda ya yang tersedia, yang mencakup ke tersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Sistem produksi ternak merupakan suatu tranformasi dari input yang tersedia menjadi out put. Untuk dapat mengembangkan sistem produksi secara efisien diperlukan suatu keahlian manajemen dalam menekan resiko yang merugikan untuk mencapai tujuan. Identifikasi potensi dan sumberdaya yang tersedia dengan cara menganalisis semua faktor yang berkaitan dengan usaha sapi potong yang menyangkut kelemahan, kekuatan, peluang dan tantangan pada suatu daerah perlu dilakukan untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong sesuai de ngan kebut uhan masyaraka t (Wahyono dan Hardianto 2004).

Sumber input : •Lahan

•Iklim

•Tenaga Kerja •Modal

TRANSFORMASI • Keahlian manajamen

o Kerugian o Rekording o Intervensi o Tujuan pe ternak

• Stabilitas & keberlanjutan

Standar Produksi

Output

(35)

Tujuan pengembangan peternakan sapi potong antara lain (1) meningkatkan kesejahteraan peternak, (2) meningkatkan produksi ternak, (3) meningkatkan kecernaan bahan pakan (kualitas pakan), (4) membangun sistem agribisnis peternakan, dan (5) mengembangkan penggunaan sumber daya lokal tersedia (local resources). Unt uk mencapa i tujuan tersebut diperluka n suatu strategi yang didasarkan pada informasi tentang potensi pengembangan usaha sapi potong pada wilayah tersebut. Pada umumnya ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi- instansi terkait, (3) Pendekatan agribisnis de ngan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran (Gurnadi 1998).

Agribis nis dan Farming System

Konsep Agribisnis yang dikemukakan oleh Davis dan Golberg (1957) telah dikenalkan di Thailand, Malaysia dan Filipina sekitar tahun 1960-an. Di Indonesia, agribisnis baru diperkenalkan pada tahun 1984, kemudian mulai populer sekitar tahun 1990-an.

(36)

Setiap sub sistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke depan dan belakang. Agribisis memerlukan lembaga penunjang seperti keuangan, pertahanan, penelitian, pendidikan dan sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut (pendidikan dan latihan) mempersiapkan tenaga profesional bagi pelaku agribisnis, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga keuangan akan mendukung kelancaran kegiatan agribisnis didalam memberikan fasilitas kredit (Gambar 4).

Pada suatu kawasan lahan atau daerah, manuasia sebagai subyek pembangunan memegang posisi sentral, bagi eksistensi tanaman dan ternak serta unsur ekosistem lainnya. Manusia yang memegang peranan sentral tersebut harus mampu mengambil keputusan untuk mempertahankan kesinambungan kehidupan, dengan mengambil manfaat dari hubungan antara tanaman dengan ternak yang hidup dalam kawasan tersebut. Hubungan keterkaitan antara tanaman dengan ternak akan menjadi lebih penting lagi dimana kondisi penguasaan lahan pertanian yang sempit seperti yang terjadi di Indonesia. Dalam membangun pertanian skala kecil yang berkelanjutan, ternak memegang peranan penting. Hubungan antara komponen dalam suatu ekosistem pertanian serta tujuan pemanfaatannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Dua fakor utama dalam membangun perbaikan usaha tani ternak skala kecil adalah melalui peningkatan suplai pakan serta kualitas bibit ternak yang baik.

SSI 1 Pengadaan dan penyaluran produksi

SSI 2 Produksi primer

SSI 3 Pengolahan

SSI 4 Pe masaran

Le mbaga Penunjang Agribisnis (Keuangan, Pertanahan, Penelitian)

(37)

Dalam ko ndisi dimana lahan pa ngonan yang sangat terbatas, jalan yang terbuka untuk memperbaiki produktivitas ternak adalah ternak diproduksi dengan cara penggemukan atau dengan cara terkurung (stall feeding), dimana rumput diberikan secara cut and carry (Devendra da n Chantalakhana 1992).

Pada sistem ini kekuranga n ketersediaan pakan yang berasal dari limbah pertanian perlu ditingkatkan sehingga tidak tergantung pada biji-bijian sebagai sumber pangan manusia. Dibutuhkan suatu pola yang jelas antara ketersediaan rumput, leguminosa, jerami padi serta limbah pertanian lainnya sehingga suplai pakan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pola suplai pakan ini tentu akan sangat terka it de ngan fluktuasi curah huj an yang terjadi pada masing-masing daerah (Preston and Leng 1987).

AGRO-EKOS IS TEM

Gambar 5 Sistem usaha tani berkelanjutan (Devendra dan Chantalakhana 1992)

Penge lolaa n Limbah

(38)

rumah tangga tersebut akan menjadi masalah dan menimbulkan polusi lingkungan jika tidak ditangani dengan serius. Begitu pula dengan kegiatan usaha peternakan sering dikecam sebagai penyebab polusi bagi lingkungan terutama di daerah sekitar usaha peternakan (Wiyatna 2007).

Limbah ternak masih menga ndung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan telah dilaporkan bahwa kotoran (manure) sapi dengan bobot badan total 5000 kg dapat mencemari air sebanyak 9.084 x 107 m3

Menurut Wahyono da n Hardianto (2004) dalam merencanakan pengembangan ternak di suatu daerah, perlu dianalisis potensi sumberdaya yang tersedia, yang mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Sistem produksi ternak merupakan suatu tranformasi dari input yang tersedia menjadi output. Untuk dapat mengembangkan sistem produksi secara efisien diperlukan suatu keahlian manajemen da lam meneka n resiko yang merugi ka n untuk mencapai tujuan.

. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingk ungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembangbiaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86% merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-95 % merupakan media optimal untuk bertelur lalat (Dyer 1986).

Limbah peternakan ini akan memberikan manfaat bagi lingkungan dan manusia jika dikelola dengan baik. Limbah padat dan cair dari kegiatan peternakan dapat dimanfaatkan diantaranya menjadi pupuk organik da n gas methan alternatif sumber energi. Tingginya harga pupuk anorganik seperti urea atau TSP da n tingginya kebutuhan terhadap pupuk bagi kegiatan pertanian merupakan suatu peluang yang cukup menjanjikan. Disamping itu banyaknya kegiatan usaha peternakan dan tingginya populasi ternak merupakan kekuatan bagi upa ya pe manfaatan limbah peternaka n yang diuba h menjadi sesuatu yang bermanfaat bukan menjadi masalah bagi manusia (Wiyatna 2007).

(39)

Identifikasi potensi dan sumberdaya yang tersedia dengan cara menganalisis semua faktor yang berkaitan dengan usaha sapi potong yang menyangkut kelemahan, kekuatan, peluang dan tantangan pada suatu daerah perlu dilakukan untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk menghitung daya tampung lahan menggunakan rumus perhitungan KPPTR, merujuk pada metode Nell dan Rollinson (1974). Persamaan yang digunakan adalah :

PMSL = a LG + b PR + c H

PM (SL) = Potensi maksimum wilayah untuk ternak ruminansia (ST) berdasarkan sumberdaya lahan padang rumput (PR), lahan garapan (LG), pekarangan da n hutan (H)

a* = koefisien da ya tampung lahan penggembalaan PR = luas penggembalaan (ha)

b * = koefisien da ya tampung lahan garapa n LG = Luas garapa n tanaman pa ngan (ha)

c * = koefisien daya tampung lahan pekarangan dan hutan H = luas areal pekarangan da n hutan (ha)

Model Penge mbanga n Sapi Potong

Pendekatan sistem

(40)

perencanaan yang tepat dengan memperhatikan aspek internal maupun eksternal (Grady 2006) dalam Purnomo (2010).

Suatu kegiatan usaha didirikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berbagai faktor yang mempe ngaruhi. Berbagai faktor tersebut muncul disebabkan oleh berbagai kepentingan. Kepentingan yang berbeda sebagai akibat adanya banyak pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang teribat tersebut membentuk sebuah sistem. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan bagi para pihak yang terlibat secara optimal di dalam sistem tersebut, maka memerlukan suatu analisis sistem (Grady 2006) dalam

Menurut Eriyatno (1999), pada pendekatan sistem, tahap permodelan lebih kompleks namun relatif tidak banyak ragamnya ditinjau dari jenis sistem ataupun tingkat kecanggihan model. Permodelan abstrak menerima input berupa

Purnomo (2010).

Model

Model adalah abstraksi dari sebuah ob yek atau situasi aktual dan merupakan hasil penyederhanaan secara abstraks dari sebuah realitas. Proses penyede rhanaan diperlukan karena sebuah realitas yang sangat kompleks sulit untuk disalin secara pasti. Model dianggap lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji (Turban 1990; Eriyatno 1999).

Salah satu dasar utama dalam mengembangkan model adalah menemukan peubah-pe uba h yang pe nting dan tepa t. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat di antara peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar peubah dalam sebuah model (Turban 1990; Eriyatno 1999).

(41)

alternatif sistem yang layak. Proses ini membentuk dan mengimplementasikan mod el- mode l matematik yang dimanfaatkan untuk merancang program terpilih untuk dipraktekkan di dunia nyata pada tahap berikutnya. Output utama dari tahap ini adalah deskripsi terperinci dari keputusan yang diambil berupa perencanaan, pengendalian dan kebijakan lainnya. Tahap-tahap permodelan abstrak adalah sebagai berikut:

1) Tahap Seleksi Konsep. Tahap ini merupakan tahap awal yaitu melakukan seleksi alternatif konsepsi dari tahap evaluasi kelayakan. Seleksi dilakukan untuk menent uka n alternatif mana yang bermanfaat da n bernilai cukup untuk dilakukan permodelan abstraknya.

2) Tahap Rekayasa Model. Langkah awal dari permodelan adalah menetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Selanjutnya tugas tahap permodelan terpusat pada pembentukan model abstrak yang realistik.

3) Tahap Perumusan Model. Berdasarkan peubah-peubah terpenting hasil analisis terpilih sebagai peubah kunci dalam pengembangan model. Dalam tahap ini implementasi model matematik diwujudkan pada bentuk persamaan fungsi dari hubungan- hubungan dari beberapa peubah kunci. 4) Tahap Validasi. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model

tersebut dapat mewakili dari realitas yang dikaji dan dapat menghasilkan kesimpulan yang menyakinkan.

(42)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilakukan di Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat dari bulan Mei 2008 – April 2009. Pelaksanaannya dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pada bulan Mei – September 2008 untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan dan tenaga kerja pada setiap wilayah kecamatan pada musim kemarau. Tahap kedua dilakukan pada bulan Oktober – April 2009 untuk untuk menghitung potensi sumberdaya lahan dan tenaga kerja pada setiap wilayah kecamatan pada musim hujan, mengidentifikasi dan mendeskripsikan karakteristik wilayah pada lokasi penelitian berdasarkan kelompok dan pola pemeliharaan ternak yang berbeda. Berdasarkan karakteristik yang ada, dirancang mod el usaha sapi potong dengan pendekatan sistem dan pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal.

Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai dan observasi ke beberapa lokasi di kabupaten Sumedang, yaitu dari Kecamatan Ujungjaya dan Cisitu. Data yang dikumpulkan terdiri dari 1) data primer, yang diperoleh dari wawancara langsung terhadap peternak yang berpedoman pada daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan dan pengukuran terhadap variabel penelitian. (2) data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Dinas Peternakan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, Badan Pusat Statistik, Kantor Bapeda, Balai Penelitian Ternak, perguruan tinggi, monografi desa, monografi kecamatan, dan instansi terkait lainnya.

(43)

kelompok yang memelihara ternak secara dikandangkan dipilih dari kecamatan Cisitu.

2. Koefisien daya tampung lahan garapan, penggembalaan, dan hutan dihitung dengan cara mengambil cuplikan rumput/hijauan sampel dari beberapa wilayah meliputi dataran rendah (0-100 dpl), menengah (100-500 dpl) dan tinggi (>500), de ngan cara seba gai berikut:

- Ambil cuplikan hijauan/rumput dari luasan lahan satu meter persegi kemudian ditimbang beratnya

- Asumsikan jerami padi tersebut dipanen setiap enam bulan, maka berat sampel dikalikan dua untuk perhitungan satu tahun

- Hasil produksi permeter persegi

- Asumsikan konsumsi pakan ternak/ST/tahun sebesar X kg

per tahun dikalikan luasan 1 ha (10.000), sehingga dihasilkan produksi jerami padi/ha/tahun, selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan bahan kering (W)

- Maka koefisien da ya tampungnya adalah W/X denga n satuan ST/Ha

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam 2 tahap de ngan rincian sebagai berikut

1. Identifikasi : Sistem produksi ternak meliputi karakteristik produksi dan reproduksi, sistem pemasaran ternak, karakteristik peternak, potensi lahan/pakan, po la pemeliharaan

2. Perumusan model usaha sapi potong

Pada tahap kedua beberapa parameter yang diamati dan diukur terdiri dari: 1. Karakteristik peternak : terdiri atas : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan

(44)

2. Kelompok peternak : peran kelompok terhadap anggota, lembaga keuangan,

penyediaan sarana dan prasarana seperti pos keswan, penyuluhan, sarana transportasi dan pasar ternak.

3. Teknologi budidaya; penerapan teknologi dalam pembibitan/reproduksi pakan, tatalaksana pemeliharaan, dan pengendalian penyakit

4. Tatalaksana pemeliharaan sapi potong (bibit/reproduksi, pakan, tatalaksana pemeliharaan, pencegahan/pengobatan penyakit)

5. Produktivitas sapi potong (struktur populasi ternak, tingkat kelahiran, tingkat kematian anak, afkir induk/pejantan/dara)

6. Karakteristik usahatani (luas tanam, pola tanam, tenaga kerja, modal, sarana produksi yang digunakan, hasil yang diperoleh)

7. Kapasitas tampung masing- masing lahan garapan, penggembalaan, dan hutan dihitung dengan cara mengambil cuplikan produksi rumput dari masing-masing lahan tersebut dan dihitung menggunakan rumus KPPTR

8. Sistem pemasaran ternak; cara penjualan menggunakan bobot hidup atau ditaksir, ternak sapi dibawa oleh peternak ke pasar hewan atau dijual kepada tengkulak di kandang.

Analisis Data

1. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan ditabulasi dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

2. Untuk menghitung daya tampung lahan menggunakan rumus perhitungan KPPTR, merujuk pada metode Nell dan Rollinson (1974). Persamaan yang digunakan adalah :

PMSL = a LG + b PR + c LH

1. PM (SL) = Potensi maksimum berdasarkan sumberda ya lahan a* = koefisien daya tampung lahan penggembalaan PR = luas penggembalaan (ha)

(45)

c * = koefisien daya tampung lahan hutan

LH = luas areal hutan (ha)

2. KPPTR (SL) = PMSL - POPRIL Dimana :

KPTTR (SL) = KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan

POPRIL = Populasi riil ternak ruminansia tahun tersebut (ST) 3. KPPTRSK = d. KK- POPRIL

KPPTRSK =

4. KPPTR Efektif = KPPTR (SL), jika KPPTR(SL) < KPPTR (KK) Kapasitas peningkatan populasi ternak berdasarkan tenaga ke luarga

d * = jumlah satuan ternak yang dapat dipelihara satu keluarga petani

KK = Banyaknya kepala keluarga petani peternak

5. KPPTR Efektif = KPPTR (KK), jika KPPTR(KK) < KPPTR (SL)

KPPTR efektif ditetapkan sebagai kapasitas peningkatan populasi ternak rumina ns ia di suatu wilayah tertentu, yaitu KPPTR (SL) atau KPPTR (KK) yang mempunyai nilai lebih kecil atau dengan kata lain KPPTR yang berlaku sebagai kendala efektif (binding constraint).

KPPTR untuk kabupaten dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: n

KPPTR Ef, =

KPPTR Efi i = 1

i = 1,2,3,……..n

KPPTR Ef : KPPTR efektif untuk kabupaten KPPTR Efi : KPPTR efektif untuk kecamatan

(46)

4. Analisis faktor internal dan eksternal dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa matriks. Matrik ini berupa perpaduan antara faktor-faktor

strenghts (kekuatan), weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan

Threats (ancaman), sehingga tersusun berikut :

Fakor internal

Keterlibatan dan masukan dari peternak dan pihak terkait tetap diperlukan dalam tahap analisis ini, dan hasilnya akan disosialisasikan secara intensif pada semua stakeholder yang terlibat.

Hasil analisis dari data yang diperoleh dan SWOT digunakan untuk merumuskan model yang aplikatif melibatkan komponen-komponen utama dan potensial untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Sumedang. Perumusan model akan melibatkan semua stakeholder yang terkait seperti Pemda, LSM, Perguruan Tinggi, Pemodal (Bank, swasta), masyarakat peternak melalui diskusi kelompok dan seminar untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak terhadap rancangan model.

(47)

II Perumusan Model Usaha Sapi Potong

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahap I, dirumuskan model usaha sapi potong berbasis sumberdaya lokal yang berkelanjutan di Kabupaten Sumedang. Penentuan jumlah responden sebagai sampel, dilakukan dengan “Simple Random Sampling” yaitu sebesar 10-15 persen dari total peternak sapi yang ada dari setiap lokasi terpilih (Arikunto, 1989).

Terpilih 45 responden yang terdiri atas : 1. Kecamatan Ujungjaya, 25 reponden; 2, Kecamatan Situraja, 20 responden;

Kriteria responden yang diwawancara pada penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) pernah mengikuti program sapi bantuan pemerintah (2) memiliki sapi betina induk minimal dua ekor, (3) memiliki lahan usaha tani. Kriteria lainnya adalah sistem pemeliharaan dengan cara dikandangkan dan digembalakan, sudah melakukan kegiatan produksi sapi potong lebih dari satu tahun, da n pe rnah menjual ternak sapi yang diusahaka nnya. Disamping melakukan usaha ternak sapi potong, petani peternak tersebut juga melakukan kegiatan usaha tani tanaman pangan.

Analisis Model Usaha Ternak Sapi Potong

Analisis data bertujuan untuk memperkirakan/memperhitungkan besarnya efek kuantitatif dari pe ruba han suatu kejadian (Supranto 2001). Dalam analisis ini akan diketahui pe ngaruh pe ruba han kuantitatif input atau kombinasi inp ut yang paling mempengaruhi output. Untuk memperkirakan/meramal nilai dari variabel Y, maka akan diperhitungkan variabel- variabe l (X) lain ya ng turut mempengaruhi Y. Analisis yang digunakan untuk mengukur respons pengunaan sapi potong tersebut adalah sebagai berikut :

Fungsi produksi Cobb-Douglas dengan model :

(48)
(49)

Keadaan Umum Wilayah

Kabupaten Sumedang secara administratif memiliki luas wilayah 152 220 ha atau 1 522.2 km2, terdiri atas 26 kecamatan yang tersebar di selur uh wilayah Propinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak pada Garis Meridian 70 50’ Bujur Barat, 680 45’ Bujur Timur, 1023’ Lintang Selatan da n 1043’ Lintang Utara. Dengan topografi bervariasi dari dataran rendah, berbukit sampai pegunungan. Jarak ke kota propinsi sekitar 35 km dapat ditempuh dalam waktu 2 jam, sedangkan ke Ibu Kota Jakarta berjarak sekitar 200 km dan dapat ditempuh dalam waktu 4 jam. Wilayah Kabupaten Sumedang mempunyai bentuk topografi yang bervariasi mulai dari datar, berbukit sampai bergunung. Rincian luas wilayah berdasarkan ketinggian tempat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabe l 5 Luas wilayah Kabupaten Sumeda ng berdasarkan ketinggian tempat

No Kelompok Ketinggian Luas (Ha) Persentase (%)

1. 25 – 50 meter dpl 5 858.05 3.85 2. 51 – 75 meter dpl 5 673.54 3.73 3. 76 – 100 meter dpl 7 294.82 4.79 4. 101 – 500 meter dpl 66 564.55 43.73 5. 501 – 1001 meter dpl 49 364.21 32.43 6. > 1001 meter dpl 17 464.78 11.47

Jumlah 152 220.00 100.00

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang 2010

(50)

memiliki kandungan air cukup tinggi sehingga berpeluang menimbulkan gejala kembung perut (bloat).

Data curah hujan dan temperatur tahun 2009, sebagaimana di wilayah seluruh Indo nesia, Kabupaten Sumedang memiliki dua musim yaitu musim hujan (Oktober-Juni) dengan curah hujan 998-6500 mm/tahun dan musim kemarau (Juli-September) dengan curah hujan 286-1300 mm/tahun. Temperatur udara berkisar antara 16oC sampai dengan 30oC, atau rata-rata 23o

Gambar 6 Jumlah curah hujan selama Tahun 2009 (BPS 2010)

C, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 60%- 80% atau rata-rata 70% (BPS Kabupaten Sumedang 2010). Kondisi tersebut sangat cocok untuk penyediaan tanaman pakan ternak secara cukup da n berke lanjutan.

Gambar 6 menunjuka n ba hwa curah hujan tertinggi bulan Nopember – Mei, dan pada saat tersebut peluang untuk penyediaan pakan ternak menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Untuk mengant isipasi saat curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni–Oktober. Pada saat tersebut biasanya hijauan sumber pakan dan limbah pertanian sulit diperoleh karena kondisi tanah umumnya mengering dan hijauan mati, kecuali pada beberapa daerah dimana masih terdapat aliran sungai atau dekat dengan sumber air sehingga hijauan masih tumbuh.

Kondisi curah hujan ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan pakan terutama hijauan dan limbah pertanian, dimana pada saat musim penghujan

(51)

ketersediaan pakan cukup melimpah, sedangkan pada saat musim kemarau sebagian besar lahan pertanian kering sehingga produksi limbah pertanian akan berkurang. Ketersediaan pakan yang terbatas pada bulan kering sangat berpengaruh terhadap pengembangan usaha ternak. Populasi ternak akan berkurang dan petani akan menyesuaikan jumlah ternak yang dipelihara dengan ketersediaan hijauan yang ada, sebagai langkah antisipasi terhadap kekurangan pakan.

Populasi penduduk di Kabupaten Sumedang pada tahun 2010 adalah 1 150 187 j iwa terdiri atas 575 698 orang pria dan 574 489 wanita dengan tingkat kepadatan 755.61 jiwa/km2

No

, dengan tingkat angkatan kerja cukup tinggi.

Tabe l 6 Kompo sisi penduduk be rdasarka n kelompok umur Kelompok Umur

Sumber : BPS Kabupaten Sumedang (2010)

Jumlah pe nduduk berusia produktif di Kabupaten Sumedang menduduki persentase tertinggi yaitu 62.52 %. Sebagian besar bekerja pada sector pertanian, yaitu sebesar 45.35% (332 499 orang), pegawai/karyawan 32.16% (235 792 orang), dan profesi lainnya lainnya sebesar 22.49%. Keberhasilan suatu usaha peternakan diantaranya dipengaruhi oleh umur peternak, tingkat pendidikan, dan pengalaman beternak. Sebagian peternak responden berumur 15-55 tahun, sisanya 11.09% berumur 55 tahun. Umur produktif petani merupakan salah satu faktor penting dalam usaha budidaya ternak potong karena membutuhkan fisik yang kuat dan sehat.

(52)

Sistem Pengg unaa n Lahan

Berdasarkan tataguna lahan, luas dan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang: sawah 33 672 ha (22.48%) dan darat 118 548 ha (77.52%). Luas dan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang disajikan pada Tabel 7.

Tabe l 7 Luas da n jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang

Jenis Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

Sawah 33 277 22.48

Sumber : BPS Kabupaten Sumedang 2010

Berdasarkan tataguna lahan tersebut pada Table 7, Kabupaten Sumedang sangat berpeluang menghasilkan hijauan makanan ternak dan limbah pertanian sebagai lahan yang dapat menyediakan pakan ternak. Seperti hutan Negara yang proporsinya mencapai 28.72% masih belum termanfaatkan hijauannya terutama dibawah tegakan tanaman keras. Sampai saat ini belum ada kerjasama antara Perhutani dengan Dinas Peternakan dalam pengelolaan potensi hijauan di lahan perkebunan atau hutan.

(53)

Data pada Gambar 7 menunjukkan bahwa produksi hijauan pada musim kemarau hanya sekitar 35-40 persen dari produksi hijauan saat musim penghujan. Dengan demikian memerlukan strategi dalam manajemen pengelolaan ternak saat musim hujan dan musim kemarau, serta manajemen pengelolaan sumber daya lahan pada saat musim penghujan dan pengawetan hijauan, serta melakukan perencanaan penanaman tanaman yang dapat berkontribusi dalam penyediaan hijauan pakan pada saat musim kemarau. Faktor lain yang menjadi pe nyebab menurunnya ketersediaan pakan adalah pergeseran lahan- lahan garapa n pe nghasil limbah pertanian. Pergeseran penggunaan lahan yang menjadi sumber produksi hijauan diantaranya sawah mengalami penurunan luas rata-rata sebesar 1.77 ha setiap tahunnya, akibatnya produksi jerami padi yang merupakan limbah pertanian menjadi berkurang sementara kebutuhan sebagai pakan ternak terutama pada musim kemarau cukup tinggi.

Penurunan produksi lahan dalam hal hijauan pakan ternak dari padang rumput dan pangonan sebesar rata-rata 0.76 ha/tahun, sangat berdampak pada budidaya sapi potong pola penggembalaan. Tabel 8 menunjukkan bahwa dalam jangka panjang tanpa upaya perbaikan akan mempercepat degradasi lahan dan penurunan produktivitas sapi potong.

160.589 ST

57.770 ST

-20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 180.000

Hujan Kemarau

Musim

(54)

Tabe l 8 Penggunaan lahan di Kabupaten Sumeda ng Tahun (2005-2009)

Sumber : Hasil pengolahan data (2010)

Pergeseran fungsi lahan garapa n menjadi pe mukiman dan fungs i lain telah mengurangi ketersediaan pakan ternak ruminansia. Dalam kurun lima tahun terakhir total lahan garapan (sawah, ladang dan pekarangan) berkurang 23.41 % atau sekitar 4.7 % per tahun. Sehingga terjadi penurunan ketersediaan hijauan dan limbah sebagai sumber pakan ternak (Tabel 8; Gambar 8).

Kondisi ini mendorong peternak untuk berupaya menanam jenis rumput dan sumber hijauan tersedia dalam rangka memenuhi kebutuhan pakan ternak. Sebagaimana pernyataan Preston and Leng (1987), dibutuhkan suatu pola yang jelas antara ketersediaan rumput, leguminosa, jerami padi serta limbah pertanian lainnya sehingga suplai pakan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pola suplai ini sangat terkait dengan fluktuasi curah hujan di daerah tersebut.

(55)

POTENSI SUMBER DAYA PETERNAKAN

Peternakan Secara Umum

Jenis ternak ruminansia yang ada di Kabupaten Sumedang antara lain sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, domba, dan kambing, dengan jumlah populasi pada Tahun 2010 disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabe l 9 Jumlah populasi ternak ruminansia di Kabupaten Sumedang

Jenis ternak Jumlah (ST)

Sapi potong 22 594

Sapi perah 7 871

Kerbau 3 834

Kambing 2 388

Domba 10 231

Kuda 306

Jumlah 47 224

Sumber: Sub Dinas Peternakan Kabupaten Sumedang (2010).

Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pop ulasi sapi potong menempati urutan tertinggi diikuti ternak domba yang menjadi andalan petani. Kondisi tersebut menjadikan Kabupaten Sumedang menempati posisi wilayah Kabupaten ketiga tertinggi se-Jawa Barat dalam jumlah pop ulasi sapi potong. Ternak sapi merupakan asset bagi petani sekaligus tabungan dan dijual bila ada kebutuhan ke luarga yang mendesak.

Ternak Sapi Potong

Populasi ternak sapi yang ada di Kabupaten Sumedang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kelahiran, kematian, pemotongan, pemasukan ternak dari luar ke dalam suatu daerah. Data perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Sumedang dari tahun 1999 – 2008 disajikan pada Tabel 10.

(56)

Tabe l 10 Populasi sapi potong berdasarkan jenis kelamin di Kabupa ten Sumedang tahun 2000-2009

Tahun Jumlah Sapi Potong (ekor)

Jantan Betina Jumlah

Sumber : Sub Dinas Peternakan Kabupaten Sumedang 2010.

Faktor penyebab adanya perubahan struktur populasi sapi potong yang dipelihara peternak adalah perubahan pandangan petani peternak terhadap sistem produksi sapi potong. Sebelumnya petani peternak lebih cenderung memelihara sapi betina dengan pertimbangan Di Samping dapat digunakan sebagai ternak kerja (membajak sawah), sapi betina pun akan menghasilkan anak yang suatu saat dapat dijual sebagai hasil tambahan dalam usaha pemeliharaan sapi potong. Di Samping itu sapi betina lebih jinak ketika digunakan untuk membajak sawah daripada sapi jantan.

Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pemikiran masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dari usahanya, petani peternak pemikirannya mulai bergeser untuk memilih sistem produksi yang lebih cepat dalam menikmati hasilnya, diantaranya kecenderungan untuk melakukan sistem penggemukan sapi atau pembesaran pedet sapi jantan. Jumlah petani peternak yang menerapk an po la pemeliharaan sapi potong bervariasi berdasarkan tujuan pemeliharaan (Tabe l 11).

(57)

Tabe l 11 Jumlah petani yang menerapkan sistem pemeliharaan sapi berdasarkan tuj uan usaha

Sistem Produksi Jumlah Persentase

Pembibitan 11 24.44

Penggemukan 25 55.56

Pembibitan dan penggemukan 6 13.33

Sama saja 3 6.67

Jumlah 45 100.00

Beberapa alasan petani memilih sistem pengemukan atau pembesaran pedet jantan adalah: 1) kebijakan pemerintah yang cenderung hanya menyebarkan ternak sapi betina untuk tujuan peningkatan populasi; 2) tidak sanggup memberikan pakan tambahan untuk menunjang pertumbuhan optimal dalam pemeliharaan jantan; 3) terbatasnya modal produksi untuk pengadaan pakan tamba han.

Prog ram Pe merintah dalam Penge mbanga n Sapi Potong

Pemerintah mengkondisikan kepada setiap wilayah peternakan khususnya sapi potong untuk berada dalam suatu kawasan. Model ini dinilai sangat efisien terutama dalam penanganan seperti pengawasan, pembinaan, dan kesehatan lingkungan. Di Kabupaten Sumedang saat ini terdapat 31 kawasan peternakan sapi potong yang tersebar di beberapa kecamatan. Setiap kawasan terdiri dari satu kelompok peternak atau lebih. Kelompok peternak yang berada dalam suatu kawasan mendapat prioritas pengembangan dari pemerintah, termasuk kesempatan mendapat bantuan pengadaan ternak pemerintah dengan pembinaannya. Secara informal, petani tergabung dalam kelompok tani yang bekerjasama menyelesaikan masalah peternakan melalui musyawarah.

(58)

perhutani ataupun menggunakan lahan lain yang masih belum optimal di sekitar kawasan peternakan.

Pemerintah Kabupaten Sumedang telah banyak melakukan berbagai upa ya unt uk pengembangan sapi potong di daerah antara lain; Program Sumba Kontrak, bantuan kr edit sapi potong melalui dana APBN da n APB, dan yang terakhir yaitu program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari Pemerintah Pusat, namun keberadaan sapi bantuan dan peternaknya tidak dapat dipertahankan karena manajemen pemberian bantuan kurang efektif. Program penanaman rumput unggul yang dilakukan di beberapa daerah dengan luasan yang cukup besar, keberadaannya tidak dapat dipertahankan karena kurangnya kerjasama antara peternak dengan instansi terkait dalam pemeliharaan kebun rumput tersebut.

Pola Pemeliharaa n Sapi Potong di Kabupaten Sume dang

Petani peternak di Kabupaten Sumedang umumnya (94.62%) memelihara ternak secara semi- tradisional baik dengan cara digembalakan maupun dikandangkan. Kedua pola ini sangat erat kaitannya dengan budaya dan karakteristik lahan yang tersedia, serta sumber pakan untuk ternak. Hasil identifikasi dan analisis masing- masing pola dijelaskan sebagai berikut.

Pola Dige mbalakan

Beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Sumedang seperti kecamatan Ujungjaya, Buahdua, Jatigede, Tomo, Surian merupakan wilayah kecamatan yang mempunyai lahan perkebunan da n hutan negara yang cukup luas. Luas hutan negara pada tahun 2009 mencapai 44 473 ha atau sekitar 22.21% dari total luas wilayah kabupaten Sumedang. Lahan ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya sebagai lahan pangonan ternak mereka terutama sapi potong atau kerbau.

Gambar

Gambar 2  Arah alir sistem produksi sapi potong menurut Leaver (1989)
Gambar 3  Konsep pengembangan sistem produksi ternak  (Wilson 1998)
Gambar 4 Sistem agribisnis (Saragih 1998)
Gambar 5  Sistem usaha tani berkelanjutan (Devendra dan Chantalakhana  1992)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaannya adalah pada program KKP bekerjasama dengan BANK untuk penyediaan ternak, sementara program Swadana memotivasi peternak untuk menyediakan ternak sendiri..

Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengalaman peternak dalam beternak yang lebih dari 10 tahun di mana peternak memiliki jumlah ternak sapi potong untuk masing-

Penanganan pakan dan limbah ternak oleh perusahaan yang dibentuk dan dikelola oleh tenaga professional akan meningkatkan kapasitas peternak dalam memelihara sapi

Saluran III (Peternak Petani, Blantik Desa, Pedagang Pengumpul, Pedagang Pemotong RPH, dan Konsumen). Berdasarkan hasil penelitian ini Disarankan peternak mengunakan

Sumberdaya lokal potensial yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia adalah pemanfaatan hasil samping budidaya tanaman pangan dan perkebunan.. Bahan-bahan

Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengalaman peternak dalam beternak yang lebih dari 10 tahun di mana peternak memiliki jumlah ternak sapi potong untuk masing-

Hal ini sanagat menunjang kebutahan pakan ternak yang dipelihara oleh peternak dan berpengaruh terhadap produktivitas ternak terutama sifat reproduksi ternak di lapangan yang harus

Tingkat pengetahuan peternak sebelum dan sesudah penyuluhan Parameter Sebelum Kegiatan Pengabdian % Setelah Kehiatan Pengabdian % Pakan ternak yang baik 36 94 Manajemen