• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI SUMBER DAYA PETERNAKAN Peternakan Secara Umum

METODE PENELITIAN

POTENSI SUMBER DAYA PETERNAKAN Peternakan Secara Umum

Jenis ternak ruminansia yang ada di Kabupaten Sumedang antara lain sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, domba, dan kambing, dengan jumlah populasi pada Tahun 2010 disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabe l 9 Jumlah populasi ternak ruminansia di Kabupaten Sumedang

Jenis ternak Jumlah (ST)

Sapi potong 22 594 Sapi perah 7 871 Kerbau 3 834 Kambing 2 388 Domba 10 231 Kuda 306 Jumlah 47 224

Sumber: Sub Dinas Peternakan Kabupaten Sumedang (2010).

Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pop ulasi sapi potong menempati urutan tertinggi diikuti ternak domba yang menjadi andalan petani. Kondisi tersebut menjadikan Kabupaten Sumedang menempati posisi wilayah Kabupaten ketiga tertinggi se-Jawa Barat dalam jumlah pop ulasi sapi potong. Ternak sapi merupakan asset bagi petani sekaligus tabungan dan dijual bila ada kebutuhan ke luarga yang mendesak.

Ternak Sapi Potong

Populasi ternak sapi yang ada di Kabupaten Sumedang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kelahiran, kematian, pemotongan, pemasukan ternak dari luar ke dalam suatu daerah. Data perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Sumedang dari tahun 1999 – 2008 disajikan pada Tabel 10.

Tingkat kelahiran dipengaruhi oleh jumlah induk yang dipelihara oleh masyarakat peternak. Komposisi induk jantan dan betina sapi potong mengalami perubahan yang cukup signi fika n, dimana sapi jantan berkembang meningkat sebesar 37. 77%, sedangkan sapi betina sebaliknya mengalami penurunan sebesar 23.22 %.

Tabe l 10 Populasi sapi potong berdasarkan jenis kelamin di Kabupa ten Sumedang tahun 2000-2009

Tahun Jumlah Sapi Potong (ekor)

Jantan Betina Jumlah

2000 8 362 20 594 28 956 2001 9 336 16 484 25 820 2002 10 772 16 568 27 340 2003 10 224 16 837 27 061 2004 10 404 16 942 27 346 2005 11 033 17 311 28 344 2006 11 313 18 527 29 840 2007 10 175 18 288 28 463 2008 11 275 18 305 29 580 2009 11 618 20 959 32 577

Sumber : Sub Dinas Peternakan Kabupaten Sumedang 2010.

Faktor penyebab adanya perubahan struktur populasi sapi potong yang dipelihara peternak adalah perubahan pandangan petani peternak terhadap sistem produksi sapi potong. Sebelumnya petani peternak lebih cenderung memelihara sapi betina dengan pertimbangan Di Samping dapat digunakan sebagai ternak kerja (membajak sawah), sapi betina pun akan menghasilkan anak yang suatu saat dapat dijual sebagai hasil tambahan dalam usaha pemeliharaan sapi potong. Di Samping itu sapi betina lebih jinak ketika digunakan untuk membajak sawah daripada sapi jantan.

Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pemikiran masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dari usahanya, petani peternak pemikirannya mulai bergeser untuk memilih sistem produksi yang lebih cepat dalam menikmati hasilnya, diantaranya kecenderungan untuk melakukan sistem penggemukan sapi atau pembesaran pedet sapi jantan. Jumlah petani peternak yang menerapk an po la pemeliharaan sapi potong bervariasi berdasarkan tujuan pemeliharaan (Tabe l 11).

Hasil ini memberikan gambaran bahwa sebagian besar petani peternak (55.56 %) memilih sistem penggemukan atau pembesaran sapi jantan dari pada tujuan menghasilkan anak (24.44%). Pemilihan usaha penggemukan tersebut ditunjang oleh beberapa alasan yakni : 1) hasilnya relatif cepat; 2) mudah dipelihara; 3) tingkat resiko kematian lebih rendah; 4) dapat direncanakan pemasaran pada saat harga jual tinggi (Idul Adha); 5) pertumbuhan ternak jantan lebih cepat.

Tabe l 11 Jumlah petani yang menerapkan sistem pemeliharaan sapi berdasarkan tuj uan usaha

Sistem Produksi Jumlah Persentase

Pembibitan 11 24.44

Penggemukan 25 55.56

Pembibitan dan penggemukan 6 13.33

Sama saja 3 6.67

Jumlah 45 100.00

Beberapa alasan petani memilih sistem pengemukan atau pembesaran pedet jantan adalah: 1) kebijakan pemerintah yang cenderung hanya menyebarkan ternak sapi betina untuk tujuan peningkatan populasi; 2) tidak sanggup memberikan pakan tambahan untuk menunjang pertumbuhan optimal dalam pemeliharaan jantan; 3) terbatasnya modal produksi untuk pengadaan pakan tamba han.

Prog ram Pe merintah dalam Penge mbanga n Sapi Potong

Pemerintah mengkondisikan kepada setiap wilayah peternakan khususnya sapi potong untuk berada dalam suatu kawasan. Model ini dinilai sangat efisien terutama dalam penanganan seperti pengawasan, pembinaan, dan kesehatan lingkungan. Di Kabupaten Sumedang saat ini terdapat 31 kawasan peternakan sapi potong yang tersebar di beberapa kecamatan. Setiap kawasan terdiri dari satu kelompok peternak atau lebih. Kelompok peternak yang berada dalam suatu kawasan mendapat prioritas pengembangan dari pemerintah, termasuk kesempatan mendapat bantuan pengadaan ternak pemerintah dengan pembinaannya. Secara informal, petani tergabung dalam kelompok tani yang bekerjasama menyelesaikan masalah peternakan melalui musyawarah.

Berdasarkan hasil evaluasi komponen usaha pada kawasan ini dapat disimpulkan bahwa kawasan peternakan sapi potong pola penggembalaan ini, sesuai tingkat pertumbuhannya termasuk kawasan baru dengan tipe kawasan sapi potong berbasis pada padang rumput atau lahan penggembalaan. Status lahan penggembalaan yang belum jelas sehingga dalam perencanaan pengembangannya pada pola produksi hijauan pakan ternak, baik dengan cara memanfaatkan lahan

perhutani ataupun menggunakan lahan lain yang masih belum optimal di sekitar kawasan peternakan.

Pemerintah Kabupaten Sumedang telah banyak melakukan berbagai upa ya unt uk pengembangan sapi potong di daerah antara lain; Program Sumba Kontrak, bantuan kr edit sapi potong melalui dana APBN da n APB, dan yang terakhir yaitu program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari Pemerintah Pusat, namun keberadaan sapi bantuan dan peternaknya tidak dapat dipertahankan karena manajemen pemberian bantuan kurang efektif. Program penanaman rumput unggul yang dilakukan di beberapa daerah dengan luasan yang cukup besar, keberadaannya tidak dapat dipertahankan karena kurangnya kerjasama antara peternak dengan instansi terkait dalam pemeliharaan kebun rumput tersebut.

Pola Pemeliharaa n Sapi Potong di Kabupaten Sume dang

Petani peternak di Kabupaten Sumedang umumnya (94.62%) memelihara ternak secara semi- tradisional baik dengan cara digembalakan maupun dikandangkan. Kedua pola ini sangat erat kaitannya dengan budaya dan karakteristik lahan yang tersedia, serta sumber pakan untuk ternak. Hasil identifikasi dan analisis masing- masing pola dijelaskan sebagai berikut.

Pola Dige mbalakan

Beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Sumedang seperti kecamatan Ujungjaya, Buahdua, Jatigede, Tomo, Surian merupakan wilayah kecamatan yang mempunyai lahan perkebunan da n hutan negara yang cukup luas. Luas hutan negara pada tahun 2009 mencapai 44 473 ha atau sekitar 22.21% dari total luas wilayah kabupaten Sumedang. Lahan ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya sebagai lahan pangonan ternak mereka terutama sapi potong atau kerbau.

Pola pemeliharaan sapi potong di wilayah hutan jati umumnya adalah digembalakan dengan tujuan pembibitan. Hutan jati merupakan lahan tempat mengembalakan sapi-sapi mereka. Untuk melihat lebih mendalam bagaimana keberadaan usaha sapi potong pada wilayah ini, maka diambil sampel dari satu

kecamatan yaitu kecamatan Ujungjaya sebagai wilayah yang mempunyai hutan jati paling luas dengan populasi sapi potongnya kedua terbesar setelah kecamatan Jatigede.

Karakteristik lokasi pola dige mbalakan

Kecamatan Ujungjaya mempunyai luas wilayah 89.77 km2

No

dengan jumlah penduduk sekitar 32 880 jiwa pada tahun 2010. Luas hutan jati 3 342 ha atau sekitar 37 .28% dari total luas wilayah, dengan kepadatan penduduk sekitar 366 jiwa/km2.

Tabe l 12 Karakteristik usaha peternakan pola digembalakan

Item Besaran

1 Luas wilayah (km2) 89.77

2 Jumlah pe nduduk (orang) 32 880

3 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 366

4 Jumlah petani 14 744

5 Luas hutan jati (ha) 3 342

6 Populasi ternak ruminansia (ST) a. Sapi potong b. Kerbau c. Domba d. Kambing 2 049.5 240.0 484.8 95.29

Jumlah penduduk petani yaitu 14 744 orang atau sekitar 51.78 persen dari jumlah penduduk wilayah ini, memberikan gambaran bahwa sebagian besar penduduk adalah petani tanaman pangan. Populasi sapi potong menempati ur utan tertinggi yakni 2 049.5 ST, dibandingkan dengan jenis ternak ruminansia lainnya. Penggembalaan merupakan sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh peternak setiap hari dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.30 WIB secara berkelompok. Jadwal penggembalaan diatur pembagiannya dalam kelompok.

Karakteristik Reproduksi

Populasi sapi potong berdasarkan umur dan reproduksi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Jumlah sapi betina lebih tingi dibandingkan jantan pada berbagai umur. Tingginya prosentase induk (44.13%)

menunjukka n bahwa bila program pembibitan menjadi salah satu prioritas, akan mempercepat proses pemuliabiakan.

Tabe l 13 Populasi sapi potong di Kecamatan Ujungjaya berdasarka n struktur umur reproduksi Struktur Populasi ST % Pejantan 8.4 3.28 Total induk - - Induk kering 9.6 3.76 Induk bunting 68.0 26.6 Induk laktasi 35.2 13.77 Sapi dara 57.6 22.54 Jantan muda 9.6 3.76

Anak jantan meyusu 27.2 10.64

Anak betina menyusu 40.0 15.65

Total 255.6 100.00

Sumber : Hasil pengolahan data

Penerapan pola pemeliharaan digembalakan di dalam kawasan hutan jati milik Perhutani di kabupaten Sumedang, dengan rasio jantan betina 1:25, member peluang pada sapi jantan untuk mengawini cukup banyak betina di kawasan tersebut, namun jarak beranak akan sulit diatur (Tabel 14).

Tabe l 14 Karakteristik reproduksi dan produktivitas anak sapi potong di Kecamatan Ujungjaya

Kriteria Nilai

Rasio Pejantan : induk 1 : 25

Umur induk pertama dikawinkan (bulan) 26

Mortalitas anak (%) 5.0

Jumlah anak dalam 1 tahun (ekor) 0.67

Jarak beranak (bl) 17.76

Angka pa nen anak ( %) 25

Sumber : Hasil pengolahan data observasi

Data pada Tabe l 14 menunjukkan bahwa angka panen anak (calf crop) sapi-sapi di daerah ini sebesar 25 %, sangat renda h, disebabkan pengelolaan reproduksi yang tidak bisa dikontrol. Rendahnya nilai cal crop tersebut disebabkan antara lain variasi lingkungan pada saat penelitian yang

mempengaruhi karakteristik reproduksi, yakni jarak beranak yang cukup panjang (17.76 bulan), dan ke matian anak yang relatif masih tinggi sekitar lima persen.

Upaya untuk meningkatkan angka panen anak (calf crop) yaitu dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi yakni meningkatkan tingkat konsepsi perkawinan melalui perbaikan kualitas pejantan. Umumnya pejantan di daerah ini berasal dari keturunan sapi-sapi yang dipelihara sehingga akan menurunkan kualitas reprod uksi atau terjadi inbreeding, maka pengadaan pejantan yang berkualitas dari luar kelompok akan dapat memperbaiki reproduktivitas. Di Samping itu terhadap induk betina harus dilakukan seleksi sehingga kualitas induk masuk da lam kriteria standar menurut Dinas Peternakan.

Upaya lain untuk meningkatkan produksi ternak adalah dengan cara menurunkan tingkat kematian anak melalui pengawasan intensif terhadap anak yang baru lahir dan pencegahan terhadap penularan penyakit pada saat endemik.

Sistem pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan menyebabkan sapi-sapi menjadi liar terutama dengan orang yang dianggap asing, sehingga program kawin suntik (Inseminasi Buatan) di daerah ini masih sulit untuk diterapkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki genetik sapi-sapi tersebut adalah dengan penyediaan pejantan yang unggul pada setiap kelompok penggembalaan yang disediakan oleh pemerintah atau kelompok peternak. Dengan program ini diharapkan dapat mengatasi kesulitan peternak untuk mendapatkan sapi pejantan pada saat induk betina birahi.

Karakteristik Produksi

Dari Tabe l 15 dapat kita lihat bahwa penampilan bobot tubuh rata-rata sapi di daerah dataran ini pada masing- masing kelompok umur berada di bawah bobot tubuh sapi-sapi Peranakan Ongole (PO), hal ini disebabkan sapi-sapi di daerah ini sebagian besar adalah sapi yang berukuran tubuh kecil de ngan ciri-ciri yang menyerupai sapi madura. Perbedaan laju pertumbuhan antar bangsa dan individu ternak di da lam suatu ba ngsa disebabka n oleh perbedaan ukuran tubuh de wasa, bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat dan bobot tubuh lebih berat saat mencapai kedewasaan dari pada bangsa ternak yang kecil (Tulloh 1978).

Tabe l 15 Bobot tubuh rata-rata sapi potong pada berbagai tingkat umur dan jenis kelamin di Kecamatan Ujungjaya

Kriteria Sapi Bobot badan rata-rata (kg) Sapi lepas sapih ( < 1 tahun)

 Jantan  Betina 78.6 71.4 Sapi Muda  Jantan  Betina 167.8 152.0 Sapi Dewasa  Jantan  Betina 223.4 204.2 Sumber : Hasil Pengukuran di Lokasi Penelitian, 2009.

Bobot badan rata-rata sapi jantan dewasa rata-rata 223.4 kg, berada di bawah rata-rata bobot badan sapi Peranakan Ongole yaitu 400 kg. Pola pertumbuhan sapi-sapi di dataran rendah pada berbagai tingkat umur antara jantan dan betina di daerah ini berada di bawah pertumbuhan sapi-sapi Peranakan Ongole, hal ini disebabkan adanya perbedaan bangsa. Bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat dan bobot tubuh lebih berat saat mencapai kedewasaan dari pada bangsa ternak yang kecil (Tulloh 1978).

Pertumbuhan seekor ternak dapat diukur dari kondisi tubuh ternak tersebut. Jika kondisinya sedang atau gemuk, maka diprediksi ternak tersebut kondisinya sehat dan tidak kekurangan pakan. Sebaliknya jika terlihat kurus maka kemungkinan ternak tersebut kondisinya sedang sakit atau kekurangan konsumsi pakan. Kondisi sapi-sapi dengan pola penggembalaan di daerah ini terlihat kurus, hal ini disebabkan program pemeliharaan kesehatan kurang diperhatikan oleh peternak seperti pemberian obat cacing secara berkala. Kemungkinan ternak terkena serangan cacing cukup tinggi dikarenakan kondisi perkanda ngan yang tidak baik seperti alas lantai tanah yang becek, kotoran ternak menumpuk dan tidak ada program pemberantasan penyakit misalnya dengan fumigasi. Di Samping itu konsumsi pakan hanya mengandalkan dari areal penggembalaan, memungkinkan ternak sapi ini mengalami kekurangan pakan, apalagi pada saat musim kemarau Di Samping ketersediaan rumput kurang, kualitas rumput juga menurun disebabkan pada saat musim kemarau yang banyak tumbuh adalah tanaman gulma yang kualitas dan palatabilitasnya rendah.

Berdasarka n hasil evaluasi terhadap ko mpo nen ternak da n paka n di kawasan ini maka diperlukan perbaikan genetik pejantan, seleksi induk betina, dan pemeliharaan kesehatan secara berkala, dan memperbaiki drainase perkandangan sehingga dapat menekan peluang pertumbuhan organisma penyebab penyakit. Untuk memperbaiki konsumsi pakan, diharapkan program penanaman rumput unggul di lahan perhutani atau lahan lain yang masih tidur akan memperbaiki kondisi tubuh sapi-sapi di daerah ini sehingga produktivitas akan meningkat.

Pola Dikandangkan

Pola pembibitan sapi potong yang dikandangkan dalam pemeliharaannya merupakan pola pada sebagian besar peternak di Kabupaten Sumedang. Daerah dataran sedang dan dataran tinggi serta tidak mempunyai hutan sebagai tempat penggembalaan merupakan kondisi umumnya pola pemeliharaan dikandangkan. Salah satu wilayah yang menerapkan pola ini adalah Kecamatan Cisitu yang dijadikan wilayah kajian dalam penelitian ini. Luas wilaya h Kecamatan Cisitu adalah 53.31 km2 setara dengan 5 531 ha dan jumlah penduduk sekitar 29 190 jiwa pada tahun 2010.

Karakteristik Wilayah

Data produksi Tabel 16 memberikan gambaran tentang karakteristik wilayah Kecamatan Cisitu dengan jumlah petani sebanyak 5 400 KK yaitu sekitar 61.25% dari jumlah rumah tangga di daerah ini (8 816 KK). Sapi potong menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan ternak yang lain yaitu 838 ST. Sistem pemeliharaan sapi di Kecamatan Cisitu umumnya dengan cara dikandangkan. Sistem pemberian pakan dilakukan di kanda ng 2 kali dalam sehari yaitu pagi dan sore hari. Jenis dan jumlah pakan yang diberikan umumnya rumput lapang, jerami padi, jerami kacang tanah, dengan jumlah rata-rata bahan kering sebanyak 3,46 kg per hari atau setara 1.45% bobot badan.

Tabe l 16 Karakteristik wilayah dan populasi ternak di Kecamatan Cisitu

No Item Jumlah

1 Luas wilayah (km2) 53.31

2 Jumlah pe nduduk (orang) 29 190

3 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 547.55

4 Jumlah rumah tangga petani 5 400

5 Luas hutan jati (ha) 1 122

6 Populasi ternak ruminansia (ST) a. Sapi potong b. Kerbau c. Domba d. Kambing 838.0 14.0 820.28 677.0 Struktur Populasi

Sumber Subdinas Peternakan (2010) setelah diolah

Kontruksi perkandangan sapi potong di daerah ini cukup sederhana, dinding kandang, tiang penyangga umumnya terbuat dari kayu. Atap kandang menggunakan genting dan lantai kandang langsung pada permukaan tanah yang dipadatkan. Kondisi kandang umumnya cukup baik, lantai kandang berada lebih tinggi dari pada lingkungan sekitarnya, sehingga permukaan lantai kandang da lam keadaan kering. Kotoran sapi dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman palawija atau kebun rumput.

Karakteristik Reproduksi

Tabe l 17 Populasi ternak sapi potong berdasarkan struktur umur dan jenis kelamin fase reproduksi di Kecamatan Cisitu

ST % Jantan de wasa 8.4 9.17 Total induk - - Induk kering 4.6 5.03 Induk bunting 13.0 14.19 Induk laktasi 21.2 23.14 Sapi dara 7.6 8.30 Jantan muda 15.6 17.03

Anak jantan meyusu 7.2 7.86

Anak betina menyusu 14.0 15.28

Total 91.6 100.00

Jumlah sapi betina di wilayah Kecamatan Cisitu menempati urutan paling tinggi, data tersebut menunjukkan bahwa tujuan sebagian besar peternak memelihara sapi ada lah untuk menghasilkan anak. Sapi jantan dewasa dipelihara untuk tujuan penggemukan disamping sebagai pejantan. Kompos isi sapi jantan sekitar 9.17 persen menunjukkan bahwa pada kelompok pemeliharaan dikandangkan umumnya beberapa peternak melakukan penggemukan sapi jantan di Samping pemeliharaan betina. Laporan Wiyatna (2002), bahwa peternak sapi potong di wilayah Kabupaten Sumedang sudah mulai bergeser tujuan pemeliharaannya dari pembibitan ke penggemukan. Usaha penggemukan didasarkan atas beberapa alasan, antara lain : 1) hasilnya relatif cepat; 2) mudah dipelihara; 3) tingkat resiko kematian lebih rendah; 4) dapat direncanakan pemasaran pada saat harga jual tinggi (Idul Adha); 5) pertumbuhan ternak jantan lebih cepat. Dalam usaha peternakan sapi potong dengan pola dikandangkan penampilan reproduksi berbeda dengan pola penggembalaan (Tabel 18).

Tabe l 18 Karakteristik reproduksi sapi potong

Karakteristik reproduksi Nilai

Sistem perkawinan IB

Umur induk pertama dikawinkan (bulan) 30

Mortalitas anak (%) 4.0

Jumlah anak dalam 1 tahun (ekor) 0.7

Jarak beranak (bl) 16.98

Angka pa nen anak ( %)/tahun 30

Dengan menggunakan data populasi ternak sapi dari lokasi penelitian yang disajikan berdasarkan struktur dapat dihitung nilai calf crop. Hasil analisis memperlihatkan memperlihatkan bahwa angka panen anak (calf crop) sapi-sapi di daerah ini adalah 30%. Nilai ini termasuk rendah, sebab dengan manajemen pemeliharaan yang baik calf crop sapi potong bisa mencapai 50% (Minish and Fox 1979). Rendahnya nilai tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain pada saat studi dilakukan, kemungkinan induk- induk sapi belum melahirkan, fasilitas IB kurang mendukung, service per conception dan lama menyusui cukup panjang. Suatu kawasan dikataka n masih memerlukan perbaikan teknis tingkat kelahiran masih rendah di bawah 50%, memiliki tingkat pertumbuhan rendah

dengan pertambahan bobot badan harian di bawah 0.5 kg/ekor/hari (Deptan 2002).

Karakteristik Produksi

Karakteristik produksi sapi potong pada pola pemeliharaan dikandangkan disajikan pada Tabel 19, yang menunjukkan bahwa ternak sapi pada berbagai tingkat umur memiliki bobot badan yang rendah. Hal ini disebabkan system pemeliharaan sapi-sapi dengan cara dikandangkan belum memadai sesuai standar pemeliharaan yang baik, terutama sistem pemberian pakan maupun pemeliharaan kesehatan. Ternak diberikan pakan terbatas oleh peternak sehingga jumlah kosumsi pakan pada pola dikandangkan ditentukan oleh kemampuan peternak untuk menyediakan pakan setiap hari.

Tabe l 19 Rata-rata bobot sapi potong berdasarkan umur dan jenis kelamin

Uraian Bobot badan (kg)

Sapi lepas sapih ( < 1 tahun)

 Jantan  Betina 90.4 83.2 Sapi Muda  Jantan  Betina 245.6 231.2 Sapi Dewasa  Jantan  Betina 340.8 315.6 Sumbe r : Hasil pengukuran di lokasi penelitian (2009).

Tabe l 19 memperlihatkan penampilan bobot tubuh rata-rata sapi dewasa hamper mencapai bobot tubuh normal. Rata-rata bobot badan sapi jantan dewasa rata-rata 340.8 kg dan betina 315.5 kg, kondisi ini disebabkan oleh kebijakan subsidi yakni berupa sapi dewasa merupakan bantuan pemerintah. Performan sapi-sapi muda masih kurang baik disebabkan tingkat perhatian sanitasi dan pemeliharaan kesehatan masih rendah. Pengelolaan limbah ternak di daerah ini masih belum memasyarakat, sehingga sebagian besar peternak hanya mengumpulkan kotoran di belakang kandang kemudian ada yang menggunakan. Tumpuka n kotoran dalam keadaan terbuka mengakibatkan pencemaran dan memupuk pertumbuhan organisma penyebab penyakit. Manajemen pemberian

pakan suda h relatif lebih baik dbandingkan pada pola digembalakan, dimana para peternak di daerah ini sudah banyak yang sudah terbiasa memberikan pakan tambahan misalnya dedak padi atau onggok. Di Samping itu daerah ini merupakan wilayah binaan dari Dinas Peternakan dan merupakan peternak percontohan di wilayah Kabupaten Sumeda ng.

Karakteristik Peternak Sapi

Aktivitas pemeliharaan sapi potong merupakan bagian dari kegiatan usaha tani yang dilakukan sebagai usaha sambilan. Dilihat dari pengalaman, peternak yang memelihara sapi dengan cara digembalakan, waktunya relatif lebih lama dari yang dikanda ngka n (17.50 vs 15.3 tahun). Perbedaan yang cukup signifikan dalam pola pemeliharaan mempengaruhi performan ternak yang umumnya telah baik pada pola dikandangkan, yang berkaitan dengan pengalaman dan pendidikan peternak disamping manajemen yang berbeda. Pola penggembalaan didukung oleh ketersediaan lahan berupa hutan milik pemerintah yang mendukung ketersediaan pakan secara mencukupi, sedangkan pada pola dikandangkan peternak be rusaha menyediakan paka n de ngan cara budidaya rumput da n memanfaatkan limbah pertanian . Karakteristik petani yang terdapat di dua lokasi yang diteliti tidak jauh berbeda dengan proporsi 62% memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tamat Seko lah Dasar), oleh karena itu kemampuan mengadops i teknologi baru masih terbatas, manajemen budi daya masih bertumpu pada sumber daya yang tersedia tanpa intervensi teknologi aplikasi termasuk tenaga kerja berasal dari keluarga yang dianggap efisien. Oleh karena itu untuk meningkatkan keterampilan peternak, pelatihan dan pendampingan merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan produksi ternak.

Kapasitas Tampung Ternak

Untuk melihat potensi masing- masing wilayah dalam pendukung pengembangan sapi potong dilakukan dengan cara perhitungan Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR), dengan menggunakan dasar ketersediaan lahan, tenaga kerja dan ternak ruminansia.

Hasil analisis menunjukka n bahwa potensi pengembangan masing- masing kecamatan di Kabupaten Sumedang berdasarkan potensi sumber daya lahan dan tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 20. Daerah yang mempunyai potensi pengembangan efektif tertinggi adalah Kecamatan Buahdua dengan nilai 7 989.20 ST yang diambil berdasarkan potensi tenaga kerja. Daerah ini ditunjang oleh potensi pengembangan sumber daya lahan yang tinggi yaitu 7 989.20 ST.

Tabe l 20 Kapasitas peningkatan ternak ruminansia pada tiap kecamatan di Kabupaten Sumedang No Kecamatan Ruminansia KPPTR - SDL KPPTR- TK KPPTR Efektf --- Satuan Ternak (ST) --- 1 Jatinangor 1 217.47 684.19 6 189.77 684.19 2 Cimanggung 336.42 4 284.82 30 266.91 4 284.82 3 Tanjungsari 3 498.29 252.45 38 032.86 252.45 4 Sukasari 945.81 1 093.09 34 751.81 1 093.09 5 Pamulihan 6 702.43 (2 737.74) 82 605.31 (2 737.74) 6 Rancakalong 1 867.49 2 515.13 24 942.06 2 515.13 7 Sumedang Selatan 762.91 5 232.86 29 176.98 5 232.86 8 Sumedang Utara 1 393.96 2 332.21 30 880.46 2 332.21 9 Ganeas 2 153.16 (52.80) 24 351.60 (52.80) 10 Situraja 1 032.89 5 188.30 49 881.18 5 188.30 11 Cisitu 1 282.54 4 645.70 22 628.09 4 645.70 12 Darmaraja 998.33 5 152.95 23 084.03 5 152.95 13 Cibugel 1 603.10 4 278.26 15 526.93 4 278.26 14 Wado 593.24 6 221.86 40 332.88 6 221.86 15 Jatinunggal 3 872.65 3 581.14 50 301.26 3 581.14 16 Jatigede 4 831.49 3 627.03 22 327.70 3 627.03 17 Tomo 1 429.50 5 372.14 24 998.98 5 372.14 18 Ujungjaya 2 873.73 3 738.26 34 208.35 3 738.26 19 Congeang 1 523.19 5 904.18 24 998.98 5 904.18 20 Paseh 1 315.83 3 204.61 18 614.10 3 204.61 21 Cimalaka 988.94 2 607.60 7 333.35 2 607.60 22 Cisarua 279.12 1 546.81 21 473.04 1 546.81 23 Tanjungkerta 1 475.12 3 091.91 37 568.84 3 091.91 24 Tanjungmedar 1 919.99 3 294.18 23 434.54 3 294.18 25 Buahdua 1 871.85 7 989.20 38 144.74 7 989.20 26 Surian 455.48 2 969.33 13 014.79 2 969.33 Total 47 224.86 86 017.67 769 069.53 86 017.67

Daerah lain yang mempunyai KPPTR-efektif tinggi adalah Kecamatan Wado dengan nilai 6 221.9 ST yang berasal dari potensi sumber daya lahan. Selanjutnya kecamatan Conggeang dengan KPPTR efektif sebesar 5 904 ST yang

Dokumen terkait