• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proyeksi pengembangan populasi sapi potong tersebut disertai dengan analisis ekonomi usaha tersebut, dengan menggunakan input biaya yang digunakan dalam produksi ternak tersebut seperti pakan, kandang, tenaga kerja, peralatan dan kesehatan. Sedangkan biaya pengadaan induk pada populasi awal tidak dimasukan dalam komponen modal usaha, diasumsikan bahwa ternak tersebut sudah ada dan tidak mengalami perubahan. Biaya penambahan bibit hanya dikeluarkan pada pembelian ternak dara apabila diperlukan untuk menambah calon induk.

Pada tabel proyeksi populasi tersebut, dengan menggunakan asumsi biaya-biaya riil yang ada, maka dilakukan perhitungan analisis usaha dengan melihat analisis sederhana yaitu B/C Rasio (Benefit/Cost). Dari hasil perhitungan tersebut nilai B/C rasio untuk pola digembalakan rata-rata nilainya 2.46 (selama tahun pengembangan mulai tahun ke-1 sampai tahun ke-5, dengan demikian bahwa penerimaan melebihi pengeluaran (menguntungkan). Hal ini disebabkan oleh rendahnya biaya pakan. Sedangkan pada pola dikandangkan, semua komponen biaya dikeluarkan. Biaya pakan merupakan komponen terbesar karena harga per satuan berat pakan cukup besar, bahkan diasumsikan hijauan membeli. Untuk meningkatkan efisiensi usaha sapi potong pola dikandangkan adalah dengan mengintegrasikan pembibitan dan penggemukan, sehingga pengeluaran yang besar dadri biaya pakan tertutupi dengan pendapatan yang relatif cepat dari usaha penggemukan jantan. Kombinasi ini akan lebih meningkatkan pendapatan setelah diintegrasikan dengan sistem pengolahan limbah ternak, sehingga ada tambahan nilai dari kotoran ternak. Analisis ekonomi kedua pola tersebut dapat dilihat pada lampiran 7.

Strategi Penyediaan Pakan

Pola tanam yang dilakukan oleh petani di Sumedang mengikuti beberapa model dapat dilihat sebagai berikut:

Pola tanam mode l 1:

Musim Hujan M a r e n g a n Ke marau

Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt

Padi Jagung

Jagung Kacang k edelai Jagung (pak an ternak ) U b i k a y u

T u r i

Pola tanam model II

Musim Hujan M a r e n g a n Ke marau

Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt

Jagung Jagung Kacang tanah Kacang tanah U b i k a y u

T u r i

Gambar 9 Pola tanam tumpa ngsari

Kebiasaan petani pada musim hujan pertama sekitar bulan November sudah melakukan tanam benih seperti jagung, padi gogo dan ubikayu ditanam pada waktu yang bersamaan, selanjutnya pada bulan Februari menanam benih kacang tanah atau kacang kedelai setelah panen jagung dan padi gogo tanpa mengolah tanah lebih dahulu, kegiatan ini sebenarnya memanfaatkan air yang masih relatif tersedia di lahan. Sedangkan ubikayu dipanen terakhir yakni sekitar September

karena tanaman ini memerlukan waktu hampr satu tahun. Penanaman yang kedua seperti kacang tanah dan kedelai akan meng hasilkan limbah berupa jerami kacang tanah, ini didapatkan antara bulan Mei dan Juni bertepatan dengan awal musim kemarau, dengan begitu limbah ini dapat dijadikan persediaan pakan untuk musin kemarau.

Pola tanam petani sangat tergantung situasi lahan baik tegalan, sawah maupun pekarangan sekitar rumah, biasanya pola tanam tumpangsari sesuai kebutuhan masing- masing petani. Ada tanaman jagung yang ditanam hanya tumpang sari dengan singkong dan populasi lebih dominan tanaman jagungnya. Ada pula tanaman kacang tanah tumpangsari dengan jagung namun lebih didominasi tanaman kacang tanahnya (tanaman jagung ditanam hanya sekitar jarak empat meter antar barisnya sebagai lorong), demikian pula tanaman ubikayu perlakuan jarak tanamnya hampir sama dengan jagung. Setelah panen kacang tanah dan kedelai petani masih berspekulasi menanam tanaman lainnya seperti tanaman jagung yang sengaja ditanam untuk pa nen tebo n (tanaman jagung muda) atau tanaman tur i, ke duanya untuk pakan ternak.

Je nis Hijauan

Jenis pakan ruminansia yang umum diberikan petani di wilayah ini terdiri dari dua macam yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan lokal seperti umumnya terdapa t di daearah lahan kering terdiri dari dua be ntuk hijauan yaitu segar da n kering, ketersediaannya tergantung dari mus im da n po la tanam yang dilakuka n

petani. Hijauan segar yang biasa diberikan pada ternak ruminansia berupa: rumput kolonjono, rumput alam, tebon (tanaman jagung muda), dedaunan (tanaman yang biasa digunakan untuk pagar), ramba (Daun mahoni, munggur, pisang, kesambi, turi, lamtoro), daun ubi kayu, dan kulit ubi kayu. Sedangkan hijauan yang umumnya diberikan dalam keadaan kering adalah jerami padi, jerami kacang tanah, jerami kacang kedelai. Berdasarkan ketersediaan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim dan pola tanam yang dilakukan petani. Terdapat dua pola tanam yang dominan, seperti terlihat pada Tabel 25.

Tabe l 25 Pola tanam dan ketersediaan limbah pertanian sebagai hijauan pakan berdasarkan musim tanam

Musim Musim Hujan 1 (November – Januari/ Februari) Musim Hujan 2 (Februari- April/ Mei) Musim Kemarau (Juni –Oktober) Pola tanam1 I II

Padi + Jagung + Ubikayu + Turi Kc. Tanah + Jagung + Ubikayu + Turi Kedelai+Jagung Kedelai+Jagung Ubi kayu Ubi kayu Jenis pakan/limbah pertanian - Jerami padi

- Jerami jagung (tebon) - Rumput

- dedaunan.

- Jerami kacang tanah

- Jerami kedelai - Jerami jagung - Rumput. - dedaunan. -Kulit ubikayu. -Daun ubikayu -Turi. -dedaunan.

Berdasarkan pemberian hijuan pada ternak ruminansia berbeda antara musim hujan dan musim kemarau di sesuaikan dengan sifat hijauan yang bisa diawetkan atau yang harus diberikan segar, seperti jerami padi dihasilkan pada musim hujan pertama, namun pemberian pada ternak dilakukan pada musim kemarau, karena jerami padi bisa diawetkan dan disimpan sehingga pemberiannya dapat dialihkan pada musim kemarau. Di Samping itu pemberian hijuan juga tergantung pada jenis tanaman, ada yang tahan terhadap kekeringan umumnya pada tanaman berkayu yang dapat diambil rambanannya dan ada tanaman yang tidak tahan kekeringan yang hanya ada pada musim hujan seperti pada rumput alam dan brachiaria decumbent (bd). Perbedaan jenis hijuan yang diberikan pada ternak disajikan pada Tabel 26.

Tabe l 26 Jenis hijuan pakan yang diberikan pada ternak

Musim hujan Musim kemarau

- Rumput bd

- Daun jagung / tebon - Rumput alam - Dedaunan - Daun turi - Dedaunan - Lamtoro - Jerami padi - Daun jagung

- Jermai kacang tanah - Jerami kedelai - dedaunan - Hasil ikutan

Cara pemberian hijauan pada musim hujan diberikan segar dengan cara dicacah terlebih dahulu dan biasanya tidak ada campuran hijauan kering. Sedangkan pada musin kemarau hijauan yang diberikan didominasi oleh hijauan kering seperti jerami padi, jerami kacang tanah dan lain sebagainya diberikan secara ad libitum dengan ditambah sedikit hijauan segar berupa rambanan atau tebon, pada musim kemarau pemberian pakan dititik beratkan pada pemberian konsentrat yang meningkat dua kali lipat dibandingkan pada musim hujan.

Pakan limba h hasil ikutan ada lah paka n yang berasal dari biji-bijian atau umbi- umbian seperti bekatul, gaplek atau konsentrat dari pabrik walaupun sedikit sekali petani yang menggunakan konsentrat pabrik , sebagian besar petani menggunakan gaplek dan bekatul sebagai pakan tambahan. Pemberian gaplek dengan cara ditumbuk kasar kemudian direbus ditambah air dan garam dengan perba ndingan 1 kg gaplek ditamba h 7-8 liter air dan ¼ kg garam, hal yang sama juga dilakukan apabila yang diberikan adalah bekatul. Satu ekor sapi biasanya diberikan 2 kg konsentrat pada siang hari sekitar jam 2 atau 3 siang.

Jenis tanaman yang sengaja ditanam khusus unt uk paka n tarnak diantaranya: rumput bd, turi dan dedaunan, seda ngka n tanaman yang lainnya digunakan untuk pakan ternak dari limbahnya.Limbah pertanian yang umum disimpan untuk digunakan sebagai pakan di musim kering adalah jerami padi , jerami kacang tanah, jerami kedelai dengan cara di keringkan, pengeringan rata – rata 3-4 hari dijemur matahari langsung, kemudian disimpan di para-para kandang atau dibuatkan khusus kandang pakan sebagai lumbung pakan.

Agribis nis Peternakan Ramah Lingk unga n

Pengelolaan limbah peternakan ya ng dilakukan peternak di Sumedang umumnya dengan cara mengumpulkan kotoran ternak di belakang kandang. Setelah cukup banyak dan terlihat kering, kotoran ini akan diangkut ke lahan pertanian tanaman pangan. Cara ini masih menimbulkan masalah yaitu ketika musim hujan kotoran ternak akan mencair dan terbawa air hujan ke pekarangan penduduk, selain mencemari udara dan tanah, limbah cair ini dapat mencemari air sumur atau sumber air lainnya.

Sebagian limbah peternakan terserap oleh suatu kelompok usaha pembuatan pupuk bokashi. Skala usaha pemanfaatan kotoran menjadi pupuk organik masih relatif kecil, tetapi sudah cukup merubah persepsi masyarakat dan peternak khususnya bahwa kotoran sapi tersebut dapat mendatangkan manfaat finansial bagi pemilik ternak jika dikelola dengan baik menggunakan teknologi yang sederhana. Gambaran peternak responden dalam pengelolaan pengelolaan limbah ternak sapi, antara lain (a) 13.3 persen peternak mengolah limba h untuk pupuk kandang dengan cara pengomposan, (b) 80.1 persen menimbun di belakang kandang, setelah matang dibawa ke kebun atau sawah atau dijual, (c) 6.6 persen mengolah limbah ternak menjadi biogas, tetapi limbahnya tidak dimanfaatkan untuk pupuk pertanian

Dari gambaran tersebut, respon peternak terhadap pengelolaan limbah peternakan umumnya masih rendah, ini terlihat dari jumlah peternak (80.1%) masih belum memanfaatkan kotoran ternak secara optimal. Kondisi ini disebabkan tingkat sosialisasi dari perguruan tinggi atau dinas terkait sangat terbatas. Sedangkan peternak yang sudah menerapkan teknologi biogas dalam mengelola kotoran ternak (6.6 persen) umumnya sering berinteraksi dengan pihak perguruan tinggi, biasanya dalam program kuliah kerja nyata (KKN) atau tersentuh program Dinas Peternakan atau kegiatan Dinas Energi dan Mineral.

Total limbah yang dihasilka n setiap rumah tangga peternak dengan kepemikilan rata-rata 3 ST umumnya berkisar antara 20-30 kg sangat cukup dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas untuk keperluan memasak sehari-hari. Pemanfaatan kotoran ternak untuk diolah menjadi biogas dan pupuk organik

sangat memungkinkan pada pola dikandangkan. Pada pola dikandangkan umumnya kandang berada tidak jauh dari rumah tinggal peternak, sehingga jika dikelola menjadi biogas akan mudah langsung dimanfaatkan oleh peternak sebagai sumber energi alternatif. Tetapi pada sistem digembalakan, kandang sapi umumnya berada dipinggir hutan yang jauh dari rumah tinggal peternak sehingga kesulitan dalam pemanfaatan biogas yang dihasilkan karena akses yang cukup jauh dari kandang sapi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rusono (1999), yang menyatakan bahwa kegiatan peternak mengelola limbah peternakan dan hasilnya bermanfaat bagi peternak secara langsung (biogas) telah mengurangi beban dalam penyediaan energi alternatif pengganti gas elpiji atau kayu bakar. Pupuk yang dihasilkan dari limbah tersebut dimanfaatkan untuk tanaman pertanian, secara langsung telah mengurangi kebutuhan biaya pemupukan tanaman pertanian.

Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos. Sedangkan pengelolaan limbah cair dapat digunakan untuk pembuatan biogas da n sludge biodigester dapat digunakan sebagai pupuk organic cair untuk tanaman pertanian.

Beberapa peternak di daerah pemeliharaan dikandangkan telah menerapka n teknologi biogas dan menjadi pe rcontohan perkandangan menuju kawasan peternakan ramah lingkungan. Kondisi di sekitar peternakan yang telah menerapkan konsep ini umumnya lebih bersih, karena limbah ternak sapi langsung dimasukkan ke dalam biodigester anaerob sehingga tidak tercium bau yang bisa mencemari terhadap lingkungan. Biogas yang dihasilkan disalurkan ke rumah peternak untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak atau bahan bakar generator unt uk lampu penerangan. Rata-rata penghematan peternak yang mempunyai sapi sebanyak 3,3 ST adalah sebesar Rp 34 ribu rupiah setiap bulannya, dengan mengganti kebutuhan gas elpiji atau kayu bakar oleh biogas. Di Samping itu, de ngan didampingi oleh sebuah perusahaan yang beke rja sama dalam pengelolaan limbah peternakan yaitu PT. Biomethagreen Lingga Lestari, limbah cair yang dihasilkan dari biogas dibeli oleh perusahaan tersebut, sehingga

peternak mendapat tambahan pendapatan berkisar antara Rp 90.000 – 120.000 per bulan. PUPUK CAIR GAS BIO KOMPOR PENERANGAN LIMBAH Tanaman

Kabupaten Sumedang berpotensi sebagai penyedia ternak sapi potong untuk memenuhi kebutuhan daging Jawa Barat dan Jakarta, berdasarkan ketersediaan lahan, ternak, dan sumber daya manusia. Namun pada kenyataannya kebutuhan pasar tersebut belum bisa dipenuhi secara optimal karena kemampuan produksi yang rendah ditinjau dari berbagai keterbatasan antara lain (a) ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, (b) manajemen budi daya ternak sapi potong yang masih tradisional, (c) kelembagaan peternak yang belum berfungsi secara optimal.

dan (d) terjadi pergeseran fungsi lahan garapan sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Dalam kurun lima tahun terakhir total lahan garapan (sawah, ladang dan pekarangan) berkurang 23.41 % atau sekitar 4.7 % per tahun, menyebabkan terjadi penurunan ketersediaan hijauan dan limbah sebagai sumber pakan ternak. Peternak be rupa ya mengantisipasi dengan melakuka n peningkatkan daya tampung lahan seperti penanaman rumput unggul, pemanfaatan limbah pertanian, dan melakukan pola tanaman yang bisa menyediakan hijauan pada musim kemarau.

Petani peternak di Kabupaten Sumedang umumnya (94.62%) memelihara ternak secara semi- tradisional baik dengan cara digembalakan maupun dikandangkan. Kedua pola ini sangat erat kaitannya dengan budaya dan karakteristik lahan yang tersedia, serta sumber pakan untuk ternak.

Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai potensi pengembangan sapi potong efektif tinggi berturut-turut adalah Kecamatan Buahdua de ngan nilai 7 989.20 satuan ternak (ST), Wado 6 221.9 ST, dan Conggeang 5 904 ST, tetapi daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah suaka alam, resapan air menurut rencana umum tata ruang (RUTR) Kabupaten Sumedang. Daerah yang dijadikan objek penelitian yaitu Kecamatan Ujungjaya (3 738.26 ST) untuk pola digembalakan dan Cisitu (4 645.70 ST) untuk pola dikandangkan. Wilayah tersebut dicanangkan sebagai sentra pengembangan ternak sapi potong.

Strategi pengembangan sapi potong pola digembalakan, antara lain (a) optimalisasi sumber daya lahan hutan sebagai areal penggembalaan, ternak dan peternak melalui pemanfaatan teknologi tepat guna dan informasi dari perguruan tinggi, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan instansi pemerintah, (b)

meningkatkan keterampilan dan motivasi peternak melalui pelatihan manajerial agribisnis, (c) peningkatan peran aktif stakeholders, lembaga keuangan/investor, dan perguruan tinggi yang mendukung usaha sapi potong, (d) mengoptimalkan kemampuan kelompok secara teknis dan manajerial. Sedangkan pada pola dikandangkan selain rancangan pada pola digembalakan, ditambahkan untuk optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, peningkatan sarana inseminasi buatan (IB), dan optimalisasi pemanfaatan limbah ternak untuk meningkatkan nilai pendapatan peternak.

Hasil analisis pada pola digembalakan menunjukkan bahwa angka panen anak (calf crop) sapi-sapi di daerah ini sebesar 25 %, jumlah yang cukup renda h, hal ini disebabkan pengelolaan reproduksi yang tidak bisa dikontrol. Rendahnya nilai calf crop tersebut disebabkan oleh variasi lingk ungan pada saat penelitian yang mempengaruhi karakteristik reproduksi, yakni jarak beranak yang cukup panjang (16.76 bulan), dan kematian anak yang relatif masih tinggi sekitar lima persen. Faktor teknis lainnya yang menyebabkan rendah produktivitas adalah ketersediaan pejantan yang kurang optimal, dimana 68% pejantan berasal dari keturunan sapi-sapi local setempat, sehingga terjadi inbreeding (perkawinan sedarah) yang bisa menyebabkan penurunan genetik.

Hasil analisis pada pola digembalakan menunjukkan bahwa angka panen anak (calf crop) sebesar 25%, rendahnya nilai tersebut disebabkan pengelolaan reproduksi yang kurang optimal, jarak beranak yang cukup panjang (17.76 bulan), dan kematian anak relatif tinggi (lima persen). Kualitas pejantan yang kurang optimal, dimana sekitar 68% pe jantan berasal dari keturunan sapi loka l setempat, sehingga terjadi inbreeding yang menyebabkan menurunnya performan reproduksi disamping rendahnya rasio jantan : betina yaitu 1 : 25. Pada pola dikandangkan, calf crop sebesar 30%. calving interval rata-rata 16.98 bulan dengan tingkat kematian anak empat persen. Faktor reproduksi lainnya selain ternak, dipengaruhi pula oleh petugas inseminator dan kualitas semen yang tersedia. Calf crop sapi-sapi di bawah 50%, dikategorikan mempunyai produktivitas rendah (Minish dan Fox 1979).

Menggunakan data koefisien teknis yang ada, maka dilakukan proyeksi pengembangan populasi dengan asumsi ada perbaikan-perbaikan yang

menyangkut koe fisien teknis diantaranya meningkatkan kelahiran pedet, menurunka n kematian, meningkatkan produktivitas induk, dan meningkatkan kapasitas tampung lahan. Proyeksi pengembangan populasi sapi potong dilakukan dalam waktu lima tahun. Data koe fisien teknis awal sepe rti tingkat kelahiran, tingkat kematian anak, kematian dewasa, daya tampung lahan diperoleh dari hasil penelitian, sedangkan data afkir induk diperoleh sebesar lima persen dengan pertimbangan dilakukan pada ternak sudah tua dan majir. Semua data koefisen teknis diupa yakan meningkat setiap tahun setelah dilakukan perbaikan manajemen termasuk daya tampung lahan. Sedangkan ternak jantan diasumsikan lima persen untuk peternakan pola digembalakan, karena jenis sapi cenderung liar sehingga sulit untuk dilakukan inseminasi buatan.

Melalui usaha perbaikan koefisien teknis, maka diharapkan populasi akan meningkat setiap tahun, tetapi yang menjadi kendala dalam usaha pengembangan ini adalah kapasitas tampung lahan. Peningkatan kapasitas tampung lahan meningkat dengan melakukan perbaikan-perbaikan produktivitas lahan secara bertahap, sehingga sampai tahun ke-5 program perbaikan kapasitas tampung lahan optimal. Pada tahun pengembangan daya tampung maksimal, populasi tidak dapat dikembangkan lagi.

Variabel jumlah induk, kelahiran, dan kematian berpengaruh nyata dan masing- masing berkontribusi sebesar 0.833, 3.789, dan -40.38 ST terhadap populasi. Sedangkan pada pola digembalakan, komponen tersebut masing- masing 2.2, 0.79, dan -24.7 ST. Model persamaan tersebut digunakan untuk memperkirakan populasi ternak pada waktu tertentu berdasarkan koe fisien teknis yang ada, yaitu jumlah induk, tingkat kelahiran, dan tingkat kematian anak. Daya tampung lahan digunakan untuk mengontrol populasi melalui pengendalian jumlah penambahan induk atau dara pengganti.

Model persamaan tersebut digunakan untuk menduga populasi ternak sapi potong pada waktu tertentu dengan mengetahui koefisien teknis sapi potong di daerah tersebut yaitu jumlah induk, tingkat kelahiran, tingkat kematian anak, serta daya tampung lahan kawasan tersebut. Daya tampung lahan diguna ka n untuk mengontrol penambahan populasi keseluruhan dengan mengendalikan jumlah induk melalui penambahan dara atau replacement stock.

Proyeksi pengembangan populasi sapi potong tersebut disertai dengan analisis ekonomi usaha tersebut, dengan menggunakan input biaya yang digunakan dalam produksi ternak tersebut seperti pakan, kandang, tenaga kerja, peralatan dan kesehatan. Sedangkan biaya pengadaan induk pada populasi awal tidak dimasukan dalam komponen modal usaha, diasumsikan bahwa ternak tersebut sudah ada dan tidak mengalami perubahan. Biaya penambahan bibit hanya dikeluarkan pada pembelian ternak dara apabila diperlukan untuk menambah calon induk.

Tabe l 21 dan 23 proyeksi populasi tersebut, dengan menggunakan asumsi biaya-biaya riil yang ada, maka dilakukan perhitungan analisis usaha dengan melihat analisis sederhana yaitu B/C (Benefit/Cost). Dari hasil perhitungan tersebut nilai B/C untuk pola digembalakan rata-rata nilainya 2.46 (selama tahun pengembangan mulai tahun ke-1 sampai tahun ke-5, dengan demikian bahwa penerimaan melebihi pengeluaran (menguntungkan). Hal ini disebabkan oleh rendahnya biaya pakan. Pada pola dikandangkan, semua komponen biaya dikeluarkan. Biaya pakan merupakan komponen terbesar karena harga per satuan berat pakan cukup besar, bahkan diasumsikan membeli dari suplier hijauan pakan ternak. Upa ya meningkatkan efisiensi usaha sapi potong pola dikandangkan adalah dengan mengkombinasikan pembibitan dan penggemukan, sehingga pengeluaran yang besar dari biaya paka n tertutupi de ngan pe ndapa tan yang relatif cepat dari usaha penggemukan jantan. Kombinasi ini akan lebih meningkatkan pendapatan setelah diintegrasikan dengan sistem pengolahan limbah ternak, sehingga ada tambahan nilai dari kotoran ternak. Pola penggembalaan secara analisis ekonomi cukup efisien (B/C rasio 2.46), disebabkan oleh komponen biaya pakan yang tidak diperhitungan. Pada pola dikandangkan, secara ekonomi menjadi efisien setelah usaha pembibitan dikombinasikan dengan penggemukan (B/C rasio 1.31), disebabkan oleh adanya tambahan pendapatan relatif cepat dari hasil pe nggemuka n jantan.

Dokumen terkait