• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia Makhluk Beragama perspektif al Q

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manusia Makhluk Beragama perspektif al Q"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Manusia sebagai Makhluk Beragama: Perspektif al-Qur’an

Oleh:

ahmad zainal abidin (email: ahmadzainal74@yahoo.com.sg) (Dosen Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN

Tulungagung)

Pendahuluan

Dalam kajian filsafat manusia dikenal istilah, “manusia adalah hewan yang berfikir”, dalam filsafat politik dikenal istilah, “manusia adalah makhluk politik”, dalam filsafat sosial dikenal istilah, “manusia adalah makhluk sosial”, dan dalam agama, tentu saja juga dikenal istilah, “manusia adalah makhluk beragama”. Semua makna itu mengandung semangat menegaskan peran yang diemban manusia dalam kehidupan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana al-Qur’an menjelaskan posisi dan peran yang dimainkan manusia berdasar al-Qur’an berdasar kata kunci basyar, insan, bani adam, ‘abd dan khalifah. Kata basyar,

insan dan bani Adam digunakan untuk menjelaskan eksistensi manusia, sedangkan kata ‘abd dan khalifah dirujuk untuk menjelaskan peran manusia. Karena keterbatasan tempat, maka akan dijelaskan secara sepintas namun cukup untuk menjelaskan tujuan tulisan ini tentang bagaimana al-Qur’an mendeskripsikan manusia dan perannya.

Basyar, Insan, Bani Adam

Dalam agama Islam, ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia. Pertama, menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nu>n, dan si>n semacam insa>n, ins, na>s, dan

una>s. Kedua, menggunakan kata basyar, dan ketiga,

menggunakan kata bani> A<dam dan Zurriyah A<dam.1 Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah

(2)

yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.

Al-Qur’an menggunakan kata basyar ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna> (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya atau sisi biologis serta persamaannya dengan manusia secara keseluruhan. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan bahwa: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".2

Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan sebagai manusia. Manusia dikatakan berasal dari sari pati tanah yang dimakan manusia sehingga mejadi bahan untuk memproduksi air mani yang hina yang berproses menjadi segumpal darah, berkembang menjadi segumpal daging yang kemudian berproses menjadi makhluk yang bernama manusia dengan tiupan ruh Tuhan.

Jadi, basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab, sekalipun sebagian mereka lupa dan tidak sanggup menjaga amanah dan tanggungjawab itu. Ketika tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar (perhatikan Q.S. al-Hijr [15]: 28 yang menggunakan kata basyar), dan Q.S. al-Baqarah [2]: 30 yang menggunakan kata khali>fah, keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang akan diciptakannya sejenis makhluk lain yang berbeda dengan malaikat, yaitu manusia. Ada yang sanggup memikul beban

(3)

dan tanggungjawab dan ada yang gagal menerimanya karena ia tidak beranjak dari level makhluk biologis ke level makhluk berbudaya dan beradab.

Dari kata basyar, manusia adalah makhluk yang bereksistensi dan berkembang biak secara bebas sebagaimana hewan. Ia makan, minum, tidur, bertempat tinggal dan berkembang biak. Jika manusia berada pada level

basyar saja, maka ia seperti hewan yang sekalipun pada tataran perhewanan ada yang bisa mengatur koloni-koloninya sendiri, namun jauh untuk bisa dibebani dengan tanggung jawab dan kesadaran. Ia bisa melakukan apa saja yang ia mau, tetapi tindakannya amat jauh untuk dinilai dari sisi moralitas dan etika kemanusiaan. Maka tidak mengherankan jika ada manusia yang berperilaku seperti hewan yang tidak mampu berfikir dan berperasaan.

Fenomena anak membunuh ibu atau bapaknya, bapak membunuh anaknya, saudara membunuh saudara lainnya, teman membunuh kawan lainnya, bapak menghamili atau memperkosa anaknya dan peristiwa-peristiwa lain yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah bukti bahwa manusia yang berlevel makhluk biologis semata akan menghasilkan perilaku dan tindakan yang asocial dan amoral.

Kata lain yang digunakan al-Qur’an adalah kata insa>n. Kata

insa>n terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Menurut Quraish Shihab, pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yansu (berguncang). Menurut Bint al-Sya>t}i’,3 al-Qur’an seringkali memperhadapkan istilah insan dengan jin.

Jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah. Kata insan digunakan al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.

3Aisyah Abd al-Rah{ma>n Bint al-Sya>t}i’, al-Qur’a>n wa Qad{a>ya>

(4)

Secara totalitas, manusia terdiri dari dua dimensi: fisik dan ruh. Dimensi fisik manusia menunjukkan manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya, dihembuskanlah kepadanya dimensi ruh yakni Ruh Ilahi, sebagai bagian dari dimensi ruhnya.4 Dari sini jelas bahwa manusia

merupakan kesatuan dua unsur pokok, yaitu jasad dan jiwa dengan berbagai potensinya yang tidak dapat dipisahkan kerena bila dipisahkan maka tidak dapat disebut manusia lagi. Sebagaimana halnya air yang merupakan perpaduan antara oksigen dan hidrogen dalam kadar-kadar tertentu. Jika kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan, maka ia tidak akan menjadi air lagi.

Karena itulah, al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai fisik yang bagus. Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Tin [95]: 4, di mana Allah berfirman: “Laqad khalaqna> al-insa>na f> ah}sani taqwi>m” yang berati “Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Penggunaan kata al-insa>n

menunjuk dua aspek, fisik dan jiwa manusia yang menerima dan memiliki tanggungjawab dalam hidupnya. Sedangkan tentang “ah}san taqwi>m”

ulama berbeda pendapat. Beberapa ulama mengatakan ah}san taqwi>m

adalah ah}san khalq, bentuk kejadian yang paling bagus dari segi fisik.5

Terdapat pula ulama yang mengemukakan pendapat, bahwa ah}san taqwi>m adalah kesempurnaan akal, fahm, adab, ilmu dan bayan. Ibnu ‘Asyu>r lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa ah}san taqwi>m adalah akal. Alasannya adalah, karena akan berhubungan dengan ayat berikutnya setelah istisna>’, yaitu orang-orang mukmin (beriman), di mana beriman itu harus berakal.6

Kata ketiga adalah bani Adam. Kata bani Adam merujuk kepada asal mula manusia yakni sebagai makhluk yang berasal dari satu keturunan, yakni Adam. Terkepas dari pengertian manusia sebagai anak Adam atau berasal

4Q.S. S|a>d [38]: 71-72.

5Lihat Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n f> Ta’wi>l al-Qur’a>n,

Vol. XVI (Kairo: Maktabah Taufiiyah, 2004), hlm. 501.

(5)

dari evolusi yang panjang, dapat dinyatakan bahwa manusia yang ada sekarang adalah jenis baru yang berbeda dengan hewan atau telah melampaui level kehewanan dan kebinatangan. Penciptaan manusia dengan potensi fisik biologis dan spiritual-akliyah membawanya kepada posisi yang harus mengemban tanggung jawab sebagai anak Adam yang mengemban fungsi sosial di tengah masyarakat. Manusia yang diciptakan dengan bentuk yang sempuna harus hidup di tengah gelombang kehidupan manusia yang berbeda suku, bangsa, bahasa bahkan agama untuk mengejawantahkan fungsi sosial kemasyarakatan yang diemban.

Merujuk pada beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia atau insan diciptakan dalam bentuk yang benar-benar bagus dan sebagaimana fungsinya. Artinya, karena mengemban tugas dan tanggung jawab, baik dari aspek pribadi, maupun sebagai hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya, manusia telah dipersiapkan dalam bentuk kejadiannya yang memang memungkinkan untuk itu, baik segi fisik maupun psikis (jiwa). Dimensi fisik merupakan asal penciptaan fisik manusia dari tanah, sedang dimensi ruh merupakan asal dimensi ketuhanan manusia dari tiupan ruh Tuhan. Kedua dimensi itu merupakan potensi yang sejak asal ada pada manusia. Kedua unsur itu menjadikan manusia mengingat fitrah atau asal usul potensi yang memungkinkannya untuk menerima ajaran Ilahiyah yang dinamakan agama. Apakah fitrah itu?

Secara linguistik,7 ft}rah berasal dari akar kata bahasa Arab

“fat}ara” dan mashdar-nya adalah “fat}run”. Artinya, menciptakan pertama kalinya, memegang dengan erat, memecah, membelah, mengoyak atau meretakkannya. Perhatikan bentuk pertamanya, “fat}arahu>” yang bermakna Dia telah menciptakannya, berarti Dia menyebabkannya ada, secara baru, untuk pertama kalinya. Kata “fa>t}ir as-sama>wa>ti”

berarti pencipta langit dari tidak ada kepada ada. Jadi, dari sisi linguistik, fitrah berarti penciptaan pertama kali.

(6)

Ada bentuk kedua dari kata ft}rah yaitu “Fat}t}araha>” dan

mashdar-nya adalah “taft}i>r”. Bentuk kedua ini dikaitkan dengan bentuk pertama, tetapi pada bentuk kedua dipadankan dengan kata “t}aba’a”, yaitu memateri, memberi tanda, mencetak atau menanam. Dengan pengertian ini berarti fitrah adalah cetak awal yang ada dan dimiliki manusia. Dengan kata lain fitrah dipahami sebagai kecenderungan alamiah bawaan, yang tidak bisa berubah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud fitrah adalah Islam, di samping makna lain seperti potensi, kesucian, kekosongan dan ke-Tuhanan. Jika yang dimaksud adalah potensi, kesucian dan ketuhanan, maka artinya, fitrah adalah sebuah potensi yang siap menerima agama.8 Dari sekian

makna ini, sebenarnya hampir sama satu sama lain, yaitu sebagai bawaan alamiah manusia.

Di sisi lain, kata fut}ira adalah padanan dari kata t}ubi’a

yang merupakan bentuk pasif dari kata t}aba’a yang berarti mematri, memberi cap, mencetak atau menanamkan sekaligus menjadi sinonim dari kata khatama yang berarti mematri. Menurut ar-Ra>gib, kata ini bermakna menanamkan sesuatu dengan menggoreskan tanda atau cap. Dengan demikian kata t}aba’allah ‘ala qalbih berarti “Allah mematri hatinya”. Demikian pula kata t}ubi’a ‘ala> al-syai’ berarti jubila wa fut}ira (diciptakan dengan kecenderungan kepada sesuatu).9 Dengan demikian kata

ftrah memiliki makna yang sama dengan t}ab’un yang secara linguistik berarti suatu kecenderungan alamiah bawaan.

Dalam konteks manusia, al-Qur’an bahkan menyebut fitrah itu bersifat inhern dalam diri manusia. Bukan hanya itu, manusia bahkan dicipta melalui dan dengan ”fitrah Allah”.10 Hal itu dinyatakan dalam ayat,

8‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> al-H{usaini> al-Jurja>ni>, Kita>b

al-Ta’ri>fa>t, ed. Nas}r al-Di>n Tu>nisi> (Kairo: Syirkah al-Quds li al-Tija>rah, 2007), hlm. 271.

9E.W. Lane, Arabic-English Lexicon (Cambridge: The Islamic Text Society, 1972), hlm. 1823.

(7)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu, tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. al-Ru>m [30]: 30).

Di dalam ayat itu ditegaskan betapa agama itu sebagai penjelasan dari kata fitrah Allah dimana manusia diciptakan dari fitrah itu. Manusia dicipta menurut fitrah Allah dan wujud fitrah Allah yang menempel pada manusia adalah “kesaksian manusia pra-eksistensial tentang Allah sebagai Tuhan manusia dan alam”. Fitrah Allah ini bersifat inheren dan tidak mengalami perubahan kecuali lingkungan yang mengelilinginya. Pada saat dilahirkan, manusia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, sebagaimana ungkapan hadis. Berdasarkan pemahaman di atas disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia telah mengadakan “ikrar primordial” dengan Allah, dan dengan ikrar itu, manusia harus selalu mendengarkan dan mengikuti hati nuraninya, walaupun setan kerapkali melancarkan serangan dan gangguannya kepada manusia. 11

Menurut Quraish Shihab, keberagamaan adalah fitrah atau sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Dalam penjelasannya, Quraish Shihab juga mengutip pendapat yang disampaikan oleh William James, bahwa “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan)”.12 Untuk memperkuat tesisnya, Quraish

Shihab melansir penemuan Tim Universitas California tentang apa yang mereka namai God spot, yakni noktah otak yang merespons ajaran moral keagamaan. Penemuan ini diungkap dari hasil sekian banyak eksperimen yang dilakukan oleh

(30): 30.

11Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritis Atas Nalar Tafsir Gender, cet.ke-2 (Yogyakarta: Magnum, 2011), hlm. 239-242.

(8)

Prof. Vilayanur Ramachandran – ahli ilmu saraf berdarah India – bersama timnya dari Universitas California di San Diego Amerika Serikat. Mulanya God spot itu ditemukan pada penderita epilepsi/ ayan, ketika mereka sedang diserang oleh penyakit itu. Saat tersebut mereka sedang mengalami halusinasi. Tim peneliti berupaya untuk menggali pengalaman mereka dan ternyata ketika itu mereka mengalami episode mistik yang sangat kuat dan membuat mereka terobsesi pada soal spiritual keagamaan. Eksperimen dilanjutkan dengan memeriksa gelombang otak penderita itu saat mereka mengalami gangguan, dengan memasang sensor di bagian dahi dan memonitornya melalui layar komputer. Di sana, para ahli tersebut menemukan bahwa pada saat itu muncul pancaran gelombang yang kuat dari satu titik di temporal lobes – bagian otak yang berada persis di belakang tulang jidat. Dan ketika mereka khusyu’ dalam renungan tentang Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya, para ahli tersebut menemukan pancaran yang sama dan di tempat yang sama pada mereka yang menderita epilepsi itu. Demikian sekelumit dari informasi majalah mingguan Gatra 15 Nopember 1997, ungkap Quraish Shihab. Jika penemuan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tegas Quraish Shihab, maka ia dapat dijadikan pertimbangan yang kuat untuk memahami informasi al-Qur’an tentang fitrah manusia, yakni bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia dalam keadaan memiliki potensi untuk mengenal-Nya dan memenuhi tuntunan-tuntunan-Nya.13

Dalam kaitan ini, penting untuk memperhatikan pernyataan Murtadha Muththahari, sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab berikut:

”Ilmu mempercepat Anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”, dan agama menjawab yang dimulainya dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang

13Shihab, Tafsir al-Mishba>h Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an,

(9)

mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.”14

Dalam pernyataan di atas, Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan hidup masyarakat Barat membuktikan hal tersebut? Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Masing-masing ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi oleh akal. Karya seni tidak dinilai semata-mata oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai kecuali dengan kalbu. Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata. Atau sebaliknya akan keliru jika seseorang hanya mengandalkan kalbunya sehingga meninggalkan pertimbangan rasional dalam hidupnya. Kedunya mesti dipertimbangkan secara seksama.

Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama bisa sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin jadi manusia yang mencapai kesempurnaan pada setiap levelnya: melingkupi level fisik, ruh dan fungsi sosial. Untuk sekedar contoh adalah kemampuan manusia di bidang bio-teknologi di mana ilmu manusia sudah sampai kepada batas yang menjadikannya dapat berhasil melakukannya sehingga ia menjadi tuan bagi ciptaanya sendiri. Apakah ini baik atau buruk? Yang dapat menjawabnya adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat. Bagaimana mengembangkan bio-teknologi, bisa ditanyakan kepada ilmu. Bagaimana memanfaatkannya? Perlu dikonsultasikan kepada ilmu dan agama. Mengapa manusia harus mengarahkan fungsi bio-teknologi ke arah yang memanusiakan manusia? Pertanyaan ini hanya terjawab melalui agama atau pemahaman seseorang yang beragama dengan menggunakan seluruh dimensinya baik fisik, ruh maupun jiwanya.

Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa menciptakan “agama baru” demi memuaskan jiwanya. Jadi sekali lagi, bahwa terkait dengan nilai, maka agama

(10)

merupakan representasi dari struktur pengetahuan yang bisa berbicara tentang yang benar, yang baik, dan yang indah.15 Bahkan sebagian ahli menyatakan

bahwa jika seseorang mencari yang benar maka proses itu akan menghasilkan

ilmu, ketika mencari yang baik maka akan menghasilkan akhlaq, dan mencari yang indah menghasilkan seni. Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Hal ini disebabkan karena tidak ada manusia yang tidak mendambahkan kebenaran, keindahan dan kebaikan?16

Peran Manusia sebagai ’Abd dan Khalifah

Dilihat dari aspek peran, maka setidaknya al-Qur’an menggunakan dua terma yakni ’abd dan khalifah. ’abd merujuk kepada dua makna yakni makna negatif yakni hamba atau budak yang harus tunduk pada tuannya tanpa reserve. Ia tidak memiliki kebebasan dalam menentukan tindakan dan perilakunya. Makna kedua bernada positif yakni bahwa seorang hamba adalah yang mengabdi, taat dan patuh kepada perintah Tuhan. Sedangkan perintah Tuhan bisa dipastikan mengandung hikmah dan kebijaksanaan serta kemaslahatan. Kata ’abd merujuk kepada eksistensi diri dan pribadi sebagai hamba yang bertanggungjjawab untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan implikasi apa yang muncul dari tindakannya.

Sedangkan kata kedua adalah khalifah. Kata ini bermakna pengganti, pemimpin dan penguasa. Maka manusia adalah makhluk yang berperan menggantikan peran Tuhan di bumi atau alam semesta lainnya dengan tugas untuk meramaikan, memakmurkan dan memeliharanya dari kerusakan. Manusia adalah makhluk yang dengan potensi jiwa dan raganya dituntut menjadi pemimpin yang tugasnya menginisiasi dan mengawal tugas meramaikan, memakmurkan dan memelihara alam semesta itu.

Tugas manusia menjadi khalifah ini bukannya tanpa implikasi moral. Karena manusia juga diberikan potensi berbuat jahat,17 maka dalam menjalankan

fungsi kekhalifahan ia bisa jatuh dalam perilaku sombong, egois, semena-mena, 15Ibid., hlm. 377.

(11)

merusak dan merugikan. Oleh karena itu, fungsi sebagai khalifah mesti dituntun oleh akal pikiran dan petunjuk Tuhan agar bisa melaksanakan tugas memakmurkan dan bukan merusak. Ia memiliki potensi baik yaitu memakmurkan dan potensi jahat yaitu merusak alam semesta.18 Disinilah dalam teori

kepemimpinan modern, perlu adanya pembatasan teerhadap kekuasaan manusia baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Kelamaan memimpin bisa meninabobokkan manusia dan mengabaikan tugas utamanya bahkan bisa membawanya ke dalam perilaku yang menghianati kepercayaan dan tugas-tugas itu. Introspeksi diri dan kritik dari orang lain menjadi salah satu cara meminimalisir dan mengontrol tindakan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan atas nama kepentingan pribadi dan kelompok tertentu yang bisa merugikan kepentingan umum atau maslahah bersama.

Akumulasi dari tindakan manusia baik berupa pikiran perasaan dan perbuatan akan membentuk kebudayaan. Manusia sebagai makhluk sosial dirancang untuk hidup bersama orang lain, mengakui eksistensi mereka, mengatur dan diatur oleh mereka. Maka dalam teori sosial berlaku teori perubahan dimana perubahan bukan sekedar hasil dari sebab yang bersifat alamiyah namun perubahan juga bisa dilakukan dengan proses konstruksi sosial yang terus menerus dilakukan manusia baik dalam lingkup sosial maupun lingkup lingkungan alamiyah lainnya. Manusia dengan potensinya perlu memahami adanya dan kemungkinan adanya perubahan sosial yang disesuaikan dengan tuntutan sosial. Ia harus siap menata-ditata, mempengaruhi-dipengaruhi oleh perubahan yang ada dalam lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Ia mesti siap berperan aktif maupun pasif dalam proses konstruksi sosial.

Penutup

17Al-Qur’an menyatakan: “Demi jiwa dan kesempurnaannya. Maka Tuhan mengilhamkan sifat takwa dan dosa pada jiwa itu” (QS al-Syams: 7-8).

(12)

Kata kunci yang bisa diintrodusir dari al-Qur’an terkait fungsi manusia secara ringkas adalah berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan19 serta

berlomba-lomba memberi kemanfaatan bagi orang lain.20 Manusia yang eksis

adalah manusia yang sanggup berkompetisi dengan orang lain dengan kompetensi yang dimiiki dan dikembangkannya. Bersamaan dengan itu manusia yang baik adalah mereka yang bisa secara maksimal berkontribusi bagi orang lain dan memberikan manfaat dan maslahah bagi mereka setidaknya sebagai makhluk sosial maupun sebagai bagian dari penghuni lingkungan dan alam sekitarnya.

19Ayat al-Qur’an terkait ini adalah: “Berlomba-lombalah dalam kebaikan-kebakan” (Fastabiquu al-Khairaat).

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menjadi perhatian ketika mendesain sistem proteksi busbar karena ketika terjadi arus gangguan eksternal bernilai besar dapat menyebabkan arus yang dihasilkan pada

Pada kondisi lingkungan yang subur gulma akan tumbuh dengan cepat dan pada kondisi lingkungan yang kurang baik gulma juga dapat tumbuh namun tidak terlalu cepat

Dalam program ini, pemain tidak gambreng secara bersamaan seperti gambreng pada umumnya, melainkan satu per satu dengan pengaturan dari Semafor.Kemudian bandar akan menyerukan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di peroleh, maka dapat disimpulkan bahwa Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Rawat Jalan Pusat

Variabel terikat, adalah “variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas” (Sugiyono, 2008 : 39). Dalam penelitian ini yang menjadi

Informasi yang dapat diperoleh pada fase ini adalah jumlah curah hujan, evapotranspirasi potensial, kandungan air tanah, perkolasi, aliran permukaan, aliran dasar, aliran lateral

Rasa empati akan mendorong kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Sebelum kita membangun

Dalam manajemen pengetahuan peran para ahli sangat dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Para ahli bertugas untuk menentukan sistem pengetahuan mana yang sesuai dan cocok dengan