• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI (7)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II DASAR TEORI (7)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Klasifikasi Jalan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 tahun 2009, jalan adalah prasarana transportasi yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan atau air. Berdasarkan pasal 19 ayat 2 undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, Kelas jalan dibedakan menjadi :

1. Jalan kelas I yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

2. Jalan kelas II yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinnggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

3. Jalan kelas III yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinnggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

(2)

Berdasarkan Undang-Undang no.38 tahun 2004 tentang Jalan serta Peraturan Pemerintah no.34 tahun 2006 tentang Jalan, Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas :

1. Jalan Umum

a) Menurut Sistem, jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.

b) Menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan

c) Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa

d) Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.

2. Jalan Khusus

Jalan khusus bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan.

2.2 Jaringan Jalan

Didalam pasal 6 dan pasal 9 peraturan pemerintah No 34 tahun 2006 tentang jalan dijelaskan bahwa fungsi jalan terdapat pada sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan peran perkotaan yang dihubungkannya.Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan di dalam perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang dihubungkannya. Didalam pasal 9 ayat 1 peraturan pemerintah No 34 tahun 2006 Berdasarkan sifat dan pergerakan pada lalu lintas angkutan jalan fungsi jalan dibedakan atas jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan. Menurut sukirman (1999) penjelasan dari masing-masing fungsi jalan tersebut adalah sebagai berikut:

(3)

2. Jalan kolektor, adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan dan pembagian atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3. Jalan lokal, adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciriciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Dengan demikian sistem jaringan jalan primer terdiri dari:

1) Jalan arteri primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang pertama yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang pertama dengan kota jenjang kedua. Berdasarkan pasal 13 UndangUndang No. 34 tahun 2006 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan arteri primer ini adalah:

a) Kecepatan rencana ≥ 60 km/jam b) Lebar badan jalan ≥ 11 m

c) Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata

d) Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan dapat tercapai

e) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal, dan lalu lintas ulang alik

f) Jalan arteri primer tidak putus walaupun memasuki kota

g) Tingkat kenyamanan dan keamanan yang dinyatakan dengan indeks permukaan tidak kurang dari 2

2) Jalan kolektor primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang No. 34 tahun 2006 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor primer adalah:

a) Kecepatan rencana ≥ 40 km/jam b) Lebar badan jalan ≥ 9 m

(4)

e) Jalan masuk dibatasi sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan tidak terganggu

f) Indeks permukaan tidak kurang dari 2

3) Jalan lokal primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang pertama dengan persil, atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil, atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil. Berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No. 34 tahun 2006 Persyaratan jalan lokal primer adalah:

a) Kecepatan rencana ≥ 20 km/jam b) Lebar badan jalan ≥ 7,5 m

c) Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa d) Indeks permukaan tidak kurang dari 2

4) Jalan lingkungan primer Berdasarkan pasal 16 Undang-Undang No. 34 tahun 2006, persyaratan jalan lingkungan primer adalah:

a) Kecepatan rencana paling rendah 15 km/jam b) Lebar badan jalan minimal 6,5 m

c) Diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih

d) Jika tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih, harus mempunyai lebar paling sedikit 3,5 meter.

Sedangkan sistem jaringan jalan sekunder terdiri dari:

1) Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder pertama atau menghubungkan kawasan sekunder pertama dengan kawasan sekunder pertama, atau mengubungkan kawasan sekunder pertama dengan kawasan sekunder kedua. Berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 34 tahun 2006, Persyaratan dari jalan arteri sekunder adalah:

a) Kecepatan rencana ≥ 30 km/jam b) Lebar badan jalan ≥ 11 m

c) Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata d) Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat

(5)

2) Jalan kolektor sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Berdasarkan pasal 18 Undang-Undang No. 34 tahun 2006 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor sekunder adalah:

a) Kecepatan rencana ≥ 20 km/jam b) Lebar badan jalan ≥ 7 m

c) Indeks permukaan minimal 1,5

3) Jalan lokal sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder pertama dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Berdasarkan pasal 19 Undang-Undang No. 34 tahun 2006, Persyaratan jalan lokal sekunder adalah:

a) Kecepatan rencana ≥ 10 km/jam b) Lebar badan jalan ≥ 7,5 m

c) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,0

4) Jalan lingkungan sekunder Berdasarkan pasal 20 Undang-Undang No. 34 tahun 2006, persyaratan jalan lingkungan sekunder adalah:

a) Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6,5 (enam koma lima) meter

b) Persyaratan teknis jalan lingkungan sekunder diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih

c) Jika tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih, harus mempunyai lebar paling sedikit 3,5 meter.

2.3 Umur Rencana Jalan

Berdasarkan Petunjuk Perencanaan Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Lendutan dijelaskan bahwa umur rencana adalah jumlah waktu dan tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu diberi lapis permukaan yang baru.

(6)

struktural.Selama umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan tetap harus dilakukan, seperti pelapisan non struktural yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air.Umur rencana untuk perkerasan lentur jalan baru umumnya diambil 20 tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun.Umur rencana yang lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas yang terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.

2.4 Jenis-Jenis Perkerasan Jalan Raya

Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas: 1. Konstruksi Perkerasan Lentur (flexible pavement), yaitu: Perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu-lintas ke tanah dasar.

2. Konstruksi Perkerasan Kaku (rigid pavement), yaitu : Perkerasan yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat.

(7)

Lapisan Beraspal

Lapisan Pondasi Atas

Lapisan Pondasi Bawah

Tanah Dasar

Regangan Tarik

Regangan Tekan

Tegangan Tekan

Beban Lalu-Lintas

Regangan Tarik

Gambar 2.1 Tipikal Beban, Regangan/Tegangan yang bekerja pada Perkerasan

Sumber: Anonim,2007

Konstruksi perkerasan jalan adalah satu atau beberapa lapis konstruksi yang dibangun diatas tanah dasar yang merupakan bagian teratas (yang telah dipersiapkan) dari badan jalan,dengan tugas menyebarkan beban yang diterima dari roda lalu-lintas secara efektif sehingga tekanan yang timbul dipermukaan tanah dasar dapat dipikul oleh tanah dasar sesuai dengan daya dukungnya sedangkan badan jalan, secara umum dapat didefinisikan sebagai berikut:

Konstruksi badan jalan adalah bagian konstruksi jalan yang dapat berupa timbunan maupun galian yang dipersiapkan sedemikian rupah sehingga dapat mencapai kondisi stabil (kokoh) baik dengan perkuatan, maupun tanpa perkuatan,

(8)

dan siap untuk menerima diletakkannya (dibangunnya) dengan stabil konstruksi perkerasan diatasnya.

Selain bertugas sebagai penyebar beban secara efektif dari roda lalu-lintas ketanah dasar, konstruksi perkerasan juga berfungsi sebagai permukaan yang akan dilewati oleh roda lalu lintas dengan cepat, aman, dan nyaman sehingga konstruksi perkerasan harus cukup rata, awet, dan tidak licin.

Untuk dapat mengemban tugas dan fungsi, konstruksi perkerasan tidak boleh terganggu kestabilannya oleh konstruksi lain yang merupakan tempatnya meletak, yaitu badan jalan.

Adanya gangguan dari badan jalan (misalnya lendutan atau konsolidasi) akan mengganggu kestabilan konstruksi dan konstruksi perkerasan yang tertanggu kestabilannya tidak dapat menyebarkan beban roda lalu-lintas secara efektif sehingga tekanan yang sampai ketanah dasar akan “berlebih”, dan permukaan perkerasan tidak akan bisa rata, awet, dan tidak licin karena gangguan tersebut. Sebaliknya konstruksi perkerasan jalan yang karena sesuatu hal dapat menjadi turun kemampuannya dalam menyebarkan roda lalu-lintas ketanah dasar sebagai bagian teratas dari badan jalan.

Dalam keadaan seperti ini, tekanan yang terjadi pada permukaan badan jalan (sebagai tanah dasar) akan tidak dapat dipikulnya karena melebihi daya dukung tanah dasar atau permukaan badan jalan.Diperlukan adanya keharmonisan pelaksanaan tugas dan fungsi antara konstruksi perkerasan dan badan jalan dalam mewujudkan konstruksi jalan yang mantap, Komponen-komponen selain konstruksi perkerasan dan badan jalan yang ikut menentukan kestabilan konstruksi jalan, misalnya drainase, slope, dll.

Hal yang penting adalah kondisi daya dukung pada badan jalan ( misalnya soft soil,expansive soil ) harus melalui perkuatan (pile, cerucuk, geotextile, dll) atau stabilisasi jalan, dan sama sekali tidak pas atau tidak tepat sasaran bilamana kita mengharapkan solusi dari konstruksi perkerasan yang ada diatasnya. Hal tersebut disebabkan karena “ tupoksi” masing-masing berbeda

(9)

Badan jalan di daerahtimbunan Tanah dasar

Badan jalan di daerahgalian

Konstruksi Perkerasan

yaitu badan jalan. Hal ini tidak seperti pada konstruksi perkerasan kaku/beton semen.

Gambar 2.2. Konstruksi Perkerasan Jalan Sumber:Anonim, 2003

2.4.1 Karakteristik–karakteristik perkerasan lentur antara lain :

Bersifat elastis jika menerima beban sehingga dapat memberi kenyamanan bagi pengguna jalan:

a. Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal. b. Seluruh lapisan ikut menanggung beban.

c. Penyebaran tegangan ke lapisan tanah dasar sedemikian sehingga tidak merusak lapisan tanah dasar.

2.4.2 Susunan lapisan perkerasan lentur

Bagian perkerasan lentur umumnya meliputi: lapisan tanah dasar (sub grade), lapisan pondasi bawah (sub base), lapisan pondasi atas (base), Lapisan permukaan (surface).

1. Tanah Dasar (Sub Grade)

Lapisan tanah dasar (sub grade) adalah permukaan tanah semula atau permukaan galian atau permukaan tanah timbunan, yang merupakan permukaan dasar sebagai perletakan dari bagian–bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.

(10)

daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa palayanan walaupun terdapat pelayanan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan dan lain sebagainya.

Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu-lintas.

b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.

c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.

d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas dari macam tanah tertentu.

e. Kondisi geologist dari lokasi jalan perlu dipelajari dengan teliti, jika ada kemungkinan lokasi jalan berada pda daerah patahan.

2. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base)

Lapis pondasi bawah (sub base) adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan pondasi atas (base) dengan lapisan tanah dasar (sub grade). Fungsi lapisan pondasi bawah antara lain :

a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda.

b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).

c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi. d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.

Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.

(11)

Campuran–campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

3. Lapisan Pondasi Atas (Base)

Lapis pondasi atas (base) adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan pondasi bawah (sub base) dengan lapisan permukaan (surface).

Fungsi lapisan pondasi atas antara lain :

a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda. b. Sebagai perletakan terhadap lapisan permukaan.

Bahan–bahan untuk lapisan pondasi atas umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban–beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik–baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.

bermacam–macam bahan alam/bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapisan pondasi atas, antara lain: batu pecah, kerikil pecah dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

Menurut Silvia Sukirman (1999) jenis lapisan pondasi bawah yang umum dipergunakan di Indonesia, antara lain :

1) Agregat bergradasi baik, dibedakan atas : a) Sirtu / Pitrun kelasA

b) Sirtu / Pitrun kelas B c) Sirtu / Pitrun kelas C

Sirtu kelasA bergradasilebih halus dari kelas B, yang masing-masing dapat dilihat pada spisifikasi yang diberikan.

2) Stabilisasi

(12)

Lapisan permukaan (surface) adalah lapisan perkerasan yang paling atas dan langsung menerima beban lalu-lintas serta mendistribusikan beban yang diterimanya ke lapisan perkerasan di bawahnya. Fungsi lapisan permukaan antara lain;

a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda.

b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca.

c. Sebagai lapisan aus (wearing course).

Bahan untuk lapisan permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk lapisan pondasi atas, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu-lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana, serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya daripada biaya yang dikeluarkan.

Gambar 2.3 Susunan Perkerasan Jalan Sumber : Sukirman (1999).

2.5Tebal Lapis Tambah (Overlay)

(13)

kemampuan struktural atau karena mutu lapisan perkerasan yang sudah jelek. Tebal Lapis tambah juga dibutuhkan apabila perkerasan harus diperkuat untuk memikul beban yang lebih berat atau pengulangan beban yang lebih banyak dari yang diperhitungkan dalam perencanaan awal.

Pekerjaan lapisan tambahan memerlukan beberapa pekerjaan persiapan yang harus di lakukan idealnya kerusakan perkerasan harus di perbaiki terlebih dahulu sebelum dilakukannya pekerjaan lapis tambahan sebelum di lakukan lapis ulang atau tambahan perlu di lakukan dahulu survei-survei sebagai berikut :

1. Survei Kondisi Pemukaan

Survei ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan perkerasan survei ini bisah di lakukan secara visual ataupun dengan bantuan alat mekanis.Survei yang di lakukan secara visual ini dilakukan untuk menilai kondisi lapis permukaan apakah dalam kondisi baik atau dalam kondisi rusak, kemudian pada survei ini di lakukan penelitian terhadap kenyamanan apakah kondisi yang ada termasuk kondisi nyaman, kurang nyaman atau bahkan tidak nyaman.penilaian terhadap tingkat kerusakan baik dan segi kualitas atau kuantitas juga di lakukan secara visual terhadap keadaan retak (cracking), lubang (potholes), alur (rutting), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapisan ulang (strippping), keriting (corrugation), amblas (depression), jembul (upheaval), kegemukan (bledding) atau sungkur (shoving).

Survei dengan alat rough meter yang ditempel pada sumbu belakang roda dengan tujuan untuk mengukur gerakan vertikal sumbu pada kecepatan tertentu. Hal ini akan di peroleh kerataan dari permukaan jalan yang diukur dengan naik turunnya jarum.

2. Survei Kelayakan Struktural Kondisi Perkerasan

Survei tentang kelayakan struktur dari konstruksi perkerasan dapat di lakukan dengan dua cara yaitu secara merusak (destruktif) dan tidak merusak (non-destruktif).

(14)

uji dilaboratorium. namun cara ini tidak begitu disukai karena akan merusak perkerasan jalan.

Cara yang lebih disukai karena tidak merusak permukaan jalan yaitu cara non-destruktif dengan menggunakan alat bankelman beam.alat tersebut di rangkai bersama truk dengan berat total 8,2 alat di letakan dipermukaan jalan lalu di tarik truk sehingga muncul data lendutan dari permukaan jalan tersebut.

2.6Benkelman Beam (BB)

Benkelman Beam merupakan alat yang digunakan untuk mengukur lendutan balik, lendutan langsung dan titik belok perkerasan yang menggambarkan kekuatan struktur perkerasan jalan (Bina Marga, 2005).Penggunaan alat ini sangat efektif untuk menentukan kekuatan struktur tanpa menyebabkan kerusakan pada permukaan jalan.dari hasil pengujian akan diperoleh nilai lendutan balik maksimum, lendutan balik titik belok dan cekung lendutan (SNI 2416 2011).

Lendutan maksimum adalah besarnya lendutan balik pada kedudukan di titik kontak batang Benkelman Beam setelah beban berpindah sejauh 6 meter, Lendutan balik titik belok adalah besarnya lendutan balik pada kedudukan di titik kontak batang benkelman beam setelah beban berpindah 0,4 meter, dan cekung lendutan adalah kurva yang menggambarkan bentuk lendutan dari suatu segmen jalan.

Data-data tersebut diatas kemudian dapat dijadikan sebagai data perencanaan desain tebal lapis tambah (overlay).

(15)

2.7 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Benkelmen Beam Batang bengkelman untuk mengukur lendutan perkerasan jalan pertama kali di perkenalkan oleh A.C.Bengkelman pada awal 1950. Batang bengkelman yang di gunakan di indonesia terbagi menjadi dua bagian dengan perbandingan 1:2 oleh sumbuh O,seperti pada gambar 2.4 dengan panjang total batang adalah (366 ± 0,16) cm.

Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Bengkelman diletakan di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan jenis dan beban sumbuh standar. Posisi ujung batang Bengkelman seperti pada Gambar 2.5

Sumber Pd.T-05-2005-B

Gambar 2.5 Posisi Bengkelman Beam

Karakteristik truk yang di gunakan sebagai penyebab beban pada titik yang di yang hendak di ukur lendutannya adalah sebagai berikut:

1. Berat kosong truk ( 5 ± 0,1 ) ton

2. Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda

3. Beban masing- masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045 ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama dengan sumbu standar 18.000 pon.

(16)

Gambar: 2.6 Alat pengukur temperatur permukaan

Alat bengkelman beam di gunakan untuk mengukur lendutan balik, lendutan balik titik belok, lendutan maksimum, dan cekung lendutan. Namun, hanya lendutan balik yang umum digunakan untuk merencanakan tebal lapis tambah. Lendutan balik (rebound deflection) adalah besarnya lendutan balik vertikal akibat beban pada titik pengamatan dihilangkan. Pengukuran dilakukan setelah truk bergerak maju kedepan sejarak 6 m dari titik pengamatan dengan kecepatan 5 km/ jam. menunjukan posisi beban saat pengukuran lendutan balik.

Besarnya lendutan balik di pengaruhi oleh temperatur, beban dan muka air tanah pada saat pengukuran. Prosedur pengukuran mengikuti Pd.T-05-2005-B yaitu Metode Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur dengan alat Bengkelman Beam.

Sumber: Pd.T-05-2005-B

Gambar:2.7 Hubungan lendutan dengan pembacaan dial alat bengkelman beam 2.7.1 Lendutan Balik

Berdasarkan pedoman Pd.T-05-2005-B, besarnya lendutan balik ditentukan dengan menggunakan rumus 2.1

d = 2 x (d3 - d1) Ft x Ca x FKB-BB...(2.1)

(17)

d = lendutan balik (mm)

d1 = lendutan pada saat beban tetap pada titik pengukuran

d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik

pengukuran

Ft = faktor penyesuaian lendutan balik terhadap temperatur standar 35°C sesuai Rumus 2.1 untuk tebal lapis beraspal (HL) < 10 cm dan

Rumus 2.1 untuk tebal lapis beraspal ≥ dengan 10 cm. Tabel 2.1 dan Gambar 2.8 menunjukkan nilai Ft untuk berbagai nilai TL.

Sumber: Pd.T-05-2005-B

Gambar 2.8 Faktor koreksi lendutan balik terhadap temperatur standar.

Tabel 2.1 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)

(18)

Ft = 4,184 x TL -0,4025, untuk HL < 10 cm...(2.2)

Ft = 14,785 x TL -0,7573, untuk HL ≥ 10 cm...(2.3)

TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari pengukuran langsung di

lapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara, yaitu:

TL = 1/3 (Tp + Tt +Tb)...(2.4)

Tp = temperatur permukaan beraspal Tt = temperatur tengah beraspal Tb = temperatur bawah beraspal

Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)

= 1,2; jika pengujian dilakukan pada musim kemarau atau muka air tanah rendah

= 0,9; jika pengujian dilakukan pada musim hujan atau muka air tanah tinggi

FKB-BB= faktor koreksi beban uji Bengkelman Beam

FKB-BB= 77,343 x (beban uji dalam ton)(2,0715)...(2.5) Lendutan balik yang telah di koreksi akibat temperatur, muka air tanah, dan beban uji digambarkan seperti contoh pada Gambar 2.7 Gambar ini mempermudah melihat secara visual tingkat keseragaman lendutan untuk penentuan batas segmen pada tahap perencanaan tebal lapis tamba

(19)

Tabel 2.2 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal

(20)

Sumber: Pd.T-05-2005-B

Gambar:2.9 Contoh hasil pengukuran lendutan balik. 2.7.2 Lendutan Balik Segmen

Segmen adalah bagian dari luas jalan yang memiliki tingkat keseragaman nilai lendutan balik. Tingkat keseragamaan dikategorikan atas sangat baik, baik, dan cukup baik yang di tentukan dengan menggunakan Faktor Keseragaman (FK) seperti pada Rumus 7.6.

FK = dRs x 100% ... (2.6)

dengan :

FK = faktor keseragaman

dR = lendutan balik rata- rata pada satu segmen jalan

dR =

1

ns

d ns

...

(2.7)

S = Deviasi standar atau simpangan baku S = √ns¿ ¿ ¿

d = lendutan balik

ns = jumlah data lendutan balik dalam satu segmen.

(21)

Ada 3 kategori tingkat keseragaman yaitu: 1. 0 – 10% keseragaman sangat baik 2. 11 – 22%, keseragaman balik 3. 21 – 30%, keseragaman cukup baik

Dwakil adalah nilai lendutan balik yang digunakan untuk menunjukan lendutan balik satu segmen jalan dan digunakan untuk perencanaan tebal lapis tambah. Penentuan Dwakil dipengaruhi oleh fungsi jalan atau tingkat kepercayaan yang digunakan. Rumus dasar adalah:

Dwakil = dr + K.S...(2.8)

dengan :

Dwakil = lendutan balik untuk mewakili satu segmen jalan dr = lendutan balik rata- rata dari satu segmen jalan

K = konstanta tergantung dengan tingkat kepercayaan yang dipilih sesuai fungi jalan

K = 2, tingkat kepercayaan 98%, digunakan untuk jalan arteri atau tol K = 1,64, tingkat kepercayaan 95%, digunakan untuk jalan kolektor K = 1,28, tingkat kepercayaan 90%, digunakan untuk jalan lokal.

2.8 Parameter Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay) 1. Analisa Lalu Lintas

Di dalam metode Pd-T-05-2005-B ini, Austroads tahun 1992 dijadikan sebagai acuan dalam melakukan analisa lalu lintas.Perhitungan beban lalu lintas didasarkan pada muatan sumbu standar kendaraan sebesar 80 Kilo Newton dengan satuan CESA (Commulative Equavalent Standard Axle). Dalam menentukan akumulasi beban sumbu standar selama umur rencana (CESA) digunakan rumus berikut.

... (2.9) Keterangan:

(22)

E = Ekivalen beban sumbu

C = Koefisien distribusi kendaraan

N = Hubungan umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N)

Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi dalam melakukan perhitungan nilai Commulative Equavalent Standard Axle yaitu:

a. Jumlah Lajur Koefisien distribusi kendaraan (C)

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan tertentu yang menampung lalu lintas terbesar.

Jika lokasi penelitian tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan dengan menggunakan tabel 1.Sedangkan nilai koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur rencana ditentukan dengan menggunakan tabel 2. (Pd T-05-2005-B) Tabel 2.3 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Sumber : Dinas Pekerjaan Umum, Pd-T-05-2005-B Tabel 2.4 koefisien distribusi kendaraan

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B Keterangan: *)Mobil Penumpang

**) Truk dan Bus

b. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)

(23)

sumbu kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu standar.

Di dalam pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan metode lendutan (Pd T-05-2005-B) ini, Angka ekivalen masing-masing golongan beban sumbu kendaraan ditentukan dengan menggunakan rumus 2.10 sebagai berikut.

... (2.10) Keterangan:

Es = Standar Ekivalen

NilaiEs = 5,40 untuk beban sumbu tunggal roda tunggal (STRG) Nilai Es = 8,6 untuk beban sumbu tunggal roda ganda (STRG) Nilai Es = 13,76 untuk beban sumbu dual roda ganda (SDRG) Nilai Es = 18,45 untuk beban sumbu triple roda ganda (STrRG)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menentukan nilai ekivalen masing-masing golongan beban sumbu kendaraan (E) dapat juga dilakukan dengan menggunakan tabel Ekivalen sebagai berikut.

Tabel 2.5 Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan

(24)

c. Faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas (N)

Faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas ditentukan menurut tabel 2.atau rumus dibawah ini:

... (2.11) Tabel 2.6 Faktor hubungan antara umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N)

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum.Pd.T-05-2005-B 2. Analisa Lendutan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat Benkelman Beam sehingga analisa lendutan yang digunakan merupakan analisa dengan menggunakan Benkelman Beam. Di dalam pedoman ini dijelaskan bahwa Pengukuran lendutan pada perkerasan yang mengalami kerusakan berat dan deformasi plastis disarankan dihindari. jika pengujian lendutan ditemukan data yang meragukan maka di pindah pada lokasi sekitarnya.

a. Lendutan dengan alat Benkelman Beam (BB)

(25)

beban uji tidak tepat sebesar 8,16 ton). Besarnya lendutan balik dapat dihitung dengan rumus:

...(2.12) Keterangan:

dB =lendutan balik (mm)

d1 =lendutan pada saat beban berada pada titik pengukuran (mm)

d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik pengukuran

(mm)

Ft = faktor penyesuain lendutan terhadap temperatur standar 35oC didapat dari (kurva A HL < 10 cm dan kurva B untuk

HL ≥ 10 cm) ataupun dengan rumus:

... (2.13)

... (2.14) Keterangan :

TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pengukuran

langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara, yaitu:

... (2.15) Keterangan:

Tt = temperetur tengah lapis beraspal

Tb = temperatur bawah lapis beraspal

TP = temperature permukaan lapis beraspal

Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)

= 1,2; jika pemeriksaan dilakukan pada musim kemarau atau Muka air tanah rendah

= 0,9; jika pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau muka air tinggi

(26)

Gambar 2.10 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft) Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B

Tabel 2.7 Faktor koreksi lendutan terhadap temperatur standar (Ft)

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd.T-05-2005-B Catatan:

Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL) kurang dari 10

cm Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL)

minimum 10 cm

Tabel 6. temperatur tengah (Tt) dan temperatur bawah (Tb) lapis beraspal

(27)
(28)

b.Keseragaman Lendutan

Perhitungan tebal lapis tambah yang dilakukan pada setiap titik pengujian akan memberikan hasil desain yang lebih akurat, cara lain yang tetap sesuai kaidah adalah dengan melakukan pembagian segmen yang didasarkan pada pertimbangkan terhadap keseragaman lendutan.Penilaian keseragaman lendutan ditentukan dengan rentang factor keseragaman, dimana Keseragaman yang dipandang sangat baik mempunyai rentang antara 0 sampai dengan 10, antara 11 sampai dengan 20 keseragaman baik dan antara 21 sampai dengan 30 keseragaman cukup baik. Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

...(2.16) Keterangan:

FK = faktor keseragaman (%)

FK ijin = faktor keseragaman yang diijinkan = 0% - 10%; keseragaman sangat baik = 11% - 20%; keseragaman baik =21% -30%;keseragaman cukup baik dR = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan

...(2.17) S = standar deviasi (simpangan baku)

...(2.18)...(2.18)

Keterangan:

d = nilai lendutan balik (dB) atau lendutan langsung (dL) tiap titik pemeriksaan

pada suatu seksi jalan

ns = jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan

c. Lendutan Wakil

(29)

1) Untuk jalan arteri atau jalan tol (tingkat kepercayaan 98%)

...(2.19) 2) Untuk jalan kolektor (tingkat kepercayaan 95%)

...(2.20) 3) Untuk jalan lokal (tingkat kepercayaan 90%)

...(2.21) Keterangan:

Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan

dR =lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan (Rumus 2.10) s = standar deviasi (simpangan baku)

3. Tebal Lapis Tambah

a . Faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo)

Desain Tebal lapis tambah (overlay) dihitung berdasarkan temperature standar 35°C, karena setiap daerah di indonesia memiliki temperature perkerasan rata-rata tahunan (TPRT) yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan koreksi terhadap temperatur standar.Di dalam metode Pd T-05-2005-B telah dilampirkan Data temperature perkerasan rata-rata tahunan untuk setiap daerah atau kota diindonesia. Sedangkan faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo) dapat diperoleh dengan Rumus

...(2.22) Keterangan:

Fo =faktor koreksi tebal lapis tambah (overlay)

(30)

Gambar 2.11faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo) Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B

b. Jenis Lapis Tambah

Metode Pd T-05-2005-B hanya berlaku untuk lapis tambah menggunakan Laston dengan modulus resilien (MR) sebesar 2000 MPa dan Stabilitas Marshall minimum 800 kg. Nilai modulus resilien (MR) mengacu pada hasil pengujian UMATTA atau alat lain dengan temperatur 25°C. Apabila jenis campuran beraspal untuk lapis tambah menggunakan Laston Modifikasi dan Lataston atau campuran beraspal yang mempunyai sifat berbeda maka dapat menggunakan factor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL)

...(2.23) Keterangan:

FKTBL = faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian

MR = modulus resilien (MPa)

(31)

Sumber: dinas pekerjaan umum Pd-T-05-2005-B

Tabel 2.8 faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL)

C.Prosedur Pengerjaan

Metode ini menjelaskan tahapan perhitungan desain tebal lapis tambah dengan menggunakan alat Benkelman Beam (BB) dan alat FWD.Dikarenakan penelitian ini menggunakan data lendutan balik yang diukur dengan menggunakan alat Benkelman Beam (BB), maka Perhitungan tebal lapis tambah perkerasan lentur dilakukan dengan menggunakan tahapan perhitungan berdasarkan alat Benkelman Beam(BB). Tahapan perhitungan tersebut adalah sebagai berikut: a. Hitung repitisi beban lalu lintas (CESA) dalam ESA

b. Hitung lendutan hasil pengujian dengan alat Benkelman Beam (BB) dan koreksi dengan faktor muka air tanah (faktor musim, Ca) dan faktor temperatur standar (Ft) serta faktor beban uji (FKB-BB) bila beban uji tidak tepat sebesar 8,16 ton).

c. tentukan panjang seksi yang memiliki keseragaman (FK) yang sesuai dengan tingkat keseragaman yang diinginkan

d. hitung Lendutan wakil (Dwakil) untuk masing-masing seksi jalan yang tergantung dari kelas jalan

e. hitung lendutan rencana atau ijin (Drencana)

...(2.24) Keterangan :

Drencana = lendutan rencana, dalam satuan milimeter (mm).

CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar, dalam satuan ESA lendutan rencana (Drencana) dapat juga ditentukan dengan memploting data lalu

(32)

f. Hitung tebal lapis tambah (overlay) (Ho) dengan menggunakan rumus:

...(2.25)

Keterangan:

Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi temperatur rata rata tahunan daerah tertentu (cm)

Dsblov= lendutan sebelum lapis tambah atau Dwakil (mm)

Dstlov=lendutan setelah lapis tambah atau Drencana (mm)

g. Hitung tebal lapis tambah (overlay) terkoreksi (Ht) dengan menggunakan rumus berikut:

...(2.26) Keterangan:

Ht = tebal lapis tambah (overlay) laston setelah dikoreksi dengan temperatur rata-rata tahunan daerah tertentu (cm).

Ho= tebal lapis tambah (overlay) laston sebelum dikoreksi dengan temperature rata-rata tahunan daerah tertentu (cm).

Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah (overlay)

h. Bila jenis atau sifat campuran beraspal yang akan digunakan tidak sesuai dengan ketentuan di atas, maka tebal lapis tambah harus dikoreksi dengan faktor tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL). gambar 2.13

(33)

Sumber :Pd.T-05-2005-B 2.9 Biaya

Biaya pelaksanaan fisik /Engineer Estimate (EE) dihitung berdasarkan volume dan harga satuan dari masing–masing item pekerjaan. Volume masing–masing item pekerjaan dihitung berdasarkan dari hasil perencanaan/desain. Adapun harga satuan dihitung dengan menggunakan harga dasar bahan, upah/ tenaga dan alat, yang berlaku di daerah tersebut.

Dalam pembuatan Engineer Estimate tersebut, sebagai acuan dasar dalam penentuan harga bahan dan upah adalah parameter–parameter yang diterbitkan oleh Dinas Pekerjaan Umum,berupa Buku Harga Satuan Bahan Bangunan dan Upah. Dari harga dasar tersebut kemudian dianalisa harga satuan dasar bahan dan upah yang akan dipergunakan untuk menghitung harga satuan pekerjaan. Harga satuan dasar tersebut merupakan harga di lokasi pekerjaan.khusus untuk harga dasar satuan upah harus tidak boleh di bawah UMR yang berlaku di daerah tersebut.

Untuk menentukan harga satuan dasar peralatan, acuan dasarnya adalah parameter/koefisien yang diterbitkan oleh perusahaan penjual alat tersebut, sehingga dapat ditentukan biaya operasi alat perjam di lokasi pekerjaan.Harga satuan pekerjaan diperoleh dari hasil analisa/perhitungan dengan menggunakan argumen–argumen dari harga satuan dasar bahan, upah dan peralatan.

(34)

DAFTAR HARGA

Gambar 2.14 Tahap penyusunan rencana anggaran biaya (RAB) Sumber: Ervianto, 2007

2.9.1 Biaya Pelaksanaan

Dalam suatu pelaksanaan kegiatan ada 2 (dua) jenis biaya yang harus perhitungkan yaitu :

1.Biaya langsung, terdiri dari : Alat,Bahan, Tenaga kerja.

2.Biaya tidak langsung, terdiri dari : Pajak, Overhead, Keuntungan.

Perhitungan biaya langsung dapat dibuat dengan cara mengalikan kwantitas suatu pekerjaan dengan harga satuan pekerjaan.

Harga satuan pekerjaan didapat dari (3) tiga komponen, yaitu harga satuan upah, bahan, dan peralatan.

Perkiraan biaya proyek dibuat jumlah dalam setiap bab mata pembayaran yang itemnya sama dengan rincian item pada daftar kwantitas. Komponen biaya tidak langsung, perhitungannya dapat dimasukan dalam perhitungan biaya langsung secara bersamaan atau setelah perhitungan biaya langsung diperoleh. 2.9.2 Analisis Harga Satuan

(35)

1. Bahan

Bahan yang diperhitungkan ada 2 macam yaitu : Harga satuan bahan dasar dan Harga satuan bahan olahan :

1) Harga satuan bahan dasar (batu, pasir, dan lain-lain)

Untuk bahan dasar, biasanya diberi keterangan sumber bahan tersebut misalnya bahan diambil harga di quarry (batu kali, pasir, dan lain-lain) atau bahan diambil di pabrik atau gudang grosir (semen, aspal, besi, dan sebagainya). Data harga satuan bahan dasar yang digunakan dalam perhitungan analisa harga satuan adalah sebagai berikut:

a) Harga pasar setempat pada waktu yang bersangkutan

b) Harga kontrak untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kenaikan harga yang terjadi

c) Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan media cetak lainnya

d) Daftar harga/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang baik pusat maupun daerah.

e) Data lain yang dapat digunakan.

2) Harga satuan bahan olahan ( agregat kasar dan agregat halus)

Bahan olahan biasanya diberi keterangan tempat bahan tersebut diolah (di base camp, di UPCA terdekat).

Analisa perhitungan bahan olahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Masukan

a) Jarak Quarry (bila bahan dasar diambil dari quarry)

Jarak yang diperhitungkan sebagai jarak angkut adalah dari sumber bahan (quarry) ke lokasi dimana alat pemecah batu berada.

b) Harga satuan bahan dasarYaitu harga satuan dasar batu kali berupa data otentik yang tersedia.

(36)

d) Harga satuan dasar tenaga kerjaYaitu Harga Satuan dasar tenaga kerja berupa data otentik yang tersedia.

e) Kapasitas alat yaitu Merupakan kapasitas alat pemecah batu (stone crusher) dan wheel Loader

f) Faktor efisiensi produksi alat Yaitu faktor efisiensi kerja dari alat yang digunakan

g) Faktor Kehilangan Material Yaitu faktor untuk memperhitungkan material yang tercecer saat diolah.

b. Proses

Perhitungan bahan olahan dilakukan meliputi :

a) Biaya kerja alat dalam memproduksi yang bersangkutan, berdasarkan waktu yang dibuthkan alat tersebut dan biaya sewa alatnya.

b) Biaya kebutuhan bahan dasar (batu kali dan pasir) yang diperlukan c) Perhitungan tenaga kerja yang diperlukan

d) Biaya kerja alat dalam proses pencampuran (blending) c. Keluaran

Proses perhitungan di atas akan menghasilkan Harga Satuan Dasar Bahan untuk agregat kasar dan halus.

Harga satuan dasar bahan ini merupakan masukan (input) dalam proses perhitungan analisa harga satuan.

2. Alat a) Masukan

Masukan yang diperlukan dalam perhitungan harga sewa alat (biaya sewa alat per satuan waktu) antara lain:

1) Asumsi

a) Alat yang diperhitungkan merupakan alat baru b) Biaya pemeliharaan alat baru adalah minimum 2) Jenis alat

Jenis alat yang dimaksud misalnya Wheel Loader, Track Loader, Asphalt Mixing Plant, dan sebagainya.

(37)

Kapasitas alat yang dimaksud misalnya kapasitas Bucket Wheel Loader 1,30 M3, AMP 50 Ton/Jam, dan sebagainya.

4) Umur ekonomis alat

Umur Ekonomis (Economic Life Years) alat dalam tahun yang lamanya tergantung dari tingkat penggunaan dan standar dari pabrik pembuatnya. 5) Jam kerja alat per tahun

Adalah jumlah jam kerja alat dalam satu tahun 6) Harga pokok alat

Adalah pembelian alat setempat :

a) Bila pengadaan alat tidak melalui dealer, yang dimaksud harga setempat adalah harga dari CIF ditambah handling cost (biaya masuk, biaya incliring sewa gudang, ongkos angkut, dll) sampai ke gudang pembeli. b) Bila membeli setempat artinya lewat dealer/agen adalah harga sampai ke

gudang pembeli. 7) Nilai sisa alat

Nilai sisa (salvage value) yaitu nilai/harga dari peralatan yang bersangkutan setelah umur ekonomisnya berakhir. Biasanya nilai ini diambil 10 % dari initial cost (harga pokok alat setempat).

8) Tingkat suku bunga pinjaman

Merupakan tingkat suku bunga Bank untuk investasi yang berlaku pada tahun pembelian alat yang bersangkutan.

9) Tenaga mesin

Merupakan kapasitas mesin penggerak dalam Horse-Power (HP) 10) Harga satuan dasar tenaga kerja

Upah tenaga kerja di dalam biaya operasi biasanya dibedakan antara upah untuk operator/driver dan upah pembantu operator.

11)Harga satuan dasar bahan

Harga satuan dasar bahan di dalam biaya operasi berupa bahan bakar dan minyak pelumas.

b) Proses

Harga satuan dasar alat terdiri dari :

(38)

2) Biaya operasi dan pemeliharaan ( Direct Operational and Maintenance Cost )

c) Keluaran

Keluaran harga satuan dasar alat adalah Harga Satuan Dasar Alat yang meliputi biaya pasti, biaya operasi & pemeliharaan dan biaya operatornya.Keluaran Harga Satuan Dasar Alat ini selanjutnya merupakan masukan untuk proses analisa harga satuan pekerjaan.

3. Tenaga Kerja

1) Hari orang standar (Standard Man Day)

Yang dimaksud dengan pekerja standar di sini adalah pekerja terampil yang biasa mengerjakan satu macam pekerjaan seperti pekerja galian, pekerja pengaspalan, pekerja pasangan batu, pekerja las dan lain sebagainya.

Dalam sistem pengupahan digunakan satu satuan upah berupa orang hari standar (Standard Man Day) yang disingkat dengan HO atau MD, yaitu sama dengan upah pekerjaan dalam 1 hari kerja (8 jam kerja termasuk 1 jam istirahat).

2) Orang Standar (Standard Man Hour) Di dalam standar hari orang yang dimaksud satu hari kerja adalah 8 jam terdiri dari 7 jam kerja (efektif) dan 1 jam istirahat.Apabila perhitungan upah dinyatakan dengan jam orang, maka jam orang dihitung sebagai berikut :

Upah jam orang = upah orang hari

3) Resume

Resume yang diperoleh berupa Harga Satuan Dasar Tenaga Kerja. Data harga satuan dasar tenaga kerja yang digunakan dalam perhitungan analisa harga satuan adalah sebagai berikut:

a. Harga pasar setempat pada waktu yang bersangkutan.

(39)

c. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan media cetak lainnya.

d. Daftar harga/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrik atau agentunggal.

e. Daftar harga standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang baik pusat maupun daerah.

Gambar

Gambar  2.1 Tipikal Beban, Regangan/Tegangan yang bekerja pada PerkerasanSumber: Anonim,2007
Gambar 2.2.  Konstruksi Perkerasan Jalan
Gambar 2.4 Alat Benkelmen BeamSumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 2.5 Posisi Bengkelman Beam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi

Penelitian yang dilakukan oleh Indrasari (2012) hasilnya sama dengan penelitian ini yaitu pada analisis statistik didapat nilai p = 0,009 (&lt;0,05) yang bermakna signifikan

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia sedangkan sumber daya manusia berkualitas sangat dipengaruhi oleh kualitas

Mengatasi permasalahan tersebut, peneliti berencana untuk mengembangkan lembar kegiatan siswa (LKS) yang dapat mencapai kompetensi sekaligus penguasaan keterampilan

Dari hasil tinjauan teoritis dan telaah kepustakaan maka disimpulkan kerangka konsep hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada

Flavonoida mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan spectrum sinar tampak, umumnya dalam

pendekatan konflik kognitif terhadap penurunan jumlah miskonsepsi siswa. Penurunan persentase miskonsepsi siswa diketahui dengan perbedaan jumlah miskonsepsi pada pre-test

Program pelatihan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan modifikasi program pelatihan STAC yang dilakukan oleh Midgett dan Doumas (2016) pada siswa sekolah dasar