BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemutusan hubungana kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya khususnya bagi para pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu
akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.1
Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala
pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai
keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakahiran kemampuan
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.2
1
F.X. Djumialdi dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan hubungan Perburuhan pancasila, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm 88
Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat
2
dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.3
Sangat disayangkan selama ini perselisihan antara pekerja dengan pengusaha
seringkali diselesaikan dengan cara-cara yang anarkis seperti demonstrasi dengan
kekerasan, pembakaran, pemogokan sampai penutupan perusahaan (lock out).
Seharusnya perselisihan itu dapat diselesaikan dengan damai dan saling
menguntungkan. Akibat perselisihan di antara pekerja dengan pengusaha tersebut
tentu saja akan membuat terganggunya proses produksi di perusahaan, untuk itulah
diperlukan penyelesaian secepatnya. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman dan
Ridwan Syahrani mengatakan : Pengadilan merupakan tumpuan harapan bagi setiap
pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu
perkara. Dari pengadilan inilah diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah.
Oleh karena jalan yang sebaik-baiknya untuk dapat penyelesaian suatu perkara dalam
suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.4
Penanganan perselisihan PHK selama ini ditangani oleh Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) di bawah naungan
Departemen/Instansi Ketenagakerjaan, sedangkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang
ditetapkan tanggal 14 Januari 2005, penanganannya dialihkan ke Pengadilan
Negeri.
Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2
Tahun 2004, disebutkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan
Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada
3
Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 65 4
Pasal 51 ayat (1) disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini
dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah hukumnya
meliputi propinsi yang bersangkutan.
Hal senada juga disampaikan Yahya Harahap, ada beberapa kelemahan
pengadilan termasuk Pengadilan Hubungan Industrial yaitu :5
1. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau disebut waste of time (buang waktu lama), hal ini diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain dari pada itu arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak.
2. Biaya perkara mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian, semakin lama penyelesaian semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. 3. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, oleh karena putusan
pengadilan tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak yang bersangkutan sangat antagonistis, salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan.
Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, penyelesaiannya juga bisa
diselesaikan melalui pengadilan, namanya Pengadilan Hubungan Industrial yang
berada di bawah Pengadilan Negeri di ibukota provinsi. Upaya penyelesaian di
pengadilan merupakan upaya terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak
tercapai. Lahirnya pengadilan ini sebenarnya perwujudan dari lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(selanjutnya disingkat dengan UU PPHI). Hal ini merupakan langkah maju sebab dulu
penyelesaian perselisihan dilakukan oleh suatu lembaga yang bernama Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
5
Mengenai hal ini, UU PPHI memang telah memberikan kelonggaran bagi
Serikat Pekerja untuk bertindak menjadi kuasa hukum guna mewakili anggotanya
untuk bersidang di PHI (Pasal 87 UU PPHI), namun tak semua Serikat Pekerja juga
memiliki kemampuan teknis beracara di PHI, dan tak semua perusahaan terdapat
serikat pekerja. Sementara itu, menggunakan jasa Advokat juga bukan pilihan yang
mudah, terlebih karena ada faktor biaya dan ‘kepercayaan’ yang harus
dipertimbangkan.
Akibatnya banyak gugatan yang ditolak, dan membuat pekerja/buruh harus
mengajukan gugatan ulang padahal pada gugatan awal, pekerja/buruh sudah mengikuti
jalannya persidangan yang lama (50 hari) dan ketika gugatan ulang diajukan, maka
mau tidak mau pekerja/buruh harus menjalani persidangan dari awal (selama 50 hari)
lagi. Bayangkan, betapa banyak energi dan biaya yang dikeluarkan oleh pekerja/buruh.
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan
pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu
adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan
musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini
merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja
langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan
Pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang
memeriksa dan mengadili perkara-perkara perselisihan hubungan industrial dalam
peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan No.12/G/2009/PHI.PN.MDN
tergugat melakukan pelanggaran disiplin, namun diakui oleh tergugat pernah lalai dan
itu bukan merupakan perbuatan disengaja. Namun di dalam hal ini penguggat terlebih
dahulu harus mengerti dan menghayati tentang isi dari pada perjanjian kerja bersama
PT Newmont dengan UU No.3 Tahun 2003 karena aturan kedua ini mempunyau
hubgungan yang erat lain untuk mengambil keputusan khususnya dalam hal
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahwa dalam melakukan PHK, penggugat tidak
melalui prosedur, karena surat peringatan terhadap terguggat tidak sesuai prusedur
drngan tidak memberikan kesempatan kepada tergugat untuk memperbaiki kinerjanya
dan surat peringatan yang diterima tergugat tidak sesuai ketentuan, karena tidak
melalui tahapan tingkatan sesuai perjanjian kerja bersama sesuai dengan pasal 161
ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.6
Sesuai dengan permintaan penggugat pada angka 11 (sebelas) untuk
menghentikan upah pada terguggat dengan alasan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 108 Undang-Undang No.2 Tahun
2004 bahwa upah tidak dibayar apabila tidak melakukan pekerjaan, hal ini ditolak oleh
terguggat karena pasal yang dituduhkan tidak sesuai dengan permasalahan. Dalam hal
ini terguggat menawarkan untuk dapat bekerja kembali walaupun dengan syarat
sampai adanya putusan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan
tetapi penggugat sendiri yang tidak mau memperkerjakan kembali terguggat.7
Upaya hukum yang dapat dilakukan setelah terjadinya pemutusan
hubungankerja terhadap pekerja secara sepihak pada PT. Newmont,hanya melalui 6
2 (dua) tahapan saja yaitu tahapan bipartit dan mediasi, namun dalam proses
pelaksanaan kedua tahapan ini terjadi ketidaksesuaian dengan aturan yang ada
dalam bentuk perjanjian kerja bersama maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003Tentang Ketenagakerjaan.Bahwa perlindungan hukum yang diterima pekerja
setelah terjadinya PemutusanHubungan Kerja pada PT. Newmont, tidak diberikan
karena dalam proses pemutusan hubungan kerja maupun setelah terjadinya
pemutusan hubungan kerja, pekerja belum menerima haknya berupa uang
pesangon yang tercantum dalam pasal 155 dan 156 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas yang diangkat dalam
penulisan ini adalah: “PROSEDUR PENGAJUAN PHK MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) STUDI ATAS PUTUSAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004.”
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus
diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka
akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak
mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan
Perundang-undangan?
3. Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI
Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
a. Untuk mengetahui prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam
peraturan Perundang-undangan
b. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2
Tahun 2004.
c. Untuk mengetahui Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan
Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No.
12/G/2009/PHI.PN.MDN).
2. Manfaat penelitian
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan.
1. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam
memberikan perlindungan terhadap pekerja /buruh dalam pemutusan
hubungan kerja (PHK) melalui pengadilan hubungan industrial (PHI).
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) mengenai
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul tulisan ini adalah Prosedur Pengajuan PHK Melalui
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) STUDI Atas Putusan Nomor
12/G/2009/PHI.PN.MDN). Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam
bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul
yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian
skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha lainnya dikenal dengan istilah PHK atau
penghakhiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu
tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi
karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya
pekerja/buruh atau karena sebab lainnya.8
Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan
permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha)
karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau
mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing
telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda
halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini
akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih pekerja/buruh
8
yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika
dibandingkan dengan pihak pengusaha.9
PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya,
khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang
bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan
keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial
(pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah), dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja.10
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika pengusaha akan melakukan PHK, maka
terlebih dahulu harus merundingkannya dengan serikat buruh/pekerja atau dengan
buruh/pekerja yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat buruh/pekerja.
Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (Pasal 151 ayat 3). Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari
lembaga yang berwenang batal demi hukum, kecuali alasan-alasan sebagaimana
diatur dalam pasal 154.11
9
Ibid, hlm 177
10
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi revisi, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 195
11Ibid,
Menurut Halim “pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah
pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.”12
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa : “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.”
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Kep-15A/Men/1994 bahwa : “PHK ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha
dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.” Kedua pengertian
di atas memiliki latar belakang berbeda. Pengertian pertama lebih bersifat umum
karena pada kenyataannya tindakan PHK tidak hanya timbul karena prakarsa
pengusaha, tetapi oleh sebab-sebab lain dan tidak harus izin kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Untuk pengertian kedua bersifat khusus, di
mana tindakan PHK dilakukan oleh pengusaha karena pekerja/buruh melakukan
pelanggaran atau kesalahan sehingga harus izin terlebih dahulu kepada P4D/P4P
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pengertian ini menurut penulis sangat tepat karena sudah mencakup
perbedaan kedua pengertian di atas. Selanjutnya, diatur bahwa untuk PHK oleh
pengusaha karena alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), hanya dapat dilakukan setelah
adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht).
12
Oleh sebab itu, apabila pengusaha akan melakukan PHK kepada
pekerja/buruh dengan alasan kesalahan berat, harus menempuh proses peradilan
pidana terlebih dahulu, yaitu dengan cara mengadukan pekerja/buruh yang
melakukan kesalahan berat tersebut kepada aparat berwajib. Dalam hal ini
otomatis pengusaha dan pekerja/buruh harus menempuh proses hukum yang
panjang dan memerlukan pengorbanan, baik waktu, tenaga, maupun biaya yang
tidak sedikit. Untuk menyikapi PHK seperti ini akhirnya kembali pada kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan, bagaimana cara
menyiasatinya dengan baik sehingga perselisihan PHK dapat selesai dengan
praktis dan cepat.13
Bagaimanapun jika antara pengusaha dan pekerja/buruh menempuh jalur
pidana baru kemudian ke pengadilan hubungan industrial, tentu proses tersebut
sangat melelahkan dan menyita waktu. Dalam kasus tertentu yang masih dalam
batas toleransi bagi pengusaha lebih baik konsentrasi pada urusan perusahaannya,
sebaliknya juga bagi pekerja/buruh lebih baik cepat selesai urusan PHK-nya dan
dapat segera mencari pekerjaan baru di tempat lain.14
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja, dan pemerintah dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Segala
upaya, berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, antara lain pengaturan waktu
kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja/buruh. Jadi, pemutusan hubungan kerja adalah merupakan tindakan
13
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 196
14Ibid
terakhir, bila segala upaya pencegahan telah gagal, baru pemutusan hubungan kerja
boleh dilakukan.15
Pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam bab XII, dari pasal 150
sampai dengan pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 meliputi pemutusan hubungan
kerja yang terjadi pada :
a. Badan usaha yang berbadan hukum, maupun
b. Badan usaha tidak berbadan hukum
c. Milik perseorangan
d. Milikpersekutuan
e. Milik badan hukum
f. Milik swasta
g. Milik negara
h. Usaha-usaha sosial
i. Usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain (pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003).
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/
atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima (pasal 156 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003). Ketentuan pasal 156 ayat 1 ini
merupakan ketentuan umum atas pemutusan hubungan kerja, hal ini berarti bahwa
pada setiap pemutusan hubungan kerja maka pengusaha wajib memberikan uang
15
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang sesuai
dengan ketentuan peraturan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Prosedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :16
1. Wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja,
maksud pemutusan hubunan kerja tersebut.
2. Bila perundingan gagal atau tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha
hakya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan disertai
alasan yang menjadi dasarnya.
3. Permohonan penetapan dapat diterima bila telah dirundingkan terlebih dahulu
dan perundingan itu gagal. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan adalah
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima,
serta selama putusan belum ditetapkan, maka baik pengusaha maupun pekerja
harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2 dan 3;pasal
170 UU No. 13 Tahun 2003).
Pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah berserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja (Pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun
2003).
16Ibid
Pemutusan hubungan kerja tidak memerlukan penetapan bila dalam
keadaan seperti berikut ini (Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003).
a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, sepanjang telah disyaratkan secara
tertulis sebelumnya.
b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali.
c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan pengusaha, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan.
d. Pekerja meninggal dunia.
Bagian b pasal 154 di atas dinyatakan bahwa “berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali”, apa maksud dari
pernyataan tersebut? Penjelasan pasal 154 tidak memberikan penjelasan apapun.
Apakah yang dimaksud adalah bahwa :17
1. Dalam PHK ini pengusaha tidak wajib memberikan uang apapun, termasuk
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak;atau
2. Untuk melanjutkan atau pembaruan perjanjian kerja hanya dapat dilakukan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja (pemutusan hubungan kerja karena kemauan pekerja
sendiri)?Pembaruan perjanjian kerja hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun (lihat pasal 59 ayat 6 UU No. 13 Tahun 2003)?
17Ibid
Dalam hal terjadi perpanjangan perjanjian kerja yang melebihi 1 (satu)
tahun atau terjadi pembaruan perjanjian kerja sebelum melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari, apa sanksinya bagi pengusaha? Semoga peraturan
pelaksanaan dari UU ketenagakerjaan ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan
‘sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali’ agar tidak
terjadi kesimpangsiuran. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja hanya
dapat diberikan jika disertai dengan alasan yang diperbolehkan.18
Alasan yang tidak boleh dijadikan dasar permohonan penetapan pemutusan
hubungan kerja adalah (pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003):
1. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
2. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
4. Pekerja menikah
5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya
6. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau perkawinan dengan pekerja
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. Pekerja mendirikan, menjadikan anggota dan/atau pengurus serikat pekerja,
pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam
18Ibid
jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
8. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
10.Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
Alasan yang diperbolehkan untuk menjadi dasar pemutusan hubungan kerja
adalah:19
a. Karena pekerja melakukan kesalahan berat
b. Karena pekerja ditahan pihak berwajib
c. Karena telah diberikan surat peringatan ketiga
d. Karena perubahan status perusahaan
e. Karena perusahaan tutup
f. Karena perushaan pailit
g. Karena pekerja meninggal dunia
h. Karena pensiun
i. Karena mangkir
j. Karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut
19Ibid
k. Karena kemauan diri sendiri;serta
l. Karena sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja.
Dari alasan-alasan yang diperbolehkan tersebut di atas, maka pemutusan
hubungan kerja diperbolehkan tanpa penetapan Depnaker bila dengan alasan :
1. Karena pekerja melakukan kesalahan berat (pasal 158 ayat 1 UU No. 13 Tahun
2003)
2. Pekerja yang setelah 6 (enam) bulan ditahan pihak berwajib karena proses
pidana (pasal 160 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003)
3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri (pasal 162 UU No. 134
Tahun 2003) hal 183
4. Pekerja mengundurkan diri karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak
patut (pasal 169 dan 171 UU No. 13 Tahun 2003).
Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
bila tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya (pasal
171 UU No. 13 Tahun 2003).
Ketentuan pasal 171 ini perlu juga diperjelas, apakah pemutusan hubungan
kerja tanpa penetapan ini mencakup pemutusan hubungan kerja yang inisiatifnya
dari pekerja seperti misalnya pengunduran diri atas kemauan sendiri? Pengunduran
diri atas kemauan sendiri adalah merupakan pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan, apakah ini termasuk pemutusan hubungan kerja yang dapat diajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Kiranya
pemutusan hubungan kerja yang dapat digugat seperti ketentuan pasal 171 ini
karena kedudukan pekerja di Indonesia ini sangatlah lemah sehingga banyak
perusahaan yang mengancam pekerja untuk melakukan pengunduran diri saja
walaupun sebenarnya kesalahan pekerja itu bukan kesalahan berat. Sehubungan
dengan hal tersebut maka semua pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
kiranya terbuka kemung
kinan untuk digugat dalam jangka waktu satu
tahun.
20F. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan
dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan
menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai
tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :
1. Data dan Sumber Data
Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 21
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain
UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
:
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan
mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku,
makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan internet.
20Ibid
, hlm 184 21
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan
dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian,
sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain
yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
3. Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan
guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif berupa data-data yang akan diteliti