BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang penting dalam
suatu organisasi, oleh karena itu sumber daya manusia harus dikelola dengan baik
untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi, ini merupakan salah satu fungsi
dalam perusahaan yang dikenal dengan manajemen sumber daya manusia.
Manajemen sumber daya manusia mengacu pada kebijakan-kebjakan,
praktik-praktik, serta sistem yang mempengaruhi perilaku, sikap dan kinerja karyawan
(Hollenbeck, Gerhart & Wright, 2010).
Kinerja atau perfomance adalah perilaku yang berhubungan dengan tujuan organisasi yang diukur pada setiap kompetensi individu (Landy & Conte, 2004).
Kinerja seorang karyawan dapat dinilai berdasarkan jumlah perkerjaan yang
diselesaikan dalam batas waktu tertentu. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja individu adalah need for achievement. Schuler (2010) menyebutkan need for achievement sangat penting dalam mempengaruhi dan menentukan kinerja.
Need for achievement menurut McCelland adalah keinginan untuk menonjol, untuk mencapai sesuatu yang berhubungan dengan sebuah satuan
standar tinggi, dan berjuang untuk sukses (dalam Robbin & Coulter, 2005).
Pendapat lain dari Daft (2008, Moore, Grabsch & Rotter, 2010) yang mengatakan
memenuhi standar yang tinggi untuk sukses, menguasai tugas yang sulit dan
berkompetisi dengan orang lain. Teori ini dikembangkan oleh David McCelland.
McCelland sendiri mengatakan bahwa need for achievement menggambarkan individu yang memiliki perhatian terhadap kemahiran, mengambil resiko yang
tinggi, dan merespon dengan baik feedback terhadap tugas-tugasnya (McClelland, 1987).
Ada perbedaan antara individu yang memiliki need for achievement yang tinggi dengan individu yang memiliki need for achievement yang rendah. Individu yang memiliki need for achievement yang tinggi akan mencari situasi dimana mereka dapat berkompetisi dengan beberapa standar, dan membuktikan
kesuksesan diri. Mereka cenderung menghindari kesuksesan yang didapat dengan
mudah. Mereka juga lebih memilih pekerjaan yang menawarkan tanggung jawab
personal untuk menemukan solusi untuk sebuah masalah, yang mana mereka bisa
menerima feedback yang jelas dan cepat terhadap kinerja mereka. Selain itu individu yang memiliki need for achievement yang tinggi lebih berorientasi terhadap masa depan dan tidak menunda penyelesaian tugas agar dapat mencapai
tujuan. Sebaliknya orang yang memiliki need for achievement yang rendah memiliki kecenderungan termotivasi untuk menghindari kesulitan. Mereka lebih
mencari tugas yang mudah, lebih suka menghindari kegagalan (Fieldman, 2003).
Individu yang memiliki need for achievement yang tinggi akan lebih cepat dalam mendapatkan promosi diawal karir mereka, hal ini dikarenakan mereka
akan lebih bersedia menyelesaikan tugas yang sulit agar lebih sukses
oleh pendapat Darolia, Kumari, Darolia (2010) yang mengatakan need for achievement sebagai suatu kontruksi yang luas yang berkaitan dengan kondisi dan proses yang menjelaskan gairah, arah dan besarnya usaha seseorang dalam
menjaga pekerjaannya. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan beberapa
perusahaan di dunia seperti di Amerika Serikat, China, Australia dan Singapura,
dapat dilihat bahwa perusahaan yang memiliki manejer dengan skor need for achievement yang lebih tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat (Hodgetts & Luthan, 2003).
Need for achievement menurut McCelland dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Penelitian ini berfokus pada faktor eksternal yang
mempengaruhi need for achievement, salah satu faktor eksternal adalah organisasi. Organisasi menurut Robbert (1994; Torang, 2013) adalah suatu entitas
sosial yang terkoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih dengan
batasan yang relatif terindentifikasi, yang berfungsi secara berkelanjutan untuk
mencapai seperangkat sasaran bersama. Robbin (1999) juga menambahkan setiap
organisasi memiliki karakteristik dan kepribadian yang berbeda-beda satu sama
lain, inilah yang disebut dengan budaya organisasi. Schein (1990) mengatakan
budaya organisasi merupakan salah satu cara dalam mempengaruhi pola pikir
individu dalam membuat keputusan dan akhirnya mempengaruhi cara mereka
dalam berinteraksi, merasakan dan bertindak.
Brown (1998; Sokro, 2012) mengatakan ada hubungan antara budaya
memberikan karyawan pemahaman jelas dari tugas-tugas yang diberikan dan
berpengaruh terhadap perilaku anggotanya, termasuk motivasi berprestasi.
Budaya organisasi juga dapat mendorong need for achievement karyawan sehingga dapat mencapai tujuan organisasi (Sempane, Riege & Roodt, 2002).
Budaya organisasi memainkan peran yang penting dalam organisasi dengan cara
bagaimana menciptakan perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka,
meningkatkan motivasi, komitmen dan kepuasan kerja. Organisasi dapat
menciptakan energi, yang mana energi tersebut menyebar keseluruh organisasi
dan menciptakan kesuksesan.
Hal tersebut didukung oleh pendapat yang dikemukan Boddy (2002) yang
mengatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh penting dan langsung
terhadap perilaku karyawan dari sebuah organisasi, ia percaya bahwa budaya
organisasi dapat mendorong karyawan untuk memberikan yang terbaik demi
tujuan organisasi atau dapat mencegah perilaku yang membahayakan bagi kinerja
organisasi. Karyawan juga cenderung akan mengembangkan dorongan untuk
berprestasi untuk mencapai sesuatu yang dapat dipengaruhi oleh budaya
organisasi dimana mereka berada (Wibowo, 2013).
Selanjutnya faktor organisasi yang dapat mempengaruhi need for achievement adalah persepsi dukungan organisasi. Dukungan yang positif dari pimpinan dan segenap karyawan akan menciptakan situasi kerja yang kondusif.
Dengan mendapatkan dukungan tersebut kinerja karyawan akan terpacu untuk
sehingga mereka dapat saling mempercayai dan saling membantu (Nugraheny,
2009).
Persepsi dukungan organisasi adalah persepsi yang dimiliki karyawan
tentang organisasi, bagaimana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli
tentang kesejahteraan mereka. Perlakuan dari organisasi memiliki pengaruh yang
besar terhadap persepsi dan menciptakan kepatuhan karyawan kepada organisasi
(Eisenberger, Huntington, Hutchison, and Sowa, 1986). Di sisi lain persepsi
dukungan organisasi dapat meningkatkan usaha karyawan untuk mencapai tujuan
organisasi serta mempunyai pengaruh penting terhadap berbagai aspek dalam
perilaku organisasi (Eisenberger dkk 1986).
Suskind (2000) berpendapat bahwa dukungan organisasi dapat digunakan
untuk meningkatkan keinginan untuk berprestasi pada karyawan yang
berhubungan dengan pelanggan, sehingga dapat dikatakan variabel dukungan
organisasi dapat berpengaruh positif terhadap motivasi pekerja. Persepsi
dukungan organisasi adalah persepsi karyawan mengenai perhatian organisasi
untuk kesejahteraan mereka dan sejauh mana organisasi menilai kontribusi
mereka. Persepsi tersebut berhubungan dengan suatu kondisi dimana karyawana
merasa bahwa organisasi memberikan kompensasi secara adil terhadap usaha atau
kinerja mereka, membantu karyawan memenuhi kebutuhan, memberi pekerjaan
menarik dan memotivasi serta menciptakan kondisi kerja yang kondusif. Persepsi
dukungan organisasi tersebut mempengaruhi hubungan emosional karyawan
yang akan berdampak pada persepsi positif karyawan terhadap organisasi
tujuan organisasi. Oleh karena itu karyawan memiliki keinginan untuk berprestasi
ketika mereka merasakan dukungan dan kebijakan dari organisasi (Karami, 2012).
Xu (2007; Karami, 2012) mengatakan karyawan akan melibatkan diri
dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi jika mereka menemukan
dukungan dari organisasi sebagai usaha organisasi untuk mengembangkan karir
mereka. Persepsi dukungan organisasi juga membawa kesempatan yang baik
untuk promosi dan pengembangan karir (Eisenberger. 1986). Hal ini disebabkan
karena persepsi dukungan organisasi membuat karyawan merasa terhubung
dengan organisasi dan anggota lainnya, dan akan membuat karyawan merasa
mandiri pada pekerjaan mereka, ini akan menjadi sumber yang besar untuk kinerja
mereka, sehingga membuat karyawan lebih kompeten (Mitchell, 2012).
Perbedaan secara jenis kelamin dalam need for achievement telah diteliti secara luas (Meece, Glienke & Burg, 2006). Penelitian yang dulu pernah
dilakukan oleh McCelland (1987) menunjukkan hasil bahwa wanita memiliki skor
need for achievement yang lebih rendah daripada pria, rendahnya need for achievement pada wanita ini disebabkan karena wanita terutama wanita karier memiliki penilaian dan dampak yang negatif dari pekerjaan yang mereka lakukan
terutama pekerjaan yang mencerminkan maskulinitas. Penelitian yang sama juga
pernah dilakukan oleh Horner (1974; Greene &DeBacker, 2004). Penelitian ini
Namun, beberapa penelitian pada dekade belakangan ini menunjukkan
hasil yang berbeda, perbedaan need for achievement pada wanita dan laki-laki perlahan menghilang (Riepe, 2010). Hal ini menurut Spence dan Helmreich
(1983; Riepe, 2010) diakibatkan oleh banyaknya keterlibatan wanita dalam
struktur organisasi. Perubahan fenomena ini sangat terlihat dibeberapa negara
seperti di Amerika Serikat, wanita telah mendapatkan pendidikan yang tinggi
sama dengan pria dan sukses di bidang pekerjaan yang biasanya di dominasi oleh
pria, seperti teknik, dokter, dan bidang lainnya. Tren ini pun terus berkembang
tidak hanya di Amerika Serikat, hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dengan
perkembangan zaman dan pendidikan yang semakin tinggi, maka wanita yang
berminat memasuki dunia kerja untuk menunjukkan eksistensi dan keberadaannya
semakin meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama
Agustus 2006 hingga Agustus 2007 jumlah pekerja perempuan bertambah 3,3 juta
orang sedangkan pekerja pria hanya mengalami peningkatan sebesar 1,1 juta
orang. Hal ini terus meningkat dengan bertambahnya jumlah perempuan yang
berhasil dalam memperoleh pekerjaan dibandingkan dengan laki-laki pada tahun
2011, dimana perempuan berhasil mengisi 54,55% dari penempatan kerja
(International Labour Organization, 2013 ).
Di dalam lembaga birokrasi pemerintah, relasi atau hubungan kerja yang
tercipta masih menempatkan adanya dominasi pegawai laki-laki terhadap pegawai
perempuan. Jabatan-jabatan strategis dan penting di dalam lembaga birokrasi
pemerintah masih lebih banyak yang diduduki oleh pegawai laki-laki. Sebaliknya,
karir di birokrasi pemerintah. Pegawai perempuan cenderung lebih banyak
mendapatkan kendala dan hambatan untuk dapat menduduki jabatan-jabatan
strategis di birokrasi pemerintah dibandingkan dengan pegawai laki-laki (Badan
Kepegawaian Negara, 2011). Hal demikian juga terjadi pada instasi pemerintahan
seperti kepolisian. Polisi merupakan salah satu pilar dari bangunan kekuasaan
negara. Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan dalam suatu negara tidak
dapat berjalan normal tanpa keberadaan polisi. Eksistensi lembaga kepolisian
dalam suatu negara memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat.
Polisi wanita sendiri merupakan bagian integral dari Polri hingga tidak
dapat terlepas dalam dinamika organisasi. Wanita di Indonesia memiliki
kesempatan untuk menjadi petugas polisi asalakan telah terpilih, lulus pendidikan
kepolisian, diangkat dengan keputusan presiden atau kapolri dan berdinas aktif
dalam penugasan kepolisian yang kemudian dikenal dengan sebutan polisi
waniata atau polisi wanita (Mabes Polri, 2002). Pertumbuhan jumlah polisi
wanita dipercaya dapat memberikan dampak yang positif bagi lembaga kepolisian
dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan perempuan (Rizal, 2010).
Secara umum polisi wanita memiliki tugas dan tanggung jawab yang
sama dengan polisi laki-laki seperti yang tercantum dalam UU kepolisian No.2
Tahun 2002 pasal 13, yaitu tugas pokok Polri adalah memilihara kemanan dan
keterliban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan,
Polri sendiri memiliki kebijakan mengeluarkan kebijakan tentang Sistem
Penilaian Kinerja Pegawai Negeri pada Polri dengan Sistem Manajemen Kinerja
yang diatur pada Peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2011. Peraturan Kapolri ini
adalah dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kinerja pegawai negeri
pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbasis kompetensi, maka
perlu diberikan penilaian berdasarkan standar kinerja secara objektif, transparan,
dan akuntabel guna mendorong prestasi, produktivitas, dedikasi, dan loyalitas
kerja. Adapun peraturan ini kemudian menjadi dasar bagi seluruh institusi
kepolisian mulai dari tingkat Mabes Polri sampai dengan Polsek dalam melakukan
penilaian kinerja personelnya (Setyowady, 2013).
Ada beberapa faktor yang digunakan dalam penentuan prestasi di bidang
kepolisian yang disebut sistem penilaian kinerja (SPK) yaitu performance yaitu keberhasilan atau pencapaian sasaran tugas dan jabatan. Faktor kedua adalah Job competence yaitu kemahiran atau penguasaan seseorang personil sesuai dengan tuntutan jabatannya. Faktor ketiga adalah kesedian untuk menampilkan perilaku
kerja yang menunjuang prestasi dan faktor yang terakhir adalah potensi untuk
berkembang iatu kemampuan pribadi yang dapat dikembangkan dan diwujudkan
seorang personil. Faktor penilaian diatas akan digunakan untuk menilai kinerja
atau prestasi untuk setiap anggota polisi dan menjadi sebuah prediksi untuk setiap
anggota polisi untuk dikembangkan pada posisi yang lebih tinggi (Soetjipto,
2006).
Di dalam stuktur organisasi di lingkungan polri tidak dibedakan antara
polisi wanita dibentuk untuk membantu menangani masalah yang berkaitan
dengan perempuan dan anak-anak. Namun sekarang seiring dengan
berkembangnya organisasi kepolisian, penugasan polisi wanita tidak hanya
terbatas pada perempuan dan anak-anak saja, tetapi mencakup semua tugas-tugas
kepolisian baik dalam bidang operasional maupun non operasional, seperti fungsi
intelijen, reserse, lalu lintas, pembinaan personil, pengawasan kedokteran dan
kesehatan (Irhastini, 2011).
Peningkatan dukungan terhadap polisi wanita juga tetap diberikan yaitu
berupa kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk mengikuti pendidikan
berjenjang di kepolisian. Dukungan lainnya adalah adanya kebijakan dari Wakil
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komjen Pol Oegroseno yang akan
menempatkan minimal dua polisi wanita di setiap polsek untuk memberdayakan
peran polisi wanita (Krisiandi, 2013 ).
Walaupun telah banyak dukungan organisasi terdahap polisi wanita dalam
mencapai karir, masih ditemukan kurangnya prestasi polisi wanita dibandingkan
dengan polisi pria. Di dalam struktur jabatan, posisi yang paling tinggi yang di
berikan kepada polisi wanita hanya tingkat kapolres dan kapolsek dan posisi ini
pada umumnya di pegang oleh polisi pria. Keberadaan Polisi wanita pada institusi
kepolisian belum dimaksimalkan. Diantaranya pada jabatan-jabatan strategis
seperti Kapolres, Kapolda, dan beberapa jabatan lainnya di Mabes Polri.
Indonesia Police Watch menilai jabatan-jabatan strategis yang bisa dipegang para polisi wanita antara lain Direktur Binmas, Deputi Logistik, Deputi
dijabat Polisi wanita . Sayangnya saat ini tidak ada satupun posisi Kapolda dijabat
Polisi wanita. Memang untuk tingkat Kombes ada beberapa posisi strategis dijabat
oleh Polisi wanita, seperti Kepala Pusat Pendidikan Intelijen Polri (Hadriani,
2013). Dari data di atas ternyata kesempatan polisi wanita untuk berkarier
dibidang kepolisian ternyata tetap dibatasi pada bidang tertentu saja dikarenakan
dasar stereotip dan persepsi yang dimiliki oleh intansi kepolisian. Polisi wanita
juga dalam perjalanan tugasnya masih didiskriminasikan, yaitu mulai dari proses
perekrutan, promosi jabatan, tugas yang diemban (Deguzman & Frank, 2004).
Bentuk diskriminasi yang dialami oleh polisi wanita disebabkan pencitraan yang
dimunculkan pada lembaga kepolisian yang dianggap sebagai pekerjaan yang
hanya sesuai diberikan kepada bagi laki-laki, dan akhirnya hanya perempuan yang
dapat menempatkan dirinya dan dapat bekerja seperti polisi laki-laki lainya yang
dapat bertahan di dalam instansi kepolisian. Dengan demikian, lembaga kepolisian
pun menjadi lembaga yang secara tradisional diperuntukkan bagi laki-laki,
sehingga akhirnya bila perempuan dipilih menjadi polisi tidak secara otomatis
diperlakukan secara objekif (Rizal, 2010).
Polri sendiri merupakan institusi negara untuk melindungi, mengayomi
dan melayani masyarakat sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat
dipercaya seperti yang tercantum dalam Tri Brata dan Catur Prasetya Berbakti
kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
yaitu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan
hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan
masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan
ketertiban.sedangkan is dari catur prasetya adalah Meniadakan segala bentuk
gangguan keamanan, Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi
manusia, Menjamin kepastian berdasarkan hukum. Memelihara perasaan tentram
dan damai.oleh karena itu diharapkan setiap personil polisi baik wanita maupun
pria harus memegang prinsip yang tercantum dalam tri brata dan catur prasetya
sebagai pedoman dan petunjuk sikap maupun dalam bekerja dan menjadikannnya
sebagai budaya yang harus dipertahankan demi keselamatan masayarakat luas.
Penelitian ini dilakukan pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara. Polda
Sumatera Utara memiliki jumlah polisi wanita sebanyak 322 personil, terdiri dari
berbagai jenjang jabatan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk
mengetahui pengaruh budaya organisasi dan persepsi dukungan organisasi
terhadap need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana pengaruh budaya organisasi dan persepsi dukungan organisasi
terhadap need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara, bagaimana pengaruh budaya organisasi terhadap need for achievement, bagaimana pengaruh persepsi organisasi terhadap need for achievement, bagaimana gambaran budaya organisasi polisi wanita di Polda Sumatera Utara, bagaimana gambaran
Utara, bagaimana gambaran need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
1. Mengetahui pengaruh budaya organisasi dan persepsi terhadap dukungan
organisasi terhadap need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara.
2. Mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara.
3. Mengetahui pengaruh aspek budaya organisasi terhadap need for achievement
4. Bagaimana pengaruh persepsi dukungan organisasi terhadap need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara.
5. Mengetahui pengaruh aspek pengaruh dukungan organisasi terhadap need for achievement
6. Bagaimana gambaran budaya organisasi di Polda Sumatera Utara.
7. Bagaimana gambaran persepsi dukungan organisasi pada polisi wanita di
Polda Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data empiris bagi
disiplin ilmu psikologi industri dan organisasi, terutama teori teori yang
berkaitan dengan budaya organisasi, persepsi dukungan organisasi dan
need for achievement
b. Memberikan sumbangan untuk memperkaya sumber kepustakaan dan
dijadikan sebagai bahan referensi teoritis dan empiris yang dapat jadi
penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang serta meningkatkan
pemahaman mengenai bidang terkait.
2. Maafaat Praktis
a. Membantu intansi kepolisian untuk mengetahui pengaruh budaya
organisasi yang ada di dalam organisasi sehingga dapat meningkatkan
need for achievement pada polisi wanita di Polda Sumatera Utara. Selain itu dapat membantu instansi kepolisian untuk mengetahui apakah
dukungan yang telah diberikan pada Polisi Wanita dapat meningkatkan
need for achievement pada anggota polisi wanita di Polda Sumatera Utara b. Membantu memberikan gambaran tentang budaya organisasi, persepsi
E. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari
masalah yang menjadi objek penelitian. Landasan teori
yang diuraikan adalah mengenai need for achievement, budaya organisasi, persepsi dukungan organisasi, hubungan
budaya organisasi dengan need for achievement, dan hubungan antara persepsi dukungan organisasi. Bab ini juga
mengemukakan hipotesis penelitian yang menjelaskan
hubungan budaya organisasi dengan need for achievement
dan hubungan persepsi dukungan organisasi dengan need for achievement.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel
penelitian,metode pengambilan data, uji validitas, uji
reliabilitas, uji coba alat ukur, prosedur penelitian dan
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang gambaran umum subjek penelitian,
uji asumsi, hasil penelitian yang disertai analisa data dan
pembahasan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban
permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil
penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran teoritis,
saran metodologis dan saran praktis untuk penelitian