• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOSIOLOGI RUANG DAN TEMPAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SOSIOLOGI RUANG DAN TEMPAT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIOLOGI RUANG DAN TEMPAT

John Urry*

Dalam tulisan ini, saya hendak menunjukkan bahwa ruang (dan tempat) perlu menjadi pusat perhatian sosiologi. Sejarah sosiologi di abad ke-20 telah menjadi sejarah tunggal tentang ketiadaan ruang. Ini adalah sebuah kehampaan yang tidak bisa terus dipertahankan. Di mana-mana ruang menerabas masuk, memangkas konsep-konsep mapan yang terbentuk dari perbedaan-perbedaan yang telah berguna bagi pembentukan sosiologi yang aspasial. Masyarakat dilihat sebagai endogenus, seolah-olah memiliki struktur-stuktur aspasial tersendiri. Lebih lagi, masyarakat dilihat seolah-olah terpisah satu sama lain dan pelbagai proses konsensus-normatif atau konflik struktural atau perilaku strategis dikonseptualisasikan sebagai aspek internal dalam setiap masyarakat, yang batas-batasnya sama dengan negara-bangsa. Hanya sedikit yang mengakui bahwa pelbagai proses pembedaan internal itu sebenarnya melintasi batas-batas spasial.

Kecenderungan itu pun masih terjadi sekalipun di awal abad ke-20, terdapat serangkaian peralihan budaya dan perkembangan teknologi yang mengubah total basis spasial kehidupan kontemporer (Kern, 1983; Soja, 1989). Perubahan-perubahan itu termasuk telegram, telepon, sinar X, film, radio, sepeda, mesin berbahan bakar fosil, pesawat terbang, paspor, pencakar langit, teori relativisme, kubisme, novel arus kesadaran dan psikoanalisa. Bagaimana juga, sosiologi pada waktu itu tidak mempertimbangkan perubahan-perubahan tersebut dan mereka menjadi suatu ranah terpisah bagi ilmu yang semakin positivistik – geografi – yang

* Diterjemahkan oleh Anton Novenanto dari John Urry “The Sociology of Space and Place”, dalam

Blau (editor) The Blackwell Companion to Sociology, Malden: Blackwell, 2004, hlm. 3-15.

© JKRSB, 2017

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 17-35.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Urry, John. 2017. “Sosiologi Ruang dan Tempat” (penj. Anton Novenanto), Jurnal Kajian Ruang

(2)

mendirikan dan memelihara sebuah ketegasan demarkasi dan pembagian kerja akademis dengan ilmu sosial tetangganya.

Pada bagian selanjutnya, saya merangkum beberapa tulisan “klasik” tentang ruang yang dikembangkan dalam konteks kolonisasi geografi atas ruang. Pada bagian setelah itu saya menunjukkan apa yang mengubah hal itu di akhir 1970an dan membawa ruang kembali masuk dalam teori sosiologi dan ilmu sosial secara lebih umum. Pada bagian analisis akhir dihadirkan perkembangan terkini tentang sebuah proyek penelitian sosiologi tentang ruang yang mengikutsertakan pentingnya perbedaan mobilitas spasial antara, dalam, dan melampaui ruang-ruang tersebut.

Teori “Klasik” dan Ruang

Teori sosiologi klasik kurang mengembangkan perspektifnya dalam melihat ruang, bahkan sangat misterius. Marx dan Engels memperhatikan bagaimana industrialisasi masyarakat kapitalis memicu pertumbuhan tak terbatas kota-kota industrial. Dalam The Manifesto of Communist Party Marx dan Engels menggambarkan bagaimana relasi-relasi kaku dan baku disingkirkan. Semua relasi baru yang dibentuk menjadi antik karena mereka stagnan dan “semua benda padat menyumblim bersama udara” (1888:54; Berman 1983). Marx dan Engels berpendapat, di antara pendapat lainnya, bahwa kapitalisme membongkar ikatan-ikatan feodal manusia dari “penguasa-penguasa alamiah”; kapitalisme menekan kelompok borjuis untuk mencari pasar melintasi bumi dan hal ini menghancurkan pasar-pasar tradisional dan regional; kelas pekerja bergerombol dalam pabrik-pabrik sehingga mengonsentrasikan para prolateriat dan menghasilkan sebuah kelass bagi dirinya sendiri; dan pengembangan kongsi-kongsi dagang dipandu oleh membaiknya infrastruktur transportasi dan komunikasi yang dibangkitkan oleh kapitalisme. Dalam karyanya setelah itu, khususnya Capital, Marx menganalisis bagaimana akumulasi modal didasarkan pada penghancuran total ruang oleh waktu dan bagaimana hal ini memicu dampak pada perubahan bentuk yang mengejutkan pada agrikultur, industri dan populasi yang melampaui waktu dan ruang.

(3)

terspesialisasi, yang mengakibatkan pergeseran masyarakat dari mekanis ke organis. Pembagian kerja yang semakin kuat berasal dari peningkatan kepadatan material dan moralitas. Mekanis melibatkan peningkatan dalam kepadatan penduduk di sebuah area, khususnya akibat pembangunan ragam baru dari komunikasi dan akibat pertumbuhan kota-kota. Kepadatan moral merujuk pada peningkatan intensitas interaksi sosial. Bagian-bagian berbeda dalam masyarakat kehilangan individualitasnya seiring dengan setiap individu semakin melakukan kontak dan interaksi dengan individu lain. Hal semacam itu menghasilkan suatu solidaritas organis, kesalingtergantungan yang menguntungkan, sekalipun dalam praktiknya kawasan perkotaan adalah pusat dari patologi sosial.

Secara umum Durkheim menyodorkan sebuah tesis tentang pengaruh modernisasi terhadap loyalitas geografis lokal yang semakin berkurang akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan baru berdasarkan pembagian kinerja. Dalam

Elementary Forms Durkheim juga menghadirkan sebuah teori sosial tentang ruang.

Teori itu berbicara tentang dua elemen. Pertama, karena setiap orang dalam suatu masyarakat menghadirkan kembali ruang dengan cara yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemicu dari konsep itu pada hakikatnya adalah “sosial.” Kedua, dalam beberapa kasus setidaknya penghadiran spasial kembali akan mencerminkan pelbagai pola dominan dari suatu organisasi sosial.

Max Weber membuat beberapa rujukan tentang ruang, meskipun saudaranya, Alferd Weber, adalah seorang kontributor penting dengan teori lokasi industrial. Max Weber cenderung kritis pada pelbagai usaha penerapan konsep spasial melalui analisisnya tentang kota. Dia menolak bingkai analisis pada ihwal ukuran dan kepadatan dan berusaha memfokuskan pada bagaimana kebangkitan kota-kota abad pertengahan menantang sistem feodal yang melingkunginya. Kota dicirikan oleh otonomi dan pada saat itulah untuk pertama kalinya orang-orang tergabung sebagai penduduk-penduduk individual (Weber 1921).

(4)

suatu ruang; tingkat keberjarakan (dekat/jauh), khususnya dalam sebuah kota dan peran perasaan dalam pengamatan; dan kemungkinan perpindahan lokasi dan pelbagai konsekuensi, khususnya, dari kedatangan “orang asing.” Secara umum Simmel melihat ruang sebagai semakin kurang relevan seiring dengan organisasi sosial yang semakin terlepas dari ruang.

Dalam “Metropolis and the City” (dalam Frisby dan Featherstone 1997), Simmel mengembangkan beberapa argumen yang lebih spesifik tentang ruang dan kota. Pertama, karena kekayaan dan keragaman seperangkat rangsangan di metropolis, manusia harus mengembangkan suatu sikap cuek dan acuh tak acuh pada perasaan. Tanpa mengembangkan sikap semacam itu, orang-orang tidak akan bisa bertahan mengalami beragam peristiwa yang dipicu oleh tingginya kepadatan penduduk. Kepribadian urban sudah ditentukan, dipisahkan, dan jenuh. Kedua, secara simultan, kota memaksakan pada individu suatu jenis kebebasan pribadi yang beragam. Dibandingkan dengan komunitas skala kecil, kota modern memberi ruang bagi setiap individu dan bagi pelbagai kebiasaan aneh yang terbentuk dari dalam dan dari luar dirinya. Ini adalah bentuk spasialitas kota besar yang memungkinkan pengembangan keunikan setiap individu yang ditaruh dalam keragaman kontak yang sangat luas. Ketiga, kota berbasis pada ekonomi uang, yang merupakan sumber dan ekspresi rasionalitas dan kecerdasan bagi kota. Uang dan kecerdasan menyediakan sebuah perilaku yang sangat penting bagi manusia dan benda. Uang menghasilkan sebuah perasaan dan sikap yang bertingkat. Keempat, ekonomi uang menggerakkan sebuah perhatian bagi presisi dan ketepatan waktu, karena dia membuat manusia lebih memperhitungkan berbagai aktivitas dan relasinya. Simmel tidak begitu menjelaskan kehidupan urban dalam pengertian bentuk spasial dari kota sebagaimana menyediakan sebuah pembahasan awal tentang efek dari pelbagai pola “modern” dari mobilitas kehidupan sosial dimana pun dia berada. Dia menunjukkan bahwa pergerakan, keragaman rangsangan dan penerimaan visual dari pelbagai tempat sebagai fitur penting dan sentral dari pengalaman modern.

(5)

penyebab dari perbedaan dalam pelbagai pola sosial antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Mereka adalah: ukuran, yang menghasilkan segregasi, keacuhan dan jarak sosial; kepadatan yang menyebabkan orang-orang berelasi satu sama lain dalam pelbagai peran khususnya, segregasi antar-pekerjaan akibat dari perbedaan peran itu dan meluasnya regulasi formal; dan heterogenitas yang berarti bahwa orang-orang berpartisipasi dalam lingkaran-lingkaran sosial yang berbeda, tidak satu pun yang mengatur keterlibatan mereka secara penuh dan ini menghasilkan pertentangan dan dinamika status sosial. Wirth dan Redfield kemudian mengklaim bahwa pengaturan ruang, khususnya dalam hal ukuran dan kepadatan, menghasilkan beragam pola sosial yang saling bergantung satu sama lain.

Usaha ekstra telah diberikan untuk menguji hipotesis tentang keberadaan dua gaya hidup yang berbeda dan bahwa mereka dihasilkan oleh ukuran, kepadatan dan heteregonitas di wilayah perkotaan dan pedesaan. Seperti telah ditunjukkan penelitian, tidak terdapat pola sederhana tentang perkotaan dan pedesaan. Bahkan, tak jarang wilayah perkotaan berisi beberapa kelompok sosial yang tertutup, seperti desa-desa perkotaan Bethnal Green di London atau penampungan para imigran

(gettho) di kota-kota di Amerika Utara. Lebih umum, Gans (1986) mempersoalkan

tesis bahwa kebanyakan penghuni kota itu terisolasi, terindividualisasi dan otonom. Menurutnya, tidak sedikit wilayah pusat kota telah menjadi pusat bagi suatu sosialita yang rumit dan terfokus pada, misal, gentrifikasi kelas menengah.

Di wilayah perkotaan lainnya yang lebih suburban, di mana fokus aktivitas adalah di rumah dan di mana aktivitas utama berbasis mobil (lihat Sheller dan Urry 2000, tentang penerapan sosiologi perkotaan pada kendaraan). Pada beberapa kasus di mana ragam bentuk kendaraan menjadi penting, semakin rendah pula ukuran dan kepadatan kota itu. Lebih lagi, kehidupan pedesaan bukan sekadar diatur seputar komunitas berbasis pertanian, tempat orang lebih sering bertemu satu sama lain, terhubung dengan beragam cara dan cenderung mengenal teman dari yang lain (Frankenberg 1966). Penelitian tentang komunitas pedesaan telah menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan konflik dan perbedaan yang layak diperhitungkan di tempat-tempat tersebut, khususnya seputar status, akses pada tanah dan perumahan dan lingkungan yang “alamiah” (Newby 1979).

(6)

ditunjukkan bahwa konsep “komunitas” dapat digunakan dalam beragam cara (Bell dan Newby 1976). Pertama, penggunaannya dalam sebuah arti yang topografis, merujuk pada batas-batas dari suatu permukiman tertentu; kedua, ada arti komunitas sebagai suatu sistem sosial lokal yang menunjukkan suatu tingkat keterhubungan sosial dari manusia dan lembaga lokal; ketiga, communion, sebuah bentuk asosiasi manusia yang menunjukkan ikatan-ikatan personal, rasa memiliki dan kehangatan; dan keempat, komunitas sebagai ideologi, di mana pelbagai upaya dilakukan untuk melekatkan konsep-konsep communion pada bangunan atau wilayah atau perkebunan atau kota dan lain-lain, sedemikian rupa di tempat yang menunjukkan dan mempertahankan relasi-relasi non-communion tampak nyata.

Akhirnya, diskursus populer dalam sosiologi cenderung tidak hanya mereproduksi perbedaan antara pedesaan dan perkotaan (Willams 1973), tapi juga pembedaan antara Gemeinschaft dan Gesselschaft dari Tönnies. Oposisi biner telah secara khusus dikritik oleh Schmalenbach (1977), yang menambahkan istilah ketiga,

Bund. Bund merupakan komunitas, tapi dia adalah sebuah komunitas disadari dan

dipilih secara sadar berdasarkan sentimen dan perasaan yang sama dan emosional. Dan menolak Weber, dasar afektif dari sebuah Bund bukanlah irasional dan tak sadar, tapi sangat sadar, rasional dan non-tradisional. Bund tidak selalu permanen atau pun stabil (Hetherington 1994).

Memasukkan Ruang Kembali: Era 1970an dan 1980an

Di bagian ini saya mengurai kritik Marxis dan post-Marxis tentang perlakuan klasik atas ruang dan tempat. Castells (1977; 1978) berpendapat bahwa setiap disiplin ilmiah membutuhkan sebuah “objek teoretis” yang layak dan bertahan bahwa sosiologi perkotaan (dan dengan demikian juga sosiologi pedesaan) tidak memiliki objek teoretis macam itu. Objek tersebut akan menjadi dasar bagi sebuah analisis “struktural” untuk membongkar ragam pertentangan yang mewarnai pelbagai relasi dalam masyarakat kapitalis. Relasi-relasi tersebut semakin dikelola berdasarkan dalam basis internasional dan hal ini memberikan peran khusus pada kota-kota yang telah menjadi pusat dari – bukan produksi, tetapi – “konsumsi kolektif.” Istilah ini merujuk pada layanan jasa yang biasanya disediakan oleh negara yang khusus “mereproduksi” energi dan keterampilan para buruh.

(7)

jenis keragaman spasialitas akibat politik. Dia berpendapat bahwa konsumsi kolektif disediakan bukannya tanpa masalah karena banyak negara jarang dapat (dan mau) untuk menaikkan pendapatan pajak yang pantas. Segala jenis persaingan meningkat seiring dengan keragaman bentuk dan tingkat provisi, seperti kualitas perumahan publik, lokasi pelayanan kesehatan, sifat transportasi umum dan lain sebagainya. Masing-masing jasa tersebut menjadi semakin “terpolitisasi” karena mereka disediakan secara kolektif. Dari sebab itu, sebuah ruang politik perkotaan muncul dengan fokus berkisar bentuk konsumsi kolektif yang ada. Castells mencurahkan perhatiannya untuk menganalisis “gerakan sosial perkotaan.” Gerakan tersebut terdiri dari sejumlah kelompok urban yang berbeda tapi selalu berada di bawah dominasi pengorganisasian kelas pekerja untuk menjadi lebih berdampak sebagai suatu bentuk kelas politik baru. Dengan demikian, dia dengan kuat berpendapat melawan pelbagai usaha memahami perkotaan dalam konteks “budaya” atau “gaya hidup” atau sebuah determinisme spasial.

(8)

Satu implikasi dari pembedaan spasial adalah untuk menentang pemahaman bahwa kelas sosial adalah sebuah fenomena nasional, bahwa kelas secara hakiki terspesialisasi oleh batas-batas negara-bangsa. Penekanan banyak penelitian tentang restrukturisasi variasi lokal/regional telah membawa analis untuk memikirkan ulang kelas sosial melalui prisma spasial semacam itu (gender dan etnisitas adalah perhatian belakangan dari analisis-analisis serupa). Dengan demikian, terdapat penentu-penentu internasional dari relasi-relasi kelas sosial dalam suatu negara-bangsa; terdapat pelbagai variasi dalam struktur stratifikasi lokal dalam masyarakat, sehingga pola nasional bisa jadi tidak ditemukan dimana pun; kombinasi perusahaan lokal, nasional dan internasional dapat menghasilkan kesamaan lokal dan pertentangan internasional yang tak terduga dan sangat terbuka; terdapat variasi jelas dalam tingkat konsentrasi sosial atas kelas; beberapa konflik kelas nyata-nyata dipicu oleh, atau dipindahkan pada, konflik spasial; dan dalam beberapa kasus, lokalitas muncul bersama kekuasaan berbeda untuk menghasilkan dampak-dampak sosial dan politik yang signifikan (lihat Urry 1995; Fröbel et al. 1977, tentang pembagian kerja baru secara internasional).

Beberapa poin tersebut dikembangkan dalam konsep “kompresi waktu-ruang” dari Harvey (1989). Dia menunjukkan bagaimana kapitalisme membawa ragam “kebakuan spasial” dalam pelbagai periode waktu. Di era masyarakat kapitalis, ruang dikelola dalam sebuah cara untuk memfasilitasi pertumbuhan produksi, reproduksi kekuasaan buruh dan memaksimalkan keuntungan. Dan melalui pengelolaan ulang atas waktu-ruang tersebut kapitalisme mengatasi periode-periode krisis dan meletakkan pondasi bagi sebuah periode baru akumulasi kapital dan perubahan bentuk berkelanjutan dari ruang dan alam sepanjang waktu.

Harvey mendedah tesis Marx tentang penghancuran total ruang oleh waktu dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana hal itu menjelaskan pergeseran dari “Fordisme” menuju akumulasi lentur “post-Fordisme.” Yang terakhir ini melibatkan suatu kebakuan spasial baru dan yang paling penting beragam cara baru untuk menghadirkan kembali waktu dan ruang. Pusat dari itu adalah “kompresi waktu-ruang” dari baik manusia dan pengalaman dan proses fisik. Harvey menunjukkan bagaimana “kompresi” tersebut dapat menggerakkan sebuah perasaan tentang cemas, sebagaimana ketika jaringan kereta api mengubah bentuk pedesaan.

(9)

untuk mengubah ... cara kita merepresentasikan dunia pada diri kita ... Ruang seolah-olah mengerdil menjadi sebuah ‘desa global’ akibat telekomunikasi dan sebuah ‘pesawat bumi’ yang saling tergantung secara ekonomi dan ekologis ... kita harus belajar bagaimana mengatasi sebuah rasa yang berlebihan akibat kompresi

ruang dan waktu” (Harvey 1989:240). Menariknya, tahun 1950 Heidegger sudah meramalkan “pengerdilan” jarak waktu dan ruang, pentingnya “informasi instan” di radio dan cara televisi menghilangkan keberjarakan dan kemudian “peniadaan jarak” antara manusia dan benda (Zimmerman 1990:151, 209).

Bagaimanapun juga, cara-cara dramatis mengkompresikan ruang dan waktu tidak berarti bahwa tempat semakin tidak penting. Orang menjadi semakin sensitif pada apa yang berada dalam tempat-tempat di dunia atau makna apa yang mungkin dari hal semacam itu. Terdapat sebuah desakan untuk mencari akar-akar “di dalam sebuah dunia tempat arus imaji meningkat dan menjadi semakin tak bertempat. Siapa kita dan di ruang/tempat apa kita berada? Apakah saya adalah seorang penduduk dunia, bangsa, lokalitas? Dapatkah saya memiliki suatu eksistensi virtual dalam dunia siber?” (Harvey 1996:246). Dengan demikian, semakin batas-batas temporal dan spasial tidak penting, semakin tinggi sensitivitas pergerakan modal, migran, turis dan pencari suaka menuju tempat yang beragam dan semakin tinggi dorongan bagi diferensiasi tempat, sekali pun melalui rangkaian proses yang sangat terkapitalisasi.

(10)

Akibatnya, terdapat variasi dalam “penjarakkan waktu-ruang”, suatu proses yang “melenturkan” masyakarat dalam rentang waktu yang lebih pendek atau lebih panjang. Pelenturan ini mencerminkan fakta bahwa aktivitas sosial semakin bergantung pada interaksi-interaksi dengan mereka yang tidak hadir dalam ruang-waktu.

Dalam masyarakat kontemporer terdapat pencerabutan waktu dan ruang dari aktivitas sosial, pengembangan dimensi “kehampaan” dari waktu, pemisahan ruang dari tempat dan kemunculan mekanisme pencerabutan pelbagai simbol dan sistem ahli yang mencabut relasi sosial dari keterlibatan lokal. Sistem ahli mengurung waktu dan ruang dengan digerakkan oleh moda-moda pengetahuan teknis yang dinilai mandiri dari praktisi dan klien yang menggunakannya. Sistem semacam itu bergantung pada kepercayaan (trust), pada sebuah lompatan kualitatif atau komitmen yang terhubung pada ketidakhadiran dalam waktu dan/atau ruang. Kepercayaan pada mekanisme pencerabutan tidak diberikan pada individu-individu tetapi pada sistem atau kapasitas abstrak dan secara khusus terhubung pada ketidakhadiran dalam waktu dan ruang.

Menuju Sebuah Sosiologi Tempat

Dari beberapa masukan yang telah disebutkan, ruang dan waktu telah diperlakukan dalam pengertian Newtonian, yaitu sebagai sesuatu yang objektif, linear dan absolut yang di dalamnya terdapat tiga dimensi ruang dan dimensi yang terpisahkan dari waktu. Diasumsikan bahwa setiap objek berada dalam dimensi objektif dari waktu dan ruang tersebut, bahwa setiap objek tidak secara intrinsik “diruangkan” dan “diwaktukan.” Namun, pada beberapa tahun belakangan banyak tantangan dari cara pandang ilmu pengetahuan abad ke-20 itu yang telah mulai merasuk pada sosiologi tentang tempat dan ruang.

Dengan demikian, sebagai contoh, fisika abad ke-20 telah menunjukkan bahwa waktu bukanlah sebuah dimensi terpisah, bersamaan dengan objek yang dapat bergerak maju atau mundur. Waktu dapat dibayangkan sebagai tak dapat diulang

(irreversible) dan sebagai entitas fisik dan sosial yang konstitutif. Hal ini tampak jelas

(11)

tidak ada kembali muda, tidak ada musim semi sebelum musim dingin dan seterusnya. Hukum alam adalah historis dan menawarkan kelampauan, kekinian dan yang akan datang. “Hal terbaik dari waktu adalah bahwa dia akan berjalan terus” (Eddington, dikutip dalam Coveney dan Highfield 1990:83), sementara “[waktu] yang tak dapat diulang adalah mekanisme yang membawa keteraturan dari kekacauan” (Prigogine dan Stengers 1984:292; lihat juga Hayles 1991; Adam 1998).

Yang terbaru, teori-teori kekacauan dan kompleksitas telah mulai merasuk pada analisis sosiologi (Byrne 1998). Teori-teori tersebut melakukan penolakan penyederhanaan dikotomis tentang keteraturan dan ketakteraturan, tentang mengada (being) dan menjadi (becoming). Sistem-sistem fisik tidak menunjukkan dan mempertahankan stabilitas struktural. Konsepsi awam bahwa perubahan-perubahan kecil pada penyebab dapat memicu perubahan-perubahan-perubahan-perubahan kecil pada akibat adalah keliru. Bahkan, terdapat sifat determinasi dari kekacauan, dinamika proses menjadi dan perubahan non-linear dalam seperangkat sistem sebagai suatu kesatuan dari perubahan bentuk pada komponen tertentu. Waktu dalam perspektif semacam itu putus-putus dan terdapat banyak situasi timpang yang padanya terjadi serangkaian perubahan mengejutkan dan tak diperkirakan seiring perubahan tolok ukurnya sepanjang waktu. Mengikuti seperangkat determinasi aturan, hasil-hasil yang tak diperkirakan namun berpola dapat diciptakan. Contoh klasik adalah efek kupu-kupu yang populer, ketika perubahan kecil di satu lokasi, dalam situasi-situasi khusus, menghasilkan dampak-dampak masif di mana-mana. Sistem kompleks itu dicirikan oleh luaran-luaran yang bertentangan dengan harapan yang terjadi pada keberjarakan dalam waktu dan spasial dari kemunculan awalnya.

(12)

tempatnya terdapat “suatu dunia aneh tentang fisika kuantum, sebuah dunia yang tak teridentifikasi yang hukum-hukumnya menghina batas-batas antara ruang, waktu dan materi” (Zohar dan Marshall 1994:33). Mereka secara khusus mengembangkan analogi-analogi antara dampak gelombang/partikel dan kemunculan ciri-ciri dari kehidupan sosial: “Realitas kuantum” berpotensi untuk menjadi bentuk-partikel dan bentuk-gelombang. Partikel-partikel adalah individu, terletak dan terukur dalam ruang dan waktu. Mereka berada di sini atau di sana, sekarang atau nanti. Gelombang-gelombang adalah “non-lokal,” mereka menyebar luas ke segala penjuru ruang dan waktu dan dampak-dampak instannya di mana-mana. Gelombang-gelombang meluaskan diri ke segala penjuru sekaligus, mereka saling menutupi dan bergabung dengan gelombang-gelombang lain untuk membentuk realitas-realitas baru (lubang-lubang baru bermunculan), sebagaimana perubahan-perubahan itu terjadi dalam skala global (Zohar dan Marshall 1994:326; Urry 2000).

Banyak penulis telah secara langsung atau pun tidak langsung mengembangkan pelbagai aspek dari argumen tersebut dalam hubungannya dengan dunia sosial (Byrne 1998; Cilliers 1998). Sekarang saya hendak membahas tiga penulis sebelum ini, yang ide-idenya terhubung dengan pengertian-pengertian tersebut: Lefebvre, Bachelard, dan Benjamin. Pertama, Lefebvre (1991) berpendapat bahwa ruang bukanlah suatu geometri yang netral dan pasif. Ruang diproduksi dan direproduksi dan kemudian merepresentasikan situs perjuangan. Lebih lagi, segala bentuk fenomena spasial – tanah, wilayah, situs dan lainnya – perlu dipahami sebagai bagian dari struktur dialektis dari ruang dan pengruangan (spasialisasi,

spatialization). Sementara secara konvensional fenomena-fenomena yang berbeda itu

dipisahkan sebagai sebuah hasil dari analisis berbasis disiplin ilmu yang terfragmentasi, mereka perlu dipersatukan dalam sebuah struktur yang utuh.

(13)

pengalaman kolektif tentang ruang. Ini termasuk pembedaan simbolis dan menghasilkan bentuk-bentuk perlawanan individual dan kolektif.

Lefebvre secara khusus memperhatikan produksi ruang di bawah kapitalisme. Pelbagai bentuk ruang saling menggantikan sepanjang waktu. Terdapat pergantian konsepsi ruang dari alamiah ke absolut ke abstrak, dampaknya sangat progresif untuk memurnikan alam dari sosial. Ruang abstrak adalah titik tertinggi dari relasi-relasi masyarakat kapitalis, membawa pada “ruang-ruang ciptaan” yang luar biasa. Analisis Shields (1991) tentang spasialisasi sosial mengembangkan kajian Lefebvre tentang konstruksi kultural atas ruang. Dia membahas perubahan spasialisasi sosial di pantai, bagaimana dia bergeser dari sebuah zona medis menjadi sebuah zona wisata; konstruksi sosial atas tempat mistis di Brighton dan Niagara; konstruksi “ruang” “utara” dan “selatan” di Inggris; dan mitos-mitos ruang yang dipertarungkan di Kanada utara (lihat Urry 1995, untuk contoh lainnya).

Bachelard (1969) juga mengembangkan sebuah konsepsi tentang ruang yang kualitatif dan heterogen, alih-alih ruang yang abstrak, hampa, dan statis. Dia secara spesifik memperhatikan sifat “rumah” (house) dan berpendapat bahwa dia tidak bisa dilihat sebagai objek fisik saja. Secara khusus, rumah adalah situs yang di dalamnya imajinasi dan mimpi seseorang dapat terjadi dan dilepaskan dari kekangan (Bachelard 1969: 6). Dan “rumah” (home) adalah juga suatu metafora bagi intimitas. Rumah berada di dalam kita dan kita berada dalam rumah. Secara khusus, segala jenis ruang, seperti rumah tempat seseorang dilahirkan, diwarnai dengan jejak-jejak ingatan. Rasa memiliki itu berasal dari materialitas di tempat khusus. Lebih lagi, Bachelard berpendapat bahwa durasi waktu adalah sendirinya bergantung pada kekhususan spasial. Ruang sangat penting untuk membuat waktu berkualitas. Game (1995:201) menuliskan, “Ruang mengubah waktu sebagaimana ingatan dibuat mungkin. ”Kemudian suatu ruang seperti sebuah rumah memainkan peran khusus yang sangat penting dalam membentuk dan mempertahankan ingatan. Dia melindungi mimpi. Lebih lanjut, tubuh kita tidak melupakan rumah pertama yang kita jumpai. Bachelar (1969:15) berbicara tentang sebuah “ikatan kuat” antara tubuh dan rumah pertama itu. Ciri-cirinya terpatri dalam tubuh kita. Ingatan-ingatan dilokalkan secara material dan juga temporalitas dari Ingatan-ingatan berakar pada spasialitas.

(14)

tentang ruang menubuh. Masa lalu “diteruskan” pada kita bukan sekadar dalam apa yang kita pikirkan atau apa yang kita lakukan tapi dalam bagaimana kita melakukannya. Tempat-tempat bukanlah sekadar dilihat, sebagaimana dalam bingkai rezim “penglihatan,” tapi diterima melalui beragam perasaan yang dapat membuat kita menderita ketika berada di tempat lain atau merinding ketika akan ditempatkan di tempat itu (lihat Urry 2000, tentang perasaan). Proust terinspirasi oleh ciri menubuh dari ingatan ini: “tangan dan kaki kita dipenuhi ingatan-ingatan yang terpendam” (Lowenthal 1985:203).

Benjamin (1979) berangkat dari tema-tema serupa dalam analisisnya tentang bagaimana orang “membaca” kota (lihat juga Buck-Morss 1989). Ini bukanlah suatu soal pengamatan intelektual atau positivistik; namun, dia melibatkan fantasi, harapan dan mimpi. Kota adalah suatu penampung pelbagai ingatan manusia dan masa lampau; dan dia juga berfungsi sebagai sebuah wadah bagi simbol-simbol budaya. Ingatan-ingatan tersebut tersimpan dalam bangunan-bangunan yang kemudian mengambil kepentingan berbeda dari yang diharapkan sang arsitek. Namun, ini bukan sekadar soal penafsiran individual, karena bangunan-bangunan menunjukkan mitos-mitos kolektif. Memahami mitos-mitos tersebut membawa serta suatu proses membongkar atau merusak penafsiran dan tradisi yang sudah ada dan mencapur aduk elemen-elemen yang bertentangan secara bersamaan. Bahkan bangunan-bangunan mangkrak dapat meninggalkan jejak dan membongkar ingatan, mimpi dan harapan dari periode-periode sebelumnya. Dalam A Journey

through Ruins, Wright (1992) secara baik menunjukkan metode Benjamin dengan

(15)

menganalisis tempat-tempat yang hanya peduli dengan hiburan, seperti ruang pameran di Paris; mereka mengubah pengunjung menjadi komoditas seiring mereka masuk dalam sebuah “dunia fantasmagoris.”

Mengikuti teori-teori tersebut, serangkaian poin penting tentang tempat telah dikembangkan oleh para penulis yang dipengaruhi oleh penulis sebelumnya. Namun, titik-titik yang terbentuk sekarang sangat beragam dan berarti bahwa sosiologi tentang tempat telah bergerak menjauhi dimensi Newtonian yang sederhana dan objektif tentang ruang dan waktu.

Pertama, semakin terlihat jelas sekarang bahwa tempat-tempat tidaklah statis dan baku (Massey 1994:136-137). Tempat-tempat melibatkan proses dan proses tersebut melibatkan serangkaian relasi sosial yang lebih lokal dan terus meluas. Massey menunjukkan bahwa apa yang saya istilahkan dengan lokalitas adalah sebuah “perbedaan yang menyatu dalam satu tempat menghasilkan dampak-dampak yang tidak mungkin terjadi sebaliknya” (1994:156, 138). Tempat-tempat dapat kemudian sangat renggang dipahami sebagai multipleks, sebagai seperangkat ruang di mana rentang jejaring dan arus relasional melebur, saling terhubung dan terfragmentasi. Tempat-tempat lain dapat dilihat sebagai nexus antara, pada satu sisi, kedekatan yang dicirikan dengan interaksi kehadiran bersama yang sangat bermakna dan, pada sisi lain, jejaring yang bergerak cepat yang melentur melampaui batas-batas menubuh, virtual dan imaginatif. Kedekatan dan jejaring luas hadir bersama untuk memungkinan pertunjukkan di, dan tentang, tempat-tempat tertentu.

Secara khusus, tempat-tempat, kita sekarang tahu terbagi secara gender. Lelaki dan perempuan dapat memiliki beragam relasi yang berbeda dengan “kota” yang kerap didominasi oleh kepentingan laki-laki dan oleh bentuk-bentuk representasi yang kuat, seperti monumen, bangunan pengingat dan situs sejarah yang merekam aktivitas para lelaki. Kita hanya tahu bagaimana pentingnya desain perkotaan untuk hunian dan mobilitas yang aman bagi perempuan, khususnya di tempat-tempat yang didominasi oleh kendaraan (Wilson 1991; Ardener 1993; Wolff 1995; Sheller dan Urry 2000). Terdapat, tentu saja, interkoneksivitas yang rumit antara analisis semacam itu dan tentang etnisitas.

(16)

berpendapat bahwa hal ini dihasilkan dari mobilitas spasial kulit hitam kelas menengah yang dalam jumlah besar menghasilkan area-area kulit hitam. Ini telah membantu penghapusan basis kehidupan komunitas. Pada saat yang sama area-area tersebut telah dikacaukan oleh de-industralisasi seiring dengan lapangan kerja bergerak ke selatan dan barat dan keluar ke suburban. Terdapat sebuah “pengosongan ghetto” (Wacquant 1989; Davis 1990).

Perubahan karakter gender dan etnis dihubungkan dengan kota-kota yang sedang direkonstruksi sebagai pusat-pusat konsumsi (dan lapangan kerja) posmodern; kota menjadi sebuah cara pandang, sebuah “ruang mimpi konsumsi visual,” menurut Zukin (1992:221). Dia menunjukkan bagaimana pengembang bisnis properti telah membangun lansekap kekuasaan baru, suatu panggung ditata. Di dalamnya konsumsi dapat terjadi, termasuk khususnya minuman dan makanan (lihat Bell dan Valentine 1997, tentang bagaimana “kita adalah di mana kita makan”). Ruang-ruang mimpi tersebut menempatkan persoalan sentral bagi identitas manusia yang secara historis telah didirikan pada tempat, pada dari mana seseorang berasal atau kemana dia pindah.

Lansekap posmodern adalah tentang tempat, seperti Main Street di EuroDisney, World Fairs, atau Covent Garden di London. Tapi itu adalah tempat-tempat yang dibuat untuk konsumsi. Mereka adalah tempat-tempat yang jarang orang berasal darinya atau tinggal di sana atau yang menyediakan sebuah perasaan tentang identitas sosial. Hampir mirip, Sennett (1991) berpendapat bahwa dalam kota kontemporer bangunan berbeda tidak lagi menguji sebuah fungsi moral – di ruang-ruang baru yang paling terlihat adalah yang berbasis konsumsi dan turisme. Ruang-ruang tersebut secara khusus dirancang untuk meruntuhkan tembok perbedaan antar-kelompok sosial dan memisahkan kehidupan pribadi manusia dari aktivitas publik mereka.

(17)

pusat-pusat komunitas, ruang di bawah pohon dan seterusnya. Dia menyebut ini “tempat ketiga”, tempat-tempat di luar pekerjaan dan keluarga di mana komunitas menunjukkan diri dan kehidupan bertetangga dapat dipertahankan (Oldenburg 1989; Diken 1998).

Akhirnya, bahkan tempat-tempat tersebut yang didasarkan pada kedekatan geografis bergantung pada mobilitas yang tinggi. Terdapat banyak cara untuk mengakui kembali sebuah perasaan menghuni melalui pergerakan antar-batas komunitas, seperti berjalan sepanjang jalan setapak. Tetapi komunitas semacam itu juga saling terhubung dengan tempat-tempat lain melalui pelbagai bentuk perjalanan. Raymond Williams dalam Border Country (1988) “terkesima dengan jejaring yang dibentuk lelaki dan perempuan, struktur jejak dan kewilayahan yang mereka buat seiring mereka bergerak melintasi sebuah wilayah dan cara-cara mereka berinteraksi atau berjumpa satu sama lain” (Pinkey 1991:49; Cresswell 1997:373). Massey berpendapat sama bahwa identitas dari sebuah tempat sebagian besar diturunkan melalui pertukaran-pertukaran dengan tempat-tempat lain yang bisa jadi sangat merangsang dan progresif. Terkadang pengertian-pengertian tersebut bergantung pada relasi-relasi gender yang timpang menuju kemungkinan-kemungkinan untuk bergerak. Massey mendiskusikan bagaimana “ibu” dapat berfungsi sebagai pusat simbolis bagi “anak-anak nakal” untuk kembali ketika tidak ada tempat lain untuk dituju (1994:180).

Akhirnya, saya akan mempertimbangan dua contoh penelitian yang telah menunjukkan bagaimana tempat-tempat diciptakan melalui pergerakan jejaring. Pertama, di kalangan demonstran jalanan dan pengelana, hunian terkadang impermanen dan dicirikan oleh, menurut seorang partisipan, “iklim impermanen yang diyakini bersama, tentang menjadi siap untuk bergerak terus ... berpindah ke kampus lain, puncak gunung, ghetto, pabrik, rumah penampungan, ladang-ladang mangkrak” (Mckay 1996:8). Terdapat sebuah perasaan tentang pergerakan, tentang tindakan-tindakan transgresi berkelanjutan, sebagai terjadi dalam kasus sebuah konvoi perdamaian. Ruang-ruang hunian mereka diciptakan melalui pelbagai jalur dan titik-titik sakral tertentu. Hunian itu mengikat emosi, tidak tetap dan terus berpindah. Budaya resistensi semacam ini terbentuk sebagai “sebuah jejaring ...

kolektif dan komunitas yang independen” (Albion Free State Manifesto 1974; lihat

(18)

festival, pameran desa, musik alternatif, sabotase, protes jalanan, perjalanan era baru, budaya liar, protes pengangguran, konvoi damai, hak binatang dan seterusnya (Mckay 1996:11). Jejaring itu diperkuat oleh pelbagai pola pergerakan yang di dalamnya terdapat sejenis pemetaan perlawanan pada peristiwa-peristiwa kunci, tempat-tempat, jalur-jalur dan seterusnya (lihat Urry 2000, tentang mobilitas yang menubuh).

Kedua, bacaan-bacaan tentang diaspora menunjukkan bagaimana budaya telah dibuat dan dimodifikasi sebagai sebuah konsekuensi dari laju manusia, objek dan imaji keluar dan masuk melintasi batas-batas (Bhabha 1990). Gilroy secara khusus berpendapat bahwa: “Berlawanan dengan ... pendekatan etnisitas yang absolut, saya ingin menyarankan bahwa ahli sejarah budaya dapat mengambil Samudra Atlantik sebagai sebuah unit analisis yang tunggal namun rumit ... dan menggunakannya untuk menghasilkan sebuah perspektif transnasional dan interkultural yang nyata” (Gilroy 1993:15). Masyarakat-masyarakat diaspora tidak dapat bertahan tanpa perjalanan tubuh, imaginatif dan virtual yang terus meningkat ke tanah asalnya dan ke tempat-tempat diaspora lainnya (Kaplan 1996:134-136). Clifford (1997:247) merangkum:

Orang-orang yang tersebar, begitu terpisahkan dari tanah asalnya oleh lautan luas dan batas-batas politik, semakin menemukan dirinya dalam relasi-relasi perbatasan dengan negara lamanya. Terima kasih pada sebuah pergerakan pergi-pulang yang dimungkinan oleh modernisasi teknologi transportasi, komunikasi dan migrasi pekerjaan. Pesawat terbang, telepon, kaset, kamera, pasar kerja bergerak mengurangi jarak dan memfasilitasi arus dua-arah, legal dan ilegal, antara tempat-tempat di dunia.

(19)

Kecenderungan bagi diaspora untuk hidup di dalam kota-kota utama “dunia” berarti bahwa mereka secara khusus berkontribusi pada, dan mengambil untung dari, meningkatnya karakter kosmopolitan dari tempat-tempat tersebut (Hannerz 1996). Hal ini dapat dilihat dalam Cina perantauan yang menghidupkan Pecinan di banyak kota utama di seluruh dunia. Yang terbesar adalah di New York dan menjadi sebuah fenomena mengejutkan belakangan ini. Pada 1960an hanya terdapat sekitar 15.000 penduduk tapi selama lebih dua puluh tahun kemudian mereka telah tumbuh 20 kali lipat dengan merasuk ke pelbagai sektor jasa, bengkel dan perdagangan profesional. Pecinan telah menjadi pusat kunci dalam jalur “turisme global” karena mereka menjual “relik etnis” yang otentik, sebuah relik yang dibersihkan dan dikemas ulang untuk perjalanan turis internasional (Cohen 1997:93).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mendeskripsikan struktur teks pemberitaan dalam bentuk (1) representasi pemberitaan, (2) relasi dalam pemberitaan, (3) identitas yang terdapat dalam

Struktur sosial baik menyangkut kelompok maupun lembaga tampaknya berdiri pada dasar yang definitif; pada kehidupan masyarakat yang relatif masih sederhana, hal

Berbicara tentang otoritas, terutama terkait dengan politik lokal, tidak bisa mengabaikan struktur otoritas, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Weber. Menurut Weber, otoritas

− Ruang terbuka hijau pada pusat pelayanan skala lokal terdapat di hampir semua wilayah kecamatan. 3) Pengembangan ruang terbuka hijau pada struktur jaringan berupa

Ruang lingkup bidang kajian sosiologi pedesaan menekankan pada masyarakat pedesaan dan segala dinamikanya yang antara lain mencakup struktur sosial, proses sosial,

Tokoh agama dengan status sosial tinggi, kemudian menjadi elit lokal yang memiliki relasi serta kekuasaaan dan akhirnya masuk ke dalam struktur organisasi politik.. Tahapan

Studi ini berupaya menjelaskan tentang dinamika kekuasaan elit lokal yang memiliki relasi di Lombok dalam keterkaitannya pada konflik keagamaan yang menyangkut Jamaah Ahmadiyah

− Ruang terbuka hijau pada pusat pelayanan skala lokal terdapat di hampir semua wilayah kecamatan. 3) Pengembangan ruang terbuka hijau pada struktur jaringan berupa