• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversifikasi Mata Pencaharian Perdesaan pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diversifikasi Mata Pencaharian Perdesaan pdf "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

0

Diversifikasi Mata-Pencaharian Perdesaan dalam Konteks Periurbanisasi Wilayah Pinggiran Metropolitan di Negara Berkembang

DISCUSSION PAPER

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota

Kelompok Peminatan: Pengembangan Wilayah dan Perdesaan Mata Kuliah: Pembangunan Perdesaan

Iman Firmansyah NIM: 25413047

(2)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

Proses urbanisasi yang berlangsung terus­menerus akan membuat jumlah penduduk perkotaan bertambah banyak setiap tahun, yang tidak selalu disertai dengan penyediaan fasilitas pelayanan dasar dan kesempatan kerja yang memadai (Chris dan Tadjuddin, 1991: 2). Terbatasnya ruang hidup dan pelayanan di kawasan perkotaan akan mendorong peningkatan aktivitas di pinggiran sehingga terjadi perluasan kawasan perkotaan, melampaui batas administratif kota inti, yang membentuk kawasan perkotaan­meluas yang dikenal sebagai wilayah metropolitan. Apabila urbanisasi di wilayah metropolitan terus berlangsung, maka akselerasi pertumbuhan populasi dan aktivitas urban juga akan terjadi di pinggiran.

Pengaruh paling kuat dan segera dari ekstensi kawasan perkotaan ke luar batas kota inti terjadi di area yang dikenal dengan istilah kawasan periurban. Istilah “periurban” merujuk kepada sifat peralihan antara perkotaan dan perdesaan; sifat mana harus dipahami tidak hanya secara fisik namun juga non­fisik, misalnya aktivitas penduduk. Seperti dikemukakan oleh Sari dan Winarso (2007: 1) bahwa kebanyakan ahli perencanaan wilayah menyepakati definisi kawasan periurban sebagai zona transisi antara aktivitas kekotaan dan aktivitas kedesaan.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka ekspansi perkotaan ke wilayah perdesaan di sekitarnya dapat disebut dengan istilah periurbanisasi. Proses periurbanisasi itu sendiri akan menumbuhkan sejumlah peluang dan tantangan baru bagi kawasan perdesaan yang bertransformasi menjadi kawasan periurban. Proses periurbanisasi pada gilirannya akan menimbulkan sejumlah implikasi. Salah satu implikasi yang krusial adalah diversifikasi mata­ pencaharian; karena di satu sisi ia tampil sebagai mekanisme untuk memanfaatkan peluang yang lahir dari periurbanisasi, di sisi lain ia dapat terkait dengan masalah­masalah baru.

Konteks negara berkembang tampaknya relevan untuk topik diversifikasi mata pencaharian karena negara berkembang pada umumnya belum memiliki tradisi kelembagaan yang memadai untuk mengantisipasi tantangan periurbanisasi. Simon et. al. dalam McGregor et. al. (2006, eds.: Chapter 1) mengemukakan bahwa otoritas negara berkembang seringkali menemui kesulitan untuk mengintegrasikan kawasan periurban secara fungsional dalam kebijakan penataan kota inti atau wilayah metropolitan yang melingkupi kawasan tersebut.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan berikut: “Bagaimanakah prospek diversifikasi mata­pencaharian perdesaan dikaitkan dengan pengaruh periurbanisasi di wilayah metropolitan negara berkembang?”, yang dijabarkan sebagai berikut: � Bagaimankah peluang dan tantangan yang lahir dari proses periurbanisasi untuk

diversifikasi mata­pencaharian perdesaan?

(3)

2 1.2. Kerangka Pemikiran

Ekspansi pengembangan perumahan dan aktivitas ekonomi perkotaan ke wilayah perdesaan di wilayah pinggiran akan memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap kondisi kawasan pinggiran. Pengaruh negatif antara lain tampak dalam bentuk penyusutan luas lahan pertanian, degradasi sumberdaya alam, penurunan produksi pertanian dan peningkatan produksi sampah/limbah. Sedangkan pengaruh positifnya antara lain peningkatan kesempatan­ kerja, peningkatan nilai ekonomi lahan, peningkatan linkage aktivitas ekonomi, dan peningkatan aksesibilitas kepada infrastruktur, fasilitas sosial dan informasi.

Kawasan perdesaan di wilayah pinggiran metropolitan yang mengalami desakan periurbanisasi pada saatnya tentu akan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi, namun ia belum tentu akan mengalami peningkatan dan pemerataan kesejahteraan. Kesulitan akses menuju kesejahteraan secara khusus dialami oleh anggota masyarakat yang terhubung dengan pengaruh negatif tersebut di atas, atau yang tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk mengambil manfaat dari pengaruh positif tersebut di atas.

Pada kawasan perdesaan yang terdampak periurbanisasi tersebut pada umumnya terjadi diversifikasi aktivitas ekonomi. Fenomena tersebut dipandang krusial untuk dikembangkan, mengingat pengembangan ekonomi perdesaan muti­sektor tampaknya dapat menjadi solusi alternatif dalam meningkatkan pendapatan dan kesempatan­kerja bagi penduduk asli perdesaan yang terpinggirkan dari ekonomi perkotaan yang berekspansi ke ruang­ruang penghidupan eksisitingnya. Peningkatan pendapatan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan penduduk dan pertumbuhan ekonomi kawasan. Dan itu semua dapat terjadi jika terdapat dukungan aktif dari para pemangku kepentingan lokal dan regional.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suburbanisasi dan Periurbanisasi

Suburbanisasi, demikian Ekers et.al. (2012), merupakan kombinasi antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, sebagai bentuk ekspansi spasial perkotaan di luar batas­ batas formal kota. Dalam redaksi lain, Pradoto (2012) menyatakan suburbanisasi linier dengan proses transformasi ekonomi dan rekomposisi populasi di kawasan pinggiran kota. Terdapat banyak varian dari suburbanisasi di seluruh dunia; periurbanisasi adalah salah satunya.

(4)

3

struktur ekonomi dari yang berbasis­perdesaan menjadi berbasis­perkotaan, pertumbuhan penduduk yang pesat, peningkatan harga lahan dan perubahan pola pembangunan fisik.

2.2. Transformasi Kawasan Perdesaan yang Mengalami Periurbanisasi

Pada dasarnya, transformasi spasial yang berlangsung dalam proses periurbanisasi adalah pergeseran dari sifat kedesaan menuju sifat kekotaan dalam berbagai aspek. Dalam hal itu, Pradoto (2012) mendelineasikan kawasan periurban sebagai area geografis di mana terjadi: (a) Peningkatan permintaan lahan untuk fungsi non­pertanian; (b) pergeseran basis ekonomi dari pertanian ke pengolahan dan jasa; dan (c) perubahan demografi akibat pengembangan pemukiman. Senada dengan itu, Yunus (2008) mengurai proses transformasi kawasan periurban ke dalam aspek­aspek: (a) Fisik, yaitu pergeseran pemanfaatan lahan, karakteristik bangunan, pemukiman dan sirkulasi; (b) Ekonomi, yakni peralihan basis ekonomi dari perspektif penduduk asli dan pendatang; (c) Sosial; yang meliputi mata pencaharian, keahlian, kekerabatan, kelembagaan, strata sosial, kontrol sosial dan mobilitas.

Aspek­aspek transformasi periurban tersebut terjadi karena adanya tekanan­tekanan yang dikonseptualisasi oleh Allen (dalam McGregor et.al, 2006 (eds.)) sebagai berikut: (a) Lokal: adanya persaingan pemanfaatan lahan antara ekspansi urban dengan pertanian; (b) Sub­ nasional dan nasional: kebijakan desentralisasi industri dan privatisasi SDA; (c) Internasional: misalnya kejatuhan harga ekspor suatu komoditas.

2.3. Diversifikasi dan Peralihan Mata Pencaharian Penduduk Periurban

Merujuk kepada Yunus (2008: 310­314) bahwa peluang­peluang ekonomi baru di luar sektor pertanian bagi penduduk asli perdesaan setidaknya timbul dari dua kondisi berikut: (1) Keterjangkauan antara lokasi tempat tinggal di kawasan pinggiran dengan pusat kegiatan perkotaan, yang memudahkan penduduk periurban untuk bermobilitas ke kota; (2) Semakin banyaknya pendatang di lokasi tempat tinggal mereka, baik permanen maupun temporer.

(5)

4

merenovasi bangunan untuk dijadikan pemondokan, warung/toko atau usaha lainnya; (2) Ex­ petani yang lahan semulanya sempit; hasil penjualannya habis untuk pemanfaatan konsumtif, mereka beralih menjadi buruh, penarik becak/ojek atau pekerja kasar lainnya; (3) Ex­petani [baik yang lahannya luas maupun sempit] yang hasil penjualannya digunakan untuk membeli lahan baru di lokasi lain. Mereka menikmati hasil dari lahan pertanian baru yang diburuhkan kepada pihak lain. Sebagian dari mereka juga melakukan usaha lain.

2.4. Faktor­Faktor Pendorong Diversifikasi Mata Pencaharian Perdesaan

Davis (2003) menemukan bahwa di kawasan­kawasan perdesaan miskin, sebagian rumahtangga akan membuat pilihan positif untuk memanfaatkan peluang dalam aktivitas ekonomi non­pertanian. Ia menyimpulkan bahwa terdapat dua kelompok tanggapan individu perdesaan terhadap peluang­peluang baru dalam aktivitas ekonomi non­pertanian, yaitu demand­pull diversification dan distress­push diversification. “Diversifikasi tarikan­permintaan” adalah tanggapan kepada pasar atau peluang teknologi baru, sementara “diversifikasi dorongan­kesulitan” adalah motif karena tidak adanya peluang di sektor pertanian.

Islam (1997) sebagaimana dikutip oleh Davis (2003) mengidentifikasi bahwa faktor­ faktor yang membawa kepada demand­pull diversification meliputi meningkatnya pendapatan rumahtangga berpendapatan rendah hingga menengah, dan meningkatnya permintaan kawasan perkotaan terhadap input perdesaan. Sementara faktor­faktor yang menuntun kepada distress­ push diversification adalah kekeringan (kurangnya pasokan air baku) dan sempitnya kepemilikan lahan yang mengakibatkan penurunan pendapatan sehingga meningkatkan kebutuhan keluarga petani terhadap pendapatan alternatif yang low­skill.

III. PEMBAHASAN

Penulis mendefinisikan periurbanisasi sebagai proses transisi spasial yang dialami oleh kawasan perdesaan yang berlokasi di tepi­luar batas (baik formal maupun fungsional) kawasan perkotaan induk, dalam bentuk pertumbuhan populasi yang relatif tinggi dan saling­terkait dengan pergeseran sektor ekonomi basis yang ditandai dengan tingginya tingkat konversi penggunaan lahan dari fungsi perdesaan ke fungsi perkotaan.

(6)

5

Dalam perspektif sosio­ekonomi, proses periurbanisasi dapat dihubungkan dengan diversifikasi mata­pencaharian penduduk kawasan periurban. Hal itu antara lain dapat disimak dari relasi antara faktor­faktor penyebab terjadinya transformasi kawasan periurban yang dikemukakan oleh Allen (dalam McGregor et.al, 2006 (eds.)) dengan faktor­faktor pendorong diversifikasi mata­pencaharian yang diargumentasikan oleh Davis (2003). Faktor internal (lokal) muncul dalam bentuk persaingan penggunaan lahan antara ekspansi aktivitas­aktivitas urban dari kota inti dengan kebutuhan ruang untuk budidaya pertanian. Sedangkan faktor eksternal terjadi dalam bentuk kebijakan desentralisasi industri dan privatisasi sumberdaya alam, dan integrasi komoditas perdesaan ke dalam pasar yang lebih luas (sub­nasional, nasional dan global). Kedua faktor tersebut secara bersamaan terhubung kepada dua implikasi yang terjadi secara berurutan; (1) hadirnya pasar urban, bahkan global, di tengah­tengah penduduk perdesaan, dan (2) berkurangnya peluang bagi penghidupan tradisional perdesaan.

Hadirnya pasar urban dan global di tengah­tengah penduduk perdesaan (implikasi pertama) akan memicu demand­pull diversification; di mana penduduk lokal akan mengalihkan sebagian pasokan faktor­faktor produksi perdesaan (terutama SDA dan SDM) dari sektor perdesaan tradisional kepada sektor­sektor perkotaan yang sedang berekspansi. Implikasi ini merupakan peluang bagi masyarakat perdesaan karena dapat menambah kesempatan kerja secara signifikan dan meningkatkan pendapatan.

Namun, implikasi itu juga menjadi tantangan karena tidak semua penduduk periurban mampu mengakses peluang tersebut. Kelompok penduduk yang tidak memiliki lahan, yang lahannya sempit dan yang tidak memiliki latar skill yang memadai untuk terlibat dalam sektor­ sektor modern, akan termarginalisasi dari proses transformasi periurban yang sedang berlangsung. Kenyataan berkurangnya ruang bagi penghidupan tradisional perdesaan (implikasi kedua) akan membuat kelompok penduduk marginal perdesaan kekurangan akses kepada sumber penghidupan eksisting dan akan kehilangan sebagian besar pendapatan apabila tetap bertahan pada sumber tradisional tersebut. Hal itu akan menuntun kepada distress­push diversification; di mana mereka dapat mengambil strategi adaptasi dengan cara melibatkan diri dalam sumber pendapatan alternatif yang low skill dan tidak memerlukan lahan yang luas.

Di antara kedua jenis diversifikasi tersebut, jenis yang diakses oleh suatu keluarga, diakui atau tidak, akan ditentukan oleh beberapa faktor yang dikemukakan oleh Davis (2003), yaitu tingkat pendidikan dan keterampilan, modal sosial, kelompok etnis dan kelas sosial, isu gender, modal finansial, dan kepemilikan sarana fisik.

3.2. Peluang untuk Diversifikasi Mata Pencaharian pada Level Kawasan/Wilayah

(7)

6

(2008) merupakan manifestasi dari proses “urbanisasi” itu sendiri. Kawasan perdesaan yang bertransformasi sejatinya sedang bergerak menuju peran sebagai sub­pusat pertumbuhan, sub­ pusat pelayanan sosial, dan ko­determinan bagi keberlanjutan ekologi wilayah; mendampingi kota induknya. Peluang dan tantangan yang lahir dari pergeseran fungsi kawasan periurban ini juga akan mendorong kepada diversifikasi mata pencaharian penduduk setempat.

Dalam perspektif ini, proses transformasi kawasan periurban muncul dalam bentuk: (1) Pertumbuhan unit­unit usaha besar dan menengah di sektor sekunder dan tersier perkotaan, yang biasanya terjadi bersamaan dengan pengembangan infrastruktur fisik pendukungnya; (2) Pertumbuhan luas lahan terbangun yang pesat; yang berkonsekuensi pada penyusutan luas lahan terbuka yang semula berfungsi sebagai ruang budidaya pertanian, ruang konservasi lingkungan dan ruang sosial, (3) Pertumbuhan penduduk karena migrasi ke­dalam yang diiringi dengan pengembangan kawasan perumahan; di mana sejumlah signifikan dari migran lebih siap untuk mengakses sumber­sumber penghasilan periurban. Kedua hal tersebut akan mengimplikasikan tantangan sebagai berikut:

� Aspek fisik­lingkungan: Percepatan eksploitasi sumberdaya alam dan produksi limbah, yang menyebabkan degradasi daya tampung dan daya dukung lingkungan kawasan periurban; � Aspek spasial: Meningkatnya harga lahan lahan dan marginalisasi akses ke kampung

tradisional alih­alih ke kompleks­kompleks perumahan yang baru dikembangkan,

� Aspek ekonomi wilayah: Penurunan produksi pangan dan bahan mentah untuk industri, yang berpotensi menurunkan keuntungan komparatif wilayah dari sisi sumberdaya alam, � Aspek sosial­ekonomi: Semakin kecilnya peluang kelompok marginal perdesaan untuk

mengakses sumber penghidupan, yang berpeluang meningkatkan tingkat pengangguran, � Aspek sosial­budaya: Pergeseran pola konsumsi, keahlian, kekerabatan, kelembagaan, strata

sosial, mobilitas dan sebagainya, serta belum memadainya sarana dan pelayanan sosial. (dikembangkan antara lain dari Allen dalam McGregor et.al (eds), 2006, dan Yunus, 2008)

Tantangan­tantangan tersebut sesungguhnya merefleksikan peluang bagi diversifikasi mata pencaharian periurban, dalam aspek­aspek yang sama, sebagai berikut:

� Aspek fisik: Adanya kebutuhan bagi pengembangan produk/jasa berbasis­teknologi ramah lingkungan yang diaplikasikan di hulu/produksi maupun hilir/konsumsi (bagi badan usaha dan SDM terampil), serta kesempatan untuk usaha daur ulang limbah (untuk SDM non­skill); � Aspek spasial: Terciptanya peluang pasar­sewa lahan dan properti, alih­alih pasar­jual, serta

peluang untuk usaha perdagangan kecil dan jasa sosial di sekitar kompleks perumahan, � Aspek ekonomi wilayah: Terdapat kesempatan untuk intensifikasi produksi pertanian dan

diversifikasi komoditas pertanian pada lahan yang sempit,

(8)

7

� Aspek sosial­budaya: Tercipta peluang untuk menyediakan produk­produk khas konsumsi perkotaan, dan usaha­usaha yang terkait dengan pentautan linkages fisik antar­kawasan.

Terdapat faktor­faktor ekstra­rumahtangga yang mempengaruhi keberlangsungan diversifikasi mata pencaharian suatu komunitas kepada aktivitas­aktivitas ekonomi non­ pertanian. Faktor­faktor tersebut, merujuk kepada Davis (2003), antara lain: kebijakan pengembangan pertanian, ketersediaan sumberdaya alam yang relevan, infrastruktur ekonomi, tingkat pelayanan publik, pengembangan kota pusat perdesaan dan kondisi lingkungan bisnis. 3.3. Pengembangan Aktivitas Ekonomi Non­Pertanian Tradisional yang Prospektif

Dari kedua sub­bab sebelum ini, dapat ditinjau bahwa aktivitas ekonomi non­pertnian trdisional yang prospektif adalah yang paling memiliki linkages sektor­sektor perkotaan yang sedang mentransformasi kawasan perdesaan menuju sifat periurban. Penduduk periurban dapat mengakses aktivitas­aktivitas tersebut dengan strategi mata­pencaharian sebagai berikut: 1. Keterlibatan dalam pekerjaan sektor sekunder dan tersier yang sedang berekspansi, seperti industri manufaktur besar dan menengah, usaha transportasi, logistik dan konstruksi formal, usaha perdagangan besar dan menengah, jasa perusahaan, jasa keuangan dan jasa sosial formal. Termasuk dalam poin ini adalah kewirausahaan di bidang jasa pendukung industri, yang biasanya terhubung dengan penerapan teknologi. Namun demikian, merujuk kepada tinjauan empiris, keterlibatan dalam subsektor ini pada umumnya berasosiasi dengan tingkat sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteran keluarga yang lebih tinggi. 2. Tetap bermata pencaharian di sektor primer, namun dengan melibatkan strategi adaptasi

terhadap kebutuhan pasar perkotaan terdekat, agar sektor ini mampu bersaing di pasar periurban. Dengan demikian, produksi pertanian di kawasan periurban lagi melulu pada budidaya tanaman pangan, tetapi lebih fokus pada komoditas yang bernilai­jual tinggi, sempit­lahan dan cepat­panen. Di antara contohnya adalah tanaman hias dan ikan hias. 3. Kewirausaan sektor sekunder yang tidak memerlukan lahan yang luas atau skill yang tinggi.

Subsektor ini antara lain meliputi pekerjaan pada lapangan usaha: Industri pengolahan skala kecil dan kerajinan rumahtangga, konstruksi informal (skala komunitas) dan transportasi informal yang menghubungkan simpul transport formal terakhir dengan kampung­kampung yang lebih dalam.

(9)

8

5. Keterlibatan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan/atau pelatihan keterampilan, untuk menyiapkan SDM periurban agar lebih siapm baik untuk bekerja di sektor formal skala besar­menengah maupun untuk berwirausaha. Keterlibatan ini yang antara lain dapat memanfaatkan dana dan pendampingan dari program­program pemerintah dan lembaga donor yang semakin marak digulirkan. Keberlanjutan dari kegiatan ini perlu lebih ditingkatkan lagi di masa yang akan datang.

Namun demikian, lapangan usaha apapun yang berkembang atau akan dikembangkan di kawasan periurban, akan prospektif apabila para pemangku kepentingan yang terkait (pemeritah lokal, pemilik modal besar­menengah dan elit komunitas) mampu mengantisipasi berbagai peluang dan tantangan yang ada, serta memperkuat linkage baik secara sektoral (antara sektor informal perdesaan dengan sektor formal) maupun spasial (antara kawasan periurban dengan kawasan perkotaan dan perdesaan).

Selain itu, terlepas dari jenis lapangan usaha yang dikembangkan, Davis dan Pearce (2001) menyarankan perlunya pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan perbedaan antara diversifikasi distress­push dan demand­pull, karena masing­masing membutuhkan tanggapan kebijakan yang berbeda. Distress­push menuntut pembuat kebijakan untuk mengembangkan jaring keamanan sosial yang cukup, serta memitigasi pengaruh negatif jangka pendek. Untuk demand­pull pembuat kebijakan perlu menyediakan enabling environment yang sesuai untuk mendukung pengembangan aktivitas non­pertanian yang berkelanjutan.

3.4. Signifikasi Diversifikasi Mata Pencaharian bagi Pengembangan Wilayah

Pada level rumahtangga, Carletto et al. (2007) mengkonfirmasi temuan bahwa aktivitas ekonomi non­pertanian memainkan peran kritis dalam meningkatkan pendapatan rumahtangga perdesaan. Dalam banyak kasus, kontribusinya mencapai 50% dari pendapatan perdesaan. Dengan demikian sektor non­pertanian ini telah tumbuh begitu besar hingga tidak patut lagi diabaikan dalam kebijakan pembangunan perdesaan dan program reduksi kemiskinan.

Selanjutnya Carletto et al. (2007) melaporkan adanya trend positif antara status kesejahteraan keluarga dengan partisipasi dalam aktivitas non­pertanian. Rumahtangga yang lebih sejahtera tampaknya lebih berpartisipasi dalam pekerjaan non­pertanian. Itu berarti terdapat hambatan bagi keluarga miskin untuk bergabung dalam aktivitas non­pertanian yang dapat mereduksi tingkat kemiskinan mereka. Sebaliknya, partisipasi lebih tinggi dalam pekerjaan pertanian tradisional (sebagai buruh tani) biasanya terhubung dengan status kesejahteraan yang lebih rendah. Hal itu mengkonfirmasi peran sektor pertanian tradisional sebagai mekanisme survival bagi rumahtangga miskin perdesaan ketika aktivitas­aktivitas yang lebih menguntungkan tidak dapat terakses.

(10)

9

Pada level wilayah, Davis (2003) mengemukakan bahwa proses transformasi menuju diversifikasi ekonomi perdesaan tidak sama di semua negara dan wilayah. Proses transformasi dibentuk oleh faktor­faktor seperti keuntungan komparatif wilayah, kepadatan penduduk, infrastruktur, lokasi dan kebijakan pemerintah. Wilayah­wilayah dengan keuntungan priwisata, bahan tambang atau lokasi­geografis tidak akan terlalu bergantung kepada pertanian sebagai penggerak pertumbuhan, sehingga akan lebih cepat mendiversifikasi ekonominya. Terlepas dari itu, wilayah yang paling berhasil mengembangkan diversifikasi mata­pencaharian adalah wilayah yang mampu memberdayakan potensi keuntungan kompetitifnya.

IV. KESIMPULAN

� Kawasan periurban adalah zona di luar batas pusat perkotaan di mana terjadi pertumbuhan populasi yang tinggi dan perubahan sektor ekonomi basis, yang ditandai dengan tingginya tingkat konversi penggunaan lahan dari fungsi perdesaan ke fungsi perkotaan.

� Penyebab transformasi kawasan perdesaan menuju sifat periurban dibedakan atas faktor internal dan eksternal yang mana keduanya perlu mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan pembangunan kawasan periurban.

� Proses transformasi kawasan periurban tampak dalam tiga dimensi yang terkait satu­sama­ lain, yaitu transformasi fisik, transformasi ekonomi dan transfomasi sosial­budaya.

� Masalah/tantangan yang timbul dari transformasi kawasan periurban antara lain: reduksi luas lahan pertanian yang mengakibatkan degradasi lingkungan, penurunan produksi pertanian dan penurunan peluang mata pencaharian kelompok marginal perdesaan.

� Peluang yang dapat dikembangkan dari transformasi periurban untuk diversifikasi mata pencaharian antara lain: peningkatan kuantitas kesempatan­kerja dan peluang wirausaha, harga lahan pemukiman yang kompetitif, dan peningkatan linkages kawasan.

� Aktivitas­aktivitas ekonomi non­pertanian tradisional yang prospektif adalah yang memiliki linkages baik sektoral maupun spasial dengan sektor­sektor perkotaan yang tengah tumbuh. Strategi yang sesuai adalah elemen kunci untuk mengakses aktivitas­aktivitas tersebut. � Pengembangan diversifikasi mata pencaharian periurban memerlukan peran aktif dari para

pemangku kepentingan lokal dan regional dalam mengantisipasi peluang dan tantangan dan serta memperkuat linkages kawasan.

� Aktivitas ekonomi non­pertanian terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan rumah­ tangga perdesaan periurban dan berkontribusi besar dalam pertumbuhan wilayah.

� Faktor basis ekonomi dalam bentuk absolute advantage dan comparative advantage tetap berpengaruh secara signifikan dalam proses diversifikasi ekonomi kawasan periurban. Namun, stakeholder metropolitan yang mampu memberdayakan potensi competitive

(11)

10 DAFTAR PUSTAKA

Carletto, Gero, et al. (2007). Rural Income Generating Activities in Developing Countries: Re­ Assesing and Evidence

Chris, M.; Tadjuddin, E. N. (1991). Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota Davis, Junior (2003). The Rural Non­Farm Economy, Livelihoods and Their Diversification Davis, Junior and Pearce, Douglas (2001). The Non­Agricultural Rural Sector in Central and

Eastern Europe

Ekers, Michael; Hamel, Pierre; Keil, Roger (2012). Governing Suburbia: Modalities and Mechanism of Suburban Governance

Hudalah, Delik (2010). Peri­urban Planning in Indonesia

McGregor, Duncan; Simon, David; Thompson, Donald [eds.] (2006). The Peri­urban Interface: Approaches to Sustainable Natural and Human Resource Use

Pradoto, Wisnu (2012). Development Pattern and Socioeconomic Transformation in Peri­ urban Area: Case of Yogyakarta Indonesia

Sari, Maulien Khairina, dan Winarso, Haryo (2007). Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Peri­Urban di Sekitar Pengembangan Lahan Skala Besar: Kasus Bumi Serpong Damai

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk hasil analisis atribut pengungkit ( laverage attributes ) dimensi sosial dan budaya tersaji pada Gambar 5 dan Gambar 6 dapat dilihat bahwa peran masyarakat adat

Tabel Pengujian Halaman Admin No Kasu s Uji Hasil yang diharapkan Hasil Pengujia n Status 1 Login admin Admin dapat mengakses halaman admin dengan memasukka n

Bukan hanya bagi admin yang mangatur proses pick up and return, form login sendiri digunakan bagi customer sebelum melakukan tran- saksi atau bagi kurir untuk

Pemikiran yang dimaksud adalah tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.Adapun mengenai pemikiran Azyumardi Azra terhadap pendidikan Islam yakni perhatiannya terhadap

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081,

Bila kita sampai pada titik di mana ratus perusahaan mempraktikkan hal ini sebagai cara yang utama dalam melakukan bisnis, suatu sistem standar akan berkembang

Berdasarkan hasil penelitian ini pengelolaan Perusahaan Daerah Isen Mulang Kota Palangka Raya berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( good corporate

Setelah mendapat izin dari pihak kepala sekolah, dilanjutkan dengan menemui guru kelas 5 masing-masing sekolah sebagai pelaksana penerapan treatment pada subjek