BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
Kasus-kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi-reaksi
sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan pun terhadap pidana yang telah
dijatuhkan, dimuat dalam media massa. Selain daripada pemerkosaan dan
pemidanaan terhadap pemerkosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan
penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan/
pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual pada
anak-anak sebagai dimuat dalam Bab II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal
tersebut dibebankan kepada aparat penegak hukum terutama selain dari kegiatan
aparat penegak hukum tersebut telah cukup padat, keahlian tersebut kemungkinan
tidak dimiliki aparat penegak hukum tersebut.
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi
hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung
kekurangan secara tidak substansial dalam hal melindungi korban kejahatan.
Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.
Dalam pembahasan ini penulis akan di uraikan atau deskripsikan posisi
korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif (KUHP).
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal
289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia
perbuatan perkosaan pada Pasal 289 yang bunyinya sebagai barikut : Barangsiapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan
kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”19 Sedangkan dalam Pasal 290 berbunyi :
1a. Barangsiapa melakukan berbuat perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang pingsan atau tidak berdaya.
2a. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur anak orang itu belum
cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu
belum masanya untuk kawin.20
Dari rumusan dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk
adanya tindak pidana paedofilia adalah: 1) barangsiapa, 2) dengan kekerasan, atau
3) dengan ancaman kekerasan, 4) memaksa, 5) seseorang wanita yang belum
masanya kawin, 6) adanya pencabulan.
Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar
Bahasa Indonesia memuat artrinya sebagai berikut :“ keji dan kotor, tidak senonoh
(melanggar kesopanan, kesusilaan).”
Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan,
atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin.21
19
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politea, 1994), hal 212
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 289
KUHP menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh
pelaku adalah sembilan tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal,
dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan. Sanksi
minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun
lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis.
Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan Pasal 289 oleh hakim,
hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak
semata-mata bisa menyalahkan hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan
keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak diluar
komitmen dan nilai-nilai kemanusiaannya.
1. Tentang unsur ‘’barang siapa’’ dalam KUHP memang tidak ada penjelasan
rinci, namun kalau kita simak Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50 dan 51 KUHP
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘’barang siapa’’ atau subjek
tindak pidana adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Bukti lain yang dapat diajukan
yang menunjukan bahwa objek tindak pidana adalah orang lain ialah: pertama,
untuk penjatu8hyan pidana diharuskan adanya kesalahan atau kemampuan
bertanggung jawab dalam hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal
10 KUHP hanya bermakna atau hanya mempunyai arti bila dikenakan pada
‘orang’ atau ‘manusia’. Kalau dilihat dari luas sempitnya perbuatan pelaku
maka akan termasuk sebagai pelaku tindak pidana bukan hanya orang yang
medepleger (menyuruh melakukan, medeplichtigheid (membantu melakukan )
dan uitloking (membujuk atau mengajurkan).22
2. ‘Kekerasan’ adalah kekuatan fisik atau perbuatan yang menyebabkan orang
lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melekukan perlawanan atau
pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana Paedofilia antara lain
sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang
yang terkena tidak berdaya. Dalam tindak pidana perkosaan, kekerasan ini
dilakukan oleh pelaku sebagai upanya untuk mewujudkan maksud atau nitnya
untuk bersetubuh dengan korban. Sudah barang tentu ini dilakukan kerena
adanya pertentangan kehendak. Dalam kasus tindak pidana pencabulan,
pelaku prinsip semakin cepat kasus dilaporkan dan tempat kejadian perkara
diamankan, maka akan semankin besar untuk menangkap pelaku. Untuk
menentukan ada tidaknya sperma dalam tubuh korban, paling lama visum
dilakukan dua hari sejak terjadi perkosaan.
3. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi
ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau
kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan korban yang sebagian
besar anak-anak menjadi takut dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti
kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.23
4. Unsur ‘memaksa’ dalam pencabulan menunjukan adanya pertentangan
kehendak antara pelaku dengan korban. Sehingga tidak ada pencabulan
apabila tidak ada pemaksaan.
22
Barita Sinaga, Varia Peradilan, IX, 1994, hal 157
23
5. Unsur yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita yang belum masanya
untuk kawin” atau anak-anak dibawah umur atau seseorang yang umurnya
belum cukup 15 tahun terhadap ‘’wanita yang belum dewasa’’ memerlukan
perlindungan khusus sehingga setiap pria yang berminat bersetubuh dengan
wanita tersebut mengetahui dan memahami risiko yang lebih besar.
Anak-anak wanita yang masih belum mengerti “hubungan seks”, dengan bujukan
sedikit uang. Mungkin telah mau membuka celana dalamnya dan mau disuruh
tidur telentang tanpa paksaan si pria telah dapat mensetubuhinya.
6. Untuk selesainya tindak pidana Paedofilia maka harus terjadi pencabulan yang
dilakukan pelaku kepada korban. Dalam arti tidak ada pidana Paedofilia jika
tidak terjadi pencabulan dimana anak-anak sebagai korbannya. Adapun
tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi persetubuhan atau
penetrasi antara lain :
a. Robeknya selaput dara (hymen) dalam hal anak-anak sebelum dicabuli
masih dalam keadaan perawan, bentuk robeknya selaput dara akan berbeda
antara hubungan kelamin yang dilakukan paksa, umumnya robekan hymen
akan tidak beraturan bila korban berusaha untuk melawan.
b. Tanda kekerasan pada vagina (vulva) biasanya terjadi karena pelaku
membuka celana dalam korban atau memasukkan penisnya secara paksa
dan tergesa-gesa, tanda kekerasan ini bisa berupa goresan kuku atau
tangan pelaku.
c. Sperma pelaku yang tertinggal dalam vagina.24
24Ibid
Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada KUHP adalah dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya :
1) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang perempuan
dan menyentuhnya pada alat kelaminnya.
2) Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan dan
kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat
mengelusnya teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal
tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.25
Konsep mengenai tindak pidana paedofilia atau kejahatan kesusilaan ini
sebagaimana dalam RUU-KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi
ancaman sanksi hukuman yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing
kejahatan kesusilaan telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan.
Selain itu, dalam RUU-KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman
secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dijatuhi sanksi penjara, juga dapat
dijatuhi sanksi berupa denda yang sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu denda
Rp300.000.000 juta rupiah bagi setiap pelaku paedofilia yang tertangkap sebagai
ganti rugi terhadap anak-anak yang sudah dicabulinya.
Meskipun demikian, ancaman hukuman itu masih belum bisa
mengimbangi ancaman hukum yang digariskan hukum islam. Padahal dalam
hukum islam, kalau kasus seprti itu terjadi, maka hukuman maksimumnya adalah
hukuman mati. Idealnya, pembaharuan hukum yang hemdak direncanakan sebagai
bagian dari konsekuensi politik hukum di indonesia ini, adalah dapat mengacu
25
pada kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban
kejahatan.
B. Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan
Pertanggungjawabannya
Tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, mendidik
atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan
kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang bersifat represif
diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya dan apabila
kembali ke masyarakat dapat diterima seperti dahulu sebelum ia di penjara
Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitan Balai Pustaka.26 Kata “susila” dimuat arti sebagai berikut :
1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;
3. Pengetahuan tentang adat
Makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan dengan moral
yang terdapat pada setiap diri manusia, maka dapatlah di simpulkan bahwa
pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana
perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah
diatur dalam perundang-undangan.
26
Pengaturan tentang tindak pidana kesusilaan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan jenis tindakan pidana
kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni:
1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303
Bab 14 Buku ke 2 KUHP.
2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d. 547
Bab 6 Buku 3 KUHP
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak
pidana.27 Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang
dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.
Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah
mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab
adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana
diperbolehkan dan yang tidak.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan
perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi
27
masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang
telah dilakukan orang tersebut.
Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka
terdakwa haruslah28:
a. Melawan perbuatan pidana
b. Mampu bertanggungjawab
c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan;
d. Tidak ada alasan pemaaf
Unsur delik pada Pasal 293 adalah:
1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.
2. Membujuk dengan menggunakan :
a. hadiah/ uang.
b. pengaruh yang berlebihan yang ada disebabkan oleh hubungan yang ada.
c. Tipuan
3. Bujukan ditujukan pada orang yang belum dewasa yang patut disangka oleh
pembujuk dan baik tingkah lakunya.
Membujuk berarti berusaha supaya orang menuruti kehendak yang
membujuk bukan memaksa. Apabila dengan bujuk rayu tersebut maka terjadi
perbuatan cabul tersebut maka pelaku baru dapat dikenai sanksi pidana.
Pasal 294 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan
kepada anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak dibawah pengawasanya, yang
28Ibid.
belum cukup umur, atau orang yang belum cukup umur dimana pemeliharaan,
pendidikan ditanggungkan kepadanya. Dalam Pasal ini maka pelaku akan dikenai
sanksi pidana apabila perbuatan cabul dilakukan terhadap anak yang dibawah
umur yang masih terdapat hubungan dengannya dimana ancaman pidana nya jauh
lebih berat.
Pasal 294 (1) : barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya anak dibawah pengawasanya, yang belum cukup
umur atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya,
pendidikannya dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan
bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun
Dalam Pasal 296 perbuatan yang dilarangan adalah menghubungkan atau
memudahkan perbuatan cabul orang lain dan menjadikannya sebagai mata
pencaharian. Pasal ini digunakan untuk orang-orang yang bekerja dalam bisnis
pelacuran yaitu sebagai penyedia tempat, penyalur anak- anak dibawah umur
yangdilacurkan. Pasal 296 KUHP disebutkan bahwa : Barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain
dengan orang lain dan menjadikan nya sebagi pencarian atau kebiasaan diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan tau denda paling
banyak seribu rupiah.29
Berbicara konsep pertanggungjawaban pidana (strafbaarheid) mau tidak
mau harus didahului dengan pembicaraan tentang konsep perbuatan pidana
29
(strafbaarfeit). Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana
tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika
tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu perbuatan, sedang ia
sendiri tidak melakukan perbuatan itu.30 Di antara ahli hukum pidana masih ada perbedaan pendapat apakah konsep perbuatan pidana di dalamnya terkandung
juga konsep pertanggungjawaban pidana atau kedua konsep tersebut merupakan
konsep yang berbeda namun tidak dipisahkan.
Simons misalnya mengatakan bahwa dalam perbuatan pidana di dalamnya
juga terkandung makna pertanggungjawaban pidana. Pendapat serupa
dikemukakan oleh Van Hamel yang mengatakan bahwa istilah strafbaarfeit
diartikan sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Pemikiran tersebut pada akhirnya melahirkan suatu aliran yang tidak memisahkan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pendapat yang berbeda
dikemukakan oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh yang menyatakan konsep
perbuatan pidana harus dipisahkan dari konsep pertanggungjawaban pidana. Hal
ini karena untuk menentukan salah tidaknya seseorang terlebih dahulu harus
dibuktikan bahwa ia melakukan suatu perbuatan. Dari pemikiran ini kemudian
memunculkan suatu aliran yang dalam hukum pidana dikenal dengan aliran
dualisme, yaitu aliran yang memisahkan konsep perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana.31
30
Roeslan Saleh, Op.cit, hal 20-23
31
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang
obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya
perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang obyektif
yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada memenuhi syarat
untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana
adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar dapat dipidananya
pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini berarti bahwa
pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.32
“ Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang–undang
dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan
pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana,
yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan (bersalah).
Dengan kata lain, orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut“.33
32Ibid
., hal 25
33
Sudarto mengindikasikan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana
tidak akan pernah ada. Maka dari itu dalam hukum pidana dikenal asas “ tiada
pidana tanpa kesalahan “ (geen straf zonder schuld) sebagaimana telah banyak
disebutkan dalam paragraf terdahulu. Asas kesalahan ini merupakan asas yang
fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas ini sehingga
meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.
Kesalahan dalam arti luas yang bisa dipersamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna bisa
dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, jika dikatakan bahwa orang
bersalah melakukan suatu perbuatan pidana, itu berarti orang tersebut dicela atas
perbuatannya. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah
sebagai berikut:34
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, atinya keadaan jiwa
si pembuat harus normal.
b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk–bentuk
kesalahan.
c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan ( alasan pembenar/alasan
pemaaf)
Roeslan Saleh tiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, dalam arti urut-urutannya dan
34
yang disebut kemudian bergantung pada yang disebut terlebih dahulu. Singkatnya,
tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,
apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat
dipikirkan mengenai alasan penghapus pidana, apabila orang itu tidak mampu
bertanggungjawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.35
a. Unsur yang pertama adalah kemampuan bertanggungjawab yang diartikan
sebagai kondisi sehat dan mempunyai akal dalam membedakan hal-hal yang
baik dan yang buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu
untuk menentukan kehendaknya.36 Jadi, paling tidak ada dua factor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan
faktor kehendak. Akal bisa membedakan antara perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.37 Sedangkan kehendak berarti bisa menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
b. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik
alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud
alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku
perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya
dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya
adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang
35
Roeslan Saleh, Op. cit., hal 78.
36
Schaffmeiser Dorman, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor penerjemah, J.E Sahetapy , (Yogyakarta: Liberti , 1995), hal 87
37
menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut
diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP.
c. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik
alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud
alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku
perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya
dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya
adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang
menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut
diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. sesungguhnya dalam
teori hukum pidana dikenal teori yang disebut dengan teori kesalahan
normatif. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa kesalahan ada jika
kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan
dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat
dicela karena melakukan tindak pidana. Kesalahan dalam konteks ini diartikan
sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut.38
Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah
penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang manjadi
patokan penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem
norma tersebut. Kesalahan berarti pembuat (seseorang atau badan hukum) telah
38
berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum mengatur kehidupan
seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maupun
keresahan pada masyarakat. Seseorang dikatakan bersalah ketika melakukan suatu
tindak pidana karena telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan
hukum maupun harapan masyarakat. Padahal pada dirinya selalu terbuka
kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana
tersebut, dimana hal ini berarti bahwa tiap individu memiliki pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat suatu penyimpangan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada petindak jika telah
melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan
yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan apabila tindakan
orang tersebut bersifat melawan hukum dan orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk bertanggungjawab.
Pada perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak,
pelaku dalam hal ini yang merupakan orang dewasa bisa siapa saja. Pelaku bisa
merupakan orang lain contohnya pada bisnis pelacuran pelaku merupakan orang
lain yang tidak dikenal oleh anak itu dimana hubungan pelaku dan korban tidak
lain merupakan hubungan bisnis dan jasa yaitu pelaku menggunakan jasa anak
untuk mendapatkan kepuasan secara seksual dan anak mendapatkan imbalan
berupa uang atau barang.
Pada perbuatan cabul pelaku harus memenuhi setiap unsur delik yang ada
tersebut, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar,
termasuk cakap hukum atau tidak, dimana setelah dipertimbangkan mengenai hal-
hal tersebut, maka dapat ditentukan apakah pelaku dapat dijatuhi sanksi pidana
atau tidak sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Akan tetapi sebelum
penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan
dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana.
C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dalam
Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI
Ulasan kasus Terdakwa Budiyanto Bin Sanasma(alm) pada hari Rabu
tanggal 1 Juni 2011 sekitar jam 11.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain
dalam tahun 2011 bertempat di rumah saksi korban Warti Dk. Kiringan
Rt.01/RW.01 Ds. Canden Kec. Sambi Kab. Boyolali setidak-tidaknya masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
dilakukan padanya perbuatan cabul
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.39
39
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.40 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana)
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk
adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus
ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan
hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi
syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.41
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34
memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi
syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri
sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini
berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus
dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)
40
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
41
yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang
berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.42
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut
Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan
toerekenbaar.43 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan
toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban
kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee
keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.44
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana
sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari
berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai
pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita
menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”
dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum
pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of
42
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
43
R. Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.131
Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word
“liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally
subjected to the exaction.45
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau
liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan
sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh
menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut
Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”.
Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap
kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya
keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran
“ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa”
kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi
dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian
atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak
pidana.46
45
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), hal 79
46
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang
dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.47
Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah
mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab
adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana
diperbolehkan dan yang tidak.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan
perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi
masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang
telah dilakukan orang tersebut.
Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka
terdakwa haruslah48: Melawan perbuatan pidana 1. Mampu bertanggungjawab
2. Dengan sengaja atau kealpaan, dan;
3. Tidak ada alasan pemaaf
47Ibid
. hal. 80
48Ibid.