• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)

Kasus-kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi-reaksi

sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan pun terhadap pidana yang telah

dijatuhkan, dimuat dalam media massa. Selain daripada pemerkosaan dan

pemidanaan terhadap pemerkosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan

penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan/

pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual pada

anak-anak sebagai dimuat dalam Bab II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal

tersebut dibebankan kepada aparat penegak hukum terutama selain dari kegiatan

aparat penegak hukum tersebut telah cukup padat, keahlian tersebut kemungkinan

tidak dimiliki aparat penegak hukum tersebut.

KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi

hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung

kekurangan secara tidak substansial dalam hal melindungi korban kejahatan.

Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.

Dalam pembahasan ini penulis akan di uraikan atau deskripsikan posisi

korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif (KUHP).

Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal

289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia

(2)

perbuatan perkosaan pada Pasal 289 yang bunyinya sebagai barikut : Barangsiapa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau

membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan

kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”19 Sedangkan dalam Pasal 290 berbunyi :

1a. Barangsiapa melakukan berbuat perbuatan cabul dengan seseorang, sedang

diketahuinya bahwa orang pingsan atau tidak berdaya.

2a. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang

diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur anak orang itu belum

cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu

belum masanya untuk kawin.20

Dari rumusan dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk

adanya tindak pidana paedofilia adalah: 1) barangsiapa, 2) dengan kekerasan, atau

3) dengan ancaman kekerasan, 4) memaksa, 5) seseorang wanita yang belum

masanya kawin, 6) adanya pencabulan.

Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar

Bahasa Indonesia memuat artrinya sebagai berikut :“ keji dan kotor, tidak senonoh

(melanggar kesopanan, kesusilaan).”

Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan,

atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi

kelamin.21

19

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politea, 1994), hal 212

(3)

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 289

KUHP menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh

pelaku adalah sembilan tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal,

dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan. Sanksi

minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun

lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis.

Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan Pasal 289 oleh hakim,

hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak

semata-mata bisa menyalahkan hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan

keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak diluar

komitmen dan nilai-nilai kemanusiaannya.

1. Tentang unsur ‘’barang siapa’’ dalam KUHP memang tidak ada penjelasan

rinci, namun kalau kita simak Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50 dan 51 KUHP

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘’barang siapa’’ atau subjek

tindak pidana adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Bukti lain yang dapat diajukan

yang menunjukan bahwa objek tindak pidana adalah orang lain ialah: pertama,

untuk penjatu8hyan pidana diharuskan adanya kesalahan atau kemampuan

bertanggung jawab dalam hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal

10 KUHP hanya bermakna atau hanya mempunyai arti bila dikenakan pada

‘orang’ atau ‘manusia’. Kalau dilihat dari luas sempitnya perbuatan pelaku

maka akan termasuk sebagai pelaku tindak pidana bukan hanya orang yang

(4)

medepleger (menyuruh melakukan, medeplichtigheid (membantu melakukan )

dan uitloking (membujuk atau mengajurkan).22

2. ‘Kekerasan’ adalah kekuatan fisik atau perbuatan yang menyebabkan orang

lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melekukan perlawanan atau

pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana Paedofilia antara lain

sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang

yang terkena tidak berdaya. Dalam tindak pidana perkosaan, kekerasan ini

dilakukan oleh pelaku sebagai upanya untuk mewujudkan maksud atau nitnya

untuk bersetubuh dengan korban. Sudah barang tentu ini dilakukan kerena

adanya pertentangan kehendak. Dalam kasus tindak pidana pencabulan,

pelaku prinsip semakin cepat kasus dilaporkan dan tempat kejadian perkara

diamankan, maka akan semankin besar untuk menangkap pelaku. Untuk

menentukan ada tidaknya sperma dalam tubuh korban, paling lama visum

dilakukan dua hari sejak terjadi perkosaan.

3. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi

ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau

kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan korban yang sebagian

besar anak-anak menjadi takut dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti

kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.23

4. Unsur ‘memaksa’ dalam pencabulan menunjukan adanya pertentangan

kehendak antara pelaku dengan korban. Sehingga tidak ada pencabulan

apabila tidak ada pemaksaan.

22

Barita Sinaga, Varia Peradilan, IX, 1994, hal 157

23

(5)

5. Unsur yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita yang belum masanya

untuk kawin” atau anak-anak dibawah umur atau seseorang yang umurnya

belum cukup 15 tahun terhadap ‘’wanita yang belum dewasa’’ memerlukan

perlindungan khusus sehingga setiap pria yang berminat bersetubuh dengan

wanita tersebut mengetahui dan memahami risiko yang lebih besar.

Anak-anak wanita yang masih belum mengerti “hubungan seks”, dengan bujukan

sedikit uang. Mungkin telah mau membuka celana dalamnya dan mau disuruh

tidur telentang tanpa paksaan si pria telah dapat mensetubuhinya.

6. Untuk selesainya tindak pidana Paedofilia maka harus terjadi pencabulan yang

dilakukan pelaku kepada korban. Dalam arti tidak ada pidana Paedofilia jika

tidak terjadi pencabulan dimana anak-anak sebagai korbannya. Adapun

tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi persetubuhan atau

penetrasi antara lain :

a. Robeknya selaput dara (hymen) dalam hal anak-anak sebelum dicabuli

masih dalam keadaan perawan, bentuk robeknya selaput dara akan berbeda

antara hubungan kelamin yang dilakukan paksa, umumnya robekan hymen

akan tidak beraturan bila korban berusaha untuk melawan.

b. Tanda kekerasan pada vagina (vulva) biasanya terjadi karena pelaku

membuka celana dalam korban atau memasukkan penisnya secara paksa

dan tergesa-gesa, tanda kekerasan ini bisa berupa goresan kuku atau

tangan pelaku.

c. Sperma pelaku yang tertinggal dalam vagina.24

24Ibid

(6)

Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada KUHP adalah dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya :

1) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang perempuan

dan menyentuhnya pada alat kelaminnya.

2) Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan dan

kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat

mengelusnya teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal

tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.25

Konsep mengenai tindak pidana paedofilia atau kejahatan kesusilaan ini

sebagaimana dalam RUU-KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi

ancaman sanksi hukuman yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing

kejahatan kesusilaan telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan.

Selain itu, dalam RUU-KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman

secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dijatuhi sanksi penjara, juga dapat

dijatuhi sanksi berupa denda yang sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu denda

Rp300.000.000 juta rupiah bagi setiap pelaku paedofilia yang tertangkap sebagai

ganti rugi terhadap anak-anak yang sudah dicabulinya.

Meskipun demikian, ancaman hukuman itu masih belum bisa

mengimbangi ancaman hukum yang digariskan hukum islam. Padahal dalam

hukum islam, kalau kasus seprti itu terjadi, maka hukuman maksimumnya adalah

hukuman mati. Idealnya, pembaharuan hukum yang hemdak direncanakan sebagai

bagian dari konsekuensi politik hukum di indonesia ini, adalah dapat mengacu

25

(7)

pada kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban

kejahatan.

B. Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan

Pertanggungjawabannya

Tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, mendidik

atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan

kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat bermanfaat bagi

masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang bersifat represif

diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya dan apabila

kembali ke masyarakat dapat diterima seperti dahulu sebelum ia di penjara

Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun

oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitan Balai Pustaka.26 Kata “susila” dimuat arti sebagai berikut :

1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;

2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;

3. Pengetahuan tentang adat

Makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan dengan moral

yang terdapat pada setiap diri manusia, maka dapatlah di simpulkan bahwa

pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana

perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah

diatur dalam perundang-undangan.

26

(8)

Pengaturan tentang tindak pidana kesusilaan di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan jenis tindakan pidana

kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni:

1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303

Bab 14 Buku ke 2 KUHP.

2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d. 547

Bab 6 Buku 3 KUHP

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan

secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak

pidana.27 Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang

dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.

Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah

mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab

adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan

antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.

Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana

diperbolehkan dan yang tidak.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan

perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi

27

(9)

masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang

telah dilakukan orang tersebut.

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka

terdakwa haruslah28:

a. Melawan perbuatan pidana

b. Mampu bertanggungjawab

c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan;

d. Tidak ada alasan pemaaf

Unsur delik pada Pasal 293 adalah:

1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.

2. Membujuk dengan menggunakan :

a. hadiah/ uang.

b. pengaruh yang berlebihan yang ada disebabkan oleh hubungan yang ada.

c. Tipuan

3. Bujukan ditujukan pada orang yang belum dewasa yang patut disangka oleh

pembujuk dan baik tingkah lakunya.

Membujuk berarti berusaha supaya orang menuruti kehendak yang

membujuk bukan memaksa. Apabila dengan bujuk rayu tersebut maka terjadi

perbuatan cabul tersebut maka pelaku baru dapat dikenai sanksi pidana.

Pasal 294 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan

kepada anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak dibawah pengawasanya, yang

28Ibid.

(10)

belum cukup umur, atau orang yang belum cukup umur dimana pemeliharaan,

pendidikan ditanggungkan kepadanya. Dalam Pasal ini maka pelaku akan dikenai

sanksi pidana apabila perbuatan cabul dilakukan terhadap anak yang dibawah

umur yang masih terdapat hubungan dengannya dimana ancaman pidana nya jauh

lebih berat.

Pasal 294 (1) : barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya,

anak tirinya, anak angkatnya anak dibawah pengawasanya, yang belum cukup

umur atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya,

pendidikannya dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan

bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun

Dalam Pasal 296 perbuatan yang dilarangan adalah menghubungkan atau

memudahkan perbuatan cabul orang lain dan menjadikannya sebagai mata

pencaharian. Pasal ini digunakan untuk orang-orang yang bekerja dalam bisnis

pelacuran yaitu sebagai penyedia tempat, penyalur anak- anak dibawah umur

yangdilacurkan. Pasal 296 KUHP disebutkan bahwa : Barang siapa dengan

sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain

dengan orang lain dan menjadikan nya sebagi pencarian atau kebiasaan diancam

dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan tau denda paling

banyak seribu rupiah.29

Berbicara konsep pertanggungjawaban pidana (strafbaarheid) mau tidak

mau harus didahului dengan pembicaraan tentang konsep perbuatan pidana

29

(11)

(strafbaarfeit). Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana

tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika

tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu perbuatan, sedang ia

sendiri tidak melakukan perbuatan itu.30 Di antara ahli hukum pidana masih ada perbedaan pendapat apakah konsep perbuatan pidana di dalamnya terkandung

juga konsep pertanggungjawaban pidana atau kedua konsep tersebut merupakan

konsep yang berbeda namun tidak dipisahkan.

Simons misalnya mengatakan bahwa dalam perbuatan pidana di dalamnya

juga terkandung makna pertanggungjawaban pidana. Pendapat serupa

dikemukakan oleh Van Hamel yang mengatakan bahwa istilah strafbaarfeit

diartikan sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang

bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Pemikiran tersebut pada akhirnya melahirkan suatu aliran yang tidak memisahkan

perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pendapat yang berbeda

dikemukakan oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh yang menyatakan konsep

perbuatan pidana harus dipisahkan dari konsep pertanggungjawaban pidana. Hal

ini karena untuk menentukan salah tidaknya seseorang terlebih dahulu harus

dibuktikan bahwa ia melakukan suatu perbuatan. Dari pemikiran ini kemudian

memunculkan suatu aliran yang dalam hukum pidana dikenal dengan aliran

dualisme, yaitu aliran yang memisahkan konsep perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana.31

30

Roeslan Saleh, Op.cit, hal 20-23

31

(12)

Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang

obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada

memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya

perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar

dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini

Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang obyektif

yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada memenuhi syarat

untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana

adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar dapat dipidananya

pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini berarti bahwa

pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan

dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.32

“ Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi

meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang–undang

dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan

pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana,

yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan (bersalah).

Dengan kata lain, orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut“.33

32Ibid

., hal 25

33

(13)

Sudarto mengindikasikan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang

sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana

tidak akan pernah ada. Maka dari itu dalam hukum pidana dikenal asas “ tiada

pidana tanpa kesalahan “ (geen straf zonder schuld) sebagaimana telah banyak

disebutkan dalam paragraf terdahulu. Asas kesalahan ini merupakan asas yang

fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas ini sehingga

meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.

Kesalahan dalam arti luas yang bisa dipersamakan dengan pengertian

pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna bisa

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, jika dikatakan bahwa orang

bersalah melakukan suatu perbuatan pidana, itu berarti orang tersebut dicela atas

perbuatannya. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah

sebagai berikut:34

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, atinya keadaan jiwa

si pembuat harus normal.

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk–bentuk

kesalahan.

c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan ( alasan pembenar/alasan

pemaaf)

Roeslan Saleh tiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa

dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, dalam arti urut-urutannya dan

34

(14)

yang disebut kemudian bergantung pada yang disebut terlebih dahulu. Singkatnya,

tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,

apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat

dipikirkan mengenai alasan penghapus pidana, apabila orang itu tidak mampu

bertanggungjawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.35

a. Unsur yang pertama adalah kemampuan bertanggungjawab yang diartikan

sebagai kondisi sehat dan mempunyai akal dalam membedakan hal-hal yang

baik dan yang buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat

melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu

untuk menentukan kehendaknya.36 Jadi, paling tidak ada dua factor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan

faktor kehendak. Akal bisa membedakan antara perbuatan yang boleh

dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.37 Sedangkan kehendak berarti bisa menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang boleh

dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

b. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik

alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud

alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku

perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya

dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya

adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang

35

Roeslan Saleh, Op. cit., hal 78.

36

Schaffmeiser Dorman, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor penerjemah, J.E Sahetapy , (Yogyakarta: Liberti , 1995), hal 87

37

(15)

menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut

diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP.

c. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik

alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud

alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku

perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya

dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya

adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang

menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut

diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. sesungguhnya dalam

teori hukum pidana dikenal teori yang disebut dengan teori kesalahan

normatif. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa kesalahan ada jika

kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan

dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat

dicela karena melakukan tindak pidana. Kesalahan dalam konteks ini diartikan

sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi

masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan

perbuatan tersebut.38

Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah

penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang manjadi

patokan penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem

norma tersebut. Kesalahan berarti pembuat (seseorang atau badan hukum) telah

38

(16)

berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum mengatur kehidupan

seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maupun

keresahan pada masyarakat. Seseorang dikatakan bersalah ketika melakukan suatu

tindak pidana karena telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan

hukum maupun harapan masyarakat. Padahal pada dirinya selalu terbuka

kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana

tersebut, dimana hal ini berarti bahwa tiap individu memiliki pilihan untuk

berbuat atau tidak berbuat suatu penyimpangan.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada petindak jika telah

melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan

yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan apabila tindakan

orang tersebut bersifat melawan hukum dan orang tersebut mempunyai

kemampuan untuk bertanggungjawab.

Pada perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak,

pelaku dalam hal ini yang merupakan orang dewasa bisa siapa saja. Pelaku bisa

merupakan orang lain contohnya pada bisnis pelacuran pelaku merupakan orang

lain yang tidak dikenal oleh anak itu dimana hubungan pelaku dan korban tidak

lain merupakan hubungan bisnis dan jasa yaitu pelaku menggunakan jasa anak

untuk mendapatkan kepuasan secara seksual dan anak mendapatkan imbalan

berupa uang atau barang.

Pada perbuatan cabul pelaku harus memenuhi setiap unsur delik yang ada

(17)

tersebut, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar,

termasuk cakap hukum atau tidak, dimana setelah dipertimbangkan mengenai hal-

hal tersebut, maka dapat ditentukan apakah pelaku dapat dijatuhi sanksi pidana

atau tidak sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Akan tetapi sebelum

penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan

dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana.

C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dalam

Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI

Ulasan kasus Terdakwa Budiyanto Bin Sanasma(alm) pada hari Rabu

tanggal 1 Juni 2011 sekitar jam 11.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain

dalam tahun 2011 bertempat di rumah saksi korban Warti Dk. Kiringan

Rt.01/RW.01 Ds. Canden Kec. Sambi Kab. Boyolali setidak-tidaknya masih

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali dengan kekerasan atau

dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan

dilakukan padanya perbuatan cabul

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak.39

39

(18)

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan

bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif

pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.40 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana)

untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk

adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus

ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban

pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan

hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi

syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.41

Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34

memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:

Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang

ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi

syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri

sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini

berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus

dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)

40

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11

41

(19)

yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang

berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi

persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.42

Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut

Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan

toerekenbaar.43 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan

toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban

kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee

keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi

perbuatan yang toerekeningsvatbaar.44

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana

sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari

berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem

pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai

pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan

perkembangan masyarakat

Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita

menyatakan sebagai berikut :

“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”

dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum

pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of

42

Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).

43

R. Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.131

(20)

Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word

“liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally

subjected to the exaction.45

Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau

liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan

sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh

menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut

Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar

pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”.

Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap

kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya

keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran

“ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa”

kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi

dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian

atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan

secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak

pidana.46

45

Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), hal 79

46

(21)

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu

siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang

dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.47

Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah

mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab

adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan

antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.

Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana

diperbolehkan dan yang tidak.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan

perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi

masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang

telah dilakukan orang tersebut.

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka

terdakwa haruslah48: Melawan perbuatan pidana 1. Mampu bertanggungjawab

2. Dengan sengaja atau kealpaan, dan;

3. Tidak ada alasan pemaaf

47Ibid

. hal. 80

48Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pelaku Pencabulan (Analsisi Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. SUS/2011/PN-BI) Pasal 50 tidak dikenakan hukuman

Dari definisi diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan mengenai definisi dari suatu pembunuhan, yaitu pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu daya dan kekuasaan yang timbul dari pergaulan tedapat dalam Pasal 293 KUHP Menentukan bahwa: Barang siapa dengan hadiah atau

Unsur “dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain” adalah apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang mempunyai tujuan

orang lain yang berhubungan ataupun berkomunikasi secara intim satu sama lain. Lalu ada teori control social dimana perbuatan pelaku adalah kelalaian seseorang dalam

“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara

Ketentuan dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP yang menjelaskan bahwa pencabulan atau perbuatan cabul adalah perbuatan seseorang dengan memberi dan menjanjiakan uang atau

serta unsur objektif nya adalah barangsiapa mengambil sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, Dan jika suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana